"Aku suka Sambal Pete, Gulai Tempoyak dan Pindang Ikan Patin seperti ini. Rasanya segar. Jadi ingat dulu pernah makan di rumah salah seorang teman. Kebetulan ia juga berasal dari Palembang." Bu Sekar mengomentari masakan khas Palembang itu."Ah, syukurlah. Tadinya saya takut ibu nggak suka. Karena disini makanan ini adalah menu favorit kami," balas Bu Hartati."Hmm ... Kelihatannya enak?" Lanjut Bu Sekar."Tentu bu, ayo kita sarapan dulu," ajak Bu Hartati."Ah iya."Alex keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Pemuda itu terpaksa mencuci rambutnya untuk menutupi kebohongan perihal malam pertamanya. Ia malas jika harus meladeni kicauan Ibunya jika mendapatinya tidak mandi besar.Sesuai dengan perkiraan, semua orang masih mengulum senyum kala ia melintas, membuat rasa kesalnya menjadi, dengan langkah cepat ia meninggalkan mereka yang masih terus menatapnya.***"Ah, lama lama aku bisa stres kalau begini," rutuknya.Raya masih duduk diatas ranjang ketika Alex kembali masuk keda
"Ya tuhan, ampuni kesalahanku. Entah mengapa aku bisa memiliki istri limited edition dan menyebalkan seperti ini?" Sungut Alex sambil terus masuk kedalam kamar Raya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil memejamkan matanya.****"Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?" Tanya Raya yang tak ada sengaja mendengar ucapan Alex.Alex bangkit dari ranjang, ia menatap Raya sambil mendengkus kesal, niatnya untuk beristirahat terpaksa harus di tunda karena ia yakin jika istrinya tak akan membiarkannya tidur dengan tenang sebelum meladeninya berdebat."Iya aku bilang kau sangat lucu, seperti Doraemon. Kenapa kau tak suka?""Benarkah? Ah, itu artinya kau mengataiku gendut. Doraemon kan si kucing besar, aku nggak suka.""Itu lebih bagus dari pada Patrick yang kepalanya runcing itu.""Patrick itu Bintang laut, tentu saja kepalanya runcing. Kalau kotak namanya Spongebob, dan itu kau.""Ke-kenapa aku kau samakan dengan si kuning kepala kotak itu?""Iya, karena kau tidak bisa membedakan mana Do
Ucapan Raya langsung membuat raut wajah Alex berubah. Tak lama pemuda berwajah belasteran itu nampak menyunggingkan sebuah senyuman tipis diwajahnya, tak kala, ia melihat reaksi spontan istrinya."Kau suka dengan mobil ini?""Tentu saja. Mobil ini sangat bagus," jawab Raya spontan."Oh baiklah, nanti akan kubelikan satu untukmu. Anggap saja sebagai hadiah pernikahan dariku.""Benarkah?""Tentu saja," ucap Alex dengan senyum yang penuh arti. Entah apa yang sedang direncanakan pemuda itu dalam kepalanya. ***Mobil Audi RS7 hitam itu perlahan mulai berbelok dan menepi didepan sebuah rumah mewah. Seorang satpam langsung membukakan pagarnya begitu melihat mobil ini menepi, tak ingin membuang waktu, Sang sopir langsung membawa mobil melaju perlahan dan akhirnya berhenti tepat di depan pintu utama rumah ini."Dilihat dari sudut manapun, rumahmu memang sangat bagus dan keren," puji Raya terpukau."Tentu saja, Alm. papa ku yang mendesainnya sendiri. Baginya ini bukan hanya sebuah rumah saja,
Mata Raya langsung terbelalak lebar saat ia melihat isi dalam kamar itu, senyum pun terbit dari bibirnya yang tipis. Bisa diperkirakan gadis muda sangat menyukai isi kamar itu."Disebelah adalah kamarku, kuharap kau jangan sembarangan masuk kedalam. Karena aku tak suka," ketus Alex."Bagus! Karena aku juga tak mau sekamar denganmu," cibir Raya."Ingat nona Raya, tak ada hubungan badan yang terjadi diantara kita, kecuali kita sama sama khilaf ..."" ... Lagian juga sudah halal ini. Gak apa apa kalau khilaf," ucap Raya terkekeh yang membuat Alex mencibir."Jika tak ada lagi yang ingin kau tanyakan. Aku mau istirahat." Ucap Alex datar sambil melangkah masuk kedalam kamar pribadinya.****Malam pun telah berganti pagi. Rasa lelah akibat perjalanan jauh kemarin dari Palembang menuju Jakarta, sudah mulai menghilang karena istirahat yang cukup, semalam.Raya memilih bangun lebih awal, setelah menyelesaikan kewajibannya kepada Sang Pencipta, ia melanjutkan kegiatan di dapur, untuk membuat sar
Alex melangkah menuju pintu utama rumahnya, rasa penasaran akhirnya membawanya meninggalkan dapur untuk mengetahui siapa gerangan yang datang bertamu kerumahnya pagi pagi begini. Tak lama sebuah pemandangan indahpun tersaji dihadapannya."Ini beneran buat aku, mas. Terima kasih. Ini indah, harum lagi. Aku suka," ucap Raya sambil memeluk sebuah buket bunga mawar segar.****Untuk sesaat Alex tak bisa bicara, hanya matanya saja yang tak berkedip menatap ke arah istrinya. Ia tak menyangka jika Arya, saudara tirinya itu tiba tiba datang kerumahnya, pagi pagi begini.Masih terdengar suara Raya yang mempersilakan Arya untuk masuk kedalam, wajah gadis yang baru menikah itu masih tersenyum manis, semakin menambah aura kecantikan Sang pengantin baru.Alex masih diam terpaku di salah sudut tersembunyi ruang tamu rumahnya. Bibirnya terlihat manyun, ketika dengan ramahnya ia melihat Raya menyapa dan mengajak Arya berbincang." ... Jadi kau sengaja membelikan bunga ini untukku? Ah, aku jadi terhar
"Suatu kehormatan untukku bisa mencicipi teh buatanmu," puji Arya."Silakan ... aku senang mendengarnya. Setidaknya ada yang suka dengan teh buatanku. Tidak seperti seseorang yang bisanya hanya mengeluh dan mengomel saja." Ucap Raya sambil melirik Alex yang terlihat melotot tajam padanya."Benarkah itu?" Arya mengulas senyum."Tentu saja. Kau tahu, ia juga sangat menyebalkan.""Sepertinya aku tahu siapa orangnya," balas Arya."Sstttt ... Jangan ucap namanya. Nanti orangnya akan besar kepala. Aku takut ia akan susah mengangkat kepalanya karena semakin besar dan berat." Ucap Raya setengah berbisik.Arya tidak menjawabnya, tapi pemuda itu terus mengulum senyum, sambil menoleh kearah Alex, yang terlihat mendengkus kesal."Siapa yang kau maksud?" Ketus Alex pada Raya.****"Entahlah. Aku pikir kau mengenalnya. Soalnya Mas Arya saja tahu siapa dia," jawab Raya datar."Kau benar benar membuatku kesal.""Dan kau benar benar pria yang sangat menyebalkan.""Ha ... ha ... ha!""Kenapa tertawa?"
"Sudahlah kau makan angin saja, jika tidak, hari ini kau puasa sajalah, hitung hitung ibadah pada Tuhan. Salah sendiri tadi sok-sok'an menghina masakanku. Rasakan, sekarang lapar kan." "Kau benar benar tega membiarkanku kelaparan," cibir Alex."Salahmu sendiri karena sengaja mencari ribut denganku," Hardik Raya sambil berlalu meninggalkan Alex yang masih sibuk mendengar dendang tangis dari perutnya lalu menatap kulkas kosong dihadapannya.***Seminggu sudah Raya dan Alex tinggal bersama. Namun, hubungan mereka masih belum juga ada perkembangan. Pertengkaran masih kerap terjadi diantara mereka. Sehari setelah kedatangan Arya kerumahnya. Alex mengajak Raya berbelanja kebutuhan dapur mereka, sekaligus membelikan barang barang keperluan pribadi istrinya. Tak hanya itu, ia juga memberikan Raya sebuah kartu debit miliknya."Ini Kartu ATM. Isinya ada sekitar enam puluh juta. Sementara kau pakai saja ini untuk beli keperluanmu. Nanti jika sempat aku akan membuatkan rekening khusus untuk mu
"Maaf, tapi aku tak bermaksud buruk. Aku cuma ingin meluruskan satu hal," tegas Raya."Apa ada kekeliruan?""Iya." Jawab Raya cepat. Lalu mengulurkan tangannya."Maaf, aku bukan Asisten rumah tangga disini. Kenalkan namaku Raya, istrinya Mas Alex." Tutur Raya datar.****Raut wajah Stella seketika berubah, begitu mendengar pernyataan Raya, tak lama dengan sorot mata tajam, aktris cantik itu memindai tubuh Raya dari atas sampai kebawah.Sebuah senyuman yang terkesan dipaksakan, terlihat di bibir Stella, butuh waktu beberapa detik baginya untuk kembali mendekat dan menghampiri Raya."Kau istrinya Alex?" Tanya Stella tak percaya."Iya, aku istrinya. Namaku Raya," jawab Raya."Oh, maafkan atas sikapku tadi. Aku pikir kau pelayan baru dirumah ini.""Tak masalah. Penampilanku sekarang memang seperti pembantu," ucap Raya mempertegas."Maaf, ada keperluan apa mencari Mas Alex?"Untuk beberapa saat, Stella terdiam. Bibirnya terlihat sedikit bergetar, Namun, tak ada sepatah katapun yang keluar.
"Terima kasih kau sudah bekerja keras untukku selama ini, jika perasaanku sudah lebih baik. Aku akan segera kembali, saat itu kau ambil semua kontrak. Aku tak akan menolaknya." Ujar Stella lalu menutup teleponnya."Maaf, tapi yang kubutuhkan saat ini adalah menjauh, karena jika aku tetap melihat Alex dan Raya bersama, akan membuatku sulit untuk bertahan. Aku butuh waktu untuk melepas segala beban ini dan menerima semua kenyataan ini." Aku butuh ketenangan untuk menata hidupku kembali." Bisik Stella hampir tak terdengar.****Tiga minggu kemudian."Kau benar- benar akan pergi?" Tanya Alex pada Arya, kakak tirinya. Ia sengaja datang ke rumah keluarga Pak Bambang. Untuk memastikan ucapan ibunya yang mengatakan bahwa Arya akan berangkat ke Australia, awal bulan depan."Iya, aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku disana." Jelas Arya membenarkan pernyataan Alex."Kapan kau akan pergi?" "Minggu depan." Jawab Arya."Kau pergi bukan karena menyerah, bukan?""Anggap saja itulah a
Maaf, Kita Sudah MantanWajah mereka saling berhadapan satu sama lain, rona kemerahan nampak dipipi Raya, rasa malu membuat gadis itu memalingkan wajahnya, melihat sikap Raya yang masih malu, Alex membelai lembut pipi wanitanya."Aku ingin memiliki anak darimu, bisakah kita memulainya malam ini," goda Alex."Kau memang pria mes*m, entah mengapa aku bisa mencintaimu." Balas Raya tersenyum.***Tiga hari sudah Alex berada dirumah mertuanya, dan hari ini mereka akan kembali ke Jakarta, karena pekerjaan Alex yang sudah menunggu. Ada rasa haru ketika Bu Hartati melepas kepergian anak dan menantunya. Namun, setidaknya ia tak perlu khawatir lagi, karena Alex sudah berjanji akan menjaga dan membahagiakan putrinya seumur hidup.Tangan Bu Hartati melambai begitu Alphard hitam itu bergerak dan semakin menjauh, duduk dikursi belakang ada Alex yang berdampingan dengan Raya, sementara Pak Budi duduk dibelakang kursi kemudi. Perjalanan belasan jam akhirnya dilewati tanpa terasa karena rona bahagia
[Aku mencintai Raya. Tolong jangan mengganggunya lagi.]Kalimat itu terdengar sangat tegas diucapkan Alex. Membuat Arya mengerti jika ia tak akan pernah bisa bersaing dengan Alex. Ia pasrah jika akhirnya harus melepas Raya kembali pada Alex.Arya membuka laci meja kerjanya dan melirik pasport yang ada didalamnya. Tangannya kemudian meraih pasport itu dan menatapnya cukup lama."Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mencari seseorang yang benar-benar bisa menerimaku." Lirihnya pelan.***Alphard hitam menepi tepat didepan pagar rumahnya. Deru mobil itu masih terdengar, tak lama nampak ada seorang pria yang keluar dari arah pintu kemudi, lalu berputar arah, mengeluarkan sebuah travel bag dan koper.Raya dan Bu Hartati masih memperhatikannya, sinar lampu tak cukup terang untuk melihat siapa gerangan yang baru saja keluar dari sana. Rasa penasaran membuat Bu Hartati fokus menatap pria itu."Mobil siapa itu?" Bu Hartati mengulang pertanyaannya, tanpa menoleh."Entahlah, aku tak tahu, mak. Tap
"Kau ada disini, Raya? Mak pikir kau sudah tidur, nak?"Sapaan Bu Hartati membuat Raya sedikit terkejut, refleks ia menoleh kearah ibunya yang berdiri di bibir pintu lalu duduk di sebelahnya, di kursi rotan panjang ini."Belum.""Apa hubunganmu dengan Alex, masih bermasalah?" Tanya Bu Hartati pada putrinya.***"Sedikit," jawab Raya."Kau mau cerita pada emakmu ini, nak?"Raya menghela nafas panjang begitu mendengar ucapan ibunya. Ada rasa terharu dalam hatinya atas pertanyaan ibunya. Membuat perasaan saat ini sedikit lebih baik."Alex dan aku memang menikah karena suatu alasan. Kami bertemu pertama kali di ..." Raya mulai menceritakan awal mula pertemuan mereka hingga akhirnya sepakat untuk menikah. Sesekali gadis itu terdiam, dan mengigit bibirnya, kala ia harus menceritakan bagaimana selama pernikahan, mereka tidak pernah berbagi tempat tidur.Bu Hartati menggelengkan kepalanya tatkala mendengar penjelasan putrinya. Ada rasa iba saat ia menatap ke wajah anak sulungnya itu. Sorot ma
"Aku hanya kau tidak ingin melewatkan kesempatanmu untuk menjadi lebih bersinar. Karirmu sedang bagus saat ini. Cobalah untuk berpikir ulang dan mempertimbangkannya lagi."Stella menghela nafas panjang, ia tahu akan sulit baginya untuk menolak keinginan managernya. Hanya saja saat ini yang diperlukan olehnya adalah menyembuhkan luka hatinya."Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya lagi, tapi jika nanti keputusanku sudah final, kuharap kau bisa menerimanya." Ujar Stella lalu memutuskan sambungan teleponnya.****Mata Bu Hartati mendelik tajam pada Raya, putri sulungnya yang baru saja tiba lima menit yang lalu dari Jakarta. Tatapan wanita berusia empat puluh tahunan itu terasa menghujam seakan mengetahui alasan dibalik kepulangan putrinya. Meski dalam hati sebenarnya ia gembira karena Raya pulang mengunjunginya tetap saja ia tak bisa menepis rasa kecewanya akan sebuah kebohongan.Dua hari yang lalu, Bu Sekar, besannya telah meneleponnya dan membeberkan alasan dibalik pernikahan mereka, i
"Aku dalam perjalanan ke Palembang." Lapor Alex pada istrinya begitu panggilan teleponnya tersambung. Tak lama, wajah Alex nampak mendengkus kesal, karena lagi lagi Raya memutus sambungan teleponnya."Dasar kepala runcing. Entah mengapa aku bisa jatuh cinta dan menikahi wanita keras kepala seperti dirinya." Rutuk Alex yang langsung di sambut gelak tawa oleh Pak Budi."Jangan tertawa, pak." Sungut Alex kesal."Maaf, tapi aku tak bisa menahan tawa," ucap Pak Budi lalu menghentikan tawanya."Jangan kesal. Wanita memang seperti itu. Kita para laki-laki yang harus mengerti dan berjiwa besar menerima sikap mereka yang kadang kadang absurb dan membuat kesal. Istri saya juga sering marah pada saya tanpa alasan yang jelas." "Istri saya, kalau sudah kelihatan gelagatnya mau marah, saya langsung menyingkir pak. Soalnya bisa panjang urusannya. Apalagi kalau sudah mengomel. Wah, alamat tidur sama guling di luar saya pak," gurau Pak Budi sambil tetap fokus dengan kemudinya."Biasanya apa yang bisa
"Itu biasa terjadi, karena Mas Alex panik. Maka, hal kecil dan terlihat sepele bisa terlupa.""Mungkin saja kau benar. Terima kasih karena sudah membantuku dan maaf, jika aku sudah mengganggu waktu istirahatmu." Tutur Alex."Sama sama dan cobalah untuk menelponnya lagi. Siapa tahu kali ini Raya akan menjawabnya." Winda mencoba memberi saran.****Raya memandang ke luar jendela. Pemandangan malam yang gulita kini menghampirinya. Sesekali tampak kerlipan lampu jalan, membuat perjalanan pulangnya terasa syahdu. Rasa rindu kepada keluarga membuatnya tak sabar ingin segera bertemu dengan keluarganya.Malam kini semakin larut, Raya melirik layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam, ada puluhan notifikasi panggilan telepon masuk ke ponselnya yang tidak disadarinya. Sejak keluar dari rumah Alex, ia mengaktifkan mode senyap (silent) pada ponselnya.Sepanjang perjalanan Raya hanya diam, membuang pandangan keluar jendela, menikmati pemandangan malam, di sebelahnya dud
"Tak apa. Jadikan itu sebagai pelajaran untukmu. Jika suatu saat nanti ada pemuda yang jatuh cinta padamu, kau bisa lebih menghargainya." Ujar Arya bijak.Stella tersenyum getir mendengarnya. Tak lama, ia kembali menuangkan wine yang tersisa di botol ke dalam gelas, lalu dengan cepat, tanpa sempat dicegah, ia meminumnya sampai habis. ***"Hidupku terasa menyedihkan. Aku ditolak oleh orang yang selama bertahun tahun, perasaan cintanya kuabaikan. Rasanya tak akan ada lagi yang bisa mencintaiku seperti dirinya dulu." Isak Stella lirih.Lama Arya terdiam, karena tak tahu bagaimana harus bersikap atas pernyataan Stella barusan. Stella meliriknya seakan menunggu reaksinya. Karena merasa Arya mengacuhkan pernyataannya, akhirnya membuat Stella berdiri dan mengambil sebotol Red wine lagi dari dalam lemari kaca yang berada tak jauh darinya."Jangan minum lagi," Arya berusaha mencegah ketika melihat Stella memegang alat pembuka tutup botol."Kau tak perlu cemas. Aku tak akan mabuk." Stella terk
"Bu Raya bilang jika nanti bapak pulang, tolong masuk ke kamarnya."Setelah mendengar pesan yang disampaikan Pak Anton, Alex langsung membuka kunci rumahnya dan langsung berjalan menuju ke kamar Raya. Perasaan gelisah bercampur dengan rasa penasaran membuat Alex lupa untuk menelpon Raya dan bertanya langsung padanya. Tangan Alex nampak jelas sedikit gemetar begitu membuka pintu kamar Raya. Matanya menjelajahi tiap sudut ruangan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah amplop berwarna putih di atas nakas.***Drrtttt!Ponsel Arya bergetar, tepat disaat ia baru saja hendak keluar dari ruang kerjanya. Dengan cepat tangannya merogoh ponselnya dari dalam saku jasnya.Raut wajah Arya seketika berubah ketika melihat nama yang tertera dilayar pipih itu. Sebuah pesan singkat yang dikirim Stella padanya. Pesan yang berisi agar ia bisa datang ke apartemen gadis itu.Arya meraih tas kerjanya lalu keluar dari ruangannya. Ia melirik sekretarisnya yang masih merapikan mejanya, lalu berjalan menuju temp