"Nggak, Mbok, cuma duduk di pesawat nggak capek." Setelah meja makan bersih, aku berniat mengambil Adam di kamar, "Mbok, Adam tidurnya di mana? Tadi rewel nggak, Mbok?""Nggak rewel kok, Bu. Pinter Nak Adam. Nangisnya kalau pas minta susu saja. Tapi ya itu tidur pun direcokin Non Fiona sama Den Galang terus makanya saya taruh di kamar tidur tamu lalu saya kunci dari luar biar aman nggak diberisikin anak-anak. Saya ambil Adamnya ya, Bu."Belum juga aku beranjak, Dokter Rasyid datang menggendong Adam, "Gimana, Bu Tiara, Mbok Minah, masih pantes kan nggendong bayi?" tanyanya dengan senyum tipis menatapku."Masih pantes banget, Pak. Semoga secepatnya Pak Dokter Rasyid segera nambah momongan, ya.""Nyari istri dulu, Mbok. Mana bisa nambah momongan kalau belum punya istri.""Iya, itu maksud Mbok. Semoga secepatnya Pak Dokter Rasyid ketemu dengan jodohnya.""Aamiin, semoga jodohku yang ada di depan mata ini ya, Mbok," ucap Dokter Rasyid yang membuat Mbok Minah senyum-senyum melirikku.Dokte
"Kenapa Dokter bohong sama saya?" "Maaf, Bu Tiara. Bukan apa-apa, saya hanya ingin memberi surprise. Saya pengin Bu Tiara refreshing setelah sibuk mengurus perceraian.""Saya mau pulang, Dok!""Kenapa, Bu? Kita sudah sampai di sini, nggak enak kalau pulang. Ayolah, saya janji kalau nanti Bu Tiara merasa tidak nyaman, kita pulang lebih awal." Tiba-tiba Dokter Rasyid menggamit tanganku, kutepis seketika."Maaf, Bu, tidak sengaja, ingat saya, jalan sama istri." Ucapnya yang membuatku sedikit kesal. Kami pun masuk ke dalam banquet hall yang sudah didekorasi dengan sangat menawan dan seketika semua pasang mata tertuju pada kami seolah yang datang orang penting. Aku tak berani menatap mereka, memilih untuk menundukkan wajah dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Apakah salah satu pasang mata itu adalah Dokter Fikri? Ya Alloh bagaimana aku menghadapinya. Rekan-rekan Dokter Rasyid menghampiri kami, menjabat tangan Dokter Rasyid, " Wah, wah, ini, Dok, yang akhir-akhir ini jadi buah bib
"Hai, tunggu, Ra!" Dokter Fikri menghadangku, menatapku tanpa berkedip, " Kok matamu sembab begitu. Kamu habis nangis ya? Ada apa? Kamu bahagia kan, Ra, mau menikah dengan Dokter Rasyid?" Aku tak menjawab, justru terisak isak tak bisa menahannya mendengar pertanyaan Dokter Fikri.Lalu Dokter Fikri menarik lenganku, menyeretnya mengikuti langkahnya, "Lepas, Dok. Kita mau kemana?" Aku berusaha melepaskan diri."Kita perlu bicara banyak, Ra.""Disini saja, Dok, bicaranya!""Kamu mau aku jadi bahan perbincangan di rumah sakit karena menggoda calon istri Direktur utama?" Dokter Fikri menggandengku masuk ke dalam lift naik ke atas."Dok, kita mau kemana?" Tanpa menjawab, Dokter Fikri terus menggandengku keluar dari lift menyusuri lorong yang sepi lalu masuk ke dalam sebuah kamar."Ini kamar siapa, Dok?""Ini kamarku. Aku menyewa kamar karena aku menjadi panitia di persiapan acara itu. Dari kemarin malam sudah repot. Biar tidak bolak balik saja." "Ayo kita kembali ke tempat acara, Dok. Kas
Ditipu mertua dan Suami Part 40Pintu lift sudah terbuka tapi Dokter Fikri memencet tombol angka 5, pintu pun tertutup kembali dan lift berjalan naik."Dok, kok naik lagi?" Kami berhadapan dengan tubuh yang sama-sama bersandar pada dinding lift, "Sebentar, belum puas ngeliat kamu, Ra. Mungkin ini terakhir aku bisa melihatmu." Matanya terus menatapku tak berkedip membuatku semakin kebingungan mengatur irama jantung. "Sayangnya, aku tidak bisa melihat Tiara yang dulu. Aku lebih suka kamu yang apa adanya, Ra. Natural tanpa make up, inner beauty nya lebih terpancar," lanjutnya yang sempat membuatku mengerjap lalu tertunduk sambil memainkan jemari, jangan ditanya bagaimana keadaan dadaku, berdegup sangat kencang.Sampai di lantai 5, Dokter Fikri kembali menekan tombol Ground floor."Ra, sekali lagi tolong pikirkan keputusanmu. Kalau kamu berubah pikiran jangan sungkan untuk menghubungiku. Aku masih akan menunggumu sampai tanggal 24 Maret, Ra."Lift pun berhenti di lantai dasar, "Kamu d
"Saya mau pulang pagi ini, Dok.""Kita sarapan bareng anak-anak dulu baru aku antar kamu pulang.""Bagaimana kondisi Fiona, Dok?""Alhamdulillah sudah turun panasnya, Ra. Makanya gantian saya yang ngantuk berat ini. Begadang jagain Fiona.""Kalau begitu saya pulang sendiri saja, Dok. Nggak pa pa, sudah terang benderang, aman. Dokter Rasyid bisa istirahat.""Nggak, aku akan antar calon istriku," ucapnya yang sekali lagi membuat Mbok Minah yang sedang mencuci perkakas menoleh ke arah kami senyum-senyum.Ya Allah apa iya akhirnya Dokter Rasyid yang akan menjadi pelabuhan terakhirku. Kenapa aku masih berharap ada keajaiban sebelum tanggal 24.Setelah membantu Mbok Minah menyiapkan sarapan, Aku dan Dokter Rasyid menunggu anak-anak di meja makan. Dan mereka begitu girangnya ketika melihatku ada di meja makan, "Bu Tiara tadi malam nginep di sini ya?" tanya Kirana dengan wajah berseri."Iya, Kirana, Bu Tiara ketiduran," jawabku malu. "Yah, tahu gitu aku tidur bareng Bu Tiara, terus minta did
Setelah acara lamaran seminggu yang lalu di rumah Mbak Arum, pagi ini aku yang memakai gaun warna putih dan Dokter Rasyid yang memakai jas warna senada sudah berada di depan penghulu di sebuah hotel dimana ijab qobul dan resepsi akan dilangsungkan. Orang tua Dokter Rasyid dua duanya sudah tiada jadi wali diwakilkan oleh kakak tertua Dokter Rasyid. Keluarga besar Dokter Rasyid sudah berkumpul di sini ikut menyaksikan ijab Qobul. Juga Mbak Arum dan anak-anaknya yang menjadi wakil satu satunya keluargaku.Aku mencoba berdamai dengan takdir walaupun tak kupungkiri masih berharap akan ada sebuah keajaiban di detik-detik akhir proses ijab qobul seperti di film-film. Dokter Fikri datang sebagai super hero yang akan menyelamatkanku dari pernikahan ini atau menggantikan posisi Dokter Rasyid. Tapi sampai Dokter Rasyid selesai melafalkan ijab qobul tak ada tanda-tanda kehadiran Dokter Fikri. Dan akhirnya sebuah kata menggema di ruangan mengakhiri harapanku. "Sah?""Sah!""Alhamdulillah" Seke
"Tapi, Mas, Adam?" Aku mencoba mencari alasan, pelan-pelan melepas tangan Dokter Rasyid dari pinggang, entahlah bagiku masih terasa aneh. Aku belum siap disentuh suami sendiri. "Masih belum ikhlas dipeluk suami, nih?" "Bukan begitu, Mas. Aku tidak biasa tidur terpisah dengan Adam," jawabku gugup."Hanya malam ini saja, Ra. Adam biar tidur sama Mbok Minah dulu." Tiba-tiba tangan Dokter Rasyid membalikkan badanku, kami pun berhadapan begitu dekat. Tangannya mulai melepas kerudung yang kupakai. Dan tatapannya kenapa belum juga bisa menggetarkan hatiku.Bayangan Dokter Fikri berkelebat di pikiran. Berimajinasi seandainya yang ada di hadapanku ini Dokter Fikri. Bahagianya ...."Sudah, Ra! Sudah! Dia bukan jodohmu!" Aku berusaha mengenyahkannya tapi kenapa dia terus menari nari di otak ini.Seketika mataku mengerjap ketika bibir Dokter Rasyid sudah mengecup keningku. Aku menundukkan wajah dalam-dalam tapi buru-buru ia mengangkat daguku, menatap bagian yang paling ranum di wajahku. Sungguh
Ditipu Mertua dan suamiPart 42Setahun kemudian POV Dokter Fikri."Kamu benar-benar sudah mantap menikahi perempuan pilihan Ibu, Fikri? Tidak ingin memilih istri sendiri? Kamu tidak dalam keadaan terpaksa, kan?""Nggak, Bu. Tenang saja, keputusan Fikri sudah bulat. Sudah kupikirkan matang-matang. Walaupun tak mengenal dan belum mencintai perempuan itu tapi Fikri tidak main-main.""Kamu yakin hanya cukup melihat foto, tidak pengin ketemu secara langsung dulu sebelum ijab qobul besok? Kalau sudah ijab qobul tidak bisa ditarik lho, Fikri." "Iya, Bu, sudah cukup. Aku percaya dengan pilihan Ibu dan Tia. Kalian berdua pasti memilihkan yang terbaik untukku, tidak mungkin menjerumuskanku pada perempuan nggak bener." "Iya, dia seorang perempuan yang sangat tegar. Seorang pengusaha sukses di Yogyakarta. Dia hidup sendiri, janda dan kamu tidak mempermasalahkannya kan?""Iya, itu tidak masalah. Yang penting dia bisa jadi istri yang baik. Ya, sudah ya, Bu, Fikri mau istirahat dulu.""Iya, kamu
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah