"Bukannya Mas Fikri yang merekayasa kebohongan? Mas lihat saja video itu! Apa Mas Fikri masih mau mengelak juga?" "Ini Pak Fikri, silahkan anda lihat video ini. Saya tidak kuat melihatnya. Tapi di video itu memang jelas pelakunya anda, Pak," ucap mediator sambil senyum-senyum lalu mengarahkan handphoneku pada Mas Fikri. Matanya terbelalak, mukanya memerah seketika, menyaksikan adegannya sendiri bersama Kartika digazebo malam itu, "Apa yang kamu lakukan, Tiara?! Jadi malam itu kamu membuntutiku dan mengintip kami, Tiara?!"Iya, aku tidak pernah tertidur saat Mas Fikri meninggalkan kamar. Masih mau mengelak, Mas? Mau aku tunjukkan bukti lain biar Mas Fikri puas melihat adegan Mas Fikri dengan perempuan yang katanya tidak mas cintai itu!" Aku menscrool video di galeri. Kutunjukkan langsung ke mata Mas Fikri supaya moderator tidak melihat adegan panasnya bersama Kartika di kamar. Termasuk adegan saat subuh ketika mereka melanjutkan adegan panasnya yang terhenti karena kugerebek malam i
Ditipu Mertua dan Suami Part 33Mobil akhirnya sampai di depan rumah Ibu. Mas Fikri menyuruhku turun, " Ayo Tiara, turun. Bisa jalan, kan? Nggak usah pakai kursi roda." "Aku nggak mau turun! Antarkan aku ke rumah sakit, Mas! Bayiku membutuhkan Asiku!" bentakku yang masih kesal dan hancur lebur karena kehilangan handphone. "Tidak usah banyak alasan kamu, Ra! Karena kamu pengin ketemu dokter itu, kan? Soal ASI, itu gampang. Kamu bisa memerasnya di rumah biar ASI nya kuantar ke rumah sakit," ucapnya sambil menarik tanganku dengan paksa."Lepaskan, Mas! Aku tidak mau masuk ke rumah itu!" Dengan berurai air mata, aku terus melawannya dan berniat lari tapi kekuatanku yang belum pulih tidak bisa melawannya.Kakiku lemas dan gemetar karena ini pertama kalinya aku jalan setelah pendarahan waktu melahirkan dan koma. Bahkan sampai sekarang darah nifasku masih keluar begitu deras."Tolong, Mas, jangan ditarik tanganku! Aku belum kuat jalan cepat! Lepaskan!" Tapi Mas Fikri tak peduli dengan rin
Dan begitulah hari hariku, aku di kurung di kamar ini, sama sekali tidak boleh keluar dari kamar dan tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar. Hanya bisa menangis dan mengadu padaNya. Bahkan kaca jendela yang sempat memberiku harapan ternyata juga sudah dipasang plang kayu dari luar oleh Mas Fikri. Jendela itu tidak bisa dibuka. Aku mencoba berdamai dengan keadaan, keluar dari keterpurukan, mendekatkan diri padaNya. Untuk mengisi waktu dan kejenuhan, aku pun mencoba menumpahkan semua isi hati dalam tulisan, mengurai kisah dan beban hidupku dalam buku yang tadi kutemukan di lemari. Lumayan bisa menghibur diri sendiri. Ternyata menulis itu bisa menjadi ajang refreshing, menghilangkan rasa penat.Sampai seminggu kemudian, disaat aku harus datang ke Pengadilan Agama untuk sidang kedua, Mas Fikri tidak mengijinkanku untuk datang."Aku yang akan datang, Ra. Kamu tetap di sini. Aku akan bilang kamu berhalangan datang karena sakit. Aku sudah mencari surat ijin dari dokter yang menyatakan ka
POV Fikri "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Fikri? Itu bayimu kamu bawa pulang?" Dengan mata berbinar menghampiriku."Iya, Bu. Cucu Ibu sudah sehat. Sudah boleh dibawa pulang." "Tapi, Fikri ...." "Tapi kenapa, Bu? Ibu nggak senang dengan kehadiran satu satunya cucu Ibu di rumah ini?""Ibu sangat bahagia sekali. Masalahnya siapa yang mau ngasuh? Ibu mana sanggup ngasuh 3 balita ditambah 1 bayi." "Kan ada Tiara, Bu. Anakku jadi tanggung jawab Tiara. Ibu tidak perlu repot ikut mengurusi. Ibu fokus saja ngasuh anak-anak Kartika." "Ya itu masalahnya, Fikri. Tiara kabur dari rumah ini!" "Hah? Bagaimana bisa, Bu?! Pintu kan terkunci dari luar." "Tadi Ibu ke warung sebentar nganter Vania jajan. E ... kata Randi, Tiara teriak-teriak manggil Ibu suruh buka pintu. Katanya sakit dan butuh obat. Akhirnya pintunya dibuka sama Randi dan Tiara pergi. Kata Randi, budhe Tiara mau periksa ke rumah sakit." "Sakit apa, Tiara, Bu? Perasaan tadi pagi Kutinggal masih baik-baik saja." "Halah, pal
POV Fikri "Sudah kubilang, Mas! Jangan menyentuhku!" Teriaknya sewot yang justru terlihat semakin menggemaskan dengan mukanya yang terlihat sedikit cubby setelah melahirkan. Kenapa aku merasa seperti orang kasmaran begini. Sayangnya aku belum bisa menyentuhnya. "Iya, Ra, nggak, kok. Aku hanya pengin meluapkan rasa sayangku padamu. Sekali lagi makasih, ya, Ra, sudah memberiku seorang malaikat kecil yang lucu begini." Perasaan sayangku yang sebenarnya pengin kulampiaskan pada Tiara lebih dari sekedar mencium keningnya. Tidak, jangan terburu-buru, Fikri. Aku berusaha menahannya. Akhirnya hanya bisa kulampiaskan pada Adam. Kuusap jemari Adam yang halus, gemas pengin nguwel-nguwel. Tubuhnya menggeliat lalu menangis kencang. "Cup ... cup ... cup. Adam haus ya. Lapar ya, sayang. Nenen ya." Sebelum diusir Tiara, aku lebih baik menyingkir dari kamar selain juga takut tidak bisa mengendalikan nafsuku melihat Tiara menyusui."Kamu susuin dulu Adam, Ra. Aku mau ke Mesjid dulu. Oh iya pesan d
Sambil memangku Adam yang tertidur pulas, aku mencoba rileks menikmati pemandangan hamparan sawah di luar jendela kaca kereta setelah ketegangan yang aku alami seharian ini tadi. Alhamdulillah, bersyukur akhirnya aku bisa kabur dari rumah itu. Rencana yang sudah kusiapkan dengan matang sebelum aku kembali ke rumah Ibu kemarin. Sepulang dari rumah sakit, setelah tahu bahwa bayiku dibawa Mas Fikri pulang, aku langsung menuju konter HP, membeli handphone second yang masih layak pakai. Setelah itu aku baru memesan taxi online menuju rumah Ibu. Aku menawarkan kerjasama dengan sopir taxi."Pak, bisa nggak, kalau besok saya hubungi bapak untuk pesan taxi ini?""Bisa, Neng. Mau jam berapa, Neng?""Bapak standby di dekat rumah saya pagi sekitar jam 8 an ya, Pak. Saya minta nomor handphone Bapak. Nanti kalau sudah siap saya khabari." "Iya, Neng. Ini, Neng, nomor handphone saya." Bapak itu menyerahkan kartu nama padaku."Tapi saya juga mau minta tolong, Pak.""Minta tolong apa, Neng? Kalau bis
"Bu Tiara tinggal di sini saja sama Adam. Fiona masih pengin main sama Adam. Papa kapan menikah dengan Bu Tiara dan kita bisa bobok bareng sama Dik Adam?" Kutundukkan wajah dalam-dalam tak sanggup menatap Fiona dan anak-anak apalagi menatap Dokter Rasyid."Nanti ya, Fiona. Semua kan butuh proses. Kudu dipersiapkan matang-matang. Fiona harus sabar dan berdoa terus ya semoga Papa bisa segera menikah dengan Bu Tiara." Ya, Allah, ya Rabb, berilah hamba petunjuk kemana hamba akan melangkah. Tak sengaja akhirnya aku terjebak pada janjiku sendiri."Papa, Fiona pengin les lagi sama Bu Tiara.""Galang juga.""Iya, Pa, Kirana juga butuh guru les, matematikanya yang sekarang susah.""Kemarin-kemarin Papa tawarin guru les katanya pada nggak butuh.""Kan penginnya Bu Tiara yang ngajar," ucap Kirana."Iya, tapi Bu Tiara sekarang sudah punya Adam. Mana ada waktu ngasih les.""Kalau berkenan, saya mau, Dok, ngasih les ke anak-anak lagi. Saya butuh pekerjaan. Tapi saya minta ijin ngajarnya bawa anak.
Setelah berhasil lepas dari ikatan pernikahan, aku mulai menata kembali hidupku bersama Adam. Mengawali semuanya dari 0. Semua kulakukan sendiri. Dari mengurus Adam, mengurus rumah sampai mencari nafkah. Sebuah perjalanan yang awalnya terasa begitu berat, merasa tak yakin bisa menjalaninya. Aku yang tak punya pengalaman mengurus bayi tapi sekarang harus bisa sendiri, tak ada seorang Ibu atau saudara yang mendampingi apalagi suami yang bisa diajak berbagi beban. Seperti pagi ini, setelah Adam kujemur saatnya pertama kali aku harus memandikannya di bak mandi. Kemarin-kemarin memang aku cuma menyekanya dengan waslap yang dibasahi air karena masih takut mau memandikan. Dengan tangan gemetar kutaruh tubuh Adam di bak mandi."Jangan gerak-gerak ya, Dik, Ibu takut ini." Pelan-pelan mulai kubersihkan badannya lalu wajahnya, keringatku sampai bercucuran karena tegangnya.Tiba-tiba Adam nangis mungkin karena kedinginan," aku mulai panik, "Sabar, Dam, sebentar lagi selesai." Buru-buru kuangk