-PoV Lara-
Batas antara kenyataan dan khayalan menjadi kabur ketika kau baru saja menjalani operasi yang begitu lama. Dalam kebencian yang tertanam setelah kembali bertemu dengan Olivia, ingatanku mulai berputar ke masa ketika kami masih menjadi mahasiswa.
Waktu itu, belasan tahun silam, aku baru saja pindah ke Kampus Triguna yang ada di Jakarta, setelah menjalani kehidupan bersama bibiku di Surabaya. Sepeninggalan ibu dan ayahku, aku dijemput bibi dari Indonesia dan diasuh di kota pahlawan itu. Lumayan sulit juga beradaptasi di sana, terutama jika wajahmu sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Banyak yang bilang bahwa aku cantik, meski aku selalu merasa, wajahku biasa saja. Di kampung halamanku, wajah sepertiku malah terbilang eksotis karena perpaduan dari ras kaukasoid dan ras asia. Tidak ada batas antara wajah cantik kaukasoid dengan cantik ala asia. Kami cukup menghargai perbedaan, berbeda dengan di Indonesia.
Aku cukup senang disebut cantik, tapi banyak juga yang merundungku karena dibilang sok cantik. Mereka bahkan mengolok-olok ‘bule kampung’ dan semacamnya, apalagi ketika mengetahui bahwa aku anak yatim piatu.
Ketika usiaku sudah beranjak remaja, tidak jarang anak laki-laki yang mendekatiku dan ingin menjalin hubungan denganku. Aku menolak mereka semua karena fokus pada studiku. Dari situlah, perundungan yang kualami semakin menjadi-jadi. Sampai pada akhirnya, paman memindahkan aku dari sekolah dan mencarikan guru pribadi karena perundungan itu berujung pada upaya pemerkosaan. Aku hampir kehilangan kesucian di usia yang sangat belia.
***
"Lara, ikut pemilihan Ratu Kampus, yuk!" ajak ketua angkatan kepadaku kala itu.“Ratu Kampus?” aku bertanya. Aku tidak pernah mendengar hal semacam ini sebelumnya.
“Iya, anak-anak cantik sepertimu akan diadisi untuk menjadi mahasiswi tercantik di kampus ini.”
“Ehm, nggak deh. Aku tidak tertarik,” tolakku halus.
“Ayolah, hanya kamu mahasiswi tercantik di sini. Jurusan kita harus menang. Ini adalah bagian dari program sukses ketua Bem Sastra, plis ya!”
Aku bingung. Apakah aku harus mengiakan atau tetap menolaknya? Aku memiliki ketakutan dengan kecantikan, setelah hampir menjadi korban pemerkosaan. Bagiku, wajah dan tubuh ini hanyalah rancangan Tuhan. Aku berpikir tidak ada yang istimewa dari ini semua.
“Heh! Kemarin katanya aku yang harus ikut, kok sekarang berubah lagi?” Seorang wanita dengan baju kuning dan rok mini denim, tiba-tiba menginterupsi pembicaraan kami.
“Eh! Olivia!” seru Ketua Angkatan itu sambil tertawa canggung. “Semakin banyak kandidat, semakin tinggi potensi untuk menang, kan?”
“Dasar nggak setia! Aku udah daftar, lho, tadi!”
“Kan, nggak pa-pa? Siapapun dari kalian yang menang, akan mengharumkan nama seluruh jurusan!”
“Maaf, aku tidak ikut saja,” putusku, namun, Ketua Angkatan bergeming.
“Aku janji akan membantumu mengerjakan tugas sastra indonesia, beneran deh! Kamu nggak tahu, kan? Mata kuliah itu banyak yang gagal? Apalagi, kamu dulunya lahir dan besar di Kanada. Yakin, nggak butuh?”
Aku menelan ludah. Benar perkataannya. Mata kuliah itu sungguh susah. Aku juga ingin mencari bantuan, tapi belum menemukan kepada siapa.
“Janji?”
“Janji!”
“Baiklah.”
Aku akhirnya mengiakan ajakannya dan sejak saat itulah, hubunganku dengan Olivia bermula. Hubungan buruk, tentu saja.
***
Setelah terpilih menjadi Ratu Kampus, hubunganku dengan Olivia semakin serupa bukit dan jurang. Menurut rumor yang ada, aku merebut posisinya sebagai pemenang 'Ratu Kampus'. Aku juga dituduh mengambil hati lelaki paling keren yang menjadi incaran Olivia.
Lelaki itu tentu saja bukan Seno. Lelaki itu adalah kakak kelas yang kutolak cintanya. Aku tidak suka berpacaran ketika kuliah. Tentu saja, sebelum Seno hadir dalam hidupku, dulu.“Eh, lihat … sainganmu, tuh!”
Permusuhan kami menjadi legenda di jurusan sastra 2008. Sejak aku menjadi pemenang Ratu Kampus, Olivia menjadi terobsesi untuk menyaingiku dalam segala hal. Terutama, penampilan. Olivia tidak secerdas aku. IPK-nya selalu 2,5 saja. Tapi, Olivia pandai mencari teman dan mempengaruhi mereka. Aku … dikucilkan.
***"Lara…"Aku mulai dapat membuka mata setelah beberapa waktu aku tidak sadarkan diri. Lamat-lamat, kudengar seseorang memanggilku.Suara itu. Suara suamiku. Aku hanya berkedip, tanpa menghiraukan panggilan Seno. aku sangat ingin menghindarinya. "Lara… maafkan aku," ucap Seno sambil mengecup punggung tanganku. Aku dapat merasakan bibirnya menyentuhku dan aku sangat jijik. "Lara ..." Ia memanggilku lagi. Kudengar suaranya bergetar. Apakah, pria itu akhirnya cukup menyesali perbuatannya? "Ehm ..."Aku hanya menggeram. Rasanya, suaraku sulit keluar. Seno tampak tersenyum kemudian semakin mendekat ke arah wajahku."Sayang," panggilnya lagi, kali ini, suaranya terdengar dekat dengan telingaku. Aku merinding. "Kau pasti syok, ya? Aku pastikan, Olivia tidak akan pernah ke rumah kita lagi, ya?" Seno terus mengoceh dan menghadirkan nama wanita yang tidak ingin kudengar namanya. "Olivia itu—""Stop."Akhirnya, aku dapat berbicara. "Jangan membicarakannya lagi. Aku muak!" "Maaf…"Seno kembali mengelus kepalaku meski aku tak ingin. Namun aku tak bisa mengelak karena masih terlalu lemah.Selang dan kabel-kabel masih terhubung pada tubuhku. Bunyi monitor dan juga penjagaan khusus dari tim dokter turut menemani proses penyembuhanku. Aku seperti tawanan yang tidak bebas kemana-mana. "Hari apa ini?" tanyaku, mencoba menghitung seberapa lama aku telah tidak sadarkan diri. "Ini hari Jum'at, Sayang. Kenapa?""Di mana Bi Yani?""Bi Yani… Ehm…""Jangan bilang kau memecatnya!"Aku berusaha duduk dengan amarah yang kutahan. Kalau saja, Seno berani memecat pelayan kesayanganku. Maka, aku akan membuat perhitungan dengannya. "Bi Yani sedang istirahat. Dia di rumah. Tenanglah. Okay?" ucapnya. "Kau berbohong!""Sumpah! Aku tidak berbohong. Sabar ya … nanti bisa dicek kalau kita pulang, Okay?"Aku mencoba membaca air muka Seno yang tampaknya tidak mengalami perubahan atau pun terlihat gugup. Sepertinya ia berbicara jujur. "Baiklah…" Aku mempercayainya. Aku juga tidak ingin menguras energi dengan bertengkar dengan suamiku ini. "Aku minta maaf, Sayang. Aku khilaf. Ini tidak akan terjadi lagi," ucap Seno, merujuk pada insiden perselingkuhannya. Tentu saja, permintaan maaf itu sudah yang kesekian kalinya, namun kali ini berbeda. Aku tidak lagi menduga-duga. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa ia telah melakukan hubungan suami-istri dengan selingkuhannya. Hati istri mana yang tak sskit karenanya. "Sudahlah, Seno. Aku tidak peduli."Aku membuang muka. Aku bahkan jijik tatkala melihat wajah suamiku. Aku bisa mengingat kembali bagaimana rupa Seno dan Olivia yang sedang berada di puncak kenikmatan berdua, tanpa mempedulikan lokasi mereka. Bos dan sekretaris binal itu sama sekali tidak peduli dengan desas-desus atau pun saksi mata yang mungkin melihat persetubuhan mereka. Seno dan Olivia bahkan tidak sungkan menampakkan kemesraan di ruang kerja, yang seharusnya penuh dengan formalitas dan juga profesionalitas, bukan hanya nafsu semata. Aku benar-benar tidak habis pikir. Namun, aku tidak ingin pusing lagi. Bagiku, Seno tak ubahnya patung batu yang kusimpan di kediaman. Aku tidak perlu banyak bicara dengannya. Aku hanya perlu bersamanya saja supaya jika anak kami lahir, ia tidak kebingungan karena Ayah dan Ibunya ada bersamanya. "Aku tidak akan menceraikanmu! Ingat itu!"Seru? Kirim gem dong untuk cerita ini. makasih!
Seno—suamiku itu—tersenyum menyambut ancamanku. Ada apa dengannya?"Tentu saja, Sayang. Jangan ceraikan aku. Aku juga tidak ingin berpisah denganmu," ucap Seno sambil membelai lembut wajahku. Bukankah reaksinya terlihat aneh? Aku hanya menatap nanar langit-langit rumah sakit yang ada di atasku. Cahaya menyilaukan itu sejenak menepis bayang-bayang menjijikkan perselingkuhan suamiku dengan sekretarisnya. "Jangan besar kepala. Aku bukannya mengemis cintamu. Aku hanya tidak ingin anak kita besar tanpa orang tua utuh, sepertiku!" Suaraku terdengar tajam, Seno cukup terkejut dengan perubahanku. Ia tampak membelalakkan mata.Ya. Aku memang tidak pernah semarah ini kepadanya. Aku terbiasa diam dan bersikap acuh tak acuh. Namun, kali ini berbeda. Aku harus bersuara lantang dan memberitahunya bahwa aku bukan lagi wanita bodoh yang haus cinta. "Kau sangat kejam, Sayang."Kejam? Bukankah, Seno yang telah berbuat kejam kepadaku? Selama ini, aku hanya pasrah menerima nasib pernikahan yang pahit
Aku menatap tajam dokter yang sedang berada di hadapanku saat ini. Seorang dokter tinggi gagah dengan bola mata kecokelatan khas pria blasteran pada umumnya. Rambutnya hitam bergelombang yang disisir rapi seperti penampakan jas putih yang membalut badannya. Andre. Temanku ketika kecil yang kini menjadi musuhku. "K—kau!" Bara amarahku tiba-tiba membuncah—seolah dapat mencabik raga sang dokter saat itu juga. Kenangan tentang hubungan dokter Andre dan aku di masa lalu, tiba-tiba mencuat kembali dan kini melukaiku. Andre dan aku bukanlah musuh pada awalnya, namun sebuah insiden mengerikan begitu membekas dalam benakku. Insiden itulah yang kemudian menjadikan kami musuh bebuyutan, hingga sekarang. Aku bahkan mencoba untuk memutuskan kontak, meski Andre dan kakaknya sering mencari-cariku, katanya. Aku juga tidak pernah mengkonfirmasi hal itu. Aku memang gadis yang penuh dengan luka di masa lalu. Aku bahkan belum merasa bahagia seutuhnya, hingga suatu ketika, seorang janin tiba-tiba
PoV Andre Untuk beberapa hari, Lara harus berada di rumah sakit. Proses pemulihannya tidak boleh terganggu dan dia harus dipastikan untuk beristirahat secara total, baik secara fisik maupun psikis. Seno, ya? Nama suaminya. Sungguh, aku tak suka melihatnya. Sepertinya, dia sedang mencitrakan diri sebagai suami idaman. Pria itu terlihat bolak-balik ke sana untuk mengecek keadaan Lara di tengah kesibukannya. Entah ia memang benar-benar khawatir atau hanya berpura-pura. Bukankah, pelayan itu bilang bahwa Lara pendarahan karena ulah seorang wanita muda? Pasti itu sekingkuhannya. ***"Pasien Lara, bagaimana keadaannya?" Aku menyempatkan diri bertanya ketika melewati nurse-station saat lepas tugas. Aku sedang tidak memiliki jadwal untuk mengecek Lara secara profesional, jadi, sungkan rasanya jika harus masuk ke dalam kamar Lara tanpa ada keperluan yang jelas. "Sudah lebih baik, Dok. Ada apakah?" tanya perawat itu penasaran. Binar matanya mengisyaratkan bahwa ia sedang menanti kabar te
Aku melirik sekilas bibir tebal Olivia yang seakan ingin kuhisap. Namun, aku bergeming. Menurutku, Olivia tidaklah secantik itu. Aku terbiasa bertemu wanita yang lebih cantik darinya. Terlebih, kakakku.Kakakku adalah wanita yang sangat cantik dengan gen terbaik dari ayah yang merupakan ras Kaukasian. Rambut pirang kakak, bukanlah pirang palsu seperti yang dimiliki oleh wanita itu.Betapa pun Aku memindai penampilan Olivia, tidak ada satu hal pun yang menarik minatku. Olivia benar-benar bukan tipeku. "Tolong mundur sedikit," sentakku yang mulai merasa tak nyaman. Aroma parfum Olivia terlalu menyengat dan menyebabkan kepala terasa pusing. "Eh?"Olivia mulai memundurkan langkah. Aku bisa melihat dari gelagatnya bahwa ia cukup canggung. Gelagat itu tidak tampak ketika kami bertemu di awal tadi."Sudah lama kerja di sini, Dok?" tanyanya sambil memainkan ujung rambut yang tertiup angin malam. Suaranya sedikit aneh. Kalau bisa kubilang, terlalu dibuat-buat. Entah untuk tujuan apa."Lumayan
PoV Lara Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Orang itu adalah … Olivia!"Nyonya, bolehkah saya masuk?" tanya wanita itu dengan senyuman mencurigakan. Ia mengipaskan sebuah foto cabul yang memuat potret suamiku dengan seorang wanita—yang tentu saja dirinya!"Masuk!" perintahku dengan napas tersengal. Seno baru saja pulang, setelah seharian menemaniku, meski tidak diminta. Esok—pagi-pagi buta—Seno harus pergi ke luar kota untuk melanjutkan proses pembayaran untuk mengakuisisi perusahaan rekanan. Aku tidak terlalu memperhatikan detailnya, karena aku juga tidak peduli pada aktivitas Seno. "Apa maksudmu?!" Aku meninggikan suara. Aku merebut paksa potret tak senonoh itu dari tangan Olivia, kemudian merobeknya dengan kasar hingga tidak berbentuk apa-apa. Gadis itu tertawa licik dan mengatakan bahwa ia memiliki seribu potret telanjang Seno yang lebih menggemparkan dari yang dirusak olehku tadi. "Ceraikan dia.""K—kau!"Aku benar-benar marah dan tidak terima. Tapi, Olivia terus saja membua
Aku sedang memikirkan dampak dari ancaman Olivia. Padahal—khas Olivia—yang tidak bisa berpikir terlalu dalam dan matang, ancaman itu hanyalah ancaman kosong yang dapat ia lakukan.Sepanjang pengamatanku, Olivia akan melihat responku yang terjepit dan tak bisa melakukan hal lain, selain menuruti keinginannya. "Dasar jalang rendahan .…" bisikku yang sudah kehabisan suara. Aku tak bisa lagi berteriak dan didera syok yang hebat. Aku benar-benar tidak mengetahui, bagaimana cara mengatasi situasi ini. Kepalaku terasa sakit, hatiku nyeri dan tubuhku seolah tak berdaya, bahkan hanya untuk menyangga tulang-tulang rapuh ini. Apakah, aku benar-benar harus menceraikan Seno?“Tidak!” Aku menolak kuat ide itu. Aku bahkan mendongakkan kepala, menahan tangis yang mulai merebak dari kedua mata ini. Aku tidak ingin terlihat lemah dan tak berdaya. Aku akan menjadi wanita yang lebih tegar, dan siap menghadapi konsekuensi dari pilihan yang ada: tidak akan bercerai, apapun alasannya. "Bagaimana? Kau setu
Aku kemudian menangis kembali, kebencian dan rasa sakit ini tidak mudah pupus begitu saja. Lambat laun, tubuhku mulai terasa lemah. Mataku bahkan mulai meredup, dan anehnya, kepalaku terasa pusing.Aku mencoba berpegangan pada tiang infus yang ada di sebelahku ketika kabel monitor janin masih membelit tubuh ini. Sedari tadi, kebencian dan rasa sakit yang memenuhi rongga diri terasa menyesakkan dada sehingga tidak menyisakan ketenangan sama sekali untukku. Aku menjadi semakin lemah dan tak berdaya. Kedamaian yang baru saja kurasakan, tak sebanding dengan akumulasi kepedihan yang sekian lama terpendam. Aku kembali digerogoti energi negatif yang menghisap kuat, seolah tak ingin membiarkanku pergi begitu saja."Hah…" Napasku mulai melemah. Titik-titik hitam mulai mengaburkan pandangan. Kepalaku seketika berputar-putar, seperti pusaran yang menghisap semua pikiran dan perasaan. Rasa sakit yang mendera kepalaku semakin intens, merayap melalui tulang-tulang di tengkukku kemudian mengepung
Suara bariton seorang pria mengejutkan Andre. Sontak ia menoleh ke belakang, dan menjumpai suami Lara sedang berdiri di hadapannya. Pria berjas hitam dengan penampilan formal itu, begitu mengejutkan Andre. Rambut hitamnya yang klimis tampak mengkilat ketika terkena sinar lampu yang ada di atas kepala mereka. Kebalikan dari Seno, penampilan Andre tampak kacau. Sang dokter yang biasanya terlihat formal, kali ini tampak kusut dan seperti kurang tidur, Seno menjadi bertanya-tanya, ada urusan apa dokter itu di kamar Lara. Bahkan, jadwal kunjungan rutin pun seharusnya belum dimulai. Hal ini menambah kecurigaannya. 'Berhati-hatilah dengan dokter Andre. Aku melihatnya bersama istrimu, tadi malam' begitu pesan Olivia, ketika mengirimkan pesan kepadanya. Seno mengurungkan niat untuk pergi ke luar kota, dan memutuskan untuk mengunjungi Lara terlebih dahulu. Jadwal bisnisnya bisa ditunda, namun rasa penasaran dan kecurigaannya harus terkonfirmasi terlebih dahulu. Jika saja pria yang mengaku d
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih