“Atira!”
Atira menoleh ke arah sumber suara. Nampak siluet tubuh seseorang yang pernah mengisi hari-harinya sedang berjalan ke arahnya.“Atira!” panggil Bayu lagi saat ia sudah berada tepat di depan Atira.“Ya,” jawab Atira datar.“Emmmhhh, bagaimana kabar...?” Bayu terdiam meragu.“Ibu baik, Mas juga tahu nomor ponselnya bukan? Anak-anak juga baik, jauh lebih baik. Kalau enggak ada hal lain, saya permisi!” ucap Atira sambil berlalu pergi.“Tunggu!” panggil Bayu sambil menarik tangan Atira sampai wanita itu berbalik lagi kepadanya.“Lepas! Enggak perlu pegang-pegang,” bentak Atira yang merasa tak nyaman dengan perilaku Bayu.“Maaf!” lirih Bayu sambil tertunduk, nampak dari matanya ada rasa bersalah.“Bisakah kita bicara sebentar?” tanya Bayu berbicara tergesa. Lelaki itu takut jika Atira segera pergi menjauh.“Ada hal penting apa? Kalau masalah anak-anak, Mas Bayu bisa bicara sama Ibu. Saya enggak akan pernah melarang anak-“Sella!” teriak Atira. Ia langsung membuka pintu mobil dan loncat keluar. Ia khawatir dengan keadaan Sella yang nampak dihakimi oleh wartawan yang berkerumun. “Jangan kesini!” Tiba-tiba langkah Atira ditahan, bahkan ia ditarik untuk berbalik arah oleh seseorang yang tak sempat ia lihat siapa. “Itu si Atira. Serang!” teriak seseorang. “Jangan!”“Lari!” “Kalian anarkis!”Terdengar teriakan yang beragam dari mulut-mulut mereka yang berada di sana. Bersamaan dengan itu terdengar juga suara derap langkah kaki yang tak terkira banyaknya. Wanita yang menarik lengan Atira itu pun mempercepat langkahnya sehingga membuat Atira ikut terseret cepat karenanya. Atira langsung masuk ke dalam mobil sedangkan wanita yang menyeret langkahnya langsung masuk ke tempat driver. Ia pun langsung menstarter mobil dengan lihai. Untung saja kunci mobil tetap berada di mobil karena pak Agus turun dengan terburu-buru. Broommmm... Atira menarik nafa
Seminggu berlalu, kabar tentang pengkhianatan Atira masih terus menghiasi laman berita online maupun elektronik. Atira yang dianggap sang Dewi, kini tak lebih menjadi seorang pengkhianat cinta yang begitu banyak dihujat netizen. “Aaarrgggghhhh!” Zafran menyapu bersih semua berkas yang ada di atas meja kerjanya. Ia melemparkan semua barang apapun yang ia lihat. “Pak!” Roni masuk ke ruangan Zafran. Ia sudah tak peduli lagi jika dirinya akan menjadi sasaran empuk kemarahan bos-nya. “Pak, ada perkembangan terbaru!” ucap Roni segera. Ia berharap Zafran akan berhenti melampiaskan amarahnya jika mendengar kabar terbaru. “Duduk!” titah Zafran setelah ia sendiri duduk dan melonggarkan ikatan dasinya. “Kita sudah menemukan orang yang diduga kuat waktu itu ikut mengejar mobil bu Atira,” ucap Roni yang membuat Zafran mengerutkan keningnya. “Maksudnya?” tanya Zafran sambil menegakkan duduknya. “Jadi, bu Atira tidak melarikan diri. Dia dikejar,” ucap Roni yang membuat Zafran segera
“Cih, kalian orang kaya sama saja, tak akan pernah memenuhi janji. Dasar ba***at!” hardik Jihan dengan mata melotot, seolah ingin melompat dari tempatnya ke arah Zafran. “Menarik!” Zafran kini duduk di kursi, berhadap-hadapan dengan Johan. “Siapa sebenarnya yang kau maksud sama saja? Apa sebelum ini ada orang kaya lain yang memintamu untuk melakukan sesuatu, kau gagal dan keluargamu terbunuh?” tebak Zafran yang membuat wajah Johan memerah. Ia pun memalingkan wajah dari Zafran, matanya sedikit memerah, menahan air mata yang ingin melukiskan perasaannya. “Benar. Saya tahu. Saya tidak ingin memaksamu untuk percaya, tapi hanya bisa memberimu pilihan. Satu, kamu masuk penjara karena kejahatanmu kemarin, keluarga mu pun ikut menderita. Dua, kau bisa bebas dari jeratan hukum karena mendapatkan pengampunan dari korban, dengan kamu berada di pihak kami dan ikut menjebloskan orang yang telah membunuh ibumu,” ucap Zafran yang membuat Johan langsung mengalihkan atensinya kepada Zafran. “Sem
“Maaf? Hanya itu? Kau bisa bilang maaf kepada kedua anakku?” tanya Zafran dengan berapi-api. Bahkan karena pengejaran ini terlalu rapi, aku sempat mengira kalau dia betul-betul pergi darimu, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang. Aku sempat mengira dia menikahiku untuk kembali kepada suami lamanya yang telah menjatuhkan talak tiga. Aku dijadikan sebagai muhallil saja. Bahkan ketika dia menyerahkan dirinya padaku, aku sempat mengira kalau dia menunaikan syarat muhallil saja.” (Muhallil = laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan menghalalkan (tahlil) suami pertama untuk menikah kembali dengan perempuan tersebut setelah bercampur, hukumnya haram). Zafran menundukkan wajahnya. Hatinya berdenyut nyeri saat seminggu kemarin ia tak betul-betul mencari Atira karena prasangkanya sendiri, terlebih saat nomor Atira tak dapat dihubungi, Bayu pun tak pernah muncul lagi. Mengapa ia belum begitu mempercayai istrinya? Ada yang salah dengan dirinya. “Pak
“Baik,” jawab Roni yang segera memberi kode kepada anak buahnya agar segera membawa Johan ke mobil, sementara dia berlari mengejar langkah Zafran. “Pak!” panggil Roni sambil terus mengejar langkah Zafran yang panjang. “Hem,” sahut Zafran tanpa menoleh ataupun menghentikan langkahnya. “Pak Syahid minta bertemu!” ucap Roni. “Bilang, saya lagi sibuk!” titah Zafran sambil memasuki mobil yang sudah stand by di depan rumah besar bercat putih. Rumah milik Zafran yang menjadi tempat tinggal sebagian pekerjanya, juga menjadi gudang di bagian belakang. “Katanya ini penting dan tak bisa ditunda,” ucap Roni yang membuat Zafran mendelik tajam ke arahnya. “Tak ada yang lebih penting dari Atira!” tegasnya. “Jalan, Gus!” titah Zafran yang membuat Roni kelabakan. Lelaki itu langsung masuk ke mobil bagian depan dimana mobil itu sudah berjalan. Roni sadar jika bosnya sedang dalam kondisi kesal karena ucapannya barusan, untuk itu dia diam dan mengalah saja. Selama perjalanan, mereka terdiam
“Akhirnya kau datang juga?! Hahahahahaha... “ ucap beberapa orang lelaki sangar yang kini mengitari Zafran. “Shit!” Zafran yang memang sudah berniat segera pergi dari sana, merasa terlambat karena orang-orang yang ia perkirakan telah dipersiapkan untuk menyerangnya, sudah terlanjur berada di sana. Zafran heran mengapa bu Retno tega melakukan hal itu? Dia juga heran karena menurut pak Suwardi, bu Retno ada di rumahnya, sedangkan ia sudah memeriksa bahwa sinyal ponsel bu Retno memang berada di gedung ini. Apakah ponselnya dicuri? Tapi yang tadi menghubunginya benar-benar suara bu Retno karena ia sering menghubunginya. Salahnya, ia percaya saja saat bu Retno mengatakan bahwa anak-anak sedang tidur. Namun pikiran apapun itu, ia tepis karena harus fokus dengan apa yang harus ia lakukan sekarang. “Ciaatttt!” Seorang lelaki berkulit hitam legam maju dan mengayunkan sebuah pisau ke arahnya. Ia adalah lelaki pertama yang maju untuk menghajar Zafran, sedang
“Bos!” teriak Roni saat melihat Zafran tersungkur dengan bersimbah darah. Kedatangan orang dengan bersenjata api tak diketahui sama sekali sehingga mereka tak cukup waspada. Ujung mata Roni menangkap pergerakan orang itu. Dengan secepat kilat, Roni berusaha mencari tempat untuknya berlindung. Dor...“Keluar kau!” titah lelaki tua yang kini masih memegang senjata api. Roni terus bersembunyi di balik tembok lorong. Ia bingung harus bersembunyi dimana lagi jika di sana tak ada barang apapun. Roni terjepit, lorong tempat ia bersembunyi adalah lorong buntu yang di ujungnya hanya ada jendela tanpa kaca. Roni berlari menghampiri jendela dan ia menggelengkan kepalanya. Posisi dirinya cukup tinggi dan tidak memungkinkan untuk loncat ke bawah kecuali ingin celaka. “Keluar kau ba***at!” teriak lelaki tua itu lagi. Roni kembali lagi ke posisi awal. Ia berdiri di balik lorong, tepat awal lorong. Ia yakin bisa melawan lelaki tua itu asal ai tua bangka itu mendekat kepadanya. Roni s
“Awww...!” Roni menjerit kesakitan. Betis kanannya tertembak peluru. Lelaki tua itu kebingungan saat mendengar suara sirine polisi. “Awas kau ba***at! Kau akan membusuk di penjara!” ucap Roni sambil meludahi lelaki yang kini berdiri jauh di hadapannya. Lelaki itu tak menghiraukan Roni. Ia berbalik ke arah Zafran dan mengarahkan lagi senjata kepada Zafran yang kini berada diantara sadar dan tak sadar. Ia masih melenguh merasakan sakit yang sangat di dadanya, berjuang antara hidup dan mati. “Tidak! Jangan!” teriak Roni sambil berdiri dan berlari secepat yang ia bisa, demi menghalangi lelaki tua yang sudah bersiap menembaki Zafran lagi. Ia tak menghiraukan kakinya sendiri yang kesakitan dan berlari dengan tertatih. Ctekkk... Saat lelaki tua itu menarik pelatuk pistol dan mengarahkannya ke dada Zafran, pistol itu hanya berbunyi dan tak mengeluarkan peluru. Lelaki tua itu semakin kalut dan segera melarikan diri. Saking kalutnya, tak sadar ia mele