“Maaf saya terlambat!” Semua atensi kini tertuju pada suara bariton yang menginterupsi acara briefing mereka. Atira membulatkan matanya saat melihat penampilan Zafran yang begitu memukau. Ah, seperti melihat bidadara yang jatuh dari kayangan. Nampaknya bukan hanya Atira yang terpukau dengan penampilan Zafran, tapi semua kru TV yang hadir begitu terpesona dengan aura Zafran yang begitu memukau. “Enggak apa-apa, Mas Zafran! Silakan duduk!” ucap salah satu kru TV lain. Zafran mengembangkan senyum tipisnya, kemudian ia berjalan menuju tempat Atira duduk. Karena sudah tak ada kursi kosong di samping Atira, maka Zafran pun berdiri di sisi Atira. “Maaf Sayang, aku terlambat!” bisik Zafran di dekat telinga Atira, namun sengaja masih ia sedikit keraskan agar semua orang yang berada di sana ikut mendengarnya. Blushh... Seketika wajah Atira memerah mendapatkan panggilan Sayang di depan banyak orang. Ia pun hanya bisa menganggukkan kepalanya dan agak menundukkan kepala. Sungguh, A
“Siapa kalian?” tanya Atira dengan waspada. Wanita itu pun segera mundur, namun langkahnya dihadang oleh lelaki berjas hitam lain dari mobil di belakangnya. “Astaghfirullah!” ucap Atira saat menyadari jika kondisinya kini terjepit. “Kami bukan hendak menyakiti, kami hanya ingin anda bertemu dengan bu Haliza,” ucap lelaki berkepala plontos yang sedari awal berbicara dengannya. “Bu Haliza? Ada apa dia mau ketemu saya? Dengan cara begini?” sinis Atira yang kini mulai mampu melawan rasa takutnya. Setidaknya, dia percaya bahwa wanita yang mau menemuinya tidak memiliki niat untuk membunuh nya. Paling juga seperti dalam novel-novel romansa, si calon ibu mertua kaya raya yang memberikan penawaran sejumlah uang agar wanita pilihan anaknya meninggalkan anak kesayangan. “Maaf, bukan bermaksud kami mau menyakiti. Tapi, kami hanya menjalankan tugas untuk membawa anda ke hadapan bu Haliza bagaimana pun caranya.”“Jangan sentuh saya, atau kasus ini akan menjadi konsumsi umum. Saya sedang melakuk
Bukkk... Bukkk... Bukkk... Tiba-tiba si kepala plontos berhasil merebut ponsel Atira dan menginjaknya sampai hancur. Sedangkan kedua orang lainnya memberikan pukulannya terhadap Atira. Saat tersadar, bodyguard berkepala plontos itu kaget melihat kedua kawannya babak belur karena perlawanan Atira. Dia terlalu fokus menginjak dan memutar-mutar kakinya di atas ponsel yang ia injak. “Lah, kok?” herannya sambil membulatkan mata. Ia mengira teman-temannya telah melumpuhkan Atira yang hanya seorang wanita. “Maju lu!” tantang Atira memasang kuda-kuda di hadapan lelaki plontos itu. “Oh, berani rupanya ya!” tantang lelaki itu yang ikut memasang kuda-kuda. Dia pun memainkan tangannya selayak ular kobra yang bersiap untuk mematuk ancamannya. “Siapa takut!” jawab Atira sambil mendongakkan kepalanya. Tiba-tiba dua bodyguard lain yang sedari tadi duduk di belakang kemudi turun dan menghampiri Atira. Bahkan, dua lelaki yang telah
“Kamu salah, Sel. Aku nyariin kamu!” ketus Atira setelah Sella menghampiri dan memeriksa tubuh Atira, khawatir ada yang lecet. “Kamu enggak apa-apa kan?” tanya Sella. “Enggak,” jawab Atira singkat. “Atira!” Beberapa kru pun datang menghampiri. Mereka takut bintang iklan mereka terluka. Atira tersenyum mendapati kepedulian dari kru iklan produk kecantikan itu. Hatinya pun terasa menghangat, terlepas apa karena murni peduli atau hanya takut sang brand ambassador terluka yang bisa menyebabkan iklan mereka terhambat. Dia tak peduli. “Pak sutradara telpon terus daritadi, dia benar-benar khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Padahal, dia udah jauh,” ucap salah satu kru bernafas lega mendapati Atira selamat. “Iya, untung kamu live, jadi kita tahu keadaan kamu. Katanya pak sutradara udah telpon polisi, tuh mereka!” ucap kru yang lain bertepatan dengan kedatangan mobil polisi. Bodyguard itu pun segera ditangkap dan digelandang ke kantor polisi. Sedangkan Atira diminta untuk segera datang k
“Enggak apa-apa, Pak!” ucap bu Haliza. “Tinggalkan kami, Pak! Enggak masalah, saya juga mau bicara sama anak saya,” pinta bu Haliza yang dibalas rasa enggak oleh pak Haris. “Ibu yakin? Saya diminta pak Suwardi untuk memastikan keselamatan Ibu,” tolak pak Haris. “Enggak apa-apa, Pak!” ulang bu Haliza. “Kalau begitu, saya akan tetap menunggu Ibu di parkiran. Permisi!” ucap Pak Haris seraya pamit. Bu Haliza menganggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa pak Haris hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga dirinya. Tiga orang bodyguard pun berlalu mengikuti pak Haris. “Sebaiknya kita cari tempat bicara yang nyaman!” ucap bu Haliza yang juga mengisyaratkan ajakannya kepada Zafran dengan isyarat mata. Atira melihat Zafran seolah meminta persetujuannya. Zafran pun mengangguk seraya melangkah untuk membersamai Atira dan ibunya. “Di samping kantor polisi ada restoran, kelihatannya nyaman,” ucap Zafran yang kemudian diangguki oleh bu Haliza. “Kami pamit, Pak!” ucap Zafran kepada salah satu petug
“Apa kamu pikir saya mau mengorbankan nama baik hanya karena ini? Saya bukan orang bodoh... Atira!” ucap bu Haliza sengit. Atira menyunggingkan senyum smirknya. “Ya, apapun bisa saja terjadi di dunia ini,” ungkapnya seolah mengejek ucapan bu Haliza. “Bukan cuma saya, tapi polisi juga tidak bodoh Atira. Kamu bisa lihat siapa yang akan muncul menjadi tersangka,” ungkap bu Haliza yang kini diiringi dengan hembusan nafas terdalamnya. “Memang niat saya akan memintamu untuk bertemu, Atira. Saya ingin kita berdamai. Saya ingin kebahagiaan untuk anak saya satu-satunya. Meskipun... mamah masih terus mempengaruhi papahmu, Zafran!” ucap bu Haliza sambil mengelus lembut punggung tanganpundak Zafran.“Apa yang belum mamah dan papahmu raih dalam hidup? Semuanya sudah. Tinggal kebahagiaan kamu yang belum kami penuhi,” ucapnya lagi dengan berkaca-kaca.Atira segera menyodorkan tisu yang memang tersedia di hadapan mereka. Hatinya terenyuh saat melihat air mata, meskipun ia masih waspada dengan
“Tira!” panggil Zafran dengan wajah memohon. Bukannya Zafran plinplan akan perasaannya, namun ia pun sudah mengenal watak ibunya yang selalu bicara sesuai fakta, baik itu yang enak ataupun menyakitkan. Apalagi melihat keyakinan di mata ibunya, lelaki itu memilih untuk percaya. Lagipula, ibunya tak pernah melakukan kekerasan fisik. Ia hanya ingin ibu dan istrinya kelak akur, bahkan menjadi bestie sebagai sesama perempuan.Lain di otak Zafran, lain pula di otak Atira. Wanita itu melirik tajam Zafran. Ia benar-benar tak percaya jika lelaki yang berkata begitu mencintainya, ketika dihadapkan dengan masalah seperti ini saja langsung berubah haluan. Kalau saja ibunya Zafran itu sebaik bu Asih, tentunya ia akan sangat bahagia. Ah, mengingat bu Asih, Atira jadi teringat dengan keadaan mereka yang di rumah. Ada bu Asih, bu Retno dan kedua jagoannya yaitu Davin dan Daffa. Ia jadi benar-benar rindu pulang. “Terserah kamu Zaf! Aku lelah, mau pulang,” keluh Atira dengan wajah yang memang te
“Alhamdulillah, kenyang juga ya!” ucap bu Haliza dengan sendawanya. “upss, maaf!” ucapnya saat suara sendawa itu mempermalukan dirinya. Mereka pun tertawa menanggapinya. “Tira baru pertama kali loh makan nasi beginian. Enak banget ya! Mana duduknya lesehan,” ucap Atira sambil terus mencari sisa-sisa nasi basmati (beras panjang dari India) dari nampan. “Kamu mau lagi, sayang?” tanya Zafran karena enggak tega melihat Atira yang terus mencari sisa nasi. Atira mengangguk dengan senyumnya yang khas. “Aku pesenin lagi ya!” ucap Zafran yang hendak memanggil waitress. “Jangan! Besok-besok lagi aja, aku takut gemuk. Sekarang kan aku harus jaga penampilan,” ucap Atira menahan Zafran agar tak memanggil sang waitress. “Beras basmati itu rendah gula kok. Cocok buat yang diet,” jawab Zafran. “Wah, beneran?” tanya Atira sambil membulatkan matanya. “Iya. Jadi aku pesenin lagi ya!” ucap Zafran lagi. “Enggak usah lah, lain kali aja. Lagian, aku juga udah kenyang,” tolak Atira. “Engg