“Kau punya banyak pakaian yang bagus!” Dorie melepaskan tangan dari pintu lemari Renja, menoleh ke belakang pada wanita yang duduk di birai kasur. Tidak percaya tadi Renja mengatakan tidak tahu baju untuk pergi ke pesta pernikahan. Lalu deretan gaun di dalam lemari besar ini apa? Melihat Renja menekuk wajah bingung, Dorie mendesah heran. “Baiklah, aku bantu pilihkan baju untuk kau bawa dan pakai nanti.”“Terima kasih, Dorie.”“Sungguh, Renja, aku sulit percaya kau tidak pandai bergaya.” Dorie berucap sambil memilih-milih pakaian, menjatuhkan pilihannya ke dalam koper kecil tanpa melihat. “Kenapa kau tidak percaya?”“Ya karena setiap hari kulihat kau selalu cantik. Jangan bilang kau memakai asal pakaian!”“Memang asal.” Tangan Dorie berhenti menggeledah, kembali menoleh ke belakang secara spontan dan cepat. Dia menyipitkan mata, menggambarkan bertapa kesalnya dia. “Sungguh! Aku sangat iri. Punya make-up?”Kenapa Dorie sangat serius? Seolah itu adalah masalah besar. “Aku punya bedak p
Renja menyembunyikan wajahnya pada bantal, menekan kuat sampai tidak ada sedikitpun suara dari mulutnya keluar. Dering ponsel ia abaikan, tidak mau tahu siapa pun itu yang menelepon. Ia kesulitan menahan emosi tidak menyenangkan, pikiran baik pun tidak dapat menghalau sesak seolah paru-parunya digenggam. Matahari perlahan-lahan terbit, langit mulai terang dan aktifitas kecil mulai terdengar. Tidak terasa, ya, Renja bahkan belum sempat tidur. Masih berharap Darel mendatanginya, itulah yang membuat dia menunggu. Tapi apa? Ia tahu keinginannya terlalu besar, tidak cukupkah dia mengenal suaminya? “Renja, apa kau sudah bangun?”Ketukan pintu bersama suara Dorie menyulut pergerakan kepala Renja menjauh dari bantal. Sejenak ia memperhatikan penampilan melalui cermin yang memantulkan sosoknya yang kacau. Mata sembab, rambut berantakan, hidung memerah serupa badut. Tidak mungkin dia memperlihatkan wajah kacau itu pada Dorie. “Iya, Dorie. Ada apa?” Ia menjawab dari belakang pintu, dari pada
Sepanjang jalan Renja hanya menatap jalanan, tidak ada inisiatif bicara, lamunan yang segan diganggu oleh Dorie dan Selon. Dia duduk seorang diri di bengku belakang, sesekali Dorie mengintipnya dari kaca spion. Mata wanita itu tenang, entah apa yang ada di dalam pikirannya sekarang. Renja menghela napas, bergerak menghadap depan, saat itu dia bertemu dengan mata Dorie melalui spion. Dorie terbelalak, langsung mengalihkan wajah ke jendela. Renja sadar lamunannya mengundang rasa khawatir pasangan suami istri itu. Tentu alasannya karena sebelumnya Renja bilang ia sakit. Cemas jika saja Renja ternyata tengah menahan sakit. “Apa kita masih jauh?” Akhirnya dia bicara, tersenyum saat Dorie menghadap ke belakang. “Tidak, sebentar lagi akan sampai. Kau yakin sudah sembuh?”“Iya, jangan khawatir.” Dorie memperhatikan saksama, memang benar wajah Renja sudah tidak pucat lagi. Dia telah beristirahat panjang, siang dan malam tidak keluar dari kamar selain membuka pintu menerima pelayan masuk me
Piring telah kosong, mengelap mulut menggunakan tisu, Renja melirik Darel diam-diam. Ketenangan pria itu sangat kontras, tiada tanda-tanda bahwa dia akan rela membantu Renja mendinginkan kepala seperti yang ia singgung tadi. “Aku pikir, kau bisa mencari bengkel lain untuk berkerja.” Darel meliriknya tidak senang, namun wanita itu berani tidak menundukkan kepalanya. Tatapan lantang itu ... ke mana perginya si wanita penakut? Ia tidak menyukai Renja seperti ini, Renja yang berani menuntut bukanlah istri yang ia kenal. “Ada apa denganmu?”“Aku tidak menyukai Yona.”“Terus?”Renja mengatupkan mulut, menahan gesekan gigi agar tidak terlihat. Tatapannya masih lekat pada Darel, saling menatap tajam, Renja mencengkeram ujung roknya kuat-kuat hingga menimbulkan bekas kuku di telapak tangan. “Cari tempat kerja lain.”Sudut bibir Darel terangkat, terkekeh ringan berbentuk ejekan sumbang. Benar-benar, siapa wanita yang ada di depannya ini? Sulit mempercayai mata sinis itu. Dia cemburu, Darel
Akhirnya Renja keluar dari gerbang dengan segenap mempertahankan ketenangan agar tidak ada yang melihat bagaimana buruknya keadaan Renja melalui ekspresi yang jelas. Ragu-ragu ia menoleh ke belakang, tertawa sumbang sebab terlalu bodoh berharap melihat Darel mengejarnya. “Mana mungkin.” Kembali ia melanjutkan perjalanan pagi menyedihkan, suara-suara kehidupan bermasyarakat mulai terdengar. Sepanjang langkahnya Renja menikmati pemandangan sawah membentang luas dengan warna alam yang sayangnya tidak cukup untuk menghibur Renja. Beruntung cuaca pagi ini hangat tidak menyengat, ia bisa berjalan sampai menemukan ojek di persimpangan jalan lintas. Butuh waktu, tentu saja, setidaknya dia akan berjalan selama dua jam tanpa berpapasan dengan Darel juga Yona. Arah bengkel memiliki jalan pintas lebih dekat, akses yang biasa dilewati oleh Darel yang hanya bisa dilewati tidak lebih dari kendaraan roda dua. Renja tidak akan melewati jalan itu. “Pak, antarkan saya ke desa sebelah,” tuturnya set
Sudah lama tidak melakukan banyak pekerjaan sekaligus, baru 4 jam semenjak kedatangannya di rumah ini, kelelahan telah menumpuk di sekujur tubuhnya. Renja menyeka keringat di pelipisnya, meletakkan palu kemudian duduk melipat kaki di atas genteng. Ia tatap pemandangan dari atas situ, terik panas matahari terang dalam pandangan. Kulit Renja memerah, dia akan menggelap jika lebih lama lagi berada di atas genteng. Namun, pekerjaan di atas genteng belum selesai, masih ada lubang yang perlu di sumbat menggunakan lem terbuat dari styrofoam dan bensin. Bapaknya pulang mengendarai motor, Renja melihatnya meski Amar tidak melihat Renja. Pria itu masuk ke rumah, tak lama kemudian dia keluar lagi untuk mendongak ke atas. Sera pasti baru saja memberitahu Amar. “Pantas saja rumah rapi dan bersih, ternyata ada kau, Renja.” Renja balas tersenyum. ‘Sampai kapan mereka akan seperti ini?’ Mulut tertutup rapat, matanya menghina pada orang-orang menyedihkan itu. Jika saja Renja memiliki keberanian u
“Dia benar-benar tidak peduli.” Renja meletakkan ponselnya di samping bantal, tidak ada notifikasi yang ia harapkan untuk muncul. Malam ini begitu asing, Renja menatap langit-langit kamar usam yang telah lama ia tinggalkan. Suara kehidupan manusia desa ini, berbeda dengan ketenangan alam di rumah sana. Ini terasa berisik, suara-suara menembus dinding bukanlah sesuatu yang nyaman lagi. Renja hampir mati menekan kepala ke dalam bantal, sontak duduk dan terengah-engah sesak. Tentang Darel, tentang malam berisik, Renja tidak bisa beristirahat dengan tenang. Haruskah dia menunggu sampai tengah malam? Lagian ini baru jam 20.30, Rata-rata orang masih tertawa besar di luar atau pun di dalam rumah. “Apa yang sedang ia lakukan di sana?” Tidak bisa tidur, wajah suaminya terbayang-bayang tengah bersama wanita lain. Ia peluk guling erat, merutuki diri sendiri kenapa dia tidak mencoba bersikap lebih tenang tadi. Apa dia salah? Mungkin saja sikap Renja telah berlebihan? Ia rasa ia telah keluar d
Kurang lebih pukul dua malam, Renja masih melamun menatap luar yang gelap dari jendela kamarnya yang kecil. Ia sibuk berperang dengan otaknya sendiri, dalam perasaan buruk seperti saat sekarang, Renja tidak memiliki rasa takut pada sosok menyeramkan—justru tidak ada di dalam pikirannya sekarang. Ia melihat Sera mengendap-endap keluar dari jendela di sebelah—kamar mereka berdekatan—dari halaman samping menuju ke arah belakang. Pasti jemputan Sera telah menunggu di sana. ‘Dasar anak nakal.’ Sera beruntung lantaran Renja tidak memiliki tenaga untuk mengurusinya saat ini. Dari balik jendela gelap, dia hanya memperhatikan sampai si adik menghilang dengan sorot mata yang kosong. Satu keinginan Renja saat ini; Tuhan buatlah ia mengantuk, otaknya terlalu capek memikirkan suaminya di sana. Harus seberapa banyak air mata yang harus ia keluarkan? Sampai Sera pulang di saat langit menjadi jingga di sebelah barat, Renja tetap terjaga dan menyaksikan Sera kembali mengendap-endap masuk ke jende
Kepala Renja mendongak tinggi, berusaha melihat sebuah bangunan mewah yang sayangnya tak dapat dicapai matanya sampai ke puncak. Kekaguman terpancar jelas dari netranya, terpaku di samping mobil dalam halaman luas tertata strategis. Saat Darel keluar dari mobil, pria itu merangkul pinggangnya, membawa Renja masuk tanpa memberikan penjelasan ini rumah siapa. “Ini rumah siapa?” tanya Renja menghentikan langkah, tangan Darel hampir terlepas dari panggangnya sebelum pria itu ikut berhenti. “Mertuamu,” jawab Darel dalam sekali helaan napas berat. Wajah Renja seketika pucat, memegang kepala dengan kedua tangan, frustrasi. Kenapa Darel tidak bilang sejak tadi? Dia tidak membawa apa pun sebagai hadiah. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti? Terlebih ini kali pertama mereka akan bertemu. Mata Renja menilik cepat, membara kesal. “Bagaimana aku bisa masuk tanpa membawa apa pun?! Darel kau benar-benar—” Telunjuk Darel mendarat di bibir Renja, membungkuk, wajahnya begitu dekat sampai
[Nah, kan, benaran hamil. Selamat, Renja.] ~Dorie.Renja tersipu setelah pesannya dibalas oleh Dorie. Setelah semuanya jelas, kebahagiaan Renja sulit digambarkan. Tidak menggunakan prasangka untuk menilai, berakhir salah paham yang membuat dia hampir melakukan tindakan konyol seperti menyembunyikan kehamilan. Memang Renja harus menekankan diri untuk komunikasi, berhenti menebak-nebak seperti dia hidup sendiri saja. Kabar ini harus diberitahukan ke keluarga. Renja menggeser layar ponsel, mencari nomor kontak mamanya. Kemudian jarinya berhenti, ponsel tersebut terlepas dari genggamannya. "Astaga bagaimana aku bisa lupa?! Bapak!" pekik Renja, memegang kepala sendiri menggunakan kedua tangan. Mabuk berkelanjutan usai turun dari penerbangan, menjadi penyebab Renja sibuk memikirkan kondisi dirinya sendiri. Pun Darel tidak menyebutkan hal itu juga, selain ikut berpikir tentang sakit Renja yang sering mual kala lapar sedikit saja. Kaki Renja turun dari Ranjang, berlari kecil keluar dari
Menjengkelkan, hari masih gelap di luar sana, dan Renja terbangun oleh gejolak di perutnya. Wanita itu melarikan diri ke wastafel, memuntahkan makanan yang ia santap semalam. Seluruh tubuh lemas, pandangan berkunang-kunang, sehingga ia harus mencengkeram erat pinggiran wastafel. Usai itu Renja tersandar di dinding, kian merosot ke bawah sampai ia terduduk di lantai. Ranja melipat tangan di perut, meringis oleh rasa sakitnya. Terpikir olehnya untuk lekas meminum obat Magh, namun bayangan Dorie muncul begitu saja. "Kau yakin itu Magh? Bisa saja kau hamil.""Ini Testpack, kau ambil." Dia menyerahkan tiga sekaligus. "Pastikan semuanya, dan beritahu aku hasilnya nanti."Benarkah hamil? Jadi bagaiamana dengan obat yang diminum Renja? Lenguhan berat lolos, bersama tangannya yang bergerak mencengkeram surainya sendiri. Denyutan pusing semakin keras, kepalanya seakan mau pecah. Tidak bisa, ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu, sepertinya itu cara yang paling ampuh. Bersusah payah ia ban
Sudah lebih dari seminggu liburan bersama ini, beberapa kali kapal singgah di berbagai negara berbeda, dan mereka hanya turun sebentar saja setidaknya ke toko terdekat—hanya sebatas waktu kapal berlabuh. Liburan yang menyenangkan, tidak ada penyesalan sama sekali meski ada beberapa tragedi mendebarkan. Dipikir-pikir sepertinya itu merupakan pengalaman yang berkesan, akan selalu teringat sampai kapan pun. Waktunya mereka kembali pulang, naik pesawat untuk sampai ke negara asal. Seperti waktu mereka berangkat, Renja mabuk penerbangan. Lemas, beberapa kali muntah. Darel terpaksa memberinya obat tidur, atau Renja menderita sepanjang penerbangan. "Ada apa dengan Nyonya, Pak?" tanya Malen, mengambil alih koper dari tangan majikannya setelah ia melihat keberadaan mereka di bandara—bertugas menjemput Darel. Renja terkulai lemas dalam gendongan layaknya anak kecil dalam pelukan ayahnya. Mata tertutup, wajah teramat pucat. Malen mengkhawatirkannya. "Mabuk penerbangan," jawab Darel. Kemudi
Wanita gaun biru muda di sana sangat cantik; menggunakan topi baret putih, rambut tergerai di tiup angin, lalu heels putih berenda mutiara mini melingkar di kaki rampingnya. Dia memegang pembatas besi, bercakap-cakap menghadap laut bersama satu teman wanita yang manis menggunakan rok kuning kecoklatan, dipadukan baju kuning pisang tanpa lengan. Liana diterpa kehangatan yang mampu mencairkan kristal es di hatinya. Senyumnya terbentuk tulus, tatapan terpaku pada menantunya. Bolehkah ia menyapa? Ia ingin mengobrol dengan Renja meski sebentar. Kemudian dia melirik pria yang berbaring santai di kursi, berkaca mata hitam menghadap langit biru, membiarkan matahari pagi membakar kulitnya. Dia berjarak beberapa meter dari Renja, namun bukan berarti tidak mengawasi. Liana mendesah berat, Darel tidak mungkin senang dengan keberadaannya. "Ibu menatap kakak ipar terus. Jangan sampai punggung kakak ipar jadi bolong sebab tatapanmu, Bu," singgung Dika. Dia memakai topi dan kaca mata hitam, dudu
“Uh, sekarang kopermu jadi berat!” Renja menoleh ke belakang mendengar rintihan Dorie, bertanya-tanya sejak kapan wanita itu mengambil alih kopernya. Ia melirik Darel, pria itu mengangkat bahu. “Dorie, apa yang kamu lakukan?”“Aku akan membantu membawa koper, biar Darel menggendongmu. Kau masih pucat, masih sakit, kan?” ucap Dorie. Mereka terdiam di tempat memperhatikan wanita yang sibuk sendiri itu. Angin laut menyibak masing-masing pakaian serta rambut, berdiri lebih lama lagi di pelabuhan ini, Renja rasa ia akan terbawa angin. Lantas Renja melirik Zainal, pria itu diam-diam menikmati usaha istrinya. Mereka suami istri memang cocok. “Aku baik-baik saja, Dorie. Mungkin ini efek bergadang, aku tidak tidur semalaman.”Dorie sontak mendongak, melepaskan koper, berjalan cepat sehingga jaraknya hanya satu jengkal dari Renja. Telunjuknya naik satu. “Jangan bilang kau akan tidur lagi setelah naik kapal! Ayolah, Renja, apa liburan ini hanya diisi dengan tidur siangmu.”Renja menggenggam
Ini baru pertama kali Renja naik pesawat, gugup dan takut. Tangannya dingin, ia menggenggam tangan Darel erat saat pesawat lepas landas terdapat guncangan tak terhindarkan. Darel sabar menenangkannya, berempati pada Renja yang mengalami pusing sepanjang penerbangan hingga pendaratan. Darel harus menggendongnya saat mereka turun, sebab wajah Renja begitu pucat tanda ia tidak berdaya. “Apa Renja baik-baik saja?” Dorie ikut khawatir, ia menyaksikan sendiri bagaimana Darel merawat istrinya tadi. “Dia akan baik-baik saja setelah bangun tidur,” jawab Darel, sembari ia mengelus punggung Renja yang digendong menghadap depan seperti anak kecil dengan menggunakan satu tangan saja—tubuh kecil Renja memudahkan Darel—sementara tangan lainnya memegang sebuah koper. Zainal, suaminya Dorie, memperhatikan bagaimana repotnya Darel. Ia takjub akan kasih sayang pria itu terhadap istrinya. Sudah sering ia berpapasan saat melewati rumah Darel, namun baru kali ini melihatnya begitu dekat. “Koper kalian
“Aku tidak enak saat mereka memperlakukan aku seperti orang besar, terlebih mereka memanggil 'Nyonya'. Aku harus bagaimana?” Darel mengusap kepala Renja, rambut panjang nan halus menggelitiki telapak tangannya. Ia terus memandang wajah yang menatapnya bingung, mata bulat yang tergambarkan rasa segan oleh situasi baru baginya. “Kau tidak menyukainya?” Renja membesarkan matanya, lantas menggelengkan kepala. Bagaimana cara mengungkapkannya, ya? Bukan tidak suka, hanya ada rasa takut membuat orang lain tersinggung. Darel tertawa akan wajah panik itu. “Jangan dipikirkan, itu pekerjaan mereka, begitulah cara mereka mendapatkan uang.”Begitu simpel ternyata, Renja mendapatkan pencerahan oleh jawaban sederhana itu. Benar, itu pekerjaan mereka, ada uang yang terlibat. Bodoh sekali, padahal di rumahnya ada Fika yang rela menjadi pesuruh di pasar demi uang. Semua orang berusaha melakukan yang terbaik demi uang, kenapa ia harus segan sementara orang-orang melalui jalannya masing-masing? “Kau
Ketegangan sedikit berkurang kala dokter memberitahu; Amar hanya perlu rawat inap untuk sementara waktu. Untuk saat ini dia belum sadar, diperkirakan setidaknya 3 sampai 4 hari baru bangun. Mereka mengelilingi Amar, prihatin dengan segala lukanya. Memar, banyak goresan, dan perban membalut kaki dan tangannya. “Renja, jika kau lelah tidak apa-apa pulang atau menginap di penginapan.” Fika memberi perhatian, mungkin Darel harus bekerja besok. Fika sungkan setelah mendapatkan bantuan sebesar ini, melihat menantunya tampak lelah, jika tahu diri, Fika tidak boleh membuat mereka terjaga.Renja mendongak melihat Darel, wajahnya memang menggambarkan rasa kantuk berat. Jam dinding menampilkan pukul dua dini hari, tidak masalah kan meninggalkan Fika dan Sera di sini? Lagian Amar baru akan sadar setelah beberapa hari.“Berarti besok kau tidak sekolah, ya, Sera?”“Iya, Kak. Tenang saja, aku sudah minta Giyah membuatkan surat izin.”Renja mengangguk paham, memang itu yang ia khawatirkan. Akhirn