-PoV Bi Yani-
"Permisi…"
"Ya. Suster! Bagaimana hasilnya?” Akhirnya, seorang perawat keluar dari kamar operasi. Lampu darurat di sana sudah menggelap. Benar dugaanku, operasi itu telah selesai.
"Syukurlah. Pasien dan janinnya selamat, Nyonya. Jangan khawatir. Pasien sedang dalam masa pemulihan," jelas perawat itu dengan senyuman.
"Syukurlah. Terima kasih, Sus!" Aku menjawab penuh kelegaan. Doa-doa yang kulangitkan ternyata didengar oleh Tuhan.
"Sama-sama."
Perawat itu kemudian pamit undur diri setelah menanyakan hubunganku dengan Bu Lara. Ia mengira, aku adalah ibu dari si pasien. Aku hanya menjawab bahwa aku adalah asistennya.
Katanya, aku memiliki tindak-tanduk yang seperti seorang keluarga karena sangat mengkhawatirkan Bu Lara.
“Kami memang keluarga,” kataku.
Perawat itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku.
Aku kembali duduk di kursi tunggu dan mengucap syukur dengan penuh haru. "Nyonya Lara, syukurlah…" Aku serta-merta mencium ubin rumah sakit untuk memanjatkan syukur kepada sang Pencipta.
Keselamatan sang majikan, benar-benar menjadi prioritasku. Aku tidak ingin Nyonya yang kulayani celaka dan tidak ada yang menemani penderitaannya.
Aku lupa menanyakan kapan Nyonya Lara akan siuman. Pelayan itu lupa memberitahukan atau memang aku tidak mendengarnya dengan benar? Aku ingin menghampirinya dan menanyakan kembali tentang itu. Namun, suara bariton pria yang kukenal sedang berlari ke arahku.
"Lara! Istriku! Di mana dia?!"
“Pa–pak Seno?” Aku mematung dan mengurungkan niat untuk menuju ke pos perawat. Pak Seno ada di sana. Aku bingung harus menjawab apa jika ditanya nanti.
Aku melihatnya berbicara dengan para perawat di pos sana. Jantungku berdebar kenang. Bagaimana jika dia menyalahkanku karena tidak memberitahunya?
Pria itu segera berlari mendekat ke kamar operasi. Mata kami bertemu. Ia menghentikan langkahnya dan segera menghampiriku.
“Pa–pak ….” sapaku ketakutan. Lututku gemetar. Aku bahkan tak bisa memandangnya dengan benar.
“Dasar lancang! Berani-beraninya tidak menghubungiku! Pembantu sialan!”
‘PLAK!’
Sebuah tamparan mendarat di pipiku dengan sempurna. Aku tersungkur di dekat kakinya. Dengan tangan gemetar, kuraih sepatu mengkilap sang majikan dan memohon ampun yang sebesar-besarnya.
“Ma–maafkan saya, Pak ….” kataku sambil menundukkan kepala. Kulihat, dia hampir mengangkat sepatu itu dan menginjak kepalaku dengan solnya. Namun, sebuah teriakan dari arah kamar operasi, menghentikan langkahnya.
“Ada apa ini?!” Seorang dokter dengan setelan biru tua tampak keluar dari kamar itu dan melotot ke arah majikanku.
Pria berjas itu hanya berdeham sebentar dan melangkah mundur, mengurungkan untuk menginjak kepalaku. Aku beruntung. Aku selamat berkat dokter itu.
“Dokter, bagaimana keadaan istri saya?” tanyanya kemudian sambil melangkah jauh dan mendekat ke dokter itu. Aku segera menyingkir minggir agar tidak mengundang murka Pak Seno dan kembali merundungku.
Dokter tinggi gagah dan bermata jernih itu tampak tidak suka dengan kehadiran Pak Seno. Aku bisa menilai dari raut wajahnya yang masam. Terlebih, Pak Seno datang sambil membuat keributan. "Tenanglah, Pak. Istri Anda sedang berada dalam masa pemulihan. Situasi kritis telah dilewati. Anda tidak perlu khawatir," jelas sang dokter sambil menatap lurus ke arah Seno.“Saya sangat khawatir! Pembantu sialan itu tidak menghubungi saya. Asisten saya tadi menelepon dan bilang kalau istri saya kritis. Saya benar-benar hampir gila!” Pak Seno sepertinya bersandiwara. Aku bisa melihat senyuman dalam setiap perkataannya.
Bagaimana ia bisa hampir gila? Jika Pak Seno saja jarang pulang ke rumah. Ia pasti tidak mengetahui kondisi hati Bu Lara.
“Anda suaminya?” tanya dokter itu dengan nada tak percaya.
“Iya. saya suami Lara. Anda mengenal istri saya?” jawab Pak Seno dengan nada sinis yang jelas terdengar. Apakah mungkin mereka berdua saling kenal? Aku juga penasaran.
“Mengapa Anda tidak mengetahui keadaan istri Anda? Apakah … Anda tidak pernah berada di rumah? Pasien mengalami stress akut dan itu adalah kondisi akumulatif, bukan hanya hari ini,” kata dokter itu sambil terus mencecar Pak Seno.
Dalam hati, aku merasa lega. Segala kejengkelan Bu Lara seakan ditumpahkan begitu saja oleh dokter itu kepada Pak Seno. Jika boleh bersorak, aku akan bersorak sekarang, tapi … aku hanya pembantu rumah tangga. Jika ikut campur, maka status pekerjaanku berada dalam bahaya.
“Ah. Saya ada perjalanan dinas ke luar negeri selama beberapa waktu. Jadi, saya belum pulang lagi. Sebentar. Untuk apa saya menjelaskan hal ini pada Anda?” Seno mulai menolak menjawab pertanyaan dari sang dokter.
“Anda seperti menginterogasi saya,” protes Pak Seno lagi dan sang dokter hanya menghela napas sambil melepas masker medis di wajahnya. “Saya Dokter Andre. Saya adalah dokter yang bertanggungjawab atas istri Anda. Senang berkenalan.” Dokter itu menyodorkan tangannya.
“Seno,” sahut Pak Seno sambil menerima uluran tangan itu dan menjabatnya seperti rekan bisnis. Mereka sepertinya terlibat sebuah perang dingin yang tidak jelas. Ada apa ini?
“Hei, kau!”
Aku tersentak ketika Pak Seno memanggilku.
“Y–ya, Pak?” ucapku takut. Aku menundukkan kepala dan tak berani menatapnya. Dokter Andre mendekat ke arahku dan berdiri tepat di sisiku.
"Besok kau harus berhenti bekerja! Aku sudah menduganya. Pasti kerjamu tidak becus! Lara selalu salah memilih orang!”"Pak … saya mohon," aku memelas, memohon pengertian sang majikan.“Maaf jika saya terkesan ikut campur tapi … Ibu ini sejak tadi menemani pasien. Saya tidak yakin memecatnya adalah hal bijak. Apakah Bu Lara akan menerimanya, Pak Seno?”
Pak Seno tampak memikirkan ucapan Dokter Andre. Aku merasa terharu dengan tindakannya itu.
"A … anu, Pak. Bu Lara melarang saya untuk menghubungi Anda tadi. Setelah, seorang nona muda datang tadi ke kediaman Anda berdua," Aku akhirnya membuka rahasia.
"A—apa?" Kini, wajah Pak Seno terlihat pucat. Ia pasti tidak menyangka bahwa selingkuhannya lah yang menyebabkan Bu Lara hampir keguguran."Katakan! Seperti apa penampilan gadis itu?!" Pak Seno bertanya menyelidik.
"No—na muda itu berbadan langsing dengan riasan tebal. Rambutnya pirang sebahu, dan memakai kacamata hitam. Pakaiannya seksi berwarna merah menyala. Bu Lara naik pitam ketika gadis itu datang," sahutku sambil ketakutan. Apakah, yang kulakukan ini adalah hal yang benar? "Si—al."Dokter Andre tampak heran. Dia masih berada di sekitar kami. “Olivia!” Kudengar, Pak Seno menyebutkan nama seseorang. Apakah nama gadis itu adalah Olivia?"Aku akan kembali!" ucapnya lagi. Aku mengangguk dan menundukkan kembali pandanganku. Kulihat, sepatu Pak Seno pergi menjauh dan kemudian tak terdengar lagi. Di sepanjang perjalanan, Pak Seno tampak mengambil ponsel dan mulai menghubungi seseorang.Mungkin, dia sedang menghubungi Olivia.
Ayo kirimkan gem untuk cerita ini!
-PoV Lara- Batas antara kenyataan dan khayalan menjadi kabur ketika kau baru saja menjalani operasi yang begitu lama. Dalam kebencian yang tertanam setelah kembali bertemu dengan Olivia, ingatanku mulai berputar ke masa ketika kami masih menjadi mahasiswa. Waktu itu, belasan tahun silam, aku baru saja pindah ke Kampus Triguna yang ada di Jakarta, setelah menjalani kehidupan bersama bibiku di Surabaya. Sepeninggalan ibu dan ayahku, aku dijemput bibi dari Indonesia dan diasuh di kota pahlawan itu. Lumayan sulit juga beradaptasi di sana, terutama jika wajahmu sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Banyak yang bilang bahwa aku cantik, meski aku selalu merasa, wajahku biasa saja. Di kampung halamanku, wajah sepertiku malah terbilang eksotis karena perpaduan dari ras kaukasoid dan ras asia. Tidak ada batas antara wajah cantik kaukasoid dengan cantik ala asia. Kami cukup menghargai perbedaan, berbeda dengan di Indonesia. Aku cukup senang disebut cantik, tapi banyak juga yang merund
Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh? Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya. "Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta. "Kau sangat kejam, Sayang."Kejam? Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku? Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit
Aku menatap tajam dokter yang sedang berada di hadapanku saat ini. Seorang dokter tinggi gagah dengan bola mata kecokelatan khas pria blasteran pada umumnya. Rambutnya hitam bergelombang yang disisir rapi seperti penampakan jas putih yang membalut badannya. Andre. Temanku ketika kecil yang kini menjadi musuhku. "K—kau!" Bara amarahku tiba-tiba membuncah—seolah dapat mencabik raga sang dokter saat itu juga. Kenangan tentang hubungan dokter Andre dan aku di masa lalu, tiba-tiba mencuat kembali dan kini melukaiku. Andre dan aku bukanlah musuh pada awalnya, namun sebuah insiden mengerikan begitu membekas dalam benakku. Insiden itulah yang kemudian menjadikan kami musuh bebuyutan, hingga sekarang. Aku bahkan mencoba untuk memutuskan kontak, meski Andre dan kakaknya sering mencari-cariku, katanya. Aku juga tidak pernah mengkonfirmasi hal itu. Aku memang gadis yang penuh dengan luka di masa lalu. Aku bahkan belum merasa bahagia seutuhnya, hingga suatu ketika, seorang janin tiba-tiba
PoV Andre Untuk beberapa hari, Lara harus berada di rumah sakit. Proses pemulihannya tidak boleh terganggu dan dia harus dipastikan untuk beristirahat secara total, baik secara fisik maupun psikis. Seno, ya? Nama suaminya. Sungguh, aku tak suka melihatnya. Sepertinya, dia sedang mencitrakan diri sebagai suami idaman. Pria itu terlihat bolak-balik ke sana untuk mengecek keadaan Lara di tengah kesibukannya. Entah ia memang benar-benar khawatir atau hanya berpura-pura. Bukankah, pelayan itu bilang bahwa Lara pendarahan karena ulah seorang wanita muda? Pasti itu sekingkuhannya. ***"Pasien Lara, bagaimana keadaannya?" Aku menyempatkan diri bertanya ketika melewati nurse-station saat lepas tugas. Aku sedang tidak memiliki jadwal untuk mengecek Lara secara profesional, jadi, sungkan rasanya jika harus masuk ke dalam kamar Lara tanpa ada keperluan yang jelas. "Sudah lebih baik, Dok. Ada apakah?" tanya perawat itu penasaran. Binar matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang menanti kabar te
Aku melirik sekilas bibir tebal Olivia yang seakan ingin kuhisap. Namun, aku bergeming. Menurutku, Olivia tidaklah secantik itu. Aku terbiasa bertemu wanita yang lebih cantik darinya. Terlebih, kakakku.Kakakku adalah wanita yang sangat cantik dengan gen terbaik dari ayah yang merupakan ras Kaukasian. Rambut pirang kakak, bukanlah pirang palsu seperti yang dimiliki oleh wanita itu.Betapa pun Aku memindai penampilan Olivia, tidak ada satu hal pun yang menarik minatku. Olivia benar-benar bukan tipeku. "Tolong mundur sedikit," sentakku yang mulai merasa tak nyaman. Aroma parfum Olivia terlalu menyengat dan menyebabkan kepala terasa pusing. "Eh?"Olivia mulai memundurkan langkah. Aku bisa melihat dari gelagatnya bahwa ia cukup canggung. Gelagat itu tidak tampak ketika kami bertemu di awal tadi."Sudah lama kerja di sini, Dok?" tanyanya sambil memainkan ujung rambut yang tertiup angin malam. Suaranya sedikit aneh. Kalau bisa kubilang, terlalu dibuat-buat. Entah untuk tujuan apa."Lumayan
PoV Lara Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Orang itu adalah … Olivia!"Nyonya, bolehkah saya masuk?" tanya wanita itu dengan senyuman mencurigakan. Ia mengipaskan sebuah foto cabul yang memuat potret suamiku dengan seorang wanita—yang tentu saja dirinya!"Masuk!" perintahku dengan napas tersengal. Seno baru saja pulang, setelah seharian menemaniku, meski tidak diminta. Esok—pagi-pagi buta—Seno harus pergi ke luar kota untuk melanjutkan proses pembayaran untuk mengakuisisi perusahaan rekanan. Aku tidak terlalu memperhatikan detailnya, karena aku juga tidak peduli pada aktivitas Seno. "Apa maksudmu?!" Aku meninggikan suara. Aku merebut paksa potret tak senonoh itu dari tangan Olivia, kemudian merobeknya dengan kasar hingga tidak berbentuk apa-apa. Gadis itu tertawa licik dan mengatakan bahwa ia memiliki seribu potret telanjang Seno yang lebih menggemparkan dari yang dirusak olehku tadi. "Ceraikan dia.""K—kau!"Aku benar-benar marah dan tidak terima. Tapi, Olivia terus saja membua
Aku sedang memikirkan dampak dari ancaman Olivia. Padahal—khas Olivia—yang tidak bisa berpikir terlalu dalam dan matang, ancaman itu hanyalah ancaman kosong yang dapat ia lakukan.Sepanjang pengamatanku, Olivia akan melihat responku yang terjepit dan tak bisa melakukan hal lain, selain menuruti keinginannya. "Dasar jalang rendahan .…" bisikku yang sudah kehabisan suara. Aku tak bisa lagi berteriak dan didera syok yang hebat. Aku benar-benar tidak mengetahui, bagaimana cara mengatasi situasi ini. Kepalaku terasa sakit, hatiku nyeri dan tubuhku seolah tak berdaya, bahkan hanya untuk menyangga tulang-tulang rapuh ini. Apakah, aku benar-benar harus menceraikan Seno?“Tidak!” Aku menolak kuat ide itu. Aku bahkan mendongakkan kepala, menahan tangis yang mulai merebak dari kedua mata ini. Aku tidak ingin terlihat lemah dan tak berdaya. Aku akan menjadi wanita yang lebih tegar, dan siap menghadapi konsekuensi dari pilihan yang ada: tidak akan bercerai, apapun alasannya. "Bagaimana? Kau setu
Aku kemudian menangis kembali, kebencian dan rasa sakit ini tidak mudah pupus begitu saja. Lambat laun, tubuhku mulai terasa lemah. Mataku bahkan mulai meredup, dan anehnya, kepalaku terasa pusing.Aku mencoba berpegangan pada tiang infus yang ada di sebelahku ketika kabel monitor janin masih membelit tubuh ini. Sedari tadi, kebencian dan rasa sakit yang memenuhi rongga diri terasa menyesakkan dada sehingga tidak menyisakan ketenangan sama sekali untukku. Aku menjadi semakin lemah dan tak berdaya. Kedamaian yang baru saja kurasakan, tak sebanding dengan akumulasi kepedihan yang sekian lama terpendam. Aku kembali digerogoti energi negatif yang menghisap kuat, seolah tak ingin membiarkanku pergi begitu saja."Hah…" Napasku mulai melemah. Titik-titik hitam mulai mengaburkan pandangan. Kepalaku seketika berputar-putar, seperti pusaran yang menghisap semua pikiran dan perasaan. Rasa sakit yang mendera kepalaku semakin intens, merayap melalui tulang-tulang di tengkukku kemudian mengepung
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih