“Apa maksudmu, Tira? Kamu juga enggak ingat kalau kamu pernah...?” Zafran menggantungkan ucapannya, memilih apa ia harus mengatakannya dengan jelas atau tidak. “Maksud kamu, aku pernah enggak bisa lihat? Aku pernah buta?” tanya Atira seolah meminta penjelasan yang lebih. “Tira, kamu itu amnesia setelah mengalami kecelakaan. Tapi, kenapa kondisi pasca kecelakaan pun kamu lupa?” tanya Zafran dengan menaikkan nada bicaranya satu oktaf. “Sebenarnya apa yang terjadi? Damn...!” teriak Zafran sambil memukul keras setir. Atira tak sedikitpun merasa takut saat melihat amarah Zafran meletup-letup. Ia hanya mengalihkan atensi matanya ke arah lain, masih berpikir dengan apa yang sedang menimpanya. Tok... tok... tok. Seseorang mengetuk kaca mobil, membuat perhatian Zafran teralihkan. Zafran pun segera menurunkan kaca mobilnya saat melihat juru parkir berbicara, namun ia segera menjauh dengan maksud memberi panduan parkir. Setelah mobilnya terparkir rapi, Zafran pun segera melepaskan sa
Tiba-tiba, ruang privasi pun langsung ramai diserbu para pengunjung yang lain, hanya gara-gara teriakan kencang sang pramusaji yang shock melihat Atira ada di sana. “Mbak Ateera foto ya!”“Ateera, kemana aja?”“Mbak Ateera, kenapa ngumpet? “Ateera, I love you. ““Ateera, minta tanda tangan!”“Atira...!”Berbagai macam suara mulai mendengung menyerupai suara lebah dan tak dapat dibendung lagi. Dengan sigap, Zafran melindungi Atira yang mulai dikerubuti fans garis keras. Bahkan, dari kalimat yang dilontarkan pun ada cacian yang kemungkinan hanya dikeluarkan oleh haters. “Jangan mendorong istriku!” sarkas Zafran yang mati-matian melindungi Atira. Kafe yang mereka kunjungi memang kafe yang terbilang luas, ramai pengunjung dan untuk semua kalangan. Harga yang ditawarkan relatif terjangkau dengan rasa berkelas, membuat kafe ini selalu ramai dikunjungi. Sebenarnya, ruangan privasi di kafe ini cukup aman dan nyaman untuk pengunjung seperti Atira, hanya saja teriakan histeris pramusaji yan
“Saya sudah menghubungi polisi,” ucap Roni, karena di dalam hatinya ia merasa takut akan keselamatan istri bos -nya, ia pantas jadi kepercayaan Zafran karena mampu berpikir dan bertindak cepat. “Sayang!” Zafran begitu khawatir melihat Atira yang kini terluka, di bagian pipinya. Bahkan, jilbab yang ia kenakan pun sudah tidak beraturan. Untung saja masih melekat di kepalanya.Atira tak menjawab apapun, Ia masih bersender di senderan kursi dan memejamkan matanya. Otaknya terus berputar, berpikir apa yang terjadi dengannya. Seolah De javu, ia merasa pernah mengalami hal yang mirip seperti saat ini."Cepatlah, Saya minta P3K! " pinta Zafran sambil melirik, mencari keberadaan sang manajer hotel.Saat matanya melirik ke arah kiri, mencari sosok manajer hotel, ekor matanya melihat pantulan diri Ressa. Betapa terkejutnya ia karena ternyata dokter Ressa dipenuhi dengan luka, baik di bagian wajahnya, rambutnya yang acak-acakan dan lengannya yang terekspos kini penuh dengan luka."Ressa, ka
" Itu dia! " ucap salah seorang diantara mereka, yang kini sudah berdiri di sela pintu yang terjatuh dan menimpa lemari yang menghalanginya, persis seperti perosotan dari dalam keluar. Niatnya ingin menerjang pintu yang masih menghalangi jalan mereka, namun kalah cepat oleh Roni yang segera menggeser lemari kecil itu, mendesak pintu sehingga pintu itu kembali berdiri. Zafran dan manajer hotel pun langsung bangun, berlari ke arah pintu dan berusaha membantu Roni, menutupnya kembali serta menahannya. Pun demikian dengan dokter Ressa dan Athira, mereka bekerja sama mendorong sofa dan beberapa barang lain demi menahan pintu yang kini sudah tertutup lagi, namun tentunya akan mudah didorong karena engselnya sudah rusak.Ketiga lelaki itu menahan pintu sekuat tenaga, seperti lomba 17 Agustusan, berlomba untuk mendorong dan bertahan. Siapa yang lebih kuat diantara mereka, maka dia yang menang. Sedangkan Atira dan dokter Ressa, mereka bolak-balik mendorong benda apapun yang bisa dipakai unt
"Sayang, Kamu udah bangun? " Zafran segera duduk lagi dan mengelus lembut tangan Atira. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengelus kening dan dahi Atira. Raut wajahnya begitu menggambarkan rasa senang yang tak terhingga"Udah sadar?" tanya dokter Ressa seraya mendekat ke arah brankar Atira. "Iya.” Jawab Zafran. “Sebentar ya, aku mau panggil dokter lagi, "ucap Zafran sambil memegangi lembut tangan Atira yang terasa semakin mencengkram, meminta izin dari sang istri."Sayang!" Zafran mengulangi ucapannya seraya kembali memegangi tangannya yang agak sedikit sakit karena cengkraman Atira."Syukurlah. Sebentar, biar aku aja yang periksa,” ucap dokter Ressa sambil meraba stetoskop yang biasanya tergantung di lehernya, namun kini tidak ada. Bahkan, saat ini dia pun tak mengenakan jas prakteknya. “Sebentar ya, biar aku panggil dokter yang jaga aja, " ucap dokter Ressa dengan sukarela. Wanita cantik itu pun segera keluar dari ruangan tempat Athira dirawat, tanpa menunggu jawaban dari Zafran m
“Memangnya harus bilang dulu ya?” tanya Atira sarkas. Dokter dan perawat, yang baru saja menangani Athira paham akan kondisi wanita cantik itu hendak, Mereka pun segera pamit demi menghindari luapan lahar panas dari hati-hati. " kami permisi dulu ya! Kalau ada apa-apa, bisa hubungi perawat di depan! " basa-basi sama dokter."Baik, docsus. Terima kasih banyak! "Jawab Zafran yang kembali memikirkan tentang dokter Reza yang tiba-tiba pulang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Lelaki itu berjalan ke arah meja, tempat di mana dokter Reza meletakkan bungkusan nasi padangnya. Zafran pun mengambilBerbeda dengan dokter dan perawat yang memahami perasaan Athira, Zafran tidak mengerti sedikitpun dengan kecemburuan yang ditunjukkan oleh Athira. Bahkan, dengan santainya ia menyiapkan piring dan meletakkan sebungkus nasi padang di atasnya, tepat di samping Atira. “Lapar?” tanya Atira dengan nada yang masih sarkas. “Iya. Kamu mau nasi padang juga? Tapi kamu kan sakit!” tanya dan protes Zafran
Atira sedang dalam mode tak baik-baik saja. Ada banyak PR yang harus segera ia temukan jawabannya, setelah beberapa lama ia sempat kehilangan penglihatan, terlebih kehilangan ingatannya. Saat ini dia tak memiliki petunjuk tentang keberadaan bu Asih, mama mertua yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Dia juga harus membantu bu Retno untuk mendapatkan pengampunan, agar wanita itu tak mendekam di penjara karena kesalahan yang tak ingin ia lakukan. Kali ini, masalah pun bertambah. Davin dan Daffa tak bisa masuk ke rumah sakit karena Zafran lebih memilih mengamankan keduanya dari kejaran paparazzi. Setelah Zafran mengirimkan sample air seni istrinya ke laboratorium rumah sakit, ia melihat ke luar jendela di lantai dua yang kebetulan satu view dengan lobby rumah sakit. Di sana mulai berdatangan banyak wartawan pencari berita dari media-media infotainment yang terlihat dari atribut yang mereka pakai. Setelah mencari tahu untuk apa para wartawan itu datang, barulah Zafran tahu bahwa m
Setelah memakai hoodie yang diberikan oleh Nia, Zafran segera menggiring Atira untuk mengikuti langkah Nia sambil menarik koper kecil berwarna mint, juga tas yang berada di punggungnya. Sedangkan Atira, ia membawa tas kecil yang memang ia bawa ke kafe sewaktu kejadian. Untung saja tas miliknya selamat dan tak ada yang kurang sesuatu pun. Ternyata, dari ujung lorong ruang rawat inap Atira, nampak keluar beberapa orang dengan membawa peralatan yang biasa dibawa oleh wartawan. Untungnya mereka masih menghadap ke arah lain sehingga tak memperhatikan Zafran dan Atira. “Shit!” Zafran tak bisa menahan umpatan dari mulutnya. “Astagfirullah!” Atira tak bisa berbicara apapun selain istigfar. Ia baru yakin tentang kebenaran ucapan Zafran yang mengatakan bahwa mereka kemungkinan bisa masuk ke dalam rumah sakit karena andil ibu mertuanya. “Lewat sini, cepat!” Nia membawa mereka melipir, lewat tangga darurat satu lantai, kemudian menyusuri lorong belakang di lantai bawah s