Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
“Mas! Huhu!” Aku terperanjat mendengar teriakan pilu Bi Yani yang menggemparkan udara. Orang-orang berkerumun dan aku kesulitan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Permisi ….” Aku mencoba membelah kerumunan dan berpura-pura menjadi anggota keluarga orang yang sedang dikerubuti itu. Apa yang sebenarnya terjadi? “Astaga!” Aku terperangah, tak percaya, ternyata suami Bi Yani sedang terkapar tak berdaya dengan darah yang menggenang di sekitarnya. “Tengkorak kepalanya pecah!” Terdengar teriakan seseorang dari arah seberang. Suara tangis dan jeritan turut membuat suasana menjadi semakin mencekam. “A–andre, apa yang terjadi?” Aku berjalan mendekat ke arah Andre yang tampak gugup. Ia terlihat putus asa setelah melakukan sesuatu. “Apakah, kau baru saja menolongnya?” Andre mengangguk lemah. “Dia … tewas.” Jantungku terasa berhenti berdetak. Sekarang, aku mengerti mengapa Bi Yani begitu frustasi. “Lalu?” “Ambulans sedang menuju ke sini. Dia tiba–tiba lari ke arah mobil y
Proses perpisahan Bi Yani dengan suaminya berlangsung sangat kompleks dan juga cukup lama, terlebih suaminya itu adalah tersangka kasus kekerasan yang seharusnya berada dalam tahap penyelidikan. “Apakah harus diatuopsi?” Bi Yani bergetar saat mendengar kata ‘autopsi’ terlontar dari petugas medis yang bertanggungjawab atas jenazah sang suami. “Hal ini sangat penting untuk mengungkap penyebab kecelakaan dan memenuhi persyaratan hukum, Bu,” jelas petugas itu dengan tegas. Bi Yani melirikku sebentar, mencoba mempertimbangkan persetujuan. Aku mengangguk. Dia akhirnya mengizinkan jenazah suaminya supaya diautopsi dan mendapatkan keterangan menyeluruh terkait apa sebab-musabab suaminya tewas dan bagaimana kondisi luka-luka yang diderita. Setelah mendapatkan persetujuan dari Bi Yani, petugas medis dengan hati-hati menyiapkan jenazah untuk proses autopsi. Bi Yani duduk di ruang tunggu, wajahnya terlihat pucat dan penuh tekanan. Aku duduk di sampingnya, mencoba memberikan dukungan meskipun
Lara menghilang sehari semalam dan Seno belum dapat menemukan jejaknya di mana pun! Pria itu sangat marah dan bersumpah akan memberi pelajaran kepada istri nakalnya itu! “Beraninya dia kabur! Aku akan memberinya pelajaran!” geram Seno sambil meremas ponsel yang sejak tadi tidak berhasil menghubungi sang istri itu. Tidak ada umpan balik yang didapatkannya. Ponsel Lara tidak aktif. Seno akhirnya menyewa detektif swasta untuk mencari keberadaan istrinya. Ia sengaja tidak menghubungi polisi karena tidak ingin berurusan dengan hal-hal prosedural yang rumit. Seno sebisa mungkin menghindari keterlibatan kepolisian dalam setiap urusan. Pertimbangannya itu bukan tanpa sebab karena … Seno juga sebenarnya … pelaku kriminal!
Ketegangan yang terjadi sebelumnya, berlalu begitu Seno dan seorang pria tak dikenal, pada akhirnya pergi meninggalkan rumah kontrakan Bi Yani. Lara masih merasakan panasnya bekas tamparan sang suami yang mendarat di pipi kirinya, bersamaan dengan nyeri di hati dan rasa malu yang menjalari harga dirinya. Lara tak ubahnya sesosok wanita lemah yang pasrah begitu saja ditindas sang suami. Apakah … begitu pikiran orang-orang di sekitarnya? “Bu Lara ….” Bi Yani yang sejak tadi terdiam akhirnya bersuara, diiringi dengan bisikan lirih sang ibu yang juga masih syok dengan segala keributan yang terjadi. “Saya tidak apa-apa,” Lara menyeka wajahnya yang basah oleh air mata. Sementara itu, Andre menyeretnya keluar dari ruangan sempit itu dan mulai mengajaknya berbicara. *** “Apa begitu cara suamimu memperlakukanmu selama ini, Lara? Jawab aku!” Mata Andre berkilat marah.
Aku tertegun dengan suara itu. Sepertinya, suaranya tidak asing di telinga. Tapi, siapa? “Biar saya saja yang membuka pintunya,” ucap Andre yang kemudian segera berjalan menuju ke ruang tamu dan membuka pintu itu dengan segera. Aku bersembunyi di balik dinding yang menyekat antar-ruangan, mencoba untuk menghindari tertangkapnya sosokku oleh sang wanita misterius itu. Aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya. Lebih tepatnya, tidak berani. Entah mengapa, aku mendadak takut. Kejadian kemarin malam masih sangat membekas dalam ingatan. Aku tidak ingin Seno kembali lagi ke sini dengan orang suruhan yang baru. “Ada apa kau kemari?” tanya Andre ketus pada wanita yang ada di hadapannya. Sepertinya, ia mengenalnya? “Andre! Kemana saja kamu?” “Apa urusannya denganmu?” Kudengar, mereka beradu mulut. Sepertinya, itu bukan orang suruhan Seno. Itu adalah kenalan Andre. Aku jadi ingin tahu … siapa wanita itu? “Dokter Miriam?” Aku membeliak. Tidak menyangka bahwa orang itu adalah orang yan
Hari telah beranjak sore. Tanpa sadar, aku tertidur di sofa. Sepertinya, aku sangat lelah. Melati tampak mendekat ke arahku dengan hati-hati, mungkin supaya tidak membangunkanku yang sedang pulas tertidur tadi. “Ada apa, Mela?” tanyaku lembut. Aku segera duduk dan menegakkan punggungku, meski pun terasa agak sedikit kaku. Melati mendekatiku dengan perlahan, tampak prihatin dengan keadaanku yang baru saja terbangun dari tidur siang di sofa. "Bu, bagaimana perasaan Ibu?" tanyanya dengan lembut. Aku tersenyum padanya, merasa bersyukur memiliki Melati sebagai pelayan yang begitu perhatian. “Aku baik-baik saja, Mela. Apa ada yang ingin kau katakan?” “Ehm … itu, Pak Seno, Bu.” Aku mengernyit, merasa ada yang tidak beres dengan gelagatnya. “Pak Seno kenapa?” “Pak Seno tidak pulang selama ibu tidak ada. Entah, malam ini, beliau pulang atau tidak,” ucap Melati takut. Mungkin, ia merasa tidak enak kepadaku. Akan tetapi, anehnya … aku sudah terbiasa. “Biarkan saja dia, Mela. Mungkin ada
Malam datang sesunyi lorong gelap gedung terbengkalai yang terletak di perbatasan Jakarta dengan Bekasi. Tidak ada yang akan menyangka, bahwa … ada sebuah laboratorium yang beroperasi di rubanah gedung itu dengan fasilitas yang canggih. Suara derap langkah mengiringi ayunan sorot senter dari sang penjaga gedung. Seorang pria berkacamata hitam dengan jas yang sangat rapi sedang berjalan beriringan dengan penjaga tersebut untuk menuju ke sebuah pintu rahasia yang terletak di lantai ketiga. “Parfum baru, Pak?” ucap sang penjaga seraya berbasa-basi karena hari ini adalah hari gajian. Jika saja, sang bos tidak sedang lapang hatinya, maka … bisa-bisa pembayaran gajinya ditunda. Pria tambun yang usianya berkisar antara 50 tahun-an awal itu sungguh tidak ingin keluarganya menderita kelaparan seperti anak-anak Afrika. Bagaimana pun. Gajinya hari ini harus dibayarkan. “Hm. Apa tercium segitunya?” sahut sang bos sambil mulai mencopot kacamata hitamnya. Area di sekitar sudah cukup gelap dan
Senang melihat hasil yang menjanjikan, Seno mengamati dengan penuh gairah tanaman-tanaman eksotik yang tumbuh subur di area tanam. “Kalian sangat cantik ….” Sinar ultraviolet memberikan sentuhan magis pada warna-warni daun-daun yang terbuka lebar. Kegembiraan dan harapannya mekar di dalam hati Seno. Inilah titik balik yang ia tunggu-tunggu dalam proyeknya. "Kau akan membuktikan kepada dunia, Dolalopa!" seru Seno dengan semangat, memanggil nama rahasia proyeknya. Ia berharap bisa mengubah dunia dengan penemuan ini. Sementara Seno merayakan keberhasilannya, di dalam laboratorium yang futuristik, dokter Hanung mencoba mengejar Seno yang berjalan begitu cepat. "Bos, tunggu sebentar! Kita harus merinci data lebih lanjut. Ada beberapa hal yang perlu kita pastikan..." Namun, sikap Seno tak tergoyahkan. Ia benar-benar puas dengan progress yang menjanjikan ini. "Kita bisa membahasnya nanti. Saat ini, aku ingin melihat lebih dekat hasil kerja keras kita." Mereka melangkah keluar dari rua