Hari kedua~Pagi di perumahan di Bintaro itu terasa sejuk. Cahaya matahari pagi mulai merambah masuk ke jendela, memberikan sentuhan hangat di dalam kamar. Ketiganya bangun kesiangan setelah semalam begadang di ruang tamu perumahan yang mereka tempati untuk observasi. Tok...tok...Suasana masih terasa sepi ketika Morgan membuka mata setelah mendengar ketukan pelan di pintu. Dengan gerakan setengah sadar, ia beranjak dari tempat tidurnya dan mendekati pintu. Ceklek...Ketika pintu terbuka, tidak ada sosok manusia yang terlihat. Hanya ada sebuah plastik yang berisi tiga kotak makanan yang diletakkan dengan rapi di depan pintu. "Nggak di kos nggak disini ada aja yang iseng," ucap Morgan sambil melihat sekeliling. Morgan memandang plastik itu dengan sedikit kebingungan, mencari tahu siapa yang telah meninggalkan makanan tersebut. Sementara itu, Jonathan dan Dion masih terlelap di ruang tamu, belum menyadari aroma makanan itu. Sesaat sebelum Morgan melangkah masuk ke dalam, matanya te
Caffe "Black Vortex" di sudut kota ramai adalah tempat yang tak biasa untuk pertemuan gengnya Derren. Suasana di dalamnya penuh dengan asap rokok dan musik yang berdentum. Penerangan dari lampu-lampu gantung yang rendah menciptakan bayangan-bayangan misterius di antara dinding bata terbuka dan furnitur kayu tua. Kursi-kursi kulit merah tua dan sofa-sola tua melengkapi atmosfer yang nyaman dan elegan, bertentangan dengan keberadaan geng yang berada di sana. Derren, yang selalu tampil sebagai sosok pemimpin yang arogan, duduk di pojokan sebuah sofa besar. Rambutnya yang kusut dan sepasang mata yang tajam mencerminkan ambisiusnya dalam mendapatkan apa yang dia mau. "Gimana teror dan racun kemarin?" tanya Derren pada anak buahnya. "Terornya berhasil Ren. Tapi racunnya-""RACUNNYA KENAPA? Gagal?" "Iya Ren,"Derren berusaha menahan amarahnya. Dia berusaha tetap tenang tak seperti biasanya. "Oke itu artinya mereka masih ditakdirkan untuk sehat," ucap Derren. "Setelah ini rencana kamu a
"Udah setengah jam ni ko belum nyala sih,""Iya udah pegel nunggu,""Bisa nggak sih benerin,""Ganti yang lama aja. Rugi pakai jasa mereka,""Bener ganti aja,""Iya ganti aja,"Seruan ibu-ibu membuat Jonathan hampir kewalahan. Sementara Jon hanya mengandalkan sisa-sisa keberaniannya menghadapi ibu-ibu yang brutal menyerangnya. "Saya mohon harap tenang. Semua pasti akan kembali semula," ucap Jon. "Alaaaah bacot lu. Buktiin dong omongan lu," "Iya bener,""Buk, saya mohon beri kami waktu," "Udah mending kalian pergi aja. Nyampah aja disini,"Aksi dorong-dorongan akhirnya terjadi. Jon tak kuat menahan dorongan para emak-emak yang menginginkannya pergi dari sini. Begitu riuh suasana di perumahan sampai akhirnya tak ada yang menyadari kalau semua listrik di tiap unit telah menyala seperti sedia kala. Jaringan wifi pun tersambung secara otomatis ke setiap ponsel. Hingga perhatian ibu-ibu yang menjambak rambut Jon teralihkan pada tiap anak yang memegang ponsel dalam mode lanscape. Merek
Sinar mentari mulai menyusup masuk ke setiap celah. Ruangan yang semula gelap sekarang mulai diterangi oleh warna keemasan yang lembut. Tiga mahasiswa masih terlelap dalam tidur yang pulas, tak menyadari bahwa sudah waktunya bangun. Ketukan pintu yang ringan seperti alarm dadakan yang akhirnya membangunkan Morgan dari dunia mimpinya. Dia meraih ponsel di samping tempat tidur untuk melihat jam, tapi sebelum dia sempat melihat layar, pintu utama terbuka perlahan. Krieettt.. “Kok pintunya nggak dikunci,” ucap pria yang membuka pintu. Sosok pria bertubuh kekar dengan balutan jas hitam itu berhasil membuat mata Morgan terbuka seketika. "Prof Gin," ujarnya sembari membenarkan posisi duduknya. Sementara itu, dua temannya masih tertidur pulas dalam posisi tak teratur. "Prof, mohon maaf ee s--silahkan d-duduk," Morgan masih berusaha mengembalikan kesadarannya. Baginya ia masih berada dialam mimpi melihat dosen pembimbingnya datang kesini tanpa aba-aba. "Iya-Iya, santai aja," sahut Prof
"Ini KTP saya Prof," Lirikan pria paruh baya itu jatuh seketika pada benda kotak pipih yang berisikan identitas penduduk. "Morgan Junior? Bener?" tanya Prof Gin. "Benar Prof," sahut Morgan. Alangkah senangnya Morgan lantaran telah mengganti identitasnya jauh-jauh hari sebelum mendaftar kuliah. Dengan begitu sangat kecil kemungkinannya orang bisa tau siapa dirinya yang sebenarnya. "Kalau gitu, saya butuh ATM,"Ketiga mahasiswa itu mengangkat kepalanya secara serentak. Mulut mereka sedikit terbuka. Reaksi spontan itu menunjukkan keterkejutan. "Mohon maaf Prof, tapi---" Morgan mencoba menyangga. "Salah satu aja. Nggak usah semuanya. Lagian kalau kalian dapat uang DP masa mau kalian simpan di kos?" "Oh begitu Prof," sahut Morgan sembari menganggukkan kepala. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua temannya. "Emang kamu pikir ATM buat apa?""Mohon maaf Prof. Mungkin Morgan terlalu fokus," Dion menyanggah."Jangan terlalu fokus. Santai aja. Sama tolong ya, kalau diluar kampus nggak
"Regina, maaf ya. Datar banget. Maaf ya Regina. Lah kebalik dong. Regina maafin aku ya. Etdah kesannya aku ngemis terus," Selama di perjalanan isi kepalanya menyusun kata-kata minta maaf yang tepat. Belasan tahun sekolah, rupanya tak berguna bila tak fasih mengucapkan kata itu. "Sorry ye? Regina sorry ya. Regina Sorry banget. Sorry ye Regina. Lah kenapa jadi kayak paslon nomer dua," Beginilah dampaknya kalau keseringan nonton debat sampai lupa cara minta maaf yang baik. Lagipula bukan masalah besar jika ia tidak minta maaf karena baginya yang terjadi kemarin hanya masalah paham. "Minta maaf aja susah banget. Lagian kemarin ngapain dia disitu. Kayak kurang kerjaan aja. Yang salah tetap dialah, endingnya mancing opiniku yang enggak-enggak," Terlepas dari itu, nyatanya semalam Morgan tak bisa tidur lantaran merasa bersalah. Hingga mengalahkan egonya untuk bertekad minta maaf pada wanita itu. Hanya lampu merah yang berhasil membuat ban butut itu berhenti menggelinding. Teriknya menta
03.40 WIB~Terpantau di dalam kost Morgan sedang menatap laptop dan membuka beberapa aplikasi pengedit desain. Matanya yang lelah tak menyurutkan niatnya untuk mempromosikan projeknya. Sering kali tidur yang seharusnya menjadi keharusan kini berubah menjadi pilihan. Menurutnya lebih baik tak tidur semalam daripada proyeknya tak kunjung direalisasikan. Biarpun beberapa kali menguap, kedua matanya masih kuat melek sampai beberapa menit ke depan. Tiap detail desain yang dibuat harus rapi, masa amburadul. Apa kata dunia. Kejauhan dah. Apa kata Prof Robert bila desain mereka ternyata amburadul. Untuk ke sekian kalinya bibirnya menguap. Beruntung desainnya selesai. Setelah mengirimkan hasil desain itu pada rekannya, Morgan mengistirahatkan kepalanya sejenak. Untuk bersandar di dinding kost yang usang. Tapi beribu cerita terukir disana. Sementara di sebuah grup pribadi berisi tiga anggota ramai sekali pesannya. [Dion : Proposalnya jangan lupa diprint ya @Jon][Jonathan : Iy²][Dion : @M
Pasific Mall~Salah satu pusat perbelanjaan terkenal yang menawarkan pengalaman berbelanja yang mewah dan lengkap. Begitu melangkahkan kaki masuk ke dalam mall, udara sejuk langsung menyapa setiap pengunjung.Sistem pendingin udara yang canggih menjaga suhu di dalam mal tetap nyaman, sehingga pengunjung dapat menikmati waktu berbelanja dengan santai tanpa merasa terganggu oleh panasnya cuaca di luar.Itu dari segi suasana dan keadaan. Sedangkan infrastruktur di mall ini terlihat begitu elegan dan modern. Pencahayaan yang lembut dan desain interior yang menawan memberikan kesan mewah dan nyaman bagi para pengunjung. Aroma wangi dari berbagai toko parfum terkemuka menyambut semua orang menjelajahi lorong-lorong mall yang luas.[Prof Gin : Silahkan kalian cari properti yang kalian butuhkan]Tak lama setelah membaca pesan grup tersebut, muncul notifikasi dari bank yang berisi seseorang telah mengirim sejumlah uang. "Wei serius nih, kantor sama properti dibiayain Prof Gin," ujar Dion.
Titt...Entah berapa kali Morgan menghubungi beberapa nomer dikontaknya. Namun sebagai penutup aktivitasnya malam ini, dia berniat ke parkiran rumah sakit untuk mengambil tasnya di jok motor. Begitu tiba di parkiran, Morgan langsung menuju ke motornya. Dan ini ke sekian kalinya ia mendapati ponselnya berdering. Brughh..Tasnya sudah dia ambil bersamaan dengan menjawab telpon dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan bodyguardnya. Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Morgan merasakan sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kaki yang pelan serta bayangan yang mengintai membuat bulu kuduknya merinding. Dalam remang-remang gelapnya parkiran, ia melihat sekelompok bayangan orang mendekatinya. Hatinya berdegup kencang, karena ia tahu ancaman telah mengintai. Ia sempat berpikir bahwa bayangan itu mungkin keluarga dari pasein lain yang dirawat di rumah sakit ini. Mungkin hal yang sama juga dilakukan orang itu. Setidaknya hal itu membuatnya tenang. Tapi yang benar saja bayangan itu semakin
Di setiap langkahnya, selalu diiringi doa. Di setiap nafasnya teriring restu untuk melangkah lebih laju. Barangkali Morgan lupa bahwa ia memiliki harta paling berharga. Tak ada tandingannya bila dibandingkan dengan harta atau sejenisnya. Detik yang dilalui terasa lebih lama, begitu melihat sosok paruh abad itu terbaring tak berdaya di ruang rawat inap. Dalam hati Morgan, untuk masih ada disini bukan di ICU. Kalau itu sampai terjadi, mungkin saat ini juga ia akan membantai musuhnya. Kalaupun boleh memutar waktu, maka Morgan memilih tidak melakukannya. Baginya untuk apa memutar waktu kalau pada akhirnya berada diluka yang sama. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Penyesalan pun bagai air liur yang ditelan tanpa rasa. Jangankan mencium kening kakeknya, cucu kesayangan Arthur Collim tak beranjak dari ambang pintu. Ada setitik kekhawatiran tapi semua itu tertutupi dengan hasrat ingin menghabisi musuhnya hari ini juga. "Permisi mas,"Alih-alih memikirkan balas dendam, su
"Kalau kamu ingat, saya pernah memaksa kalian bertiga untuk segera melakukan observasi ditempat yang jauh bahkan tempat itu hanya rekayasa. You know? Orang dan bangunan disana berasa didalam kendali saya," ucap Prof Gin. Morgan menggertakkan giginya. Ingin rasanya ia segera keluar dari ruangan ini. Namun naasnya pria itu membuatnya penasaran akan rencana murahan yang telah dirancang. "Rencana pertama berhasil. Dengan membuat kalian bertiga betah disana. Kemudian serangan terakhir saya adalah mengirimkan anak buah untuk merusak project kalian. Dengan begitu fokus kalian teralihkan pada masalah tersebut. Itu artinya semakin mudah tim IT untuk menyabotase ponselmu. Dan ternyata semua dokumen ada disitu. Sama sepertimu yang selalu memunculkan gagasan ide terbaru tentang program. Saya juga sering meluncurkan aplikasi hacker sekali klik, bisa mengakses seluruh informasi," sambung Prof Gin. 'Kurang ajar!! Jadi selama ini---' Morgan hanya bisa membatin. Sementara kedua tangannya mengepal.
Dalam hening koridor kampus yang sepi, Prof. Gin memimpin dua mahasiswa yang berjalan dibelakangnya. Morgan dan Derren mengikutinya dengan irama langkah yang sama. Sesekali mereka saling melempar tatapan sinis. Jelas di wajah mereka tersirat amarah yang belum terbalaskan. Ketika tiba didepan pintu ruangan, Prof. Gin segera membuka pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Ruangan itu penuh dengan aroma buku serta pengharum ruangan yang khas. Rak-rak penuh dengan literatur teknologi dan dinding dipenuhi dengan sertifikat dan penghargaan. Prof. Gin duduk di meja kerjanya dengan santai, tetapi tatapannya tajam dan penuh otoritas. Morgan dan Derren berdiri di depan meja profesor itu, merasa seakan ditarik masuk ke dalam pusaran masalah yang lebih besar. "Silakan duduk," ucap Prof. Gin, suaranya yang tenang tidak mencerminkan kesabarannya. Kedua mahasiswa itu duduk di kursi yang tersedia. "Saya yakin kalian tahu mengapa kalian dipanggil ke sini," ujar Prof. Gin dengan nada naik turun
"Jadi selama ini atmnya ada di kalian?"Di depan ruko dua misterius itu menghadap Morgan. Merekalah bodyguard Arthur Collim yang berhasil dihubungi oleh Morgan. Sehingga mereka datang kesini itupun dengan penyamaran. "Benar tuan," sahut salah satu dari mereka. "KURANG AJAR! Jadi kalian yang narik uang itu," terlanjur naik pitam, Morgan menarik kerah baju pria itu hingga mendekat. "Demi Tuhan tuan, s-saya tidak pernah menyentuh apalagi mengecek isi atm tersebut," ujarnya ketakutan. "La terus siapa kalau bukan kamu," bentak Morgan. Geram dengan sikap bodyguardnya, Morgan sampai menghentakkan kaki melampiaskan amarahnya."Di rekening itu ada 4 triliun. Selama 24 jam hampir habis, ulah siapa kalau bukan ulah kalian!!!""Maaf lancang tuan muda. Beberapa hari ini tuan Arthur juga mengalami hal yang sama. Dana perusahaan juga menghilang. Jumlahnya tak sedikit tuan, hampir mendekati 2 triliun. Sedangkan rekening pak Arthur juga sepertinya dibajak oknum tak bertanggung jawab," ungkap seor
Pagi ini keluarga Jensen menyantap hidangan sarapan. Ruangan itu terhias elegan, dengan kursi-kursi empuk dan meja panjang yang dihiasi penuh dengan hidangan lezat. Semuanya terlihat begitu sempurna, seolah-olah menciptakan semacam kebahagiaan yang bersifat rutin di keluarga ini. "Itu tolong airnya ditambah ya bik,""Baik nyonya,""Sama satu lagi, ambilin buah di kulkas ya bik,""Iya nya,"Jauh sekali dengan kebiasaan Morgan sehari-hari. Yang hanya mengandalkan mie instan sebagai menu utama dan abadi. Jangankan duduk di meja makan, kos-kosannya saja tidak muat diisi seperangkat tempat duduk. Justru Kasur yang seharusnya menjadi tempat tidur malah digunakan sebagai alas apapun. Alas pantat, misalnya. Prof. Robert Jensen, duduk di ujung meja dengan sikap yang tenang. Dengan setelan jas yang rapi, dia memberikan kesan otoritas. "Ada kelas pagi yah?""Nggak,""Kok tumben berangkat pagi,""Mau rapat bentar,"Sedangkan Regina, anak semata wayangnya, duduk di seberangnya. Pakaian dan pena
Regina baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di kampus. Namun, kelelahannya tak menjadikannya bermalas-malasan. Justru ia harus segera merawat rambutnya yang kusut. Regina berdiri di depan cermin kamar mandi, tetesan air masih terasa di kulitnya. Warna senja yang mulai meredup memancarkan sinar lembut ke dalam kamar mandi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Dia membiarkan handuk putih lembut melilit rambutnya yang basah, meresapi sensasi hangat setelah selesai keramas. Dalam kesendirian itu, Regina merasa seolah-olah kamar mandi menjadi tempat perlindungan dari segala masalah yang terjadi di luar sana. Tetesan air yang menetes dari rambutnya menciptakan melodi lembut yang seolah-olah membawanya ke dunia yang jauh dari keriuhan dan drama kampus. Ponselnya yang ditaruh di samping wastafel, tanpa disadari bergetar seiring dengan notifikasi yang masuk. Namun, Regina masih asyik mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Dalam keheningan tersebut sambil mengeringka
Teriakan dan tawa yang tak senonoh mulai mengganggu ketenangan. Geng Derren dengan bangga masih menyerbu bangku tempat ketiganya duduk. "Sekarang lihat sini, ini dia trio abal-abal! Masih nongkrong di sini sambil bermimpi sukses ya? Haha!" ujar Derren sambil menunjuk-nunjuk mereka satu per satu. Kedatangannya yang telat menjawab pertanyaan tiga trio ingusan itu. Yang sempat menanyakan keberadaan sang ketua geng. Tapi mbatin sih. "Bukan trio abal-abal tapi trio ingusan,""Oh ada baru ternyata,""Iyalah baru rilis,""Lebih cocok pakai nama itu deh. Lengkap juga formasinya ada kang ojek, ada pecundang, dan ada juga yang suka lapor ke dosen,""Ups, lengkap nggak tuh,"Jonathan yang biasanya cepat emosi, kali ini duduk dengan tenang. Ia membuka pesan dari Dion di ponselnya. Media tangkapan layar menunjukkan jumlah dana masuk di rekening Dion yang mencapai 700 juta rupiah dari klien yang telah mempercayakan proyek pada mereka. 'Gilaaak jauh dari perkiraan cuy,'batin Jonathan. Alis Jona
“Wooiii trio MJD,”Ketengangan di kantin sirna seketika. Saat itu hanya ada Morgan, Jonathan, dan Dion."MJD apaan?" Morgan melirik dua rekannya secara bergantian.Di tengah hiruk pikuk kampus Konoha, terdengar bentakan keras dari salah satu anggota geng yang dikenal sebagai musuh Morgan, seorang miliuner yang menyamar sebagai mahasiswa biasa. Geng tersebut terdiri dari Derren dan anak buahnya, yang telah menguasai kampus dengan perilaku intimidatif dan penindasan terhadap mahasiswa.Geng yang memerintah kampus tersebut memperlakukan mahasiswa berdasarkan status sosial dan kekayaan, bukan berdasarkan kemampuan akademik atau kepribadian. Mereka terus memperluas kekuasaan mereka tanpa ada yang berani melawan atau melaporkan tindakan mereka.Di tengah kondisi seperti itu, masih ada pertanyaan apakah ada mahasiswa lain yang berani menentang geng tersebut dan apakah ada harapan untuk mengembalikan keadilan di kampus Konoha.Dengan demikian, kehidupan kampus Konoha dipenuhi dengan keteganga