Zafran merasa hidupnya kembali setelah sekian lama sempat hilang dan jatuh ke dasar bumi. Ia begitu menyayangi keluarga kecilnya. Atira yang menjadi istrinya begitu cantik dan baik hati. Wanita itu merupakan istri impian bagi dirinya semenjak mereka masih duduk di bangku kuliah. Ditambah dengan kehadiran Davin dan Daffa, anak yang sangat ia sayangi meskipun bukan darah dagingnya sendiri. "Sayang, anak-anak sudah tidur. Bagaimana?” goda Zafran sambil menatap manja ke arah Atira. Zafran sudah sangat merindukan sentuhan dari Atira, istri yang sempat hilang dari pandangan matanya. Kalau dulu, jika Zafran mengatakan hal itu maka Athira akan balik bermanja kepada Zafran. Meskipun, pada waktu itu tak ada hal apapun yang terjadi. Ya, penyerahan diri Athira seutuhnya kepada Zafran baru dilakukan sekali sebelum musibah itu menimpa mereka.“Ya,” jawab Atira singkat. Atira bangkit dari ranjang, kemudian ia berjalan menuju lemari pakaian yang ada di ruangan sebelahnya, ruang wal
"Mama Papa lagi apa?" Daffa pun segera menghampiri Athira setelah ia selesai mengucek matanya." Eh, iya Sayang! " ucap Atira sambil merangkul Daffa yang kini bermanja di sisinya.Meskipun tangannya merangkul Daffa yang kemudian menidurkan lagi kepalanya di atas paha Atira, tangannya pun mengelus-elus pucuk kepala Daffa, tapi mata Atira melotot, melihat nyalang ke arah Zafran yang masih berdiri di sisi ranjang." Papa nggak pegel berdiri terus?" tanya Daffa sambil melirik ke arah Zafran yang masih berdiri, melihat ke arah mereka."Ah, iya. Papa pegel banget ini,” jawab Zafran yang kemudian segera duduk di samping mereka."Sini aja Pa, bobo di samping Daffa! Mamah kan suka mijitin kepala Papa, kata Papa pijitan mama Yahuut! " ucap Daffa sambil mengacungkan jempol tangan kanan dan jempol tangan kirinya ke udara secara bersamaan, mempraktekkan apa yang sering dilakukan oleh Zafran dulu, saat ia dipijiti kepalanya oleh Atira.Zafran melihat mata Atira yang
“Ayo, kita sarapan!” ajak bu Mira saat melihat Aturan berdiri di dekat pintu penghubung ruang makan. Apartemen milik pak Syahid di Singapura cukup luas. Memiliki beberapa kamar yang luas dengan masing-masing memiliki kamar mandi di dalamnya. “Sayang, ayo kita sarapan!” ajak Zafran yang kemudian menjemput Atira, mendudukkannya di kursi makan dekat dengannya. “Anak-anak kemana, Mah?” tanya Atira dengan tatapan yang masih kosong. “Mereka lagi jalan-jalan sama Papah mu, dari awal dijanjiin main ke universal studio. Baru hari ini papah mu bisa mengantar mereka, soalnya kamu sudah didampingi suamimu sekarang,” ucap bu Mira. Atira ingat jika semalam pak Syahid memang mengajaknya jalan-jalan. Tapi ia tak memiliki semangat untuk melakukan itu. Mendengar ucapan bu Mira, nafsu makan Fajar langsung hilang. Ia pun meletakkan sendok yang sedari tadi ia pakai untuk mengucek-ngucek bubur saja. “Penerbangan kita jam berapa?” tanya bu Nurul kepada Fajar yang kini hanya melihat sarapannya
“Tira!” Suara Zafran terdengar bergetar saat memanggil nama Atira dengan cukup lantang. Di dalamnya terdengar luka yang menyayat. “Zafran. Ya Tuhan, apa ini?” seru bu Mira frustasi. Ia benar-benar berada di persimpangan antara kasih sayangnya kepada Atira yang baru ia temui, atau nasib rumah tangganya Atira. “Aku tunggu kamu di ruang tengah. Kita bicarakan ini baik-baik,” tegas Zafran sambil berbalik badan. Namun, belum genap dua langkah ia berjalan, ia pun berbalik menoleh lagi. “Termasuk anda... dokter!” tunjuk Zafran tegas, setenang mungkin. Zafran pun kembali melangkahkan kakinya terlebih dulu. Dokter Fajar nampak begitu frustasi. Ia berada di sisi persimpangan yang rumit. Bagaimana tidak? Rasa cintanya yang perlahan tumbuh untuk Atira, terlebih Atira selalu ada saat ia merasa terkhianati, menimbulkan keikhlasan yang mendalam saat membantu Atira terutama saat Atira terapi, sehingga pemulihan penglihatannya sangat cepat. Satu langkah lagi, pemulihan ingatan yang belum berha
"Tapi, bagaimana bisa? Anak-anak butuh ibunya, " ucap pak Syahid meskipun dia agak memelankan suaranya sambil melirik ke arah Davin dan Daffa." Anda tidak bisa seperti itu! Bagaimanapun Mereka berdua adalah anaknya Athira. Mereka bisa membantu Athira untuk memulihkan ingatannya, " ucap dokter Fajar dengan tegas."Ibunya tak sedikitpun mengharapkan kehadiran mereka!" ucap Zafran memelankan suaranya, sama seperti Pak Syahid yang memelankan suaranya karena khawatir dengan kondisi psikologis Davin dan Daffa jika mendengarkan ucapannya. Atira tidak bereaksi apapun dengan ucapan Zafran, sehingga membuat Zafran lebih yakin untuk dia membawa kedua anaknya."Kedua anak itu adalah anak kandung Athira, sedangkan anda hanyalah ayah sambungnya. Saya kira..." Bu Nurul ikut memberikan pendapatnya, namun segera dipotong oleh Zafran. "Tapi sayangnya saya lebih mencintai mereka daripada ibu kandungnya sendiri!" ucap Zafran sambil melirik ke arah bu Nurul dengan tajam."Zafran, biarkan kedua cu
"Zafran!" Panggil Athira seraya berdiri di ambang pintu kamar."Ya, " jawab Zafran tanpa menoleh sedikitpun ke arah sumber suara. Tangannya lihai merapikan baju-baju dan memasukkannya ke dalam koper.Athira menutup pintu kamar, kemudian dia berjalan dan duduk di tepi ranjang. "Kamu yakin akan membawa Davin dan Daffa?" Tanya Athira seraya memainkan kakinya dan meletakkan kedua tangannya di atas ranjang. Hatinya seolah tak rela jika kedua anak itu berjauhan dengan dirinya. " Apakah mereka memang benar-benar keluargaku? " tanya Atira di dalam hatinya sendiri.Zafran menoleh ke arah Athira dan menatapnya sekilas. " Tentu saja aku yakin. Meskipun mereka berdua bukan darah dagingku, tetapi saat aku telah berikrar untuk menjadi suamimu, maka mereka menjadi anak-anakku. "Zafran kembali disibukkan dengan kegiatannya memasukkan baju-baju ke dalam koper. Ia tak ingin menambah rasa sakit di hatinya dengan terus menatap Athira yang masih sangat ia cintai. Jika saja istrinya bersedia membuka h
Saat Zafran melangkahkan kakinya keluar dari kamar diiringi dengan dua jagoan kecil, ia mendapati bahwa semua orang sudah rapi dengan menenteng kopernya masing-masing. Zafran mengerutkan keningnya, apakah ini artinya mereka semua juga akan pulang ke Jakarta?"Ayo! " ajak Pak syahid seraya berjalan terlebih dahulu." kakek juga ikut pulang?" Davin meraih tangan Pak syahid seraya bergelayut manja kepadanya."Yoi! " jawab Pak syahid sambil mengayun-ayunkan tangannya yang bertaut dengan tangan Davin. Berbeda dengan Davin yang bergelayut manja kepada Pak syahid, Daffa lebih memilih menautkan tangannya kepada Zafran. Anak kecil yang dipaksa dewasa sebelum waktunya itu pun sudah mengerti dengan keadaan orang tuanya. Ia begitu menyayangi Zafran dan takut akan kehilangan sosok Papahnya itu, jika sikap Mamah-nya terus seperti itu. Akhirnya mereka pun pulang menggunakan jet pribadi milik Pak syahid, yang merupakan pengusaha besar dan namanya diperhitungkan sampai di tingkat Asia.*** "
"Ibu sama Bu Retno ke mana, Ron?" tanya Zafran mengalihkan pertanyaan Davin dan Daffa kepada Roni yang memang sudah lebih dulu berada di sana.“Emmhhh... " Roni nampak berpikir Apakah dia harus menjawabnya sekarang di hadapan anak-anak, ataukah ia harus memberitahukannya kepada Zafran ketika menjauh dari Davin dan Daffa."Om juga tidak tahu, sayang!" Jawab Roni setelah berpikir beberapa saat.Zafran melihat gelagat Roni yang berbeda, ia menatap tajam ke arah Roni sambil mengerutkan keningnya. Lelaki tampan itu meminta penjelasan yang lebih banyak.Roni mengerti apa yang diminta oleh Zafran. Ia pun segera memberi kode kepada Zafran untuk pergi ke twmpat dimana jauh dari anak-anak. "Ya sudah, Papa ada urusan kantor dulu, papa akan kerja di rumah depan. Kalian istirahat dulu ya! Nanti sore kita jalan-jalan, " ucap Zafran yang kemudian disambut antusias oleh kedua anaknya."Oke... " sahut Davin dan Daffa bersamaan. Mereka pun segera berlari menuju kamarnya. Tanpa sepengetahuan Zafr
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.