Sudah lebih dari seminggu liburan bersama ini, beberapa kali kapal singgah di berbagai negara berbeda, dan mereka hanya turun sebentar saja setidaknya ke toko terdekat—hanya sebatas waktu kapal berlabuh. Liburan yang menyenangkan, tidak ada penyesalan sama sekali meski ada beberapa tragedi mendebarkan. Dipikir-pikir sepertinya itu merupakan pengalaman yang berkesan, akan selalu teringat sampai kapan pun. Waktunya mereka kembali pulang, naik pesawat untuk sampai ke negara asal. Seperti waktu mereka berangkat, Renja mabuk penerbangan. Lemas, beberapa kali muntah. Darel terpaksa memberinya obat tidur, atau Renja menderita sepanjang penerbangan. "Ada apa dengan Nyonya, Pak?" tanya Malen, mengambil alih koper dari tangan majikannya setelah ia melihat keberadaan mereka di bandara—bertugas menjemput Darel. Renja terkulai lemas dalam gendongan layaknya anak kecil dalam pelukan ayahnya. Mata tertutup, wajah teramat pucat. Malen mengkhawatirkannya. "Mabuk penerbangan," jawab Darel. Kemudi
Menjengkelkan, hari masih gelap di luar sana, dan Renja terbangun oleh gejolak di perutnya. Wanita itu melarikan diri ke wastafel, memuntahkan makanan yang ia santap semalam. Seluruh tubuh lemas, pandangan berkunang-kunang, sehingga ia harus mencengkeram erat pinggiran wastafel. Usai itu Renja tersandar di dinding, kian merosot ke bawah sampai ia terduduk di lantai. Ranja melipat tangan di perut, meringis oleh rasa sakitnya. Terpikir olehnya untuk lekas meminum obat Magh, namun bayangan Dorie muncul begitu saja. "Kau yakin itu Magh? Bisa saja kau hamil.""Ini Testpack, kau ambil." Dia menyerahkan tiga sekaligus. "Pastikan semuanya, dan beritahu aku hasilnya nanti."Benarkah hamil? Jadi bagaiamana dengan obat yang diminum Renja? Lenguhan berat lolos, bersama tangannya yang bergerak mencengkeram surainya sendiri. Denyutan pusing semakin keras, kepalanya seakan mau pecah. Tidak bisa, ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu, sepertinya itu cara yang paling ampuh. Bersusah payah ia ban
[Nah, kan, benaran hamil. Selamat, Renja.] ~Dorie.Renja tersipu setelah pesannya dibalas oleh Dorie. Setelah semuanya jelas, kebahagiaan Renja sulit digambarkan. Tidak menggunakan prasangka untuk menilai, berakhir salah paham yang membuat dia hampir melakukan tindakan konyol seperti menyembunyikan kehamilan. Memang Renja harus menekankan diri untuk komunikasi, berhenti menebak-nebak seperti dia hidup sendiri saja. Kabar ini harus diberitahukan ke keluarga. Renja menggeser layar ponsel, mencari nomor kontak mamanya. Kemudian jarinya berhenti, ponsel tersebut terlepas dari genggamannya. "Astaga bagaimana aku bisa lupa?! Bapak!" pekik Renja, memegang kepala sendiri menggunakan kedua tangan. Mabuk berkelanjutan usai turun dari penerbangan, menjadi penyebab Renja sibuk memikirkan kondisi dirinya sendiri. Pun Darel tidak menyebutkan hal itu juga, selain ikut berpikir tentang sakit Renja yang sering mual kala lapar sedikit saja. Kaki Renja turun dari Ranjang, berlari kecil keluar dari
Kepala Renja mendongak tinggi, berusaha melihat sebuah bangunan mewah yang sayangnya tak dapat dicapai matanya sampai ke puncak. Kekaguman terpancar jelas dari netranya, terpaku di samping mobil dalam halaman luas tertata strategis. Saat Darel keluar dari mobil, pria itu merangkul pinggangnya, membawa Renja masuk tanpa memberikan penjelasan ini rumah siapa. “Ini rumah siapa?” tanya Renja menghentikan langkah, tangan Darel hampir terlepas dari panggangnya sebelum pria itu ikut berhenti. “Mertuamu,” jawab Darel dalam sekali helaan napas berat. Wajah Renja seketika pucat, memegang kepala dengan kedua tangan, frustrasi. Kenapa Darel tidak bilang sejak tadi? Dia tidak membawa apa pun sebagai hadiah. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti? Terlebih ini kali pertama mereka akan bertemu. Mata Renja menilik cepat, membara kesal. “Bagaimana aku bisa masuk tanpa membawa apa pun?! Darel kau benar-benar—” Telunjuk Darel mendarat di bibir Renja, membungkuk, wajahnya begitu dekat sampai
“Kenapa berisik sekali?” dia bergumam belum sadar sepenuhnya dari tidur. Suara-suara berisik itu... dia menutup kuping sembari menggulingkan badan menghadap ke samping. Tangannya mulai meraba-raba mencari bantal untuk membantunya menutupi telinga. ‘Bantalku di mana?’ Tangan terus meraba-raba ke samping namun mata enggan ia buka. Kasar, tempat yang ia raba terasa asing. Itu bukanlah kasur. Lantas dia membuka mata pelan, meringis akan cahaya matahari yang menembaknya. Dia berada di luar? Rumput ilalang hijau gemerisik saat angin bertiup, dia duduk melihat hamparan hijau luas, kemudian tertuju pada keramaian yang membuat suara tidak nyaman.“Renja, kau membuat malu orang tua.” Mendengar namanya disebut, dia mendongak menatap wanita beraut marah. “Mama, ada apa ini?” Renja balik bertanya, dia belum mendapatkan semua ingatannya—bangun dalam keadaan linglung adalah kebiasaan alami Renja. Gadis ini masih terduduk, beralih menatap lingkaran bapak-bapak tengah memukul sesuatu. Mata Renja
Keluarga Renja mendengar penjelasan Renja atas kejadian pagi ini. Setelah mereka tahu Darel hanya seorang montir berpenghasilan kecil, raut mereka berubah tidak mengenakkan. Amar, papa Renja, hanya diam membayangkan tidak ada yang bisa membantu kemiskinan mereka.“Keluarga kita sudah miskin, seharusnya tidak menampung orang miskin lainnya,” sindir Amar menoleh ke tempat lain seolah dia hanya menyinggung hantu tidak terlihat. Namun adik Renja, Sera, tidak dapat lagi menahan semburan tawa, semua orang langsung melihatnya. Sera membekap mulut. “Maaf, aku hanya teringat sesuatu yang lucu.” Dia masih terkikik geli membekap mulut kuat. “Aku tidak menyangka kehidupan kakakku akan lebih miskin setelah menikah,” ucapnya sambil meninggalkan tempat. Mata Darel menyipit. Apa barusan dia dihina? Tetapi Darel diam saja. “Ma, bapak pergi kerja dulu, uruslah mereka.” Amar berdiri lalu pergi, dia adalah buruh bangunan. Baginya, lebih baik tidak jadi mengambil libur daripada menemani menantu miskin
Malam terakhirnya tidur di kasur kecil, Renja berhimpitan dengan Darel si pria berbadan keras. Semua orang mungkin telah tidur pulas, hanya Renja yang masih terjaga menatap langit-langit kusam yang tidak pernah absen untuk dilihat sepanjang hidupnya. Lampu tidur redup, kipas angin cacat, mereka selalu menemani Renja lebih lama dari apa pun. Besok dia akan meninggalkan semua kenangan tersebut, terkurung dalam ruang sempit tak berpenghuni. Lantas Renja melirik Darel dari ujung matanya, pria itu tidur tenang tanpa mengeluarkan suara dengkuran. Apa dia sama sekali tidak merasa canggung? Renja bertanya-tanya bagaimana cara pria itu mengatasi emosionalnya pada kenyataan sekarang. Renja tidak tahu apakah Darel sedih, marah, kecewa, apapun segala bentuk emosi, Renja benar-benar ingin tahu perasaannya. Pemikiran itu terbawa sampai ke alam mimpi Renja, namun di sana pun Renja tidak menemukan jawaban selain mimpi tidak nyambung yang selalu berpindah-pindah tempat secara mendadak. ***Arom
Renja sudah selesai bersih-bersih, rumah disulap menjadi bersih dan rapi. Dia menyeka keringatnya, lalu berkacak pinggang melihat betapa hampa rumah ini. Tidak ada peralatan masak selain panci kecil untuk merebus air, kulkas atau hal lain yang menunjang dapur, sama sekali tidak ada. Bagaimana makan siang nanti? Renja pergi ke luar, rasa lelahnya seketika disapu oleh ketenangan alam. Pohon-pohon tinggi, rumput, dan suara air sungai. Renja penasaran dari mana asal suara air itu, lantas di memasang sandal, berjalan menelusuri jalan kerikil abu-abu dan biru. Renja melihat wanita di teras rumah tengah menggendong anak, dia tersenyum ramah ketika mata mereka saling bertemu. Wanita itu cantik, pakaiannya juga bagus, Renja tidak pernah melihat pakaian model itu di pasar. Tinggal tiga meter lagi Renja sampai di sungai jernih yang memiliki batu-batu alam yang besar. Renja takjub, tempat ini benar-benar indah. "Kenapa sedikit sekali yang tinggal di sini?" Dia naik ke atas batu, arus sungai
Kepala Renja mendongak tinggi, berusaha melihat sebuah bangunan mewah yang sayangnya tak dapat dicapai matanya sampai ke puncak. Kekaguman terpancar jelas dari netranya, terpaku di samping mobil dalam halaman luas tertata strategis. Saat Darel keluar dari mobil, pria itu merangkul pinggangnya, membawa Renja masuk tanpa memberikan penjelasan ini rumah siapa. “Ini rumah siapa?” tanya Renja menghentikan langkah, tangan Darel hampir terlepas dari panggangnya sebelum pria itu ikut berhenti. “Mertuamu,” jawab Darel dalam sekali helaan napas berat. Wajah Renja seketika pucat, memegang kepala dengan kedua tangan, frustrasi. Kenapa Darel tidak bilang sejak tadi? Dia tidak membawa apa pun sebagai hadiah. Bagaimana tanggapan mertuanya nanti? Terlebih ini kali pertama mereka akan bertemu. Mata Renja menilik cepat, membara kesal. “Bagaimana aku bisa masuk tanpa membawa apa pun?! Darel kau benar-benar—” Telunjuk Darel mendarat di bibir Renja, membungkuk, wajahnya begitu dekat sampai
[Nah, kan, benaran hamil. Selamat, Renja.] ~Dorie.Renja tersipu setelah pesannya dibalas oleh Dorie. Setelah semuanya jelas, kebahagiaan Renja sulit digambarkan. Tidak menggunakan prasangka untuk menilai, berakhir salah paham yang membuat dia hampir melakukan tindakan konyol seperti menyembunyikan kehamilan. Memang Renja harus menekankan diri untuk komunikasi, berhenti menebak-nebak seperti dia hidup sendiri saja. Kabar ini harus diberitahukan ke keluarga. Renja menggeser layar ponsel, mencari nomor kontak mamanya. Kemudian jarinya berhenti, ponsel tersebut terlepas dari genggamannya. "Astaga bagaimana aku bisa lupa?! Bapak!" pekik Renja, memegang kepala sendiri menggunakan kedua tangan. Mabuk berkelanjutan usai turun dari penerbangan, menjadi penyebab Renja sibuk memikirkan kondisi dirinya sendiri. Pun Darel tidak menyebutkan hal itu juga, selain ikut berpikir tentang sakit Renja yang sering mual kala lapar sedikit saja. Kaki Renja turun dari Ranjang, berlari kecil keluar dari
Menjengkelkan, hari masih gelap di luar sana, dan Renja terbangun oleh gejolak di perutnya. Wanita itu melarikan diri ke wastafel, memuntahkan makanan yang ia santap semalam. Seluruh tubuh lemas, pandangan berkunang-kunang, sehingga ia harus mencengkeram erat pinggiran wastafel. Usai itu Renja tersandar di dinding, kian merosot ke bawah sampai ia terduduk di lantai. Ranja melipat tangan di perut, meringis oleh rasa sakitnya. Terpikir olehnya untuk lekas meminum obat Magh, namun bayangan Dorie muncul begitu saja. "Kau yakin itu Magh? Bisa saja kau hamil.""Ini Testpack, kau ambil." Dia menyerahkan tiga sekaligus. "Pastikan semuanya, dan beritahu aku hasilnya nanti."Benarkah hamil? Jadi bagaiamana dengan obat yang diminum Renja? Lenguhan berat lolos, bersama tangannya yang bergerak mencengkeram surainya sendiri. Denyutan pusing semakin keras, kepalanya seakan mau pecah. Tidak bisa, ia harus mengisi perutnya dengan sesuatu, sepertinya itu cara yang paling ampuh. Bersusah payah ia ban
Sudah lebih dari seminggu liburan bersama ini, beberapa kali kapal singgah di berbagai negara berbeda, dan mereka hanya turun sebentar saja setidaknya ke toko terdekat—hanya sebatas waktu kapal berlabuh. Liburan yang menyenangkan, tidak ada penyesalan sama sekali meski ada beberapa tragedi mendebarkan. Dipikir-pikir sepertinya itu merupakan pengalaman yang berkesan, akan selalu teringat sampai kapan pun. Waktunya mereka kembali pulang, naik pesawat untuk sampai ke negara asal. Seperti waktu mereka berangkat, Renja mabuk penerbangan. Lemas, beberapa kali muntah. Darel terpaksa memberinya obat tidur, atau Renja menderita sepanjang penerbangan. "Ada apa dengan Nyonya, Pak?" tanya Malen, mengambil alih koper dari tangan majikannya setelah ia melihat keberadaan mereka di bandara—bertugas menjemput Darel. Renja terkulai lemas dalam gendongan layaknya anak kecil dalam pelukan ayahnya. Mata tertutup, wajah teramat pucat. Malen mengkhawatirkannya. "Mabuk penerbangan," jawab Darel. Kemudi
Wanita gaun biru muda di sana sangat cantik; menggunakan topi baret putih, rambut tergerai di tiup angin, lalu heels putih berenda mutiara mini melingkar di kaki rampingnya. Dia memegang pembatas besi, bercakap-cakap menghadap laut bersama satu teman wanita yang manis menggunakan rok kuning kecoklatan, dipadukan baju kuning pisang tanpa lengan. Liana diterpa kehangatan yang mampu mencairkan kristal es di hatinya. Senyumnya terbentuk tulus, tatapan terpaku pada menantunya. Bolehkah ia menyapa? Ia ingin mengobrol dengan Renja meski sebentar. Kemudian dia melirik pria yang berbaring santai di kursi, berkaca mata hitam menghadap langit biru, membiarkan matahari pagi membakar kulitnya. Dia berjarak beberapa meter dari Renja, namun bukan berarti tidak mengawasi. Liana mendesah berat, Darel tidak mungkin senang dengan keberadaannya. "Ibu menatap kakak ipar terus. Jangan sampai punggung kakak ipar jadi bolong sebab tatapanmu, Bu," singgung Dika. Dia memakai topi dan kaca mata hitam, dudu
“Uh, sekarang kopermu jadi berat!” Renja menoleh ke belakang mendengar rintihan Dorie, bertanya-tanya sejak kapan wanita itu mengambil alih kopernya. Ia melirik Darel, pria itu mengangkat bahu. “Dorie, apa yang kamu lakukan?”“Aku akan membantu membawa koper, biar Darel menggendongmu. Kau masih pucat, masih sakit, kan?” ucap Dorie. Mereka terdiam di tempat memperhatikan wanita yang sibuk sendiri itu. Angin laut menyibak masing-masing pakaian serta rambut, berdiri lebih lama lagi di pelabuhan ini, Renja rasa ia akan terbawa angin. Lantas Renja melirik Zainal, pria itu diam-diam menikmati usaha istrinya. Mereka suami istri memang cocok. “Aku baik-baik saja, Dorie. Mungkin ini efek bergadang, aku tidak tidur semalaman.”Dorie sontak mendongak, melepaskan koper, berjalan cepat sehingga jaraknya hanya satu jengkal dari Renja. Telunjuknya naik satu. “Jangan bilang kau akan tidur lagi setelah naik kapal! Ayolah, Renja, apa liburan ini hanya diisi dengan tidur siangmu.”Renja menggenggam
Ini baru pertama kali Renja naik pesawat, gugup dan takut. Tangannya dingin, ia menggenggam tangan Darel erat saat pesawat lepas landas terdapat guncangan tak terhindarkan. Darel sabar menenangkannya, berempati pada Renja yang mengalami pusing sepanjang penerbangan hingga pendaratan. Darel harus menggendongnya saat mereka turun, sebab wajah Renja begitu pucat tanda ia tidak berdaya. “Apa Renja baik-baik saja?” Dorie ikut khawatir, ia menyaksikan sendiri bagaimana Darel merawat istrinya tadi. “Dia akan baik-baik saja setelah bangun tidur,” jawab Darel, sembari ia mengelus punggung Renja yang digendong menghadap depan seperti anak kecil dengan menggunakan satu tangan saja—tubuh kecil Renja memudahkan Darel—sementara tangan lainnya memegang sebuah koper. Zainal, suaminya Dorie, memperhatikan bagaimana repotnya Darel. Ia takjub akan kasih sayang pria itu terhadap istrinya. Sudah sering ia berpapasan saat melewati rumah Darel, namun baru kali ini melihatnya begitu dekat. “Koper kalian
“Aku tidak enak saat mereka memperlakukan aku seperti orang besar, terlebih mereka memanggil 'Nyonya'. Aku harus bagaimana?” Darel mengusap kepala Renja, rambut panjang nan halus menggelitiki telapak tangannya. Ia terus memandang wajah yang menatapnya bingung, mata bulat yang tergambarkan rasa segan oleh situasi baru baginya. “Kau tidak menyukainya?” Renja membesarkan matanya, lantas menggelengkan kepala. Bagaimana cara mengungkapkannya, ya? Bukan tidak suka, hanya ada rasa takut membuat orang lain tersinggung. Darel tertawa akan wajah panik itu. “Jangan dipikirkan, itu pekerjaan mereka, begitulah cara mereka mendapatkan uang.”Begitu simpel ternyata, Renja mendapatkan pencerahan oleh jawaban sederhana itu. Benar, itu pekerjaan mereka, ada uang yang terlibat. Bodoh sekali, padahal di rumahnya ada Fika yang rela menjadi pesuruh di pasar demi uang. Semua orang berusaha melakukan yang terbaik demi uang, kenapa ia harus segan sementara orang-orang melalui jalannya masing-masing? “Kau
Ketegangan sedikit berkurang kala dokter memberitahu; Amar hanya perlu rawat inap untuk sementara waktu. Untuk saat ini dia belum sadar, diperkirakan setidaknya 3 sampai 4 hari baru bangun. Mereka mengelilingi Amar, prihatin dengan segala lukanya. Memar, banyak goresan, dan perban membalut kaki dan tangannya. “Renja, jika kau lelah tidak apa-apa pulang atau menginap di penginapan.” Fika memberi perhatian, mungkin Darel harus bekerja besok. Fika sungkan setelah mendapatkan bantuan sebesar ini, melihat menantunya tampak lelah, jika tahu diri, Fika tidak boleh membuat mereka terjaga.Renja mendongak melihat Darel, wajahnya memang menggambarkan rasa kantuk berat. Jam dinding menampilkan pukul dua dini hari, tidak masalah kan meninggalkan Fika dan Sera di sini? Lagian Amar baru akan sadar setelah beberapa hari.“Berarti besok kau tidak sekolah, ya, Sera?”“Iya, Kak. Tenang saja, aku sudah minta Giyah membuatkan surat izin.”Renja mengangguk paham, memang itu yang ia khawatirkan. Akhirn