Suka cerita ini? Kirimkan Gem 💎 untuk mendukung penulis. Terima kasih telah membaca!
Aku sedang memikirkan dampak dari ancaman Olivia. Padahal—khas Olivia—yang tidak bisa berpikir terlalu dalam dan matang, ancaman itu hanyalah ancaman kosong yang dapat ia lakukan.Sepanjang pengamatanku, Olivia akan melihat responku yang terjepit dan tak bisa melakukan hal lain, selain menuruti keinginannya. "Dasar jalang rendahan .…" bisikku yang sudah kehabisan suara. Aku tak bisa lagi berteriak dan didera syok yang hebat. Aku benar-benar tidak mengetahui, bagaimana cara mengatasi situasi ini. Kepalaku terasa sakit, hatiku nyeri dan tubuhku seolah tak berdaya, bahkan hanya untuk menyangga tulang-tulang rapuh ini. Apakah, aku benar-benar harus menceraikan Seno?“Tidak!” Aku menolak kuat ide itu. Aku bahkan mendongakkan kepala, menahan tangis yang mulai merebak dari kedua mata ini. Aku tidak ingin terlihat lemah dan tak berdaya. Aku akan menjadi wanita yang lebih tegar, dan siap menghadapi konsekuensi dari pilihan yang ada: tidak akan bercerai, apapun alasannya. "Bagaimana? Kau setu
Aku kemudian menangis kembali, kebencian dan rasa sakit ini tidak mudah pupus begitu saja. Lambat laun, tubuhku mulai terasa lemah. Mataku bahkan mulai meredup, dan anehnya, kepalaku terasa pusing.Aku mencoba berpegangan pada tiang infus yang ada di sebelahku ketika kabel monitor janin masih membelit tubuh ini. Sedari tadi, kebencian dan rasa sakit yang memenuhi rongga diri terasa menyesakkan dada sehingga tidak menyisakan ketenangan sama sekali untukku. Aku menjadi semakin lemah dan tak berdaya. Kedamaian yang baru saja kurasakan, tak sebanding dengan akumulasi kepedihan yang sekian lama terpendam. Aku kembali digerogoti energi negatif yang menghisap kuat, seolah tak ingin membiarkanku pergi begitu saja."Hah…" Napasku mulai melemah. Titik-titik hitam mulai mengaburkan pandangan. Kepalaku seketika berputar-putar, seperti pusaran yang menghisap semua pikiran dan perasaan. Rasa sakit yang mendera kepalaku semakin intens, merayap melalui tulang-tulang di tengkukku kemudian mengepung
Suara bariton seorang pria mengejutkan Andre. Sontak ia menoleh ke belakang, dan menjumpai suami Lara sedang berdiri di hadapannya. Pria berjas hitam dengan penampilan formal itu, begitu mengejutkan Andre. Rambut hitamnya yang klimis tampak mengkilat ketika terkena sinar lampu yang ada di atas kepala mereka. Kebalikan dari Seno, penampilan Andre tampak kacau. Sang dokter yang biasanya terlihat formal, kali ini tampak kusut dan seperti kurang tidur, Seno menjadi bertanya-tanya, ada urusan apa dokter itu di kamar Lara. Bahkan, jadwal kunjungan rutin pun seharusnya belum dimulai. Hal ini menambah kecurigaannya. 'Berhati-hatilah dengan dokter Andre. Aku melihatnya bersama istrimu, tadi malam' begitu pesan Olivia, ketika mengirimkan pesan kepadanya. Seno mengurungkan niat untuk pergi ke luar kota, dan memutuskan untuk mengunjungi Lara terlebih dahulu. Jadwal bisnisnya bisa ditunda, namun rasa penasaran dan kecurigaannya harus terkonfirmasi terlebih dahulu. Jika saja pria yang mengaku d
Lara tak menoleh sedikit pun, sebaliknya, ia malah mempercepat langkahnya. "Mohon maaf, Anda bisa menunggu di luar," ucap dokter Miriam dengan senyuman. Jika saja yang melontarkan kalimat tersebut adalah dokter Andre, niscaya Seno tidak akan menurut. Namun, dokter Miriam berbeda. Wanita itu memiliki aura dominan yang elegan, membuat pria dapat dihipnotis dengan suaranya tanpa sadar. "Ta—tapi, dok…""Agar pasien nyaman, Pak," lanjut sang dokter sambil mengantar Seno pergi dari kamar perawatan. Seno hanya menelan ludah, tak ingin lagi berdebat, atau semakin menjauhkan Lara darinya. Ia menurut meski dengan hati yang berat. Suara sepatu Seno terdengar lirih dan seketika hilang dalam beberapa saat kemudian. Pria itu benar-benar sedang berada di luar kamar Lara. Dokter Miriam kembali ke ranjang Lara—lagi-lagi sambil melemparkan senyuman—dan memeriksa keadaan pasien itu dengan seksama secara lebih nyaman. "Ibu, lain kali tolong beritahu perawat jika ingin mencopot kabel-kabel monitor ini
Suasana ruangan yang hening itu tiba-tiba menjadi tegang, dengan sindiran dari Miriam. Andre yang sempat tertidur, kini membeliak dan menatap Miriam lekat. Wanita berambut sebahu itu hanya terlihat mengatupnya bibirnya dengan jengkel, atau malah… cemburu? "Untuk apa kau menanyakannya?" tanya Andre malas. Ia tidak merasa harus menjelaskan semuanya, terutama kepada tunangan yang tidak diakui olehnya. "A—aku….""Sudahlah, kembali lah bekerja, dokter. Kita harus membedakan hal-hal profesional dan personal. Ini bukan saat yang tepat untuk membahasnya," tukas Andre dingin sambil membelakangi Miriam yang masih terpaku menatapnya. Dada Andre bergemuruh ketika Miriam mengungkit-ungkit tentang Lara. Ia bahkan telah diusir dan kini? Topik tentang gadis itu seakan dikorek paksa atas dasar rasa penasaran Miriam yang tidak mengetahui apa-apa. "Aku tunanganmu, Andre! Aku seharusnya mengetahui masa lalumu," ucap Miriam dengan suara lirih. Wanita itu memang seakan tak pernah bisa menggapai cinta An
Lara tidak akan pernah menyangka bahwa Seno—suami yang konon telah berubah itu—kembali bermain api di belakangnya. Lara masih beristirahat di rumah sakit, ketika Seno pamit pulang untuk kembali bekerja. Lara tersenyum ketika melepas kepergian Seno, setelah sore panas yang mereka habiskan berdua. Hanya tinggal menunggu hari, Lara akan diperbolehkan pulang kembali ke rumahnya, setelah observasi terakhir dari dokter berakhir baik dan Lara telah pulih seperti sedia kala. ***"Selamat pagi, Bu. Bagaimana perasaanmu?" tanya Dokter Miriam ketika melakukan pemeriksaan pagi ini. Ia dan seorang asisten serta dua orang perawat tampak masuk ke dalam kamarku pada jam yang sama, pukul 9 pagi. Aku tersenyum cerah. Aku merasa berkali-kali lipat lebih baik daripada sebelumnya. Tidak ada rasa sakit yang kurasakan dan secara umum, aku merasa bugar. "Saya merasa baik-baik saja, Dok," sahutku dengan cepat.Mentari pagi sudah meninggi, bahkan semburat sinarnya membuat jendela yang ada di sisiku mengant
Langit semakin menggelap, sedangkan Seno belum tampak akan datang untuk menjemputku. Bagaimana mungkin ia akan menjemput? Jika panggilanku saja tertolak oleh kotak suara yang mengundang untuk meninggalkan sebuah pesan. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. "Hhh …" Aku menghela napas panjang. Aku benar-benar kebingungan. Semburat jingga menambah rasa cemas di dadaku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menatap nanar air mancur yang ada di taman. Untuk sesaat, aku tiba-tiba teringat ibu. Dulu, ketika aku masih kecil, aku juga pernah dalam fase bimbang seperti ini. Sepulang sekolah, ibuku tak kunjung menjemput. Aku terus saja meneleponnya namun Ibu tak bisa dihubungi, beruntung aku masih memiliki ayah—sebelum pria itu kabur dengan wanita lain. Aku kemudian menelepon ayah dan pria gagah itu dengan sigap menjemputku. Siapa lagi yang bisa diandalkan di waktu sulit seperti itu, jika bukan ayah dan ibu? Aku merasa sangat beruntung kala itu. Sekolahku—ketika masih di jenjang SD d
Aku melongo mendengar perkataan Ibu Mertua. Dia memang seperti itu, tetapi aku tak suka mendebatnya. Pertengkaran kami tidak akan menguntungkan siapa-siapa. Aku harus bersabar, demi janin yang ada di perutku. "Kalau udah tau hamil tuh, dijaga badannya. Jangan sembrono! Ngerepotin orang aja!"Ibu masih mengomel tanpa memandangku. Ia bahkan hanya melirik sekilas, kemudian kembali merapikan riasannya dengan bedak kecil yang selalu dibawa kemana-mana. Saat ini, kami sudah berada di mobil untuk menuju ke rumah. Rumahku, mungkin? Atau rumah ibu mertua? Aku juga belum menanyakannya."Ma, kita mau ke rumah siapa?" tanyaku penasaran. "Dasar kamu itu! Tadi diomelin, diem aja, sekarang malah nanya-nanya."Aku terdiam. Sulit sekali berbicara kepadanya. Aku menjadi serba salah. "Kita mau ke rumah utama. Memangnya di rumahmu ada yang mengurusmu? Pelayan aja ngga ada, suamimu kan juga dinas luar terus.""Tapi, Ma—""Udah! Jangan ngeyel! Kalau bukan Nenek yang nyuruh, aku juga malas jemput kamu! M
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih