:-)
Ucapan Lewis meninggalkan sebuah perasaan yang aneh di dalam hati Ralin. Perasaan yang membuatnya tidak bisa tidur hingga selarut ini. Dia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini. Ketika tangan kanannya menyentuh tepat di dada, rasanya benar-benar ada yang tidak beres. "Kenapa aku begini?"Kepalanya menggeleng dan menghela nafas panjang."Pasti ini cuma karena Pak Lewis terlalu baik saat aku butuh pertolongan. Ini nggak benar. Ini nggak boleh diterusin, Ralin. Nggak boleh." Gumamnya sendiri.Ralin kemudian kembali ke kamar dan menutup pintu balkon. Dipandanginya Levi yang tertidur begitu lelap. Wajah tuan muda kecil itu begitu mirip dengan Lewis. Lalu ia mencuri ciuman di pipi yang sama ketika Lewis tadi mencium Levi. Ralin kembali menegaskan pada diri dan hatinya apa yang menjadi tugasnya. Bukan berangan-angan tentang Lewis terlalu tinggi. Tuhan menciptakan laki-laki sebagai makhluk paling indah. Dan Lewis salah satunya. Kedekatan interaksi mereka karena Levi adalah pemicunya
"Lew, Bunda pernah muda. Pernah punya pasang surut hubungan sama Ayahmu." "Lalu?" "Zaylin udah lama pergi. Apa kamu nggak kesepian?" 'Siapa itu Zaylin? Apakah dia mantan istri Lewis?' Batin Ralin. Lewis menarik tangan dari genggaman Ibundanya lalu menghela nafas panjang. "Bunda, sekali lagi aku tegasin. Kalau aku nggak butuh wanita." "Untuk saat ini." Ibundanya masih saja mendebat Lewis yang belum mau membuka hatinya. "Dan selamanya." Tegas Lewis. "Astaga, Lewis. Jangan bilang gitu!" ucap Ibundanya dengan nada tidak suka. Ralin makin penasaran dan meneruskan sesi menguping itu. "Bunda, Levi itu anak spesial. Perilakunya nggak kayak anak pada umumnya. Pertanyaanku, kalau Ibu kandungnya aja pergi ninggalin dia, perempuan mana yang bisa tahan sama dia?" Mulut Ralin membola lalu ia segera menutupnya dengan telapak tangan kanan. Dia tidak menyangka jika karena kekurangan Levi, kemudian Ibunya lebih memilih pergi meninggalkan. Padahal kekurangan Levi masih bisa diperbaiki.
Ralin tidak menatap kehadiran Lewis dan Kamilia di dekat kolam. Dia menyibukkan diri dengan menjaga Levi yang sedang asyik berjalan-jalan di bagian kolam renang yang hanya sebatas mata kaki. "Levi aktif banget ya, Den Mas?""Iya. Kadang kelewat aktif.""Itu biasanya dipicu dari makanan atau minuman yang dilarang.""Iya."Ralin sebenarnya tidak ingin mendengarkan obrolan mereka. Namun bagaimana lagi, jarak mereka tidaklah jauh. "Tapi anak istimewa kayak Levi pasti punya kelebihan, Den Mas. Dan kelebihannya itu harus dipantik, nggak bisa cuma ditunggu kapan munculnya."Tatapan Lewis kesana kemari dan mengangguk seadanya. Kemudian ia menunduk dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Ada apa, Den Mas?"Lewis kemudian menoleh ke arah Kamilia dengan wajah bingung. "Kenapa?" Tanyanya kembali. "Aku perhatiin Den Mas dari tadi kayak nggak lepas. Kita ngobrol biasa aja. Kita jalani perkenalan ini dengan santai biar nggak tertekan."Lewis menghela nafas panjang lalu menganggu
Teguran yang Lewis berikan, membuat Ralin menyadari satu hal. Bahwa pria itu tidak ingin siapapun memaksa Levi.Dia benar-benar mengutamakan kenyamanan Levi ketimbang sibuk memikirkan Ibu baru untuk putranya. Dan Ralin tidak mau kembali membuat kesalahan dengan membiarkan Kamilia mendekati Levi secara paksa.Esok pagi harinya, saat Lewis dan Levi sarapan, tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.Lewis segera menghentikan sarapan lalu menatap Ralin yang duduk di sebelah Levi. Mengajari putranya itu melahap sarapan."Apa itu Kamilia?""Saya tidak tahu, Pak."Cara bertanya Lewis sudah menunjukkan rasa tidak suka."Kalau itu memang dia, saya nggak mau Levi dipaksa akrab. Bu Ralin saya beri hak untuk melarang Kamilia seenaknya pada Levi. Termasuk memaksa Levi agar mau begini begitu."Ralin mengangguk paham."Iya, Pak. Saya minta maaf untuk kesalahan saya yang kemarin.""Saya maklumi, karena Bu Ralin pasti takut melarang Kamilia."Tidak salah lagi! Ralin mana mungkin berani melarang Kamilia jika
"Dia .... "Ibunda Lewis tidak meneruskan ucapannya. "Astaga. Sudahlah, Bu Ralin. Itu masa lalu."Sebenarnya Ralin ingin sekali mendengar penjelasan dari Ibunda Lewis tentang pernikahan Lewis. Tapi, apalah daya jika sang nyonya besar memilih untuk urung bercerita. Akhirnya Ralin menemani Levi menghabiskan energinya dengan bermain di taman hingga sore hari dengan sejuta pikiran. Sedang Ibunda Lewis memilih menyiapkan makan malam kesukaan Lewis.Meski berkali-kali Ralin berusaha melupakan perasaannya pada Lewis, namun benih-benih cinta di hatinya tetap tumbuh. Termasuk keingintahuannya tentang masa lalu Lewis bersama mantan istri. Secantik apakah ia hingga Lewis begitu menggilainya?Ralin menggelengkan kepala kemudian memilih untuk mengajari Levi belajar mandi sendiri. Tugasnya adalah untuk mendidik Levi, bukan untuk mengagumi sang majikan. Tepat pukul tujuh malam, saat Levi makan malam, Lewis tiba di rumah. "Bunda udah lama?" Tanya Lewis lalu mencium pipi Ibundanya. Pria itu tetap
"A ... apa, Pak?" Ralin hampir lupa bagaimana cara bernafas ketika Lewis menawarkan pernikahan yang tidak pernah berani ia bayangkan. "Menikahlah dengan saya."Sekujur tubuh Ralin terasa meremang mendengar ucapan Lewis. Pandangan Ralin hanya tertuju pada diri Lewis. "Me ... menikah?" Ralin menegaskan barangkali salah dengar. "Iya."Malam itu, ketika Ralin sedang berbicara dengan pemilik semesta, tentang perasaannya pada Lewis, apakah malaikat benar-benar mencatat harapannya menjadi doa?Dan secepat ini kah?"Maaf kalau ini mendadak sekali, Bu Ralin. Tapi ... saya nggak ada pilihan."Lewis menatap Levi yang sedang asyik menata toples berisi makanan ringan yang ada di meja ruang tamu layaknya gerbong kereta api. "Nggak mudah mengasuh apalagi mendidik anak berkebutuhan khusus kayak Levi. Dan sejauh ini, hanya Bu Ralin yang cocok dengan Levi.""Saya pribadi, lihat Levi bahagia itu sudah cukup. Lagi pula kesibukan saya di pabrik udah menyita waktu bahkan waktu ketemu Levi kadang nggak
Hati Ralin tidak karuan bahagianya karena dia berjalan sambil bergandengan tangan dengan Lewis. Memakai gaun dan make up yang indah. Seperti seorang putri sesungguhnya dengan pangeran tampan rupawan. Dan Levi berada dalam gendongan Lewis.Ralin seakan-akan memiliki keluarga bahagia yang selama ini diimpikan. Senyum yang tercetak di bibirnya, bukan sebuah paksaan. Melainkan ungkapan atas euforia hatinya yang benar-benar bahagia. Meski semua ini hanya di atas kertas, hanya sebuah drama penuh kebohongan, hanya ilusi nan sesaat, tapi cintanya untuk Lewis itu nyata. Kasih sayangnya untuk Levi itu tulus. Hanya saja Lewis yang tidak menyadari hal itu. Biarlah Ralin menikmati sandiwara ini sebelum semuanya berakhir. Biarlah dia merasakan indahnya bermimpi meski setelah ia terbangun semuanya sudah tidak lagi sama. Tidak seperti yang ia harapkan.Setidaknya Ralin pernah memiliki keluarga bahagia yang begitu singkat. "Selamat siang, Den Mas Lewis. Silahkan masuk."Seorang pelayan membukakan
"Kalau kalian udah kenal dari SMA, harusnya lebih mudah untuk saling mengenal setelah menikah.""Ayah, dulu kami cuma sebatas teman. Apa Ayah nggak bisa bilang Bunda untuk ngundur pernikahan kami?" Lewis meminta. Ralin yang duduk di sebelah Lewis hanya bisa menunduk dan terdiam. "Lewis, apa yang Bundamu bilang itu --- "Duk!Ternyata Levi turun dari sofa dengan melompat dan hampir saja menyenggol guci yang berdiri di sebelahnya."Levi! Duduk!" Perintah tegas Lewis.Tapi Levi tidak menghiraukan dan berlari ke ruang tengah. "Levi! Dengarkan Ayah!"Karena Lewis sedang berbicara dengan Ayahnya dan Levi tetap harus diawasi, akhirnya Ralin memilih mengikuti kemana Levi melangkah. "Lew, apa aku boleh undur diri untuk nemenin Levi?"Lewis mengangguk dan Ralin pun menarik diri dengan sopan dari hadapan Ayahnya Lewis. Setidaknya Ralin beruntung bisa terhindar dari berbagai macam pertanyaan Ayahnya Lewis yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia sangat takut bilamana salah menjaw
Tidak ada yang lebih diinginkan oleh sepasang insan yang saling dimabuk cinta selain bertemu. Ya, sejak mantap untuk memberi Zaylin kesempatan kedua memperbaiki hubungan rumah tangga mereka yang sempat kandas, Lewis selalu menyempatkan diri mengirim pesan berisi perhatian. Dan Zaylin pun melakukan hal yang sama. Cinta yang dulu Lewis perjuangkan seorang diri, sekarang terasa begitu ringan karena Zaylin pun ikut memperjuangkannya.Jika dulu Lewis berusaha mati-matian membuat Zaylin mencintainya, berusaha mati-matian menghapus nama Luis di dalam hati istrinya itu, bahkan berusaha menjadi seperti yang Zaylin pinta, sekarang semua itu berbalik arah.Zaylin mencurahkan perhatiannya kepada Lewis selayaknya ia saat mencitai Luis. Dulu.[Pesan untuk Lewis : Maaf baru balas, Mas. Aku baru selesai masak cornish pasty sama steak and kidney pie. Kamu mau mampir buat cobain nggak?]Zaylin sudah merubah panggilannya untuk Lewis seperti mereka masih menjadi suami istri.Kemudian Lewis melihat jam
Satu bulan yang lalu ..."Sekian rapat hari ini. Semangat inovatif, komitmen, dan kerja keras. Terima kasih."Lewis menutup rapat umum pemegang saham dengan senyum kelegaan karena kerja kerasnya terbayar dengan naiknya laba perusahaan. Hal itu sekaligus membuktikan pada kembarannya, Luis, keluarga, dan orang-orang yang memandang remeh dirinya jika ia juga bisa unggul seperti Luis. Bahwa Lewis juga bisa menjalankan roda bisnis keluarga.Bukan hanya berkutat dengan dunia seni yang dipandang tidak memiliki nilai besar dalam menopang kehidupan. Kemudian David berjalan mendekat dan berbisik. "Pak, ada tamu.""Siapa?""Nyonya."Lewis kemudian menoleh setelah menutup laptopnya. "Ralin?" Tanyanya dengan menautkan kedua alis. Lewis setengah tidak percaya jika Ralin tiba-tiba datang ke pabrik. Padahal Lewis tidak pernah menunjukkan dimana pabrik berada pada istri sandiwaranya itu."Bukan, Pak.""Lalu? Siapa?"Rasa penasaran Lewis terkulik karena David biasanya memanggil Ralin dengan sebuta
Wanita itu sangat cantik dengan penampilan rapi dan elegan khas perempuan karir. Kulit putih wajahnya membuat make up tipis yang dikenakan terasa pas. Dan rambut panjangnya yang sedikit bergelombang itu terurai indah.Sadar jika sang nyonya yang sesungguhnya telah kembali, kemudian Ralin turun dari ranjang dan berdiri sambil menundukkan pandangan. Meski dirinya adalah istri sah Lewis, tapi pada kenyataan statusnya tetaplah baby sitter Levi. "Ini Ralin. Dia yang biasa merawat Levi. Kamu bisa belajar dan tanya banyak hal ke dia."Jika dilihat dari dekat, Lewis memang sangat cocok berdampingan dengan Zaylin. Mereka setara dan saling melengkapi. Pantas jika Levi terlahir dengan paras yang tampan pula. Tidak ada jabat tangan diantara Ralin dan Zaylin karena wanita itu hanya tersenyum tipis ke arah Ralin lalu menghampiri Levi seraya membawa mainan kesukaan Levi. Puzzle. "Levi udah makan?" Tanya Zaylin.Kepala Levi mengangguk dan tangannya bergerak membuka pembungkus puzzle. Lalu ia menci
Lewis seperti enggan untuk bercerita namun Ralin tetap setia menatap pria itu. Menunggunya menjelaskan asal muasal perceraian mereka di masa lalu. Hingga menimbulkan pertentangan keras dari Ibunda dan Ayahnya Lewis. Karena setahu Ralin, kedua orang tua Lewis itu sangat baik, hangat, dan mengayomi anak-anaknya. Dan rasanya tidak mungkin mereka tiba-tiba membenci Zaylin tanpa ada sebab yang kuat. Kemudian Lewis mengulurkan kelingking kanannya lalu Ralin balas menautkan kelingkingnya."Janji. Jangan obral rahasia ini ke orang lain.""Iya."Lewis melepas tautan kelingking mereka dan menatap Ralin di keremangan lampu. "Aku dan Mas Luis bersahabat baik sama Zaylin. Bahkan waktu menempuh pendidikan ke Inggris, kami selalu bareng-bareng, Lin."Ralin memasang pendengarannya baik-baik. Jangan sampai satu kata pun tak terdengar jelas olehnya. "Pelan tapi pasti, aku jatuh hati padanya. Tapi Zaylin justru jatuh hati sama Mas Luis. Aku nggak bisa bilang apa-apa, kecuali merelakan mereka bersatu
Ralin menurut kemudian duduk di ujung sofa tanpa mau menatap Lewis. Menurutnya corak lantai jauh lebih menarik dari pada menatap wajah Lewis. Di malam yang benar-benar hening itu ditemani lampu kamar yang temaram, Ralin menunggu Lewis membuka suara. Namun selama beberapa menit berlalu, pria itu masih tetap diam. Dan Ralin benci dengan suasana seperti ini. "Lin?"Akhirnya pria itu bersuara. "Ya?" ucapnya tanpa mau menatap Lewis. "Maaf."Kepala Ralin mengangguk pelan sembari menatap lantai.Satu hal yang membuat Ralin salut pada Lewis. Pria itu mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Tak peduli setinggi apapun status sosialnya. "Aku ... aku tahu aku salah. Maaf.""Iya."Memangnya apa yang bisa Ralin katakan selain memberi Lewis maaf?Lagi pula jika ia tidak memberi maaf, masalah ini akan terus berlaru-larut dan Ralin sendiri yang akan stres. "Aku kelewat batas, Lin. Aku nyesel udah maki-maki kamu kayak tadi."Ralin mengangguk dan kembali berkata ... "Iya, Den Mas."Mendengar j
“Beliau sudah pulang, Nyonya.”“Jangan panggil aku Nyonya, Vid! Yang pantas kamu panggil Nyonya itu Zaylin! Bukan aku!”Secara tidak sadar Ralin menunjukkan kekesalannya sekaligus ... kecemburuannya.“Maaf, Lin.”“Iya.”Kemudian David melirik tas yang Ralin bawa.“Kamu bawa apa?”“Pakaian ganti Den Mas sama Levi. Apa kamu malam juga ikut nginep disini?”“Nggak. Pak Lewis bilang kalau kamu udah datang, aku bisa pulang.”Ralin kemudian mendesah panjang nan lelah sambil bersedekap dan menyandarkan punggungnya di kursi.“Kenapa?”“Males aja.”“Lin?”“Apa?”“Kalau kamu nggak ada rasa ke Pak Lewis, kenapa mesti males ketemu beliau?”Deg!Ralin merutuki kebodohannya yang kentara sekali jika dirinya menyukai Lewis. Kecemburuannya yang tidak disembunyikan secara rapi akhirnya terbaca juga oleh David.Kemudian Ralin tertawa hambar untuk menutupi kebodohannya.“Ya ampun, Vid. Aku ini cukup sadar diri sama posisiku yang cuma jadi baby sitternya Levi. Nggak lebih. Kamu aja yang mikirnya kepanjangan
David sudah pergi dari kamar rawat Levi sejak tiga jam yang lalu.Namun air mata Ralin masih merembes perlahan sembari memangku Levi. Tidak ada isakan yang keluar dari bibirnya meski hatinya hancur berkeping. Bagaimana tidak, benih cinta yang sempat tumbuh di hatinya untuk Lewis, kini harus dimusnahkan. Lewis telah menemukan wanita yang ia cintai dan sebentar lagi mungkin akan menjadi ibu untuk Levi. Ralin tidak mungkin terus menerus mempertahankan cinta yang tidak seharusnya. Dan disisa statusnya sebagai ibu tiri Levi, dia akan memenuhi hati putra tirinya itu dengan cinta dan kasih yang membuatnya ingat bahwa Ralin pernah ada menemani hari-harinya. Kemudian Levi yang tadi tertidur di atas pangkuan Ralin, bergerak pelan dengan mata mengantuk. Ralin buru-buru menghapus air matanya. "Hai jagoan, Ibu. Haus?"Kepala Levi mengangguk dengan menatap Ralin. Kemudian tangan Ralin mengambil air putih yang ada di nakas kamar rawat inap Levi dan meminumkannya. Dengan kondisi sakit seperti in
Seperti biasanya, Lewis berangkat sangat pagi sekali.Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kalaupun ada meeting, dia hanya akan berangkat sangat pagi sesekali saja. Bukan berurutan terus menerus seperti ini. Lalu ia mengirim pesan untuk membawakan Levi baju ganti dan akan menjemputnya usai sekolah. Perilaku Levi tetap sama seperti hari kemarin.Berlarian kesana kemari dengan membawa sesuatu di tangannya tanpa kenal lelah. Menggumam tanpa arti bahkan sulit tidur jika tidak diberi obat. Jika Ralin berusaha memperbaiki keadaan Levi tapi tidak dengan Lewis yang membebaskan segalanya, ia bisa apa?Lewis juga sulit sekali ketika Ralin hendak mengajaknya berbicara tentang Levi. Hingga tiba pada satu malam, Levi pulang bersama Lewis. Bocah itu terlihat tidak bersemangat dan tidak aktif. Ketika Ralin akan mengajarinya kembali melahap menu sehat, bocah itu tertidur di lantai dengan mata sayu. Saat tangannnya meraih Levi, ada sesuatu yang tidak beres."Lev, kamu demam?"Tangannya
"Nyonya, tolong. Lebih baik anda pulang dulu. Nanti setelah Pak Lewis sudah di rumah, anda bisa membicarakan hal ini dengan beliau.""Den Mas selalu pulang malam, Vid. Aku mau bicara dia udah ngantuk.""Saya akan memberitahu beliau tentang hal ini, Nyonya. Agar nanti malam beliau bisa meluangkan waktunya untuk berbicara dengan Nyonya."David tetap pada posisinya dengan menghalangi jalan Ralin. Kemudian Ralin menatap kembali kaca mobil Lewis yang benar-benar gelap. Hingga ia tidak bisa melihat secuil pun keberadaannya di dalam mobil. "Kalau aku nggak kamu bolehin nemui Den Mas, tolong suruh Den Mas keluar dari mobilnya biar kami bisa bicara." Ralin berusaha bernegosiasi karena tidak tenang melihat perilaku Levi yang terlalu aktif. "Baik, akan saya sampaikan. Tolong Nyonya tetap disini.""Oke."Tetap disini?Sebegitu privasinya hingga Ralin tidak diizinkan menemui Lewis.David berbalik menuju pintu mobil yang berada di sisi kanan. Ketika jendela pintu itu dibuka, Ralin yang berada di