Kamar kos Morgan meredup seiring dengan matinya layar tiga laptop yang sebelumnya menyala terang. Cahaya redup dari luar jendela menyoroti suasana yang semakin damai. Tiga mahasiswa itu terbaring di atas kasur busa dengan posisi tak beraturan.Morgan, yang biasanya menjadi penguasa di atas kasurnya, kini harus berbagi tempat tidur dengan rekannya. Tubuhnya meliuk dengan bebas, salah satu tangan di bawah bantal dan kaki yang terentang. Di sebelahnya, Dion tidur dengan posisi yang mungkin mencerminkan kenangan dari jam-jam panjang di depan laptop. Tangannya masih mencengkeram pena, dan di atas kasur terdapat beberapa lembar kertas yang entah bagaimana masih belum terjatuh. Sementara Jonathan, dengan tubuh yang lebih gemuk, mungkin memiliki posisi tidur yang paling unik di antara ketiganya. Kakinya sedikit terlipat dan satu tangannya berada di dekat wajahnya.Kamar yang sebelumnya penuh dengan suara kibaran keyboard dan diskusi teknis, sekarang menjadi damai dan bisu saat ketiga mahasisw
"Gila lu bawa motornya,""Lah daripada kena omel,""Itu dah pasti. Minimal kalau mau ngeprank malaikat nggak usah ajak kita,""Siapa yang mau ngeprank,"Lah elu--""Ssssttttt!!"Diantara tiga manusia itu, Dion yang dianggap paling waras dan bisa profesional dalam segala situasi."Udah-udah debatnya nanti aja. Yang penting kita masuk dulu. Datang, presentasi, pulang, lupakan," ujar Dion sembari membawa proposal yang telah dijilid rapi."Setuju!" sahut Morgan sembari memetikkan jarinya."Kalau gitu kita gasss sekarang,""Gasss,"Didepan aula kampus mereka berdiri sejenak. Itung-itung mempersiapkan mental sebelum dihajar para dosen."Bentar dulu deh,"Saat Morgan dan Dion hendak melangkah masuk ke aula, Jonathan justru menghentikan langkah mereka. Tampak jelas raut wajahnya menunjukkan kebingungan."Apalagi sih Jon," gerutu Morgan."Tadi si Dion bilang, datang... presentasi... pulang... lupakan. Maksudnya disuruh nglupain projeknya?"Morgan menepuk dahinya usai mendengar pernyataan rekan
Tak sedikit dari dosen yang hadir membuka proposal tersebut sembari mendengarkan presentator."Dalam presentasi kali ini, kami akan memperkenalkan proyek inovatif kami yang bertajuk ' Smart Home: Integration of Internet and Electricity Networks'. Proyek ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan hunian yang lebih nyaman, aman, dan efisien melalui integrasi sistem jaringan internet dan listrik," jelas Dion sesekali menunjukkan logo di proyektor.Dion pindah posisi. Kini giliran Morgan yang meneruskan presentasinya. "Sasaran dari proyek ini adalah untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan penghuni rumah, serta menghemat energi dengan mengoptimalkan penggunaan perangkat-perangkat elektronik. Kami akan bertanggung jawab untuk mengembangkan aplikasi yang dapat digunakan untuk mengontrol perangkat-perangkat elektronik, kami juga bertanggung jawab untuk membangun jaringan internet dan listrik yang terintegrasi di rumah-rumah tersebut,"Setiap mahasiswa menjelaskan konteks yang telah disepak
"Ah sini aja kali," ucap Jon memilih tempat duduk di kantin. Kedua rekannya pun duduk ditempat pilihan Jonathan. "Basecamp sejuta umat, ya disini," ucap Jonathan sembari menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia sengaja memilih outdoor demi mendapat kesejukan gratis dan abadi. Kebetulan angin siang ini bersahabat. Sepoi-sepoi di tengah panasnya Jakarta. "Asyik juga ya kumpul sama kalian," Usai merenung beberapa saat, keluarlah kalimat itu dari bibir seorang Morgan. "Woih, baru nyadar?" sahut Jon. "Emang. Hampir tiga tahun kuliah disini baru ngerasain kumpul sama temen sefrekuensi," jelas Morgan. "What? Serius? Seorang Morgan---""Dia sekelas sama Derren. Tau sendiri kan Derren orangnya kek gimana," potong Dion. Jonathan menggelengkan kepala. Mengingat pesona songong dari anak Dekan itu, membuatnya kesal. "Kamu jadi laki jangan ngerasa dibully apalagi jadi korban. Laki itu nggak takut kalau nggak punya temen apalagi geng. Laki itu biarpun dalam kbbi ada tanda hubungnya, harus tet
Cucu kesayangan Arthur Collim yang menyamar sebagai kang ojek itu terlelap dalam tidurnya di kos kecilnya. Hari itu, ia begitu lelah setelah menghadiri kuliah dan mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Tanpa disadari, ponselnya berada tepat di sampingnya, di dalam grup WhatsApp yang ramai.Ting•••23.45~[Tempat, peralatan, dan biaya sudah saya sediakan. Besok kalian bisa mulai observasi]Begitulah isi pesan grup dari Prof Gin. Jon : [Baik pak]Dion : [Siap pak]Di grup tersebut, ada tiga anggota yang aktif berdiskusi. Pertama, ada Jonathan yang sengaja menjepit kedua matanya agar tetap melek. Kedua ada Dion, yang selalu waras dalam hal dan situasi apapun. Dan yang terakhir, Profesor Gin, dosen pembimbing mereka yang bijaksana dan berpengalaman. Jon : [Mohon maaf lancang pak. Karena besok dan lusa, saya ada agenda praktek dengan Prof Robert. Bolehkah saya izin ke kampus]Prof Gin is Typing•••Prof Gin : [Tidak perlu izin. Saya akan urus nilaimu. Yang penting kalian bertiga fokus obs
Bintaro~ Sebuah daerah yang jaraknya lumayan jauh dari kampus. Tiga mahasiswa pilihan Prof Gin itu berangkat untuk melakukan observasi sebagai bagian dari proyek mereka. Saat mereka melaju di jalan raya, angin sepoi-sepoi menyapa wajah mereka, memberikan sensasi yang menyenangkan seperti sedang melakukan perjalanan touring. "Gini dong sekali-sekali touring," ucap Dion setengah berteriak karena suaranya kalah dengan riuhnya jalan raya saat itu.Morgan, yang mengemudikan motornya sendirian menyatu dengan suasana jalan raya. Jonathan dan Dion yang berboncengan, juga menikmati pemandangan yang berlalu di sepanjang jalan. Mereka tertawa dan bercanda, menikmati kebersamaan dalam perjalanan ini. "Touring dari Hongkong? Observasi bukan touring," sahut Jon."Iya deh iya," "Eh pegangin hp ku dong terus nyalain kameranya,""Kamu mau ngevlog Jon?""Enggak,""La terus mau ngapain?""Mau ikutan trend di medsos. Yang itu lo Hi Kids! This your dad," "Ya jangan disini dong Jon bahaya,""Lah biar
Hari kedua~Pagi di perumahan di Bintaro itu terasa sejuk. Cahaya matahari pagi mulai merambah masuk ke jendela, memberikan sentuhan hangat di dalam kamar. Ketiganya bangun kesiangan setelah semalam begadang di ruang tamu perumahan yang mereka tempati untuk observasi. Tok...tok...Suasana masih terasa sepi ketika Morgan membuka mata setelah mendengar ketukan pelan di pintu. Dengan gerakan setengah sadar, ia beranjak dari tempat tidurnya dan mendekati pintu. Ceklek...Ketika pintu terbuka, tidak ada sosok manusia yang terlihat. Hanya ada sebuah plastik yang berisi tiga kotak makanan yang diletakkan dengan rapi di depan pintu. "Nggak di kos nggak disini ada aja yang iseng," ucap Morgan sambil melihat sekeliling. Morgan memandang plastik itu dengan sedikit kebingungan, mencari tahu siapa yang telah meninggalkan makanan tersebut. Sementara itu, Jonathan dan Dion masih terlelap di ruang tamu, belum menyadari aroma makanan itu. Sesaat sebelum Morgan melangkah masuk ke dalam, matanya te
Caffe "Black Vortex" di sudut kota ramai adalah tempat yang tak biasa untuk pertemuan gengnya Derren. Suasana di dalamnya penuh dengan asap rokok dan musik yang berdentum. Penerangan dari lampu-lampu gantung yang rendah menciptakan bayangan-bayangan misterius di antara dinding bata terbuka dan furnitur kayu tua. Kursi-kursi kulit merah tua dan sofa-sola tua melengkapi atmosfer yang nyaman dan elegan, bertentangan dengan keberadaan geng yang berada di sana. Derren, yang selalu tampil sebagai sosok pemimpin yang arogan, duduk di pojokan sebuah sofa besar. Rambutnya yang kusut dan sepasang mata yang tajam mencerminkan ambisiusnya dalam mendapatkan apa yang dia mau. "Gimana teror dan racun kemarin?" tanya Derren pada anak buahnya. "Terornya berhasil Ren. Tapi racunnya-""RACUNNYA KENAPA? Gagal?" "Iya Ren,"Derren berusaha menahan amarahnya. Dia berusaha tetap tenang tak seperti biasanya. "Oke itu artinya mereka masih ditakdirkan untuk sehat," ucap Derren. "Setelah ini rencana kamu a
Titt...Entah berapa kali Morgan menghubungi beberapa nomer dikontaknya. Namun sebagai penutup aktivitasnya malam ini, dia berniat ke parkiran rumah sakit untuk mengambil tasnya di jok motor. Begitu tiba di parkiran, Morgan langsung menuju ke motornya. Dan ini ke sekian kalinya ia mendapati ponselnya berdering. Brughh..Tasnya sudah dia ambil bersamaan dengan menjawab telpon dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan bodyguardnya. Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Morgan merasakan sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kaki yang pelan serta bayangan yang mengintai membuat bulu kuduknya merinding. Dalam remang-remang gelapnya parkiran, ia melihat sekelompok bayangan orang mendekatinya. Hatinya berdegup kencang, karena ia tahu ancaman telah mengintai. Ia sempat berpikir bahwa bayangan itu mungkin keluarga dari pasein lain yang dirawat di rumah sakit ini. Mungkin hal yang sama juga dilakukan orang itu. Setidaknya hal itu membuatnya tenang. Tapi yang benar saja bayangan itu semakin
Di setiap langkahnya, selalu diiringi doa. Di setiap nafasnya teriring restu untuk melangkah lebih laju. Barangkali Morgan lupa bahwa ia memiliki harta paling berharga. Tak ada tandingannya bila dibandingkan dengan harta atau sejenisnya. Detik yang dilalui terasa lebih lama, begitu melihat sosok paruh abad itu terbaring tak berdaya di ruang rawat inap. Dalam hati Morgan, untuk masih ada disini bukan di ICU. Kalau itu sampai terjadi, mungkin saat ini juga ia akan membantai musuhnya. Kalaupun boleh memutar waktu, maka Morgan memilih tidak melakukannya. Baginya untuk apa memutar waktu kalau pada akhirnya berada diluka yang sama. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Penyesalan pun bagai air liur yang ditelan tanpa rasa. Jangankan mencium kening kakeknya, cucu kesayangan Arthur Collim tak beranjak dari ambang pintu. Ada setitik kekhawatiran tapi semua itu tertutupi dengan hasrat ingin menghabisi musuhnya hari ini juga. "Permisi mas,"Alih-alih memikirkan balas dendam, su
"Kalau kamu ingat, saya pernah memaksa kalian bertiga untuk segera melakukan observasi ditempat yang jauh bahkan tempat itu hanya rekayasa. You know? Orang dan bangunan disana berasa didalam kendali saya," ucap Prof Gin. Morgan menggertakkan giginya. Ingin rasanya ia segera keluar dari ruangan ini. Namun naasnya pria itu membuatnya penasaran akan rencana murahan yang telah dirancang. "Rencana pertama berhasil. Dengan membuat kalian bertiga betah disana. Kemudian serangan terakhir saya adalah mengirimkan anak buah untuk merusak project kalian. Dengan begitu fokus kalian teralihkan pada masalah tersebut. Itu artinya semakin mudah tim IT untuk menyabotase ponselmu. Dan ternyata semua dokumen ada disitu. Sama sepertimu yang selalu memunculkan gagasan ide terbaru tentang program. Saya juga sering meluncurkan aplikasi hacker sekali klik, bisa mengakses seluruh informasi," sambung Prof Gin. 'Kurang ajar!! Jadi selama ini---' Morgan hanya bisa membatin. Sementara kedua tangannya mengepal.
Dalam hening koridor kampus yang sepi, Prof. Gin memimpin dua mahasiswa yang berjalan dibelakangnya. Morgan dan Derren mengikutinya dengan irama langkah yang sama. Sesekali mereka saling melempar tatapan sinis. Jelas di wajah mereka tersirat amarah yang belum terbalaskan. Ketika tiba didepan pintu ruangan, Prof. Gin segera membuka pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Ruangan itu penuh dengan aroma buku serta pengharum ruangan yang khas. Rak-rak penuh dengan literatur teknologi dan dinding dipenuhi dengan sertifikat dan penghargaan. Prof. Gin duduk di meja kerjanya dengan santai, tetapi tatapannya tajam dan penuh otoritas. Morgan dan Derren berdiri di depan meja profesor itu, merasa seakan ditarik masuk ke dalam pusaran masalah yang lebih besar. "Silakan duduk," ucap Prof. Gin, suaranya yang tenang tidak mencerminkan kesabarannya. Kedua mahasiswa itu duduk di kursi yang tersedia. "Saya yakin kalian tahu mengapa kalian dipanggil ke sini," ujar Prof. Gin dengan nada naik turun
"Jadi selama ini atmnya ada di kalian?"Di depan ruko dua misterius itu menghadap Morgan. Merekalah bodyguard Arthur Collim yang berhasil dihubungi oleh Morgan. Sehingga mereka datang kesini itupun dengan penyamaran. "Benar tuan," sahut salah satu dari mereka. "KURANG AJAR! Jadi kalian yang narik uang itu," terlanjur naik pitam, Morgan menarik kerah baju pria itu hingga mendekat. "Demi Tuhan tuan, s-saya tidak pernah menyentuh apalagi mengecek isi atm tersebut," ujarnya ketakutan. "La terus siapa kalau bukan kamu," bentak Morgan. Geram dengan sikap bodyguardnya, Morgan sampai menghentakkan kaki melampiaskan amarahnya."Di rekening itu ada 4 triliun. Selama 24 jam hampir habis, ulah siapa kalau bukan ulah kalian!!!""Maaf lancang tuan muda. Beberapa hari ini tuan Arthur juga mengalami hal yang sama. Dana perusahaan juga menghilang. Jumlahnya tak sedikit tuan, hampir mendekati 2 triliun. Sedangkan rekening pak Arthur juga sepertinya dibajak oknum tak bertanggung jawab," ungkap seor
Pagi ini keluarga Jensen menyantap hidangan sarapan. Ruangan itu terhias elegan, dengan kursi-kursi empuk dan meja panjang yang dihiasi penuh dengan hidangan lezat. Semuanya terlihat begitu sempurna, seolah-olah menciptakan semacam kebahagiaan yang bersifat rutin di keluarga ini. "Itu tolong airnya ditambah ya bik,""Baik nyonya,""Sama satu lagi, ambilin buah di kulkas ya bik,""Iya nya,"Jauh sekali dengan kebiasaan Morgan sehari-hari. Yang hanya mengandalkan mie instan sebagai menu utama dan abadi. Jangankan duduk di meja makan, kos-kosannya saja tidak muat diisi seperangkat tempat duduk. Justru Kasur yang seharusnya menjadi tempat tidur malah digunakan sebagai alas apapun. Alas pantat, misalnya. Prof. Robert Jensen, duduk di ujung meja dengan sikap yang tenang. Dengan setelan jas yang rapi, dia memberikan kesan otoritas. "Ada kelas pagi yah?""Nggak,""Kok tumben berangkat pagi,""Mau rapat bentar,"Sedangkan Regina, anak semata wayangnya, duduk di seberangnya. Pakaian dan pena
Regina baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di kampus. Namun, kelelahannya tak menjadikannya bermalas-malasan. Justru ia harus segera merawat rambutnya yang kusut. Regina berdiri di depan cermin kamar mandi, tetesan air masih terasa di kulitnya. Warna senja yang mulai meredup memancarkan sinar lembut ke dalam kamar mandi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Dia membiarkan handuk putih lembut melilit rambutnya yang basah, meresapi sensasi hangat setelah selesai keramas. Dalam kesendirian itu, Regina merasa seolah-olah kamar mandi menjadi tempat perlindungan dari segala masalah yang terjadi di luar sana. Tetesan air yang menetes dari rambutnya menciptakan melodi lembut yang seolah-olah membawanya ke dunia yang jauh dari keriuhan dan drama kampus. Ponselnya yang ditaruh di samping wastafel, tanpa disadari bergetar seiring dengan notifikasi yang masuk. Namun, Regina masih asyik mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Dalam keheningan tersebut sambil mengeringka
Teriakan dan tawa yang tak senonoh mulai mengganggu ketenangan. Geng Derren dengan bangga masih menyerbu bangku tempat ketiganya duduk. "Sekarang lihat sini, ini dia trio abal-abal! Masih nongkrong di sini sambil bermimpi sukses ya? Haha!" ujar Derren sambil menunjuk-nunjuk mereka satu per satu. Kedatangannya yang telat menjawab pertanyaan tiga trio ingusan itu. Yang sempat menanyakan keberadaan sang ketua geng. Tapi mbatin sih. "Bukan trio abal-abal tapi trio ingusan,""Oh ada baru ternyata,""Iyalah baru rilis,""Lebih cocok pakai nama itu deh. Lengkap juga formasinya ada kang ojek, ada pecundang, dan ada juga yang suka lapor ke dosen,""Ups, lengkap nggak tuh,"Jonathan yang biasanya cepat emosi, kali ini duduk dengan tenang. Ia membuka pesan dari Dion di ponselnya. Media tangkapan layar menunjukkan jumlah dana masuk di rekening Dion yang mencapai 700 juta rupiah dari klien yang telah mempercayakan proyek pada mereka. 'Gilaaak jauh dari perkiraan cuy,'batin Jonathan. Alis Jona
“Wooiii trio MJD,”Ketengangan di kantin sirna seketika. Saat itu hanya ada Morgan, Jonathan, dan Dion."MJD apaan?" Morgan melirik dua rekannya secara bergantian.Di tengah hiruk pikuk kampus Konoha, terdengar bentakan keras dari salah satu anggota geng yang dikenal sebagai musuh Morgan, seorang miliuner yang menyamar sebagai mahasiswa biasa. Geng tersebut terdiri dari Derren dan anak buahnya, yang telah menguasai kampus dengan perilaku intimidatif dan penindasan terhadap mahasiswa.Geng yang memerintah kampus tersebut memperlakukan mahasiswa berdasarkan status sosial dan kekayaan, bukan berdasarkan kemampuan akademik atau kepribadian. Mereka terus memperluas kekuasaan mereka tanpa ada yang berani melawan atau melaporkan tindakan mereka.Di tengah kondisi seperti itu, masih ada pertanyaan apakah ada mahasiswa lain yang berani menentang geng tersebut dan apakah ada harapan untuk mengembalikan keadilan di kampus Konoha.Dengan demikian, kehidupan kampus Konoha dipenuhi dengan keteganga