"Apa kamu tinggal di sini juga?" tanya Sakha.
"Ya. Memangnya kenapa?" Liana tampak malas melakukan komunikasi, tapi dia harus melakukannya agar semuanya berjalan dengan lancar.
"Kamu tidak takut jika aku melakukan sesuatu padamu?" tanya Sakha.
"Sebelum itu terjadi, tulang rusukmu akan patah hingga menusuk ke organ dalam milikmu," ketus Liana.
Sakha yang menyadari itu langsung memegang dadanya, seolah merasakan jika tulang rusuknya akan patah dengan semengerihkan itu, ekspresinya pun mendukung.
"Masuklah."
Wanita itu meninggalkan Sakha sendirian di kamar ini."Pantas saja dia tidak punya pacar, memangnya siapa yang tahan dengan psikopat sepertinya."
Sakha melempar tubuhnya untuk merasakan kasur. Setengah bulan ini dia tidak bisa tidur nyenyak karena berusaha mencari uang, mulai dari meminjam hingga bekerja dimana saja.
"Aww!" Tak bisa dipungkiri, kalau rasa nyeri dan sakit sangat terasa di tubuh Sakha setelah apa yang dilakukan anak buah wanita itu. Walaupun Liana sudah membawa Sakha ke rumah sakit untuk luka-luka yang Sakha dapat dari anak buah wanita gengster itu, tetap saja tubub Sakha sakit walaupun kata dokter semuanya baik-baik saja, tidak seperti perkiraan Sakha sebelumnya.
"Ah! Namanya siapa?" Tapi Sakha langsung menepis.
"Nanti juga tau, gak perlu nyari tau," ucap Sakha tidak peduli, yang penting dia bisa istirahat dulu, sebelum itu terjadi dia harus mandi.
Sakha membuka lemari yang ada di dalam kamar itu. Mulai dari setelan jas mahal hingga piyama semuanya lengkap ada di sana.
"Kapan dia menyiapkan ini semua?" Sakha bertanya-tanya.
"Tapi ini bagus-bagus. Aku belum pernah punya sebelumnya. Lumayan juga jadi simpanan orang kaya ya, kenapa tidak dari dulu saja aku begini..." kekeh Sakha.
Sakha adalah seorang pria biasa yang hidupnya cuma kerja, duniawi, tapi dia juga lumayan rajin ibadah. Temen-temennya juga asik-asik, jadi dia bukan orang yang kaku atau cukup terbilang asik.
Sedikit nyentrik kalau punya uang, tapi jadi miskin diakhir bulan, itu sih udah biasa. Semuanya fine-fine aja kalau dia gak dijebak. Parahnya malah sama keluarga sendiri.
Sakha memilih untuk mandi dan membersihkan dirinya yang tampak menyedihkan itu. Bekas lukanya pun sudah dia obati dan ditutupi dengan plaster.
Sakha pikir hari ini adalah hari terakhirnya menghirup udara, ternyata Tuhan masih membiarkannya, tidak sia-sia dia beribadah meski suka bolong-bolong. Tuhan memang tahu kalau Sakha tidak bersalah, dia tidak pantas menanggung semua kesalahan yang dibuat keluarganya. Ah... Rasanya dia tidak mau mengakui Poldi sebagai keluarganya, setiap malam dia merutuki mereka.
Suara ketukan pintu itu menyadarkan Sakha yang masih merenungi jalan hidupnya ini.
Wanita yang dia tidak tahu namanya sampai sekarang itu ada di hadapannya. Penampilannya sangat berbeda, dia terlihat lebih santai dan natural. Tidak menyeramkan seperti pertama mereka bertemu, ini jauh lebih bagus."Kamu mau mati sebelum saya suruh? Tidak mau makan malam?" Wanita itu melipat tangannya tepat di depan dadanya.
"Eh, iya." Tanpa peduli jawaban Sakha, Liana berjalan mendahului pria itu. Membiarkan pria itu mengekorinya. Ternyata punya orang lain di rumah ini cukup menghibur bagi Liana, dia punya teman bicara walaupun orang ini sangat bodoh.
"Saya sudah buat kontrak, apa-apa aja yang harus kamu lakukan saat jadi pacar bayaran saya." Liana menyerahkan sebuah kertas dengan salinannya yang ada di tangannya.
"Pekerjaan kamu adalah dokter anak."
"Tapi aku cuma staf marketing di kantor. Bagaimana bisa jadi dokter, terus aku baru aja jadi weiters di kafe." Liana sudah tahu itu sebelum Sakha memberitahu, dia punya latar belakang Sakha dengan detail.
"Kamu kan bisa riset, gimana itu jadi dokter anak. Memangnya kamu sebodoh itu." Omel Liana, gadis itu menyantap makan malamnya dengan tenang.
"Berapa usia kamu?" tanya Liana.
"31 tahun."
"Sempurna. Nanti kamu harus tampil seperti orang hebat, bisa akting kan? Kalau kamu gagal..." Liana memberi isyarat untuk memotong leher Sakha. Pria itu meringis memegangi lehernya ngerih. Sebelumnya Sakha tidak suka diatur, dia adalah orang yang suka mengatur tapi demi keselamatan nyawanya dia harus tetap menurut.
"Seorang yang sangat hebat sampai mereka merasa saya bisa mendapatkan orang yang lebih hebat dari calon suami Alena."
"Siapa mereka dan siapa Alena?" tanya Sakha.
"Mereka adalah orang tuaku dan Alena adikku," jawab Liana tidak semangat. Sakha pikir wanita ini adalah si antagonis yang ingin selalu menjadi pemenang dalam setiap pertarungan sekalipun dengan cara curang. Sakha harap dia akan kalah dalam pertarungan kali ini.
Baru sehari Sakha bertemu dengan wanita ini, tapi dia sudah mendapat banyak kejutan. Wanita ini memiliki banyak ekspresi yang seperti sulit dia tunjukan pada publik.
"Siapa nama kamu?" tanya Sakha. Bukankah sangat tidak sopan jika Sakha tidak tahu siapa yang membuatnya babak belur seperti ini.
"Liana... Liana Rodriguez." Perjelas wanita itu.
Sakha mengangguk, artinya dia paham dengan apa yang Liana katakan.
"Liana! Where are you?" Suara bariton itu membuat keduanya mengalihkan atensi merek ke arah sumber suara.
"Dapur!" Teriakan Liana sukses membuat Sakha kaget. Ternyata wanita ini tetap wanita biasa yang suka teriak-teriak.
"Who are you?" Suara bariton itu langsung mengintrogasi Sakha.
"My boyfriend."
"Secepat itu?" Kini Cakra menatap Liana curiga.
"Dengan cara yang kamu sarankan. Aku berhasil dapat dengan mudah."
Sakha bingung, kedua orang ini tampak akrab kenapa tidak membantu satu sama lain. Mereka pasti jadi pasangan yang cocok dalam hidup, mereka sama-sama terlihat nyaman dan terbuka.
"Saya Sakhala Poldi, pacarnya Liana." Sakha menjabat tangan Cakra.
"Cakra, temennya Liana."
"Wait a minute." Cakra membawa Liana menjauh dari Sakha. Tapi Sakha tidak peduli, karena di ingin makan tenang sekarang, sudah lama dia tidak makan dengan tenang. Dia selalu dihantui rasa takut yang membuatnya susah menelan nasi.
"Kamu gila ya? Aku cuma bercanda waktu itu," ucap Cakra.
"Tapi aku anggap itu serius. Lagi pula dia harus bayar utangnya, dia tidak melakukan ini dengan suka rela."
"Kalau ayahmu tahu, bukan cuma kamu yang akan sekarat. Dia juga bakal mati." Cakra memperingati, dia paham apa yang terjadi jika membohongi tuan Ronald.
"I don't care. Selama tidak ketauan, semuanya baik-baik aja. Lagi pula kami tidak akan lama, setelah pernikahan Alena, kontraknya habis."
"Bicara memang gampang, kalau dia mati bagumana? Bagaimana dengan keluarganya. Kalau dia mati, kamu mau tanggung jawab!" Cakra tidak habis pikir dengan wanita yang sudah dia kenal lama itu. Dia memang gila setahu Cakra, tidak menurut dengan Cakra, tapi kenapa saat Cakra asal bicara dia malah mengikutinya.
"Dia dijebak keluarganya. Mungkin juga dia udah dibuang. Sekalipun dia mati, keluarganya pasti tidak akan sedih." Wanita jahat itu tumbuh di dalam Liana, sehingga membuat Cakra kewalahan.
Andai saja Liana tau, sedalam apa perasaan Cakra padanya dulu, tapi Cakra menguburnya dan memilih menyerah dengan wanita seperti Liana, bukan hanya lelah menghadapi, tapi Liana tidak akan berubah kecuali atas kemauannya sendiri. Sepenuhnya Liana menguasai dirinya, dia tidak akan mau menuruti siapapun kecuali ayah dan ibunya.
"Keluarga mana yang tidak sedih, kalau salah satu anggota keluarganya ada mati?"
"Keluarga aku." Liana menutup pembicaraan mereka dengan dark. Sekaligus membungkam Cakra dengan fakta keluarga Rodriguez.
Suatu kejadian menimpa Liana saat melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh Papanya. Dia hampir mati, dan tidak ada seorang pun dari keluarganya menangis melihat kondisi Liana yang sudah parah itu. Bahkan mereka datang setelah beberapa hari Liana dirawat di rumah sakit.
Kecelakaan mobil yang dia alami itu hampir saja merenggut nyawanya. Keluarganya hanya datang sekali, itu pun saat hari pertama Liana sadar. Sebelum dan sesudahnya hanya ada Cakra dan Javas beserta pacarnya yang datang bergantian menjaga Liana.
Tidak ada tangis yang Liana dengar dari keluarganya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Liana memperhatikan keluarganya, mengikuti semuanya, menjadi apa yang diinginkan mereka tapi tidak bisa merasakan timbal balik dari apa yang dia perbuat.
Deringan ponsel menyadarkan Liana saat akan berjalan ke dapur.
"Hallo, Pa.""Papa ingin bicara denganmu sebentar," ucap tuan Ronald dari sana.
"Ya ada apa Pa?" tanya Liana.
"Mama kamu meminta kamu pulang ke rumah, seminggu sebelum pernikahan Alena. Kamu harus membantu Alena menyiapkan pernikahannya karena Marco sedang sibuk."
"Pa, aku sibuk. Aku masih punya pekerjaan lainnya yang tidak bisa ditinggal. Papa sendiri yang memberikan aku tanggung jawab ini, bagaimana bisa aku tinggalkan?"
"Kamu tidak usah menyulitkan diri sendiri. Papa akan cancel semua pekerjaan kamu hingga 1 minggu ke depan, besok kamu harus ke sini!" Dengan tegas Ronald memberikan akhiran dari panggilan itu.
"AAA!!" Liana membanting ponselnya hingga terpecah menjadi bagian-bagian kecil, semua orang selalu menyulitkannya tapi kenapa dia tidak bisa menolak mereka. Liana tidak peduli jika dia menjadi perhatian di sini, tapi untungnya itu tidak akan terjadi karena orang-orang tidak peduli.
"Kamu kenapa langsung bad mood gitu?" tanya Sakha saat Liana kembali ke dapur.
Liana membanting sendok dan garpu di piringnya. Selera makannya sudah tidak ada lagi karena Cakra.
"Bersiaplah besok kita akan ke rumah orang tuaku. Lakukan semua instruksiku. Jangan sampai membuatku malu."
Lalu Liana benar-benar meninggalkan Sakha di dapur sendirian.
•••
Liana dan Sakha berhasil sampai ke pavilliun milik keluarga Liana dengan selamat. Sakha menatap bangunan ini dengan kagum. Seumur-umur dia hanya bisa melihat bangunan dengan 1 keutamaan, misalnya kemewahan, tapi tidak dengan keindahan alam yang alami atau sebaliknya. "Ini rumahmu?" tanya Sakha. "Bukan." "Lalu untuk apa kita datang ke sini?" tanya Sakha heran. "Are you 31 years old? Kenapa pemikiranmu begitu sempit," ejek Liana. "Maksudmu aku bodoh?" Sakha tidak terima dengan hinaan itu, dia laki-laki dan dia tidak ingin direndahkan apa lagi dengan seorang wanita. "Bukan aku yang bilang." Liana berjalan mendahului Sakha. Perdebatan bodoh akan segera terjadi dari mulut Sakha yang ternyata sangat berisik. "Apa hak kamu menghinaku? Memangnya kamu tidak pernah tahu ya, merundung itu bisa berdampak buruk bagi korban." Sakha masih tidak terima den
Sakha berdiri di samping Liana yang sedang melemparkan pakan ikan ke kolam. "Aku cariin, ternyata kamu di sini." "Untuk apa kamu mencariku? Mau memberi kata-kata motifasi ke aku? Aku tidak perlu." Liana tetap pada dirinya yang angkuh. Dia merasa dirinya masih hebat, dia berada di atas Sakha sehingga dia bisa berkata semaunya. Meskipun tidak tahu jika ke depannya rencana mereka malah membuat mereka terjebak. "Aku gak punya kata-kata motifasi, kamu tau kan berantakannya hidup aku, sampai aku harus ada di sini jadi pacar bohongan kamu." Sakha mencoba mengalah, jika melawan Liana dengan emosi sama saja menghancurkan rencana mereka. "Terus untuk apa kamu ke sini?" tanya Liana. "Ya kamu pikir saja, kalau aku tetap di sana malah aku yang terjebak di sana, lebih baik aku pergi. Belum lagi kalau Papa kamu marah lalu aku tidak bisa nyela, dan akhirnya aku yang mendengarkan kemarahan Papa kamu."
"Kamu sedang apa di sana?" Suara bariton milik tuan Ronald itu membuat Sakha berbalik dan tersenyum ramah sebisa mungkin. "Liana sedang pergi. Jadi saya iseng lihat-lihat sekeliling Om," jelas Sakha. Dia sedikit ciut di hadapan tuan Ronald, dengan wajah bule itu dia terlihat lebih seram. "Kenapa tidak ikut dengannya?" tanya Ronald. "Dia melarang saya," jawab Sakha, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ya, dia merasa tidak enak saja, seperti lepas tanggung jawab sebagai laki-laki. "Kamu tidak perlu khawatir, dia gadis yang pandai menjaga diri. Kamu sudah makan?" Pria berparas bule itu jauh lebih bersahabat sejak mereka terakhir bertemu. "Udah Om, tadi Liana menyiapkan saat dia mau pergi." Ronald tersenyum, lalu menepuk bahu Sakha. "Saya harap, kamu orang yang tepat untuk Liana." Sakha mengangguk canggung, bagaimana jadi orang yang
Tadinya Sakha ingin berolah raga pagi, tapi dia urungkan karena melihat ibu Liana atau nyonya Marina sedang menyuruh pekerjanya untuk memotong tanaman bonsai import dari luar negeri miliknya.Sakha ingat, Liana memberinya tugas untuk membuat orang tua Liana merasa Sakha adalah laki-laki yang tepat untuk Liana."Pagi, Tante," sapa Sakha."Hai, Sakha. Kamu sudah sarapan?" tanya wanita paruh baya itu."Udah Tante, aku denger Tante yang masak ya? Enak banget Tan." Senyuman Sakha itu seolah benar-benar memuja nyonya Marina."Benar kah? Kebetulan hari ini memang Tante yang masak, soalnya Om kamu lagi mau makan masakan Tante, syukur deh kalau kamu suka, kapan-kapan Tante masakin lagi." Wanita itu tampak berseri ketika pacar dari anak sulungnya itu memberikan pujian.Sakha mengangguk dan tersenyum ramah. "Ini bonsai pinus kan Tante? Kalau ini Azalea kan Tan? Wah, ini import kan?"
3 orang memasuki mobil yang sama, mereka akan menuju suatu tempat yang mungkin akan lama di sana.Liana, Sakha dan Alena berada dalam 1 mobil dengan atmosfer yang terasa semakin dingin jikalau Alena tidak terus-terusan bertanya ini itu. Gadis itu baru saja kembali ke tahan air setelah lama mengenyam bangku pendidikan di Seattle.Lalu dia bekerja sebagai pengacara selama 3 tahun di Seattle, setelah itu dia memilih kembali ke tanah air, dengan tujuan untuk menikah dengan tunangannya."Jadi kamu pengacara? Kasus apa yang menurut kamu sulit banget?" tanya Sakha pada Alena sambil fokus menyetir, sedangkan Liana hanya melalukan pekerjaannya sebagai pendengar."Semua kasus itu sulit, tapi yang paling sulit itu waktu aku jadi pengacara ada kasus seorang pengusaha, dia dituduh melakukankorupsi, pembunuhan dan pelecehan seksual. parah banget deh. Sebenarnya aku juga tidak mau mengambil kasus itu, kasus itu jat
2 hari sebelum resepsi dilakukan, Alena ingin melakukan family time. Awalnya tidak akan mengajak Sakha, tapi karena Liana mengatakan kalau dia akan ikut jika Sakha ikut juga, akhirnya Alena mengalah.Saat keluarga Rodriguez itu berada di pantai sambil menikmati hidangan seafood yang tampak sedap itu, Liana malah sibuk menyiapkan apapun yang disukai oleh keluarganya.Sakha yang melihat kesibukan Liana itu menghampirinya, membantunya menyiapkan apa yang Liana inginkan."Kamu kenapa tidak makan dari tadi?" tanya Sakha sambil membolak-balik seafood di atas panggangan."Alergi," jawab Liana singkat. Lalu meninggalkan Sakha dan memberikan hidangan itu pada keluarganya yang sedang bermusik ria.Meski hidup berdampingan dengan dunia gelap, mereka masih punya rasa ceria untuk merayakan sesuatu tentunya. Bukan keluarga yang kaku, bahkan senyum pun sulit.Sakha dengan cepat bisa berb
Pernikahan yang mewah dan berkelas itu sangat mengharukan dan penuh dengan suka cita. Pengantin yang sangat serasi membuat siapa saja memperhatikan serta memuji keserasian mereka."Well, mereka memang serasi dalam merusak hati orang," ujar Liana. Sakha yang duduk di sampingnya menatapnya."Maksudmu?" Pria itu menghentikan sesi cicip cicip makanan yang enak ini. Hidup cukup tidak membuatnya makan enak setiap hari, hanya sesekali saja dia makan enak, itu pun kalau sedang awal bulan dan berkumpul dengan teman-temannya."Makan saja, jangan pedulikan aku."Selain pengantin yang menjadi sorotan, Liana pun jadi bagian. Dia mendapat cerita miring karena dilangkahi oleh adiknya sendiri.Hidup dengan perkataan orang memang menyulitkan, tapi untuk masalah ini Liana tidak peduli.Selain karena belum menikah, pakaiannya hari ini juga mencuri perhatian, dress panjang tanpa lengan, denga
Tidak semudah itu keluar dari masalah ini, Liana dan Sakha sekarang berada di ruang kerja Ronald. Dengan tatapan nyalang Ronald menatap keduanya kecewa."Aku tahu kalian saling mencintai, tapi apakah sopan melakukan tindakan seperti itu di acara pernikahan orang lain." Liana yakin semua orang pasti berpihak pada Alena yang acaranya dibuat berantakan dengan kelakuan Liana dan Sakha.Keduanya memilih diam tidak menjawab, berharap salah satu dari mereka yang menjawab tapi seperti sudah di setting, kali ini mereka kompak untuk diam."Apa kalian tidak punya mulut untuk menjawab, hah!" Nada tinggi itu membuat Sakha terlonjak kaget, berlainan dengan Liana yang tampak tenang mendengar amarah papanya itu."Maaf Om," ucap Sakha. Dia berusaha untuk meredakan panas yang sudah menjalar itu."Maaf Pa, aku tidak akan mengulanginya lagi." Liana mengepala tangannya, namun tetap berusaha tenang.
Cahaya itu mengusik tidur sang gadis, tangannya mengulur mencari-cari benda persegi panjang nan tipis yang biasanya ada di sampingnya. Kamar ini pun tak tampak seperti miliknya, hawa panas yang sangat kentara di tambah banyaknya sinar matahari yang masuk membuat gadis itu tak nyaman."Mencari ini?" Suara yang pernah dia idamkan hadir saat baru bangun tidur itu kenapa terasa nyata kali ini. Sampai sentuhan menyadarkan gadis itu kalau memang keadaan ini nyata."Good morning." Sakha menyerahkan ponsel Liana."Sakha!" Sontak gadis itu bangun saat matanya dengan sadar melihat sosok laki-laki tampan itu."Yes, it's me."Seketika bayangan-bayangan saat dia tertawa seperti orang bodoh, menangis bahkan berkata merendahkan dirinya sendiri melintas di otaknya. "Astaga!"Rasa malu melebihi harga dirinya, dia merasa orang paling bodoh sedunia namun disaat yang bersamaan dia merasa aman karena Sakha lah orang yang membawanya.
Laki-laki tinggi dengan telinga lebar itu menatap Liana dengan tatapan aneh. Melihat penampilan gadis itu yang sangat berbeda dari biasanya. Gadis itu berputar-putar di depan kaca sambil melihat bagaimana penampilannya dengan baju yang kemarin dia borong melalui pegawainya. "Bagaimana? Apa baju ini cocok denganku?" Rok tenis dipadu dengan kaos cerah. Liana menghadap ke arah Cakra dan meminta pendapatnya tentang apa yang ia kenakan saat ini. "Tidak. Kau bukan bocah SMA lagi. Tidak cocok, cari saja yang masuk akal." Cakra hanya tidak ingin temannya itu bersikap aneh-aneh. Meskipun gadis itu masih cocok mengenakan pakaian yang dikenakan. "Lalu apa?" Gadis itu tampak frustasi untuk mix and match pakaian baru yang dia miliki.
Sebut saja Liana sudah gila, dia membuang uang ratusan juta untuk membeli sebuah tempat yang tidak sesuai dengan bidangnya. Wanita itu membeli sebuah restoran dengan harga mahal tanpa melihat aspek-aspek yang mungkin menguntungkan atau merugikannya. "Aku pikir kamu memang benar-benar gila." Cakra sampai tidak percaya Liana melakukan hal ini setelah dia memberikan apa yang Liana mau beberapa hari lalu. "Memangnya kenapa? kamu tidak pernah diperjuangkan sebegitunya oleh seorang wanita? bilang saja kamu iri." Kekeh Liana. Cakra hanya menggelengkan kepalanya, beberapa laki-laki di dunia ini tidak ingin wanita yang dicintai lebih tinggi kedudukannya. "Kamu yakin, dia bakal kembali lagi bersama kamu?" tanya Cakra. Liana mengangguk mantap, sebisa mungkin wanita itu mengharapkan suatu kejadian baik menghampirinya. Sakha baru saja datang untuk bekerja hari ini. Penampilan sederhana
Liana mengamati sebuah akuarium kaca kecil yang berisi kelomang yang pernah dia bawa bersama Sakha. Beberapa sudah mati karena terlaku sering ditiup agar keluar. Yah, padahal Liana sangat menyukai mereka.Hewan saja jika rumahnya tidak nyaman mereka akan pergi mencari tempat nyama yang lainnya. Kenapa Liana tidak bisa."Oh My God! Girl... What u do?" Seorang wanita mix Korea-Amerika itu datang sambil membawa banyak belanjaan ditangannya."Kenapa rumahmu yang kecil ini sangat kotor," ucapnya sarkas. Wanita itu meletakan belanjaannya di atas meja."Kenapa datang?" tanya Liana."Sejujurnya aku juga tidak mau datang, tapi my honey bunny sweety darling menyuruhku menjenguk temannya yang tidak tahu diri ini," ucapnya masih dengan nada dan kosa kata yang sarkas."Ya sudah sana pergi. Aku juga muak dengan mulutmu yang berbisa itu." Sejujurnya, keduanya sama-sama berbisa t
Liana memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri, dia sudah tidak tahan lagi berada di rumah orang tuanya, seakan hidupnya penuh tuntutan dan juga tekanan.Sakha menghampiri Liana dengan penampilan yang rapi, dia menggunakan baju yang sama seperti pertama kali mereka bertemu."Masih pagi, kamu mau kemana?" tanya Liana sambil mengoleskan nutella pada roti yang dia pegang.Sakha menyerahkan kertas kontrak yang dia punya, memberitahu bahwa kontrak mereka telah berakhir dengan lancar."Aku tidak mau merepotkanmu lagi, aku berterima kasih karena kamu sudah berbaik hati membebaskan aku dari hutang keluargaku." Sakha nyaman di sini, dia punya tempat tinggal, hidup dengan fasilitas yang baik, tapi dia merasa ini bukan ranahnya, dia juga tidak mau jadi benalu dalam hidup Liana.Semua yang dia dapatkan di sini rasanya fana, dia punya ini itu tapi harga dirinya jatuh karena menerima semuanya dari w
Tidak semudah itu keluar dari masalah ini, Liana dan Sakha sekarang berada di ruang kerja Ronald. Dengan tatapan nyalang Ronald menatap keduanya kecewa."Aku tahu kalian saling mencintai, tapi apakah sopan melakukan tindakan seperti itu di acara pernikahan orang lain." Liana yakin semua orang pasti berpihak pada Alena yang acaranya dibuat berantakan dengan kelakuan Liana dan Sakha.Keduanya memilih diam tidak menjawab, berharap salah satu dari mereka yang menjawab tapi seperti sudah di setting, kali ini mereka kompak untuk diam."Apa kalian tidak punya mulut untuk menjawab, hah!" Nada tinggi itu membuat Sakha terlonjak kaget, berlainan dengan Liana yang tampak tenang mendengar amarah papanya itu."Maaf Om," ucap Sakha. Dia berusaha untuk meredakan panas yang sudah menjalar itu."Maaf Pa, aku tidak akan mengulanginya lagi." Liana mengepala tangannya, namun tetap berusaha tenang.
Pernikahan yang mewah dan berkelas itu sangat mengharukan dan penuh dengan suka cita. Pengantin yang sangat serasi membuat siapa saja memperhatikan serta memuji keserasian mereka."Well, mereka memang serasi dalam merusak hati orang," ujar Liana. Sakha yang duduk di sampingnya menatapnya."Maksudmu?" Pria itu menghentikan sesi cicip cicip makanan yang enak ini. Hidup cukup tidak membuatnya makan enak setiap hari, hanya sesekali saja dia makan enak, itu pun kalau sedang awal bulan dan berkumpul dengan teman-temannya."Makan saja, jangan pedulikan aku."Selain pengantin yang menjadi sorotan, Liana pun jadi bagian. Dia mendapat cerita miring karena dilangkahi oleh adiknya sendiri.Hidup dengan perkataan orang memang menyulitkan, tapi untuk masalah ini Liana tidak peduli.Selain karena belum menikah, pakaiannya hari ini juga mencuri perhatian, dress panjang tanpa lengan, denga
2 hari sebelum resepsi dilakukan, Alena ingin melakukan family time. Awalnya tidak akan mengajak Sakha, tapi karena Liana mengatakan kalau dia akan ikut jika Sakha ikut juga, akhirnya Alena mengalah.Saat keluarga Rodriguez itu berada di pantai sambil menikmati hidangan seafood yang tampak sedap itu, Liana malah sibuk menyiapkan apapun yang disukai oleh keluarganya.Sakha yang melihat kesibukan Liana itu menghampirinya, membantunya menyiapkan apa yang Liana inginkan."Kamu kenapa tidak makan dari tadi?" tanya Sakha sambil membolak-balik seafood di atas panggangan."Alergi," jawab Liana singkat. Lalu meninggalkan Sakha dan memberikan hidangan itu pada keluarganya yang sedang bermusik ria.Meski hidup berdampingan dengan dunia gelap, mereka masih punya rasa ceria untuk merayakan sesuatu tentunya. Bukan keluarga yang kaku, bahkan senyum pun sulit.Sakha dengan cepat bisa berb
3 orang memasuki mobil yang sama, mereka akan menuju suatu tempat yang mungkin akan lama di sana.Liana, Sakha dan Alena berada dalam 1 mobil dengan atmosfer yang terasa semakin dingin jikalau Alena tidak terus-terusan bertanya ini itu. Gadis itu baru saja kembali ke tahan air setelah lama mengenyam bangku pendidikan di Seattle.Lalu dia bekerja sebagai pengacara selama 3 tahun di Seattle, setelah itu dia memilih kembali ke tanah air, dengan tujuan untuk menikah dengan tunangannya."Jadi kamu pengacara? Kasus apa yang menurut kamu sulit banget?" tanya Sakha pada Alena sambil fokus menyetir, sedangkan Liana hanya melalukan pekerjaannya sebagai pendengar."Semua kasus itu sulit, tapi yang paling sulit itu waktu aku jadi pengacara ada kasus seorang pengusaha, dia dituduh melakukankorupsi, pembunuhan dan pelecehan seksual. parah banget deh. Sebenarnya aku juga tidak mau mengambil kasus itu, kasus itu jat