Jamuan Renja luar biasa, dia memastikan meja terisi oleh buah, cemilan, dan minuman. Kedua orang tuanya menerima kebaikan Renja secara sungkan sebab khawatir Renja terlalu memaksakan keadaan untuk membuktikan bahwa dia tidak begitu miskin. Putri pertama mereka adalah menantu idaman, cantik dan Rajin, semakin cantik dan terawat setelah menikah. Penampilan Renja menjelaskan harga diri Darel, pria yang mampu merawat Renja jauh lebih layak. “Mau tambah tehnya lagi?” Dia bertutur kata lembut, elegan dalam setiap gerakan. Rasanya tengah melihat seorang putri bangsawan dari abat 18. Apa yang dibuat Darel pada putri mereka? Amar dan Fika saling menatap bingung, memilih bungkam menikmati jamuan Keya. “Kami akan pulang, bapakmu ada kerjaan jam dua nanti.” Fika meletakkan gelas yang selesai ia teguk, membenahi diri sebelum berdiri.“Cepat sekali, aku pikir Mamak dan Bapak akan menginap.” “Tidak, kami cuman mau lihat bagaimana bentuk rumahmu. Syukurlah enggak bolong-bolong.” Renja tersenyum
Dia disambut hormat oleh beberapa orang yang ditugaskan untuk mengantarkan tamu penting dalam undangan. Pakaian rapi mengubah aura berantakan dari montir ke pria berjas bijaksana. “Silahkan lewat sini Pak Darel.” Begitulah dia dipanggil dengan sungkan meski usia masih terbilang muda. Rapat pemegang saham, itulah alasan utama kedatangan Darel ke kota. Mata karyawan yang kebetulan lewat tersirat rasa kekaguman atau mungkin beberapanya adalah ketertarikan terpendam, Darel tetap berjalan lurus percaya diri. Sampai di ruangan tujuan, beberapa pria telah duduk rapi saling berjabat tangan dan berbincang-bincang sebelum semua pemegang saham tiba. Darel akan menjadi yang termuda di antara mereka, biasanya mendengar tawaran perjodohan dari mulut bapak-bapak itu untuk putri mereka. “Apa kabar, Pak Darel?” Pria yang cukup mendapat penghormatan dari Darel menyapanya terlebih dahulu. Pardi namanya, dia berbaik hati beranjak untuk menarik kursi disebelahnya mempersilahkan duduk. “Terima kasih,
Lagi-lagi terlambat, Darel sengaja dan ingin tahu bagaimana cara wanita itu akan menanggapinya nanti. Jika dia masih memaafkan tanpa merajuk, Darel akan merayakan kemenangan seorang diri. Malam telah kelam, warna gelap teramat pekat ketika memasuki area hutan sunyi menggunakan motor. Darel berhenti di depan rumahnya, menunggu beberapa saat; apakah wanita itu akan berlari keluar dari selimutnya? Selayaknya istri baik yang ia katakan. Tapi tidak, tiada tanda-tanda pintu akan terbuka sendiri. “Dia pasti tidur pulas,” gumamnya sembari melihat jam tangan. Maraih kunci motor, Darel percaya diri melangkah dan membuka pintu dengan kunci lain yang satu gantungan dengan kunci motor. Lampu di dalam padam, meski Renja penakut dia tidak suka terang. Katanya untuk menghemat biaya listrik. Darel menghidupkan lampu untuk mendapati makanan dingin di atas meja, membayangkan berapa lama Renja duduk menunggunya pulang di situ. Haruskah dia makan? Sayangnya Darel tidak berselera pada makanan dingin. P
Darel kembali ke tempat tidur usai mengosongkan piring makannya, memutuskan bermalas-malasan memeluk bantal guling. Suara air dari Renja yang mencuci piring sampai ke telinganya, sebab pintu kamar masih terbuka lebar. Memejamkan mata kemudian, rasa kantuk menyerang lebih pekat, jika diingat selama di kota dia kesulitan tidur. Rumah sendiri memang yang paling nyaman. Melewati kamar, Renja mendesah kasihan melihat Darel terlelap. Ia pikir pria itu telah bekerja teramat keras. Berapa bonus yang didapatkan Darel setelah membeli alat-alat mesin ke luar kota? Pun sejak tadi dia tidak melihat ada benda tersebut di rumah ini. ‘Bisa jadi telah diantar terlebih dahulu ke bengkel.’Mengambil topi di atas lemari kayu, niatnya Renja akan pergi ke luar hari ini. Halaman di depan luas, ia telah berangan-angan menanam banyak bunga di sana. Pasti menyenangkan melihat bunga bermekaran sambil duduk di teras, setidaknya ia memiliki kegiatan merawat bunga dari pada menghabiskan waktu dengan tidur. “Ak
“Sebenarnya aku tidak masalah bolak-balik ke toko mengangkat tanamanku.”“Tidap apa-apa, Nona. Cuaca terlalu panas hari ini.”Renja tidak mengerti kenapa pemilik toko berbesar hati padanya, mengantar Renja menggunakan mobil pick up bersama sepeda dan tanamannya di bak muatan. Ada sesuatu yang janggal, mereka yang mendengar tempat ini mendadak hormat. Mungkin Renja akan menceritakan ini hal tersebut pada Darel. “Ah, di sana rumahku.” Renja menunjuk, dia bisa melihat Darel tengah duduk bosan di teras. Tampaknya baru bangun tidur, terlihat dari gelagat lesunya. Mobil berhenti, Darel mengernyit melihat Renja turun. Lebih aneh melihat sepada Renja ada di bak mobil. Apa yang dipikirkan Renja? Membawa sepeda tetapi naik mobil. Rasa penasaran itu terbayar ketika Renja memperlihatkan polybag hitam dengan senyum manisnya berniat pamer. “Aku akan mengisi bunga di halaman.” Renja hanya menurunkan satu polybag, sisa lainnya juga sepeda, diturunkan oleh sang sopir. Itu semua tak luput dari peng
Gumpalan tanah telah ia sapu, setidaknya tidak lagi tampak seperti serangan babi lagi. Renja mengusap peluh menggunakan pergelangan lengan yang sekiranya cukup bersih, langit pun telah berwarna redup, hawa-hawa menyeramkan mulai tercium meski dunia seakan berhenti berputar. Tidak ada angin, suhu dingin meningkat, pohon-pohon berhenti, daun dan rumput diam menjelma seperti batu. Satu-satunya yang bergerak hanya Renja, dia berjalan cepat, bisa disebut separuh berlari, masuk dan mengunci pintu secara panik dengan napas yang tersengal. “Apa yang mengejarmu?” Ia lega melihat Darel duduk bersandar di dinding kayu, dia diam tapi Renja yakin pria itu menertawakan sisi pengecutnya. Jari-jari Darel mengetuk meja, memberi irama tidak beraturan serupa menanti jawaban yang seharusnya ia dapatkan. “Seperti yang kau lihat, aku ketakutan.” Sudut bibir Renja terangkat ringan. “Mau makan apa? Aku akan masak setelah membersihkan diri.” Tetap menjadi istri rajin, mengabaikan kelelahan tidak berguna y
“Kau punya banyak pakaian yang bagus!” Dorie melepaskan tangan dari pintu lemari Renja, menoleh ke belakang pada wanita yang duduk di birai kasur. Tidak percaya tadi Renja mengatakan tidak tahu baju untuk pergi ke pesta pernikahan. Lalu deretan gaun di dalam lemari besar ini apa? Melihat Renja menekuk wajah bingung, Dorie mendesah heran. “Baiklah, aku bantu pilihkan baju untuk kau bawa dan pakai nanti.”“Terima kasih, Dorie.”“Sungguh, Renja, aku sulit percaya kau tidak pandai bergaya.” Dorie berucap sambil memilih-milih pakaian, menjatuhkan pilihannya ke dalam koper kecil tanpa melihat. “Kenapa kau tidak percaya?”“Ya karena setiap hari kulihat kau selalu cantik. Jangan bilang kau memakai asal pakaian!”“Memang asal.” Tangan Dorie berhenti menggeledah, kembali menoleh ke belakang secara spontan dan cepat. Dia menyipitkan mata, menggambarkan bertapa kesalnya dia. “Sungguh! Aku sangat iri. Punya make-up?”Kenapa Dorie sangat serius? Seolah itu adalah masalah besar. “Aku punya bedak p
Renja menyembunyikan wajahnya pada bantal, menekan kuat sampai tidak ada sedikitpun suara dari mulutnya keluar. Dering ponsel ia abaikan, tidak mau tahu siapa pun itu yang menelepon. Ia kesulitan menahan emosi tidak menyenangkan, pikiran baik pun tidak dapat menghalau sesak seolah paru-parunya digenggam. Matahari perlahan-lahan terbit, langit mulai terang dan aktifitas kecil mulai terdengar. Tidak terasa, ya, Renja bahkan belum sempat tidur. Masih berharap Darel mendatanginya, itulah yang membuat dia menunggu. Tapi apa? Ia tahu keinginannya terlalu besar, tidak cukupkah dia mengenal suaminya? “Renja, apa kau sudah bangun?”Ketukan pintu bersama suara Dorie menyulut pergerakan kepala Renja menjauh dari bantal. Sejenak ia memperhatikan penampilan melalui cermin yang memantulkan sosoknya yang kacau. Mata sembab, rambut berantakan, hidung memerah serupa badut. Tidak mungkin dia memperlihatkan wajah kacau itu pada Dorie. “Iya, Dorie. Ada apa?” Ia menjawab dari belakang pintu, dari pada
Kepala Renja mendongak tinggi, berusaha melihat sebuah bangunan mewah yang sayangnya tak dapat dicapai matanya sampai ke puncak. Kekaguman terpancar jelas dari netranya, terpaku di samping mobil dalam halaman luas tertata strategis. Saat Darel keluar dari mobil, pria itu merangkul pinggangnya, membawa Renja masuk tanpa memberikan penjelasan ini rumah siapa. “Ini rumah siapa?” tanya Renja menghentikan langkah, tangan Darel hampir terlepas dari panggangnya sebelum pria itu ikut berhenti. “Mertuamu,” jawab Darel dalam sekali helaan napas berat. Wajah Renja seketika pucat, memegang kepala dengan kedua tangan, frustrasi. Kenapa Darel tidak bilang sejak tadi? Dia tidak membawa apa pun sebagai hadiah. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti? Terlebih ini kali pertama mereka akan bertemu. Mata Renja menilik cepat, membara kesal. “Bagaimana aku bisa masuk tanpa membawa apa pun?! Darel kau benar-benar—” Telunjuk Darel mendarat di bibir Renja, membungkuk, wajahnya begitu dekat sampai
[Nah, kan, benaran hamil. Selamat, Renja.] ~Dorie.Renja tersipu setelah pesannya dibalas oleh Dorie. Setelah semuanya jelas, kebahagiaan Renja sulit digambarkan. Tidak menggunakan prasangka untuk menilai, berakhir salah paham yang membuat dia hampir melakukan tindakan konyol seperti menyembunyikan kehamilan. Memang Renja harus menekankan diri untuk komunikasi, berhenti menebak-nebak seperti dia hidup sendiri saja. Kabar ini harus diberitahukan ke keluarga. Renja menggeser layar ponsel, mencari nomor kontak mamanya. Kemudian jarinya berhenti, ponsel tersebut terlepas dari genggamannya. "Astaga bagaimana aku bisa lupa?! Bapak!" pekik Renja, memegang kepala sendiri menggunakan kedua tangan. Mabuk berkelanjutan usai turun dari penerbangan, menjadi penyebab Renja sibuk memikirkan kondisi dirinya sendiri. Pun Darel tidak menyebutkan hal itu juga, selain ikut berpikir tentang sakit Renja yang sering mual kala lapar sedikit saja. Kaki Renja turun dari Ranjang, berlari kecil keluar dari
Menjengkelkan, hari masih gelap di luar sana, dan Renja terbangun oleh gejolak di perutnya. Wanita itu melarikan diri ke wastafel, memuntahkan makanan yang ia santap semalam. Seluruh tubuh lemas, pandangan berkunang-kunang, sehingga ia harus mencengkeram erat pinggiran wastafel. Usai itu Renja tersandar di dinding, kian merosot ke bawah sampai ia terduduk di lantai. Ranja melipat tangan di perut, meringis oleh rasa sakitnya. Terpikir olehnya untuk lekas meminum obat Magh, namun bayangan Dorie muncul begitu saja. "Kau yakin itu Magh? Bisa saja kau hamil.""Ini Testpack, kau ambil." Dia menyerahkan tiga sekaligus. "Pastikan semuanya, dan beritahu aku hasilnya nanti."Benarkah hamil? Jadi bagaiamana dengan obat yang diminum Renja? Lenguhan berat lolos, bersama tangannya yang bergerak mencengkeram surainya sendiri. Denyutan pusing semakin keras, kepalanya seakan mau pecah. Tidak bisa, ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu, sepertinya itu cara yang paling ampuh. Bersusah payah ia ban
Sudah lebih dari seminggu liburan bersama ini, beberapa kali kapal singgah di berbagai negara berbeda, dan mereka hanya turun sebentar saja setidaknya ke toko terdekat—hanya sebatas waktu kapal berlabuh. Liburan yang menyenangkan, tidak ada penyesalan sama sekali meski ada beberapa tragedi mendebarkan. Dipikir-pikir sepertinya itu merupakan pengalaman yang berkesan, akan selalu teringat sampai kapan pun. Waktunya mereka kembali pulang, naik pesawat untuk sampai ke negara asal. Seperti waktu mereka berangkat, Renja mabuk penerbangan. Lemas, beberapa kali muntah. Darel terpaksa memberinya obat tidur, atau Renja menderita sepanjang penerbangan. "Ada apa dengan Nyonya, Pak?" tanya Malen, mengambil alih koper dari tangan majikannya setelah ia melihat keberadaan mereka di bandara—bertugas menjemput Darel. Renja terkulai lemas dalam gendongan layaknya anak kecil dalam pelukan ayahnya. Mata tertutup, wajah teramat pucat. Malen mengkhawatirkannya. "Mabuk penerbangan," jawab Darel. Kemudi
Wanita gaun biru muda di sana sangat cantik; menggunakan topi baret putih, rambut tergerai di tiup angin, lalu heels putih berenda mutiara mini melingkar di kaki rampingnya. Dia memegang pembatas besi, bercakap-cakap menghadap laut bersama satu teman wanita yang manis menggunakan rok kuning kecoklatan, dipadukan baju kuning pisang tanpa lengan. Liana diterpa kehangatan yang mampu mencairkan kristal es di hatinya. Senyumnya terbentuk tulus, tatapan terpaku pada menantunya. Bolehkah ia menyapa? Ia ingin mengobrol dengan Renja meski sebentar. Kemudian dia melirik pria yang berbaring santai di kursi, berkaca mata hitam menghadap langit biru, membiarkan matahari pagi membakar kulitnya. Dia berjarak beberapa meter dari Renja, namun bukan berarti tidak mengawasi. Liana mendesah berat, Darel tidak mungkin senang dengan keberadaannya. "Ibu menatap kakak ipar terus. Jangan sampai punggung kakak ipar jadi bolong sebab tatapanmu, Bu," singgung Dika. Dia memakai topi dan kaca mata hitam, dudu
“Uh, sekarang kopermu jadi berat!” Renja menoleh ke belakang mendengar rintihan Dorie, bertanya-tanya sejak kapan wanita itu mengambil alih kopernya. Ia melirik Darel, pria itu mengangkat bahu. “Dorie, apa yang kamu lakukan?”“Aku akan membantu membawa koper, biar Darel menggendongmu. Kau masih pucat, masih sakit, kan?” ucap Dorie. Mereka terdiam di tempat memperhatikan wanita yang sibuk sendiri itu. Angin laut menyibak masing-masing pakaian serta rambut, berdiri lebih lama lagi di pelabuhan ini, Renja rasa ia akan terbawa angin. Lantas Renja melirik Zainal, pria itu diam-diam menikmati usaha istrinya. Mereka suami istri memang cocok. “Aku baik-baik saja, Dorie. Mungkin ini efek bergadang, aku tidak tidur semalaman.”Dorie sontak mendongak, melepaskan koper, berjalan cepat sehingga jaraknya hanya satu jengkal dari Renja. Telunjuknya naik satu. “Jangan bilang kau akan tidur lagi setelah naik kapal! Ayolah, Renja, apa liburan ini hanya diisi dengan tidur siangmu.”Renja menggenggam
Ini baru pertama kali Renja naik pesawat, gugup dan takut. Tangannya dingin, ia menggenggam tangan Darel erat saat pesawat lepas landas terdapat guncangan tak terhindarkan. Darel sabar menenangkannya, berempati pada Renja yang mengalami pusing sepanjang penerbangan hingga pendaratan. Darel harus menggendongnya saat mereka turun, sebab wajah Renja begitu pucat tanda ia tidak berdaya. “Apa Renja baik-baik saja?” Dorie ikut khawatir, ia menyaksikan sendiri bagaimana Darel merawat istrinya tadi. “Dia akan baik-baik saja setelah bangun tidur,” jawab Darel, sembari ia mengelus punggung Renja yang digendong menghadap depan seperti anak kecil dengan menggunakan satu tangan saja—tubuh kecil Renja memudahkan Darel—sementara tangan lainnya memegang sebuah koper. Zainal, suaminya Dorie, memperhatikan bagaimana repotnya Darel. Ia takjub akan kasih sayang pria itu terhadap istrinya. Sudah sering ia berpapasan saat melewati rumah Darel, namun baru kali ini melihatnya begitu dekat. “Koper kalian
“Aku tidak enak saat mereka memperlakukan aku seperti orang besar, terlebih mereka memanggil 'Nyonya'. Aku harus bagaimana?” Darel mengusap kepala Renja, rambut panjang nan halus menggelitiki telapak tangannya. Ia terus memandang wajah yang menatapnya bingung, mata bulat yang tergambarkan rasa segan oleh situasi baru baginya. “Kau tidak menyukainya?” Renja membesarkan matanya, lantas menggelengkan kepala. Bagaimana cara mengungkapkannya, ya? Bukan tidak suka, hanya ada rasa takut membuat orang lain tersinggung. Darel tertawa akan wajah panik itu. “Jangan dipikirkan, itu pekerjaan mereka, begitulah cara mereka mendapatkan uang.”Begitu simpel ternyata, Renja mendapatkan pencerahan oleh jawaban sederhana itu. Benar, itu pekerjaan mereka, ada uang yang terlibat. Bodoh sekali, padahal di rumahnya ada Fika yang rela menjadi pesuruh di pasar demi uang. Semua orang berusaha melakukan yang terbaik demi uang, kenapa ia harus segan sementara orang-orang melalui jalannya masing-masing? “Kau
Ketegangan sedikit berkurang kala dokter memberitahu; Amar hanya perlu rawat inap untuk sementara waktu. Untuk saat ini dia belum sadar, diperkirakan setidaknya 3 sampai 4 hari baru bangun. Mereka mengelilingi Amar, prihatin dengan segala lukanya. Memar, banyak goresan, dan perban membalut kaki dan tangannya. “Renja, jika kau lelah tidak apa-apa pulang atau menginap di penginapan.” Fika memberi perhatian, mungkin Darel harus bekerja besok. Fika sungkan setelah mendapatkan bantuan sebesar ini, melihat menantunya tampak lelah, jika tahu diri, Fika tidak boleh membuat mereka terjaga.Renja mendongak melihat Darel, wajahnya memang menggambarkan rasa kantuk berat. Jam dinding menampilkan pukul dua dini hari, tidak masalah kan meninggalkan Fika dan Sera di sini? Lagian Amar baru akan sadar setelah beberapa hari.“Berarti besok kau tidak sekolah, ya, Sera?”“Iya, Kak. Tenang saja, aku sudah minta Giyah membuatkan surat izin.”Renja mengangguk paham, memang itu yang ia khawatirkan. Akhirn