Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
Sinar matahari mulai meninggi, kepala Seno terasa pusing. Ia mengernyit, kala cahaya terang mengenai wajahnya. “Di mana aku?” Seno bergumam. Ia tidak mengingat apa pun. Kemarin malam, ia sangat mabuk. Penolakan Mahya membuat harga dirinya terluka. Entah mengapa, Seno akhirnya melampiaskan kekecewaannya pada alkohol dan inilah hasilnya. “Selamat pagi, Sayang,” sapa Olivia dengan senyuman nakalnya. Jemarinya menarik selimut Seno yang masih ada separuh menutupi tubuhnya, membuat siluet menggairahkan baginya. “Olivia?” Seno membeliak. Bagaimana ia bisa berada di apartemen Olivia? “Katakan, apa yang telah terjadi?” Seno mulai bangkit dari ranjang dan berusaha mengenakan pakaiannya, sementara Olivia tampak terkekeh melihat reaksi dari kekasih gelapnya itu. “Mengapa kau sangat terkejut, Sayang? Bukankah kau sudah terbiasa di sini?” ejek Olivia. Ia bahkan tidak berniat menjawab pertanyaan Seno dan ingin bermain-main dengan sang suami Lara. “Sial!” Seno menggeram. Ia segera memakai celana d
“Aww ….” Lagi-lagi, aku tergelincir. Kerikil di gang ini memang cukup tajam. Sudah seharian aku berjalan di pasar, namun rumah Bi Yani tidak juga kutemukan. “Di mana ya, rumahnya?” Aku menerka-nerka, tapi tidak ada hasilnya. Aku kembali mengeja alamat yang kulihat di formulir pendaftaran Bi Yani saat melamar menjadi pelayanku. Seharusnya benar ada di sini, kampung Duku. Entah kenapa, rumah yang tertera malah tidak ada. “Memangnya bi yani itu hantu?” Aku menggumam. Rumah no.40 yang ditulisnya di formulir itu adalah rumah kosong. Rumah itu bahkan dirambati tanaman gulma dan temboknya juga sepertinya lapuk dimakan lumut dan jamur. Matahari perlahan naik, suasana menjadi cukup terik. Bayanganku hampir tidak ada, artinya, mungkin sekarang ini sudah hampir tengah hari. “Hhhh ….” Aku menghela napas. Merasa putus asa. Aku juga tidak memberitahu siapa-siapa bahwa aku sedang mencari rumah Bi Yani, agar Seno tak curiga. Pria itu bahkan kemarin tidak pulang. Aku bahkan bisa mengira, di mana
"Apa yang kau katakan? Katakan pelan-pelan,” ucap Andre tanpa mengetahui duduk permasalahan yang dialami Lara. Wanita itu tampak terengah-engah sambil memegangi perutnya yang kian besar. Tidak ada yang bisa mengatakan, bagaimana Andre sangat khawatir dengan keadaan Lara. Pertama-tama, ia mengangkat tubuh Lara lalu menepikannya ke bahu jalan agar tidak tertabrak mobil yang sedang lewat. “Telepon, polisi,” ucap Lara sambil terengah-engah. “To … long.” Andre memegangi kedua bahu Lara dan mulai menatap kedua mata wanita itu dengan mendalam. Sorot mata Andre memancarkan kekhawatiran dan juga rasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita ini? “Mengapa aku harus menelepon polisi?” tanya Andre dengan saksama. Ia mengawasi setiap gerak-gerik tubuh Lara yang tampak tak stabil, kemudian dengan terpaksa, Andre menggenggam tangan Lara agar wanita itu bisa sedikit lebih tenang. “Lara … katakan, mengapa aku harus menelepon polisi?” “Ada pertengkaran di sana, Andre! Tolong! Pelayanku
Aku terperanjat dengan perkataan Bi Yani. Bagaimana bisa dia … berpikir seperti itu! “Bi Yani. Apa yang kau katakan?” Aku mengguncang bahunya. Titik-titik air mata merembes di wajahnya yang keriput. Bi Yani menangisi suaminya yang sedang digelandang ke kantor polisi. “Tidak! Jangan bawa suamiku!” erangnya sambil mengejar petugas yang sedang bertugas. Suami Bi Yani tampak menyeringai sambil memelas minta dibebaskan. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan memperlakukan sang istri dengan baik. “Pak. Tolong lepaskan saya! Istri saya menangis, tuh!” teriak suami Bi Yani sambil meronta-ronta. Tubuhnya yang kurus itu tampak menggeliat, minta dilepaskan dan katanya ingin memeluk istrinya yang sedang mengalami trauma psikologis. “Gila kamu! Tidak bisa!” Petugas itu tegas tidak akan melepaskan suami Bi Yani begitu saja. Kehebohan mulai tercipta. Para tetangga berbondong-bondong ke arah rumah Bi Yani yang sedang dikepung oleh mobil patroli polisi. Aku bisa mendengar teriakan-t
“Mas! Huhu!” Aku terperanjat mendengar teriakan pilu Bi Yani yang menggemparkan udara. Orang-orang berkerumun dan aku kesulitan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Permisi ….” Aku mencoba membelah kerumunan dan berpura-pura menjadi anggota keluarga orang yang sedang dikerubuti itu. Apa yang sebenarnya terjadi? “Astaga!” Aku terperangah, tak percaya, ternyata suami Bi Yani sedang terkapar tak berdaya dengan darah yang menggenang di sekitarnya. “Tengkorak kepalanya pecah!” Terdengar teriakan seseorang dari arah seberang. Suara tangis dan jeritan turut membuat suasana menjadi semakin mencekam. “A–andre, apa yang terjadi?” Aku berjalan mendekat ke arah Andre yang tampak gugup. Ia terlihat putus asa setelah melakukan sesuatu. “Apakah, kau baru saja menolongnya?” Andre mengangguk lemah. “Dia … tewas.” Jantungku terasa berhenti berdetak. Sekarang, aku mengerti mengapa Bi Yani begitu frustasi. “Lalu?” “Ambulans sedang menuju ke sini. Dia tiba–tiba lari ke arah mobil y
Proses perpisahan Bi Yani dengan suaminya berlangsung sangat kompleks dan juga cukup lama, terlebih suaminya itu adalah tersangka kasus kekerasan yang seharusnya berada dalam tahap penyelidikan. “Apakah harus diatuopsi?” Bi Yani bergetar saat mendengar kata ‘autopsi’ terlontar dari petugas medis yang bertanggungjawab atas jenazah sang suami. “Hal ini sangat penting untuk mengungkap penyebab kecelakaan dan memenuhi persyaratan hukum, Bu,” jelas petugas itu dengan tegas. Bi Yani melirikku sebentar, mencoba mempertimbangkan persetujuan. Aku mengangguk. Dia akhirnya mengizinkan jenazah suaminya supaya diautopsi dan mendapatkan keterangan menyeluruh terkait apa sebab-musabab suaminya tewas dan bagaimana kondisi luka-luka yang diderita. Setelah mendapatkan persetujuan dari Bi Yani, petugas medis dengan hati-hati menyiapkan jenazah untuk proses autopsi. Bi Yani duduk di ruang tunggu, wajahnya terlihat pucat dan penuh tekanan. Aku duduk di sampingnya, mencoba memberikan dukungan meskipun
Lara menghilang sehari semalam dan Seno belum dapat menemukan jejaknya di mana pun! Pria itu sangat marah dan bersumpah akan memberi pelajaran kepada istri nakalnya itu! “Beraninya dia kabur! Aku akan memberinya pelajaran!” geram Seno sambil meremas ponsel yang sejak tadi tidak berhasil menghubungi sang istri itu. Tidak ada umpan balik yang didapatkannya. Ponsel Lara tidak aktif. Seno akhirnya menyewa detektif swasta untuk mencari keberadaan istrinya. Ia sengaja tidak menghubungi polisi karena tidak ingin berurusan dengan hal-hal prosedural yang rumit. Seno sebisa mungkin menghindari keterlibatan kepolisian dalam setiap urusan. Pertimbangannya itu bukan tanpa sebab karena … Seno juga sebenarnya … pelaku kriminal!
Ketegangan yang terjadi sebelumnya, berlalu begitu Seno dan seorang pria tak dikenal, pada akhirnya pergi meninggalkan rumah kontrakan Bi Yani. Lara masih merasakan panasnya bekas tamparan sang suami yang mendarat di pipi kirinya, bersamaan dengan nyeri di hati dan rasa malu yang menjalari harga dirinya. Lara tak ubahnya sesosok wanita lemah yang pasrah begitu saja ditindas sang suami. Apakah … begitu pikiran orang-orang di sekitarnya? “Bu Lara ….” Bi Yani yang sejak tadi terdiam akhirnya bersuara, diiringi dengan bisikan lirih sang ibu yang juga masih syok dengan segala keributan yang terjadi. “Saya tidak apa-apa,” Lara menyeka wajahnya yang basah oleh air mata. Sementara itu, Andre menyeretnya keluar dari ruangan sempit itu dan mulai mengajaknya berbicara. *** “Apa begitu cara suamimu memperlakukanmu selama ini, Lara? Jawab aku!” Mata Andre berkilat marah.