Atira langsung mendorong tubuh Zafran sampai lelaki itu terjengkang ke belakang. Ada amarah di mata Atira, bisa-bisanya lelaki yang sudah ia anggap pahlawan berbuat hal yang tak menyenangkan padanya. Zafran menyugar rambutnya, ia merasa frustasi dengan masalah yang sedang ia hadapi. Terlebih ia frustasi dengan apa yang telah dilakukannya kepada Atira barusan. “Tira, maaf!” ucap Zafran dengan tangan bergetar. Ia tak tahu apa yang sedang merasuki akal sehatnya. Bisa-bisanya ia memaksakan hal yang belum boleh ia lakukan kepada Atira. Mata Atira memerah menahan air mata yang kini menggenang di pelupuk matanya. Ia tak dapat lagi berkata-kata dan segera melarikan diri dari tempat itu. “Atira!” panggil Zafran seraya mengejar langkah kaki Atira. Zafran sudah tak memperdulikan lagi tatapan selisih dari para pengunjung restoran. Untung saja hanya ada 3 meja yang terisi, sisanya kosong karena jam makan siang belum tiba. “Atira!” Zafran mencekal lengan Atira dan menahan langkah wanita itu.
Atira langsung menutup wajahnya dengan tangan, ia frustasi jika karena melihat penampilannya yang... wah, seperti dedemit yang keluar di siang bolong. “Sudah nyampe, Mbak!” ucap pak Lukman sesaat setelah ia menghentikan laju kendarannya di depan lobby gedung. Tiba-tiba seorang satpam sudah membukakan pintu mobil untuk Atira. Wanita itu pun kaget bukan main, ia takut jika para kru TV mengenali dirinya dengan penampilan yang... Aduhai, seksi seperti pantat wajan tua. “Enggak jadi, Pak! Tolong ditutup lagi!” ucap Atira sambil memalingkan wajah dan badannya ke arah yang berlawanan. “Oh, baik,” jawab satpam sambil menutup kembali pintu taxi yang Atira naiki. “Kenapa enggak jadi, Mbak?” tanya pak Lukman yang merasa heran dengan tingkah Atira. “Pak Lukman, tolong bawa saya ke parkiran. Tepatnya ke parkiran yang cukup dekat dengan toilet!” pinta Atira sambil terus menunduk. Tanpa banyak bertanya lagi, pak Lukman pun segera menekan pedal gas menuju parkiran gedung. “Pak Lukman, kenapa e
Atira tersenyum sampai-sampai deretan gigi putihnya terlihat. “Enggak usah senyum, mengerikan. Kamu beneran Atira kan?” tanya Sella agak memundurkan langkahnya. “Iya, aku Tira. Kamu bawa pesenanku kan?” tanya Atira kepada Sella. Tanpa menunggu jawaban dari Sella, Atira segera menghampiri wastafel dan mulai membuka peniti jilbabnya. “Kamu kenapa sih?” tanya Sella yang kini mulai mendekati Atira. “Sebentar lagi kan acaranya mulai, setengah jam an lagi. Tadi mereka minta briefing kamu dulu, aku bilang lagi ada halangan.” Sella berdecak kesal, ia mendumel sendiri. Bahkan, Atira tak menjawab satupun pertanyaannya. Wanita itu fokus membersihkan wajahnya di wastafel. Namun naas, bukannya wajahnya bersih, tapi hitam itu semakin merata di seluruh wajahnya.“Ya ampun, Tira. Gimana mau tampil di depan TV kalau begini? Itu hitam kenapa sih? Kamu kena asep sate? Berminyak banget,” ucap Sella sambil menowel wajah hitam Atira. “Ini maskara dan lain-lain. Aku salah pilih produk make up. Aku
“Maaf saya terlambat!” Semua atensi kini tertuju pada suara bariton yang menginterupsi acara briefing mereka. Atira membulatkan matanya saat melihat penampilan Zafran yang begitu memukau. Ah, seperti melihat bidadara yang jatuh dari kayangan. Nampaknya bukan hanya Atira yang terpukau dengan penampilan Zafran, tapi semua kru TV yang hadir begitu terpesona dengan aura Zafran yang begitu memukau. “Enggak apa-apa, Mas Zafran! Silakan duduk!” ucap salah satu kru TV lain. Zafran mengembangkan senyum tipisnya, kemudian ia berjalan menuju tempat Atira duduk. Karena sudah tak ada kursi kosong di samping Atira, maka Zafran pun berdiri di sisi Atira. “Maaf Sayang, aku terlambat!” bisik Zafran di dekat telinga Atira, namun sengaja masih ia sedikit keraskan agar semua orang yang berada di sana ikut mendengarnya. Blushh... Seketika wajah Atira memerah mendapatkan panggilan Sayang di depan banyak orang. Ia pun hanya bisa menganggukkan kepalanya dan agak menundukkan kepala. Sungguh, A
“Siapa kalian?” tanya Atira dengan waspada. Wanita itu pun segera mundur, namun langkahnya dihadang oleh lelaki berjas hitam lain dari mobil di belakangnya. “Astaghfirullah!” ucap Atira saat menyadari jika kondisinya kini terjepit. “Kami bukan hendak menyakiti, kami hanya ingin anda bertemu dengan bu Haliza,” ucap lelaki berkepala plontos yang sedari awal berbicara dengannya. “Bu Haliza? Ada apa dia mau ketemu saya? Dengan cara begini?” sinis Atira yang kini mulai mampu melawan rasa takutnya. Setidaknya, dia percaya bahwa wanita yang mau menemuinya tidak memiliki niat untuk membunuh nya. Paling juga seperti dalam novel-novel romansa, si calon ibu mertua kaya raya yang memberikan penawaran sejumlah uang agar wanita pilihan anaknya meninggalkan anak kesayangan. “Maaf, bukan bermaksud kami mau menyakiti. Tapi, kami hanya menjalankan tugas untuk membawa anda ke hadapan bu Haliza bagaimana pun caranya.”“Jangan sentuh saya, atau kasus ini akan menjadi konsumsi umum. Saya sedang melakuk
Bukkk... Bukkk... Bukkk... Tiba-tiba si kepala plontos berhasil merebut ponsel Atira dan menginjaknya sampai hancur. Sedangkan kedua orang lainnya memberikan pukulannya terhadap Atira. Saat tersadar, bodyguard berkepala plontos itu kaget melihat kedua kawannya babak belur karena perlawanan Atira. Dia terlalu fokus menginjak dan memutar-mutar kakinya di atas ponsel yang ia injak. “Lah, kok?” herannya sambil membulatkan mata. Ia mengira teman-temannya telah melumpuhkan Atira yang hanya seorang wanita. “Maju lu!” tantang Atira memasang kuda-kuda di hadapan lelaki plontos itu. “Oh, berani rupanya ya!” tantang lelaki itu yang ikut memasang kuda-kuda. Dia pun memainkan tangannya selayak ular kobra yang bersiap untuk mematuk ancamannya. “Siapa takut!” jawab Atira sambil mendongakkan kepalanya. Tiba-tiba dua bodyguard lain yang sedari tadi duduk di belakang kemudi turun dan menghampiri Atira. Bahkan, dua lelaki yang telah
“Kamu salah, Sel. Aku nyariin kamu!” ketus Atira setelah Sella menghampiri dan memeriksa tubuh Atira, khawatir ada yang lecet. “Kamu enggak apa-apa kan?” tanya Sella. “Enggak,” jawab Atira singkat. “Atira!” Beberapa kru pun datang menghampiri. Mereka takut bintang iklan mereka terluka. Atira tersenyum mendapati kepedulian dari kru iklan produk kecantikan itu. Hatinya pun terasa menghangat, terlepas apa karena murni peduli atau hanya takut sang brand ambassador terluka yang bisa menyebabkan iklan mereka terhambat. Dia tak peduli. “Pak sutradara telpon terus daritadi, dia benar-benar khawatir terjadi apa-apa sama kamu. Padahal, dia udah jauh,” ucap salah satu kru bernafas lega mendapati Atira selamat. “Iya, untung kamu live, jadi kita tahu keadaan kamu. Katanya pak sutradara udah telpon polisi, tuh mereka!” ucap kru yang lain bertepatan dengan kedatangan mobil polisi. Bodyguard itu pun segera ditangkap dan digelandang ke kantor polisi. Sedangkan Atira diminta untuk segera datang k
“Enggak apa-apa, Pak!” ucap bu Haliza. “Tinggalkan kami, Pak! Enggak masalah, saya juga mau bicara sama anak saya,” pinta bu Haliza yang dibalas rasa enggak oleh pak Haris. “Ibu yakin? Saya diminta pak Suwardi untuk memastikan keselamatan Ibu,” tolak pak Haris. “Enggak apa-apa, Pak!” ulang bu Haliza. “Kalau begitu, saya akan tetap menunggu Ibu di parkiran. Permisi!” ucap Pak Haris seraya pamit. Bu Haliza menganggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa pak Haris hanya menjalankan tugasnya untuk menjaga dirinya. Tiga orang bodyguard pun berlalu mengikuti pak Haris. “Sebaiknya kita cari tempat bicara yang nyaman!” ucap bu Haliza yang juga mengisyaratkan ajakannya kepada Zafran dengan isyarat mata. Atira melihat Zafran seolah meminta persetujuannya. Zafran pun mengangguk seraya melangkah untuk membersamai Atira dan ibunya. “Di samping kantor polisi ada restoran, kelihatannya nyaman,” ucap Zafran yang kemudian diangguki oleh bu Haliza. “Kami pamit, Pak!” ucap Zafran kepada salah satu petug