- POV LARA-
Brak!
"Teganya kamu, Seno!" Aku tidak pernah menyangka bahwa pernikahan hanya akan membawa luka di hatiku.Setelah aku dan sopirku mendobrak masuk pintu ruang direktur—yang katanya sedang rapat penting—kami seketika disuguhi pemandangan menjijikkan berupa perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya, Olivia.Awalnya, kami dilarang masuk ke sana. Namun aku bersikeras dan menyuruh sopirku untuk mengikutiku.Benar saja, ruangan suamiku terkunci. Aku menyuruh pria besar itu untuk mendobraknya dan … dugaanku terbukti. Aku telah lama memiliki perasaan tidak enak ketika suamiku baru saja membuka bisnis baru yang melesatkan keadaan ekonomi kami.Seno, yang dulunya hanya karyawan, kini menjadi bos besar. Segalanya berubah menjadi lebih baik tetapi tidak dengan tabiatnya.Seno semakin jarang pulang dan suka marah-marah ketika aku menanyakan kemana saja ia pergi dan tidak pulang ke rumah. Katanya, ada banyak pekerjaan. Bukan kah, ini yang kuinginkan? Katanya. Tidak. Aku tidak pernah menginginkan untuk menjadi kaya raya namun tidak disayang oleh suamiku.Aku sangat mengetahui perasaan itu. Sejak kecil, aku begitu. Kekayaan hanya akan merusak rumah tanggaku. Melihat mereka berdua sedang bermesraan di sana, aku jadi mengerti, apa yang sebenarnya dilakukan oleh suamiku selama ini. "Hiks …"Aku menangis tanpa sadar, setelah melihat Seno dan Olivia yang tanpa busana sedang menyeringai di hadapanku.Padahal, kami sedang menantikan kehadiran buah hati kami. Ya, aku sedang mengandung. "La—lara, aku bisa jelaskan," kudengar Seno tergagap untuk menenangkanku sedangkan Olivia, yang berada di sebelahnya, hanya menatapku dengan rona bahagia.Senyuman sinis terlukis di wajahnya, aku sangat mengenal senyum itu. Olivia memang seperti itu. Ia sangat bahagia ketika melihatku kesal dan merasa menang jika telah mengambil apa yang seharusnya aku miliki, sejak kami berkuliah, dulu.Pernikahanku dengan suami memang tidak dapat dikatakan sebagai pernikahan impian muda-mudi kebanyakan. Kami menikah karena terpaksa. Aku hamil sebelum mahligai suci itu mengikat kami berdua. Seno—pacar yang menanam benih cinta itu—terpaksa menikahiku setelah aku meminta pertanggungjawabannya.Meski sempat ditentang orang tua, pernikahan kami terus berlanjut hingga saat ini. Seno adalah pria romantis yang membuat seorang gadis berego tinggi sepertiku mulai luluh kepadanya.Awal mula pertemuan kami pun, bisa dianggap istimewa. Hanya beberapa bulan sebelum pernikahan, Seno pernah membelaku, ketika terjadi perkelahian di sebuah kantin mahasiswa.Kala itu, aku diterpa rumor tidak sedap.."Lara Selene itu gadis gak bener!"Cap tidak mengenakkan itu mulai kusandang ketika terpilih menjadi 'Ratu Kampus' dan menjadi incaran banyak pria. Aku—yang lebih banyak menolak pernyataan cinta mereka—menjadi bahan fitnah dan gunjingan, sehingga tidak ada lagi yang ingin menjalin hubungan denganku.Para pria seolah jijik dan menghindariku sebisa mereka. Tentu saja, aku sakit hati. Aku merasa dikucilkan dari pergaulan kampus secara tidak adil. Nahas bagiku, kecantikan seperti sebuah kutukan.Aku dihindari oleh kaum hawa. Kebanyakan dari mereka merasa iri dengan segala kesempurnaan rupa yang dimiliki olehku. Konon, aku sangat cantik sehingga memang layak mendapatkan predikat Ratu Kampus.Mereka bilang aku seperti bule. Mereka tidak salah. Ayahku memang seorang pria ras kaukasian berasal dari Kanada. Ibuku orang Indonesia. Bisa dibilang, aku adalah gadis blasteran.Kata mereka aku serupa dewi yunani dengan paras mempesona yang memikat banyak mata. Sayangnya, kepribadianku yang tertutup dan juga terkesan dingin, membuatku menjadi sasaran fitnah para pria yang kutolak cintanya.Sampai suatu ketika, Seno datang membelaku, dan benih-benih asmara mulai tumbuh di antara kami. Meski sempat diingatkan, aku bergeming. Aku tetap memilih Seno sebagai pasanganku. Sahabatku pernah menyangsikan perilaku Seno yang terkesan janggal. Namun, aku menepis praduga itu dengan penerimaan.
Seno Adhijaya. Mahasiswa teknik berambut klimis dan sangat manis itu berhasil merebut hatiku. Hingga, aku bersedia menyerahkan semuanya, termasuk mahkota kesucianku. Malam panas itu berlangsung beberapa jam saja, namun penderitaanku setelah insiden itu, sangatlah lama.Saat ini, aku harus menelan pil pahit akibat dikhianati suami sendiri ketika sudah berbadan dua. Perasaan sakit bercampur sedih mendera hatiku. Aku bahkan hampir pingsan ketika melihat adegan perselingkuhan mereka berdua. Jantungku berdegup kencang tak karuan.Benar dugaanku. Olivia. Wanita itu. Rivalku sejak dulu, adalah selingkuhan suamiku, yang tidak pernah kutahu. Dua orang itu begitu tega melukaiku dengan melakukan tindakan yang memalukan seperti itu.Seno, ketika sudah di puncak pimpinan perusahaan, menjadi gelap mata, dan mulai bermain gila. Padahal, ia berjanji kepadaku untuk menemaninya mewujudkan mimpi-mimpi yang belum sempat digapai karena faktor biaya.Ketika susah ditemani dengan setia, ketika sukses, aku dibuang begitu saja. Seno, sungguh suami laknat!***
"Lara. A—aku bisa jelaskan." Seno tetap bersikeras merasa tidak bersalah.Padahal, situasinya sudah semenjijikan itu. Ia bahkan tidak memakai baju dan di sebelahnya, ada wanita setengah telanjang yang sedang tersenyum penuh ejekan.Sorot mata Olivia—wanita itu—memancarkan kepuasan tatkala melihatku yang sedang menderita dan kesakitan. "Te—ganya, kalian…"Aku benar-benar tidak mengira, buah kesetiaanku hanya dibalas oleh pengkhianatan saja. Sia-sia aku selama ini percaya dan menepis firasat buruk yang senantiasa datang. Ternyata, suamiku memang benar-benar memiliki hubungan gelap dengan sang sekretaris yang sempat aku tolak kehadirannya dalam bisnis kami.Jika saja waktu itu, aku tegas menolak permohonan suamiku, akankah situasinya menjadi berbeda? ***"Apa kau akan meminta cerai darinya? Biarlah suamimu itu untukku saja," ucap Olivia dengan angkuhnya, ketika ia menginjakkan kaki di rumah mewahku dengan dalih sedang mengantarkan surat penting untuk bosnya. "Lancang!"Aku hampir saja menamparnya, namun aku harus menahan diri agar janinku tidak lagi terkejut dan mengalami bahaya tinggi."Aku tidak akan pernah menceraikannya. Tidak akan! Meski kalian bergumul hingga ke neraka. Aku tetap akan mempertahankan pernikahan ini!"Aku membanting keras pintu rumah dengan derai air mata dan juga keterkejutan yang tak terkira. Bi Yani—pelayan pribadiku—berpura-pura tidak mendengar apa pun. Aku sangat menyukai kesantunannya. Ia hanya bereaksi ala kadar, kemudian menawarkan minum untuk menenangkanku yang sedang terguncang.Dengan kekuatan yang tersisa, meski masih merasakan debaran jantung dan juga amarah yang belum juga sirna, aku mengutuk mereka berdua.
"Seno. Olivia. Tunggu saja. Aku akan membalas kalian!"Ayo kirimkan gem untuk cerita ini agar naik ke beranda! Terima kasih!
Senja yang mulai menguning, memberi keindahan alami yang seharusnya bisa dinikmati, namun tidak olehku. Kehadiran Olivia yang mendadak, setelah penggerebekan yang kulakukan, menjadi hinaan terbesar bagiku. "Wanita itu! Beraninya!"Aku terduduk lemas setelah berbagai peristiwa yang kualami terasa mengguncang duniaku. Tiba-tiba saja, perutku terasa sakit, ototku kembali menegang. Padahal, aku baru saja berjanji pada dokter untuk menjaga kandungan yang berusia hampir 6 bulan ini dengan baik, setelah sebelumnya hampir mengalami keguguran. Seno tidak pulang selama beberapa hari, dengan dalih lembur, lagi dan lagi. Aku sekarang mengetahui, mengapa ada beberapa properti yang dimiliki atas namanya, secara rahasia. Apakah, Seno membelikan Olivia apartemen atau rumah? Membayangkan hal itu, kepalaku menjadi sangat sakit. Teganya mereka bermain api di belakangku! "Bu," panggil Bi Yani, aku dapat mendengar suaranya meski samar. Namun, aku masih bersusah payah mengatur napas. Peningkatan kekaya
-POV Bi Yani- Ambulans segera datang dengan sirine yang meraung-raung. Aku membukakan pintu dengan panik dan menunjukkan sofa, tempat Bu Lara berada. “Pindahkan pasien!” seru seorang petugas ambulans kepada rekannya. Aku menangis dan merasa cemas, bagaimana jika Bu Lara keguguran? “Ibu, ikut kami, ya?” ajak seorang petugas itu dan aku tentu saja menganggukkan kepala. Kami segera meluncur menuju ke rumah sakit yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Lara. Di sana, Bu Lara sudah ditunggu oleh para dokter jaga. *** “"Di mana ruang operasinya?""Di lorong kedua, ikuti saya!"Seorang perawat kemudian membimbing tim medis dengan cepat menuju ke ruang operasi. Langkah mereka berderap bergantian, suasana di lorong itu penuh dengan ketegangan."Hati-hati!" Perawat rumah sakit dan tim medis yang bertugas tampak mendorong kereta itu dengan kecepatan yang terkontrol. Mereka terlihat tenang meski langkah mereka besar-besar dan berderap seperti pasukan kuda di medan perang.Perawat dan tim medis
-POV Andre-Aku tidak pernah menyangka bahwa pasien yang ada di meja operasi ini adalah … Lara!"Dokter, sa–ya berharap … bayi saya selamat," ucapnya dengan suara gemetar.Apa yang terjadi padanya? Dan, bayi … Lara sudah bersuami? "Dokter!" "Ah!" Untuk sesaat, aku mematung tanpa melakukan tindakan apapun. Aku terhanyut akan kenangan masa kecil yang tiba-tiba datang. Lara Selene adalah teman masa kecil yang selama ini kucari-cari. Lalu, bagaimana mungkin kami bertemu dalam kondisi tragis begini? "Operasi, dimulai." Aku kembali pada pekerjaan utama dan tidak membuang waktu lagi. Tim medis yang terampil dengan hati-hati menolongku untuk memulai prosedur penyelamatan yang kritis ini Kami mulai melakukan tindakan operasi yang mungkin dapat berlangsung selama berjam-jam, dengan ketegangan yang dapat dirasakan oleh semua orang yang ada di dalam ruangan. Ruang operasi itu penuh dengan suara peralatan medis yang berdenting, lampu operasi yang menyilaukan, dan juga gerakan cepat tim oper
-PoV Bi Yani- "Permisi…" "Ya. Suster! Bagaimana hasilnya?” Akhirnya, seorang perawat keluar dari kamar operasi. Lampu darurat di sana sudah menggelap. Benar dugaanku, operasi itu telah selesai. "Syukurlah. Pasien dan janinnya selamat, Nyonya. Jangan khawatir. Pasien sedang dalam masa pemulihan," jelas perawat itu dengan senyuman. "Syukurlah. Terima kasih, Sus!" Aku menjawab penuh kelegaan. Doa-doa yang kulangitkan ternyata didengar oleh Tuhan. "Sama-sama." Perawat itu kemudian pamit undur diri setelah menanyakan hubunganku dengan Bu Lara. Ia mengira, aku adalah ibu dari si pasien. Aku hanya menjawab bahwa aku adalah asistennya. Katanya, aku memiliki tindak-tanduk yang seperti seorang keluarga karena sangat mengkhawatirkan Bu Lara. “Kami memang keluarga,” kataku. Perawat itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku. Aku kembali duduk di kursi tunggu dan mengucap syukur dengan penuh haru. "Nyonya Lara, syukurlah…" Aku serta-merta mencium ubin rumah sakit untuk memanja
-PoV Lara- Batas antara kenyataan dan khayalan menjadi kabur ketika kau baru saja menjalani operasi yang begitu lama. Dalam kebencian yang tertanam setelah kembali bertemu dengan Olivia, ingatanku mulai berputar ke masa ketika kami masih menjadi mahasiswa. Waktu itu, belasan tahun silam, aku baru saja pindah ke Kampus Triguna yang ada di Jakarta, setelah menjalani kehidupan bersama bibiku di Surabaya. Sepeninggalan ibu dan ayahku, aku dijemput bibi dari Indonesia dan diasuh di kota pahlawan itu. Lumayan sulit juga beradaptasi di sana, terutama jika wajahmu sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Banyak yang bilang bahwa aku cantik, meski aku selalu merasa, wajahku biasa saja. Di kampung halamanku, wajah sepertiku malah terbilang eksotis karena perpaduan dari ras kaukasoid dan ras asia. Tidak ada batas antara wajah cantik kaukasoid dengan cantik ala asia. Kami cukup menghargai perbedaan, berbeda dengan di Indonesia. Aku cukup senang disebut cantik, tapi banyak juga yang merund
Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh? Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya. "Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta. "Kau sangat kejam, Sayang."Kejam? Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku? Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit
Aku menatap tajam dokter yang sedang berada di hadapanku saat ini. Seorang dokter tinggi gagah dengan bola mata kecokelatan khas pria blasteran pada umumnya. Rambutnya hitam bergelombang yang disisir rapi seperti penampakan jas putih yang membalut badannya. Andre. Temanku ketika kecil yang kini menjadi musuhku. "K—kau!" Bara amarahku tiba-tiba membuncah—seolah dapat mencabik raga sang dokter saat itu juga. Kenangan tentang hubungan dokter Andre dan aku di masa lalu, tiba-tiba mencuat kembali dan kini melukaiku. Andre dan aku bukanlah musuh pada awalnya, namun sebuah insiden mengerikan begitu membekas dalam benakku. Insiden itulah yang kemudian menjadikan kami musuh bebuyutan, hingga sekarang. Aku bahkan mencoba untuk memutuskan kontak, meski Andre dan kakaknya sering mencari-cariku, katanya. Aku juga tidak pernah mengkonfirmasi hal itu. Aku memang gadis yang penuh dengan luka di masa lalu. Aku bahkan belum merasa bahagia seutuhnya, hingga suatu ketika, seorang janin tiba-tiba
PoV Andre Untuk beberapa hari, Lara harus berada di rumah sakit. Proses pemulihannya tidak boleh terganggu dan dia harus dipastikan untuk beristirahat secara total, baik secara fisik maupun psikis. Seno, ya? Nama suaminya. Sungguh, aku tak suka melihatnya. Sepertinya, dia sedang mencitrakan diri sebagai suami idaman. Pria itu terlihat bolak-balik ke sana untuk mengecek keadaan Lara di tengah kesibukannya. Entah ia memang benar-benar khawatir atau hanya berpura-pura. Bukankah, pelayan itu bilang bahwa Lara pendarahan karena ulah seorang wanita muda? Pasti itu sekingkuhannya. ***"Pasien Lara, bagaimana keadaannya?" Aku menyempatkan diri bertanya ketika melewati nurse-station saat lepas tugas. Aku sedang tidak memiliki jadwal untuk mengecek Lara secara profesional, jadi, sungkan rasanya jika harus masuk ke dalam kamar Lara tanpa ada keperluan yang jelas. "Sudah lebih baik, Dok. Ada apakah?" tanya perawat itu penasaran. Binar matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang menanti kabar te
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih