Ketegangan yang terjadi sebelumnya, berlalu begitu Seno dan seorang pria tak dikenal, pada akhirnya pergi meninggalkan rumah kontrakan Bi Yani.
Lara masih merasakan panasnya bekas tamparan sang suami yang mendarat di pipi kirinya, bersamaan dengan nyeri di hati dan rasa malu yang menjalari harga dirinya. Lara tak ubahnya sesosok wanita lemah yang pasrah begitu saja ditindas sang suami. Apakah … begitu pikiran orang-orang di sekitarnya?“Bu Lara ….”Bi Yani yang sejak tadi terdiam akhirnya bersuara, diiringi dengan bisikan lirih sang ibu yang juga masih syok dengan segala keributan yang terjadi.“Saya tidak apa-apa,” Lara menyeka wajahnya yang basah oleh air mata. Sementara itu, Andre menyeretnya keluar dari ruangan sempit itu dan mulai mengajaknya berbicara.***“Apa begitu cara suamimu memperlakukanmu selama ini, Lara? Jawab aku!” Mata Andre berkilat marah.Aku tertegun dengan suara itu. Sepertinya, suaranya tidak asing di telinga. Tapi, siapa? “Biar saya saja yang membuka pintunya,” ucap Andre yang kemudian segera berjalan menuju ke ruang tamu dan membuka pintu itu dengan segera. Aku bersembunyi di balik dinding yang menyekat antar-ruangan, mencoba untuk menghindari tertangkapnya sosokku oleh sang wanita misterius itu. Aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya. Lebih tepatnya, tidak berani. Entah mengapa, aku mendadak takut. Kejadian kemarin malam masih sangat membekas dalam ingatan. Aku tidak ingin Seno kembali lagi ke sini dengan orang suruhan yang baru. “Ada apa kau kemari?” tanya Andre ketus pada wanita yang ada di hadapannya. Sepertinya, ia mengenalnya? “Andre! Kemana saja kamu?” “Apa urusannya denganmu?” Kudengar, mereka beradu mulut. Sepertinya, itu bukan orang suruhan Seno. Itu adalah kenalan Andre. Aku jadi ingin tahu … siapa wanita itu? “Dokter Miriam?” Aku membeliak. Tidak menyangka bahwa orang itu adalah orang yan
Hari telah beranjak sore. Tanpa sadar, aku tertidur di sofa. Sepertinya, aku sangat lelah. Melati tampak mendekat ke arahku dengan hati-hati, mungkin supaya tidak membangunkanku yang sedang pulas tertidur tadi. “Ada apa, Mela?” tanyaku lembut. Aku segera duduk dan menegakkan punggungku, meski pun terasa agak sedikit kaku. Melati mendekatiku dengan perlahan, tampak prihatin dengan keadaanku yang baru saja terbangun dari tidur siang di sofa. "Bu, bagaimana perasaan Ibu?" tanyanya dengan lembut. Aku tersenyum padanya, merasa bersyukur memiliki Melati sebagai pelayan yang begitu perhatian. “Aku baik-baik saja, Mela. Apa ada yang ingin kau katakan?” “Ehm … itu, Pak Seno, Bu.” Aku mengernyit, merasa ada yang tidak beres dengan gelagatnya. “Pak Seno kenapa?” “Pak Seno tidak pulang selama ibu tidak ada. Entah, malam ini, beliau pulang atau tidak,” ucap Melati takut. Mungkin, ia merasa tidak enak kepadaku. Akan tetapi, anehnya … aku sudah terbiasa. “Biarkan saja dia, Mela. Mungkin ada
Malam datang sesunyi lorong gelap gedung terbengkalai yang terletak di perbatasan Jakarta dengan Bekasi. Tidak ada yang akan menyangka, bahwa … ada sebuah laboratorium yang beroperasi di rubanah gedung itu dengan fasilitas yang canggih. Suara derap langkah mengiringi ayunan sorot senter dari sang penjaga gedung. Seorang pria berkacamata hitam dengan jas yang sangat rapi sedang berjalan beriringan dengan penjaga tersebut untuk menuju ke sebuah pintu rahasia yang terletak di lantai ketiga. “Parfum baru, Pak?” ucap sang penjaga seraya berbasa-basi karena hari ini adalah hari gajian. Jika saja, sang bos tidak sedang lapang hatinya, maka … bisa-bisa pembayaran gajinya ditunda. Pria tambun yang usianya berkisar antara 50 tahun-an awal itu sungguh tidak ingin keluarganya menderita kelaparan seperti anak-anak Afrika. Bagaimana pun. Gajinya hari ini harus dibayarkan. “Hm. Apa tercium segitunya?” sahut sang bos sambil mulai mencopot kacamata hitamnya. Area di sekitar sudah cukup gelap dan
Senang melihat hasil yang menjanjikan, Seno mengamati dengan penuh gairah tanaman-tanaman eksotik yang tumbuh subur di area tanam. “Kalian sangat cantik ….” Sinar ultraviolet memberikan sentuhan magis pada warna-warni daun-daun yang terbuka lebar. Kegembiraan dan harapannya mekar di dalam hati Seno. Inilah titik balik yang ia tunggu-tunggu dalam proyeknya. "Kau akan membuktikan kepada dunia, Dolalopa!" seru Seno dengan semangat, memanggil nama rahasia proyeknya. Ia berharap bisa mengubah dunia dengan penemuan ini. Sementara Seno merayakan keberhasilannya, di dalam laboratorium yang futuristik, dokter Hanung mencoba mengejar Seno yang berjalan begitu cepat. "Bos, tunggu sebentar! Kita harus merinci data lebih lanjut. Ada beberapa hal yang perlu kita pastikan..." Namun, sikap Seno tak tergoyahkan. Ia benar-benar puas dengan progress yang menjanjikan ini. "Kita bisa membahasnya nanti. Saat ini, aku ingin melihat lebih dekat hasil kerja keras kita." Mereka melangkah keluar dari rua
Seno dan pria berkepala botak itu saling pandang, terkejut mendengar kabar tersebut. Keceriaan setelah pertemuan dengan Madam X seketika sirna digantikan oleh ketegangan."Bagaimana bisa ini terjadi?" tanya Seno dengan suara cemas. Dia melihat layar kontrol yang seketika dipenuhi dengan peringatan dan kode yang tidak dikenal."Sepertinya ada serangan siber, Bos. Mereka berhasil menembus lapisan keamanan kita," jelas pria berkepala botak itu sambil mencoba mengidentifikasi sumber masalah.Seno segera mengambil tindakan cepat. "Matikan semua sistem, isolasi laboratorium. Kita tidak boleh ambil risiko!”Para teknisi dan ahli keamanan bergerak cepat mengikuti instruksi Seno. Ruangan penuh dengan kesibukan dan rasa tegang. Kondisi ini merupakan ancaman serius terhadap proyek rahasia yang tengah mereka kembangkan."Sudah terlalu banyak informasi yang dapat mereka curi. Apa yang harus kita lakukan, Bos?" tanya pria berkepala botak itu dengan kekhawatiran.Seno merenung sejenak. "Kita butuh ah
Hari berganti secara cepat tanpa kehadiran Seno. Rumah ini begitu sepi. Aku bahkan tidak keluar rumah karena ada Melati yang selalu mempersiapkan segala kebutuhanku. Sudah dua hari ini aku hanya berada di dalam rumah tanpa ingin beranjak pergi. Kehamilan yang semakin menua ini juga membatasi pergerakanku. “Ibu sudah mau mandi?” Tiba-tiba Melati membuyarkan lamunanku. Tadinya aku sedang menyirami bunga-bunga yang ada di dalam pot. Entah kenapa, aku ingin melakukannya. Biasanya aku malas merawat tanaman-tanaman ini. “Jam berapa ini?”“Sudah jam 8 pagi, Bu. Sekalian sarapan, yuk .…” “Oh!”Aku terperanjat. Kukira, ini masih pukul 7 pagi. “Baiklah,” ucapku menyetujui. Aku segera membereskan peralatan berkebun dan mulai mencuci tangan. Melati membukakan pintu kamar mandi, aku masuk dan mulai membersihkan diri. Setelah itu, aroma lezat tercium begitu aku melangkah ke luar kamar mandi. “Masak apa?” tanyaku. “Sup daging, Bu, sama perkedel,” sahut Melati sambil tersenyum. “Kedengeranny
Aku menggeleng, tidak ingin Melati mengetahui kebejatan suamiku. “Tidak apa-apa, Mela. Kau boleh pergi.” Melati mengangguk kemudian undur diri. Aku melanjutkan tangisanku yang sempat terhenti. Lalu menelusuri layar ponsel untuk mencari nama ‘Seno’ di sana. Sekilas, aku tidak bisa melihat jelas. Bulir-bulir bening ini menghalangi pandanganku. Aku masih terisak sambil mencoba menekan tombol ‘panggil’ namun gagal. Layar yang basah penyebabnya. Aku segera mengelap layar itu dan mencoba kembali. Kali ini, nada tunggu yang kudapati. “Seno, sialan! Kemana perginya pria itu! Mengapa ia tidak sekali pun mengabariku?” Aku kembali menekan tombol ‘panggil’ dan mencoba menghubungi ponsel Seno yang tadi masih sibuk dengan panggilan lain. Tiba-tiba, panggilan terputus. Aku merasa semakin terpuruk. Mengapa Seno tidak menjawab teleponku? Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benakku tanpa jawaban yang jelas. Aku mencoba mengumpulkan keberanian
Kepalaku terasa pusing. Sepertinya, aku harus beristirahat. “Ibu mau tidur siang?” tanya Mela yang sedang menjemur pakaian. “Iya, Mela. Kepalaku sakit,” jawabku sambil mengernyit. “Ibu mau teh hangat? Saya buatkan ya?” “Tidak usah. Aku ingin tidur saja.” Melati mengangguk. Gadis itu kembali berkutat dengan pekerjaannya. Aku melangkah menuju ke kamar, ingin segera beristirahat. Namun, tiba-tiba pintu utama terbuka. “Seno?” ucapku. “Hm.” Pria itu lalu hanya melepas sepatunya kemudian melangkah masuk seperti biasa. Aku tidak ingin membuat keributan, apalagi … ada Mela di belakang. “Selamat datang, Pak,” ucap Melati sambil tergopoh meletakkan keranjang cuciannya. Ia lalu berjalan cepat ke arah Seno dan menerima tas kerjanya. “Harusnya istri yang menyambut suami kayak gini, bukannya pembantu,” cetusnya kemudian menatap sinis ke arahku. “Apa?” Aku bahkan sangat terkejut dengan sikap ketusnya yang tidak biasa. Ada apa dengannya? “Sudahlah, capek.” Seno lalu mengacak rambutnya
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih