Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
“Aww ….” Lagi-lagi, aku tergelincir. Kerikil di gang ini memang cukup tajam. Sudah seharian aku berjalan di pasar, namun rumah Bi Yani tidak juga kutemukan. “Di mana ya, rumahnya?” Aku menerka-nerka, tapi tidak ada hasilnya. Aku kembali mengeja alamat yang kulihat di formulir pendaftaran Bi Yani saat melamar menjadi pelayanku. Seharusnya benar ada di sini, kampung Duku. Entah kenapa, rumah yang tertera malah tidak ada. “Memangnya bi yani itu hantu?” Aku menggumam. Rumah no.40 yang ditulisnya di formulir itu adalah rumah kosong. Rumah itu bahkan dirambati tanaman gulma dan temboknya juga sepertinya lapuk dimakan lumut dan jamur. Matahari perlahan naik, suasana menjadi cukup terik. Bayanganku hampir tidak ada, artinya, mungkin sekarang ini sudah hampir tengah hari. “Hhhh ….” Aku menghela napas. Merasa putus asa. Aku juga tidak memberitahu siapa-siapa bahwa aku sedang mencari rumah Bi Yani, agar Seno tak curiga. Pria itu bahkan kemarin tidak pulang. Aku bahkan bisa mengira, di mana
"Apa yang kau katakan? Katakan pelan-pelan,” ucap Andre tanpa mengetahui duduk permasalahan yang dialami Lara. Wanita itu tampak terengah-engah sambil memegangi perutnya yang kian besar. Tidak ada yang bisa mengatakan, bagaimana Andre sangat khawatir dengan keadaan Lara. Pertama-tama, ia mengangkat tubuh Lara lalu menepikannya ke bahu jalan agar tidak tertabrak mobil yang sedang lewat. “Telepon, polisi,” ucap Lara sambil terengah-engah. “To … long.” Andre memegangi kedua bahu Lara dan mulai menatap kedua mata wanita itu dengan mendalam. Sorot mata Andre memancarkan kekhawatiran dan juga rasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita ini? “Mengapa aku harus menelepon polisi?” tanya Andre dengan saksama. Ia mengawasi setiap gerak-gerik tubuh Lara yang tampak tak stabil, kemudian dengan terpaksa, Andre menggenggam tangan Lara agar wanita itu bisa sedikit lebih tenang. “Lara … katakan, mengapa aku harus menelepon polisi?” “Ada pertengkaran di sana, Andre! Tolong! Pelayanku
Aku terperanjat dengan perkataan Bi Yani. Bagaimana bisa dia … berpikir seperti itu! “Bi Yani. Apa yang kau katakan?” Aku mengguncang bahunya. Titik-titik air mata merembes di wajahnya yang keriput. Bi Yani menangisi suaminya yang sedang digelandang ke kantor polisi. “Tidak! Jangan bawa suamiku!” erangnya sambil mengejar petugas yang sedang bertugas. Suami Bi Yani tampak menyeringai sambil memelas minta dibebaskan. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan memperlakukan sang istri dengan baik. “Pak. Tolong lepaskan saya! Istri saya menangis, tuh!” teriak suami Bi Yani sambil meronta-ronta. Tubuhnya yang kurus itu tampak menggeliat, minta dilepaskan dan katanya ingin memeluk istrinya yang sedang mengalami trauma psikologis. “Gila kamu! Tidak bisa!” Petugas itu tegas tidak akan melepaskan suami Bi Yani begitu saja. Kehebohan mulai tercipta. Para tetangga berbondong-bondong ke arah rumah Bi Yani yang sedang dikepung oleh mobil patroli polisi. Aku bisa mendengar teriakan-t
“Mas! Huhu!” Aku terperanjat mendengar teriakan pilu Bi Yani yang menggemparkan udara. Orang-orang berkerumun dan aku kesulitan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Permisi ….” Aku mencoba membelah kerumunan dan berpura-pura menjadi anggota keluarga orang yang sedang dikerubuti itu. Apa yang sebenarnya terjadi? “Astaga!” Aku terperangah, tak percaya, ternyata suami Bi Yani sedang terkapar tak berdaya dengan darah yang menggenang di sekitarnya. “Tengkorak kepalanya pecah!” Terdengar teriakan seseorang dari arah seberang. Suara tangis dan jeritan turut membuat suasana menjadi semakin mencekam. “A–andre, apa yang terjadi?” Aku berjalan mendekat ke arah Andre yang tampak gugup. Ia terlihat putus asa setelah melakukan sesuatu. “Apakah, kau baru saja menolongnya?” Andre mengangguk lemah. “Dia … tewas.” Jantungku terasa berhenti berdetak. Sekarang, aku mengerti mengapa Bi Yani begitu frustasi. “Lalu?” “Ambulans sedang menuju ke sini. Dia tiba–tiba lari ke arah mobil y
Proses perpisahan Bi Yani dengan suaminya berlangsung sangat kompleks dan juga cukup lama, terlebih suaminya itu adalah tersangka kasus kekerasan yang seharusnya berada dalam tahap penyelidikan. “Apakah harus diatuopsi?” Bi Yani bergetar saat mendengar kata ‘autopsi’ terlontar dari petugas medis yang bertanggungjawab atas jenazah sang suami. “Hal ini sangat penting untuk mengungkap penyebab kecelakaan dan memenuhi persyaratan hukum, Bu,” jelas petugas itu dengan tegas. Bi Yani melirikku sebentar, mencoba mempertimbangkan persetujuan. Aku mengangguk. Dia akhirnya mengizinkan jenazah suaminya supaya diautopsi dan mendapatkan keterangan menyeluruh terkait apa sebab-musabab suaminya tewas dan bagaimana kondisi luka-luka yang diderita. Setelah mendapatkan persetujuan dari Bi Yani, petugas medis dengan hati-hati menyiapkan jenazah untuk proses autopsi. Bi Yani duduk di ruang tunggu, wajahnya terlihat pucat dan penuh tekanan. Aku duduk di sampingnya, mencoba memberikan dukungan meskipun
Lara menghilang sehari semalam dan Seno belum dapat menemukan jejaknya di mana pun! Pria itu sangat marah dan bersumpah akan memberi pelajaran kepada istri nakalnya itu! “Beraninya dia kabur! Aku akan memberinya pelajaran!” geram Seno sambil meremas ponsel yang sejak tadi tidak berhasil menghubungi sang istri itu. Tidak ada umpan balik yang didapatkannya. Ponsel Lara tidak aktif. Seno akhirnya menyewa detektif swasta untuk mencari keberadaan istrinya. Ia sengaja tidak menghubungi polisi karena tidak ingin berurusan dengan hal-hal prosedural yang rumit. Seno sebisa mungkin menghindari keterlibatan kepolisian dalam setiap urusan. Pertimbangannya itu bukan tanpa sebab karena … Seno juga sebenarnya … pelaku kriminal!
Ketegangan yang terjadi sebelumnya, berlalu begitu Seno dan seorang pria tak dikenal, pada akhirnya pergi meninggalkan rumah kontrakan Bi Yani. Lara masih merasakan panasnya bekas tamparan sang suami yang mendarat di pipi kirinya, bersamaan dengan nyeri di hati dan rasa malu yang menjalari harga dirinya. Lara tak ubahnya sesosok wanita lemah yang pasrah begitu saja ditindas sang suami. Apakah … begitu pikiran orang-orang di sekitarnya? “Bu Lara ….” Bi Yani yang sejak tadi terdiam akhirnya bersuara, diiringi dengan bisikan lirih sang ibu yang juga masih syok dengan segala keributan yang terjadi. “Saya tidak apa-apa,” Lara menyeka wajahnya yang basah oleh air mata. Sementara itu, Andre menyeretnya keluar dari ruangan sempit itu dan mulai mengajaknya berbicara. *** “Apa begitu cara suamimu memperlakukanmu selama ini, Lara? Jawab aku!” Mata Andre berkilat marah.
Aku tertegun dengan suara itu. Sepertinya, suaranya tidak asing di telinga. Tapi, siapa? “Biar saya saja yang membuka pintunya,” ucap Andre yang kemudian segera berjalan menuju ke ruang tamu dan membuka pintu itu dengan segera. Aku bersembunyi di balik dinding yang menyekat antar-ruangan, mencoba untuk menghindari tertangkapnya sosokku oleh sang wanita misterius itu. Aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya. Lebih tepatnya, tidak berani. Entah mengapa, aku mendadak takut. Kejadian kemarin malam masih sangat membekas dalam ingatan. Aku tidak ingin Seno kembali lagi ke sini dengan orang suruhan yang baru. “Ada apa kau kemari?” tanya Andre ketus pada wanita yang ada di hadapannya. Sepertinya, ia mengenalnya? “Andre! Kemana saja kamu?” “Apa urusannya denganmu?” Kudengar, mereka beradu mulut. Sepertinya, itu bukan orang suruhan Seno. Itu adalah kenalan Andre. Aku jadi ingin tahu … siapa wanita itu? “Dokter Miriam?” Aku membeliak. Tidak menyangka bahwa orang itu adalah orang yan
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih