Setelah berhasil lepas dari ikatan pernikahan, aku mulai menata kembali hidupku bersama Adam. Mengawali semuanya dari 0. Semua kulakukan sendiri. Dari mengurus Adam, mengurus rumah sampai mencari nafkah. Sebuah perjalanan yang awalnya terasa begitu berat, merasa tak yakin bisa menjalaninya. Aku yang tak punya pengalaman mengurus bayi tapi sekarang harus bisa sendiri, tak ada seorang Ibu atau saudara yang mendampingi apalagi suami yang bisa diajak berbagi beban. Seperti pagi ini, setelah Adam kujemur saatnya pertama kali aku harus memandikannya di bak mandi. Kemarin-kemarin memang aku cuma menyekanya dengan waslap yang dibasahi air karena masih takut mau memandikan. Dengan tangan gemetar kutaruh tubuh Adam di bak mandi."Jangan gerak-gerak ya, Dik, Ibu takut ini." Pelan-pelan mulai kubersihkan badannya lalu wajahnya, keringatku sampai bercucuran karena tegangnya.Tiba-tiba Adam nangis mungkin karena kedinginan," aku mulai panik, "Sabar, Dam, sebentar lagi selesai." Buru-buru kuangk
"Siapa orang baik itu, Bu Tiara?""Dokter Fikri, rekan kerja Dokter Rasyid." "Baik, kita juga akan hadirkan Dokter Fikri di sidang itu sebagai saksi." "Ibu tahu dimana Pak Angga di penjara?""Saya tidak tahu, Pak. Dokter Fikri yang mengurus semuanya." "Baik, Bu Tiara, saya akan urus semuanya. Ibu Tiara tenangkan pikiran saja ya. Persidangan berikutnya Ibu Tiara harus dalam keadaan fit karena mungkin akan berat.""Saya akan hadir langsung di persidangan itu, Pak. Dengan video call saya tidak bisa maksimal memaparkan kebenaran. Saya akan melawan mereka, saya harus memperjuangkan kebenaran.""Ibu yakin itu tidak akan merepotkan Bu Tiara?""Saya yakin, Pak. Justru saya tidak tenang kalau saya tidak hadir. Saya yakin mereka akan melawan saya dengan gigih." "Baik kalau begitu. Nanti kita pastikan Ibu Tiara mendapat pengawalan yang sangat ketat untuk menghindari kejadian seperti dulu terulang lagi.""Baik, Pak Mahendra, terima kasih banyak." "Sama-sama, Bu." Pak Mahendra menutup telepo
Sampai di Pengadilan Agama, ternyata sidang sudah dimulai. Aku dan Dokter Rasyid masuk. Dokter Rasyid duduk di kursi belakang deretan paling depan. Ada Ibu Mas Fikri yang duduk di situ juga. Ternyata dia juga hadir di persidangan ini. Aku pun maju ke depan menuju kursi di sebelah Pak Mahendra yang berhadapan langsung dengan Majelis hakim. Tampak di disisi kanan yang menghadap kami, kursi para saksi. Sudah ada Mas Fikri yang sedari tadi menatapku tajam. Sebelahnya ada Mbak Arum, mata kami sempat bersirobok sesaat, tapi tatapan Mbak Arum masih seperti dulu, penuh kebencian. Di sebelah Mas Fikri ada Mas Angga dengan tangan terborgol dan pengawalan ketat.Tidak ada Dokter Fikri di deretan kursi saksi. Apa mungkin dia membatalkan kedatangannya untuk jadi saksi. "Baik, karena Saudara penggugat sudah datang maka saya persilahkan Ibu Tiara untuk melanjutkan penjelasan yang tertunda kemarin. Atau diulang saja dari awal ya, Bu, biar jelas.""Terima kasih, Yang Mulia." Aku pun berdiri. "Baik
"Saya Fikri Maulana Putra. Hubungan saya dengan Tiara adalah sebagai teman. Kebetulan Tiara adalah adik kelas saya waktu SMP dan kita dipertemukan kembali di kereta Jakarta Surabaya. Saat itu di sepanjang jalan Tiara menangis tanpa henti, bukti bahwa kepergiannya ke Surabaya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, membawa luka yang teramat dalam.""Baik, saudara Fikri Maulana, apakah benar anda menolong saudara Tiara waktu Saudara Angga berniat mengulangi perbuatannya di salah satu hotel di Jakarta?""Iya, Yang Mulia, benar sekali. Saat itu saya menelepon Tiara untuk menanyakan khabarnya, memastikan keadaannya baik-baik saja. Kebetulan saya tahu dia ada di hotel tapi tidak tahu dengan siapa. Dan di telepon, saya mendengar suara laki-laki yang tak lain saudara ipar Tiara, Angga. Dia berteriak jelas sekali. Saya membawa rekaman suaranya." Kemudian Mas Fikri mengeluarkan gadgetnya lalu memutar kembali rekaman itu."Buka pintunya, Ra! Atau kudobrak dan kuperkosa kamu seperti dulu bahkan
Ditipu mertua dan suami Part 38Ucapan Dokter Fikri dan sikap dinginnya membuatku kehilangan mood. Selama di dalam taxi perjalanan dari Pengadilan Agama ke bandara aku memilih diam."Ibu Tiara baik-baik saja?" Tanya Dokter Rasyid sambil menatapku dari samping seperti berusaha menjelajahi isi pikiranku, aku hanya mengangguk tanpa melihatnya."Dokter Fikri juga langsung pulang ke Surabaya, kan?" Tanya Dokter Rasyid lagi seolah tahu siapa yang ada di pikiranku saat ini, aku menjawabnya hanya dengan menggeleng tanpa sepatah kata."Bukannya tadi Bu Tiara ngobrol dengan beliau?" Tanyanya lagi sepertinya memang sengaja berusaha mengorek lebih dalam.Ko"Saya hanya mengucapkan terima kasih saja, Dok." jawabku seperlunya yang akhirnya bisa membuat Dokter Rasyid diam tidak bertanya lebih dalam.Sesampai di bandara, diam-diam pandanganku menjelajah di setiap sudut yang kami lalui, mencari orang yang sudah membuat perasaanku gundah sedari tadi. Sambil menunggu penerbangan yang masih di jam 5 So
"Nggak, Mbok, cuma duduk di pesawat nggak capek." Setelah meja makan bersih, aku berniat mengambil Adam di kamar, "Mbok, Adam tidurnya di mana? Tadi rewel nggak, Mbok?""Nggak rewel kok, Bu. Pinter Nak Adam. Nangisnya kalau pas minta susu saja. Tapi ya itu tidur pun direcokin Non Fiona sama Den Galang terus makanya saya taruh di kamar tidur tamu lalu saya kunci dari luar biar aman nggak diberisikin anak-anak. Saya ambil Adamnya ya, Bu."Belum juga aku beranjak, Dokter Rasyid datang menggendong Adam, "Gimana, Bu Tiara, Mbok Minah, masih pantes kan nggendong bayi?" tanyanya dengan senyum tipis menatapku."Masih pantes banget, Pak. Semoga secepatnya Pak Dokter Rasyid segera nambah momongan, ya.""Nyari istri dulu, Mbok. Mana bisa nambah momongan kalau belum punya istri.""Iya, itu maksud Mbok. Semoga secepatnya Pak Dokter Rasyid ketemu dengan jodohnya.""Aamiin, semoga jodohku yang ada di depan mata ini ya, Mbok," ucap Dokter Rasyid yang membuat Mbok Minah senyum-senyum melirikku.Dokte
"Kenapa Dokter bohong sama saya?" "Maaf, Bu Tiara. Bukan apa-apa, saya hanya ingin memberi surprise. Saya pengin Bu Tiara refreshing setelah sibuk mengurus perceraian.""Saya mau pulang, Dok!""Kenapa, Bu? Kita sudah sampai di sini, nggak enak kalau pulang. Ayolah, saya janji kalau nanti Bu Tiara merasa tidak nyaman, kita pulang lebih awal." Tiba-tiba Dokter Rasyid menggamit tanganku, kutepis seketika."Maaf, Bu, tidak sengaja, ingat saya, jalan sama istri." Ucapnya yang membuatku sedikit kesal. Kami pun masuk ke dalam banquet hall yang sudah didekorasi dengan sangat menawan dan seketika semua pasang mata tertuju pada kami seolah yang datang orang penting. Aku tak berani menatap mereka, memilih untuk menundukkan wajah dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Apakah salah satu pasang mata itu adalah Dokter Fikri? Ya Alloh bagaimana aku menghadapinya. Rekan-rekan Dokter Rasyid menghampiri kami, menjabat tangan Dokter Rasyid, " Wah, wah, ini, Dok, yang akhir-akhir ini jadi buah bib
"Hai, tunggu, Ra!" Dokter Fikri menghadangku, menatapku tanpa berkedip, " Kok matamu sembab begitu. Kamu habis nangis ya? Ada apa? Kamu bahagia kan, Ra, mau menikah dengan Dokter Rasyid?" Aku tak menjawab, justru terisak isak tak bisa menahannya mendengar pertanyaan Dokter Fikri.Lalu Dokter Fikri menarik lenganku, menyeretnya mengikuti langkahnya, "Lepas, Dok. Kita mau kemana?" Aku berusaha melepaskan diri."Kita perlu bicara banyak, Ra.""Disini saja, Dok, bicaranya!""Kamu mau aku jadi bahan perbincangan di rumah sakit karena menggoda calon istri Direktur utama?" Dokter Fikri menggandengku masuk ke dalam lift naik ke atas."Dok, kita mau kemana?" Tanpa menjawab, Dokter Fikri terus menggandengku keluar dari lift menyusuri lorong yang sepi lalu masuk ke dalam sebuah kamar."Ini kamar siapa, Dok?""Ini kamarku. Aku menyewa kamar karena aku menjadi panitia di persiapan acara itu. Dari kemarin malam sudah repot. Biar tidak bolak balik saja." "Ayo kita kembali ke tempat acara, Dok. Kas