Lagi-lagi terlambat, Darel sengaja dan ingin tahu bagaimana cara wanita itu akan menanggapinya nanti. Jika dia masih memaafkan tanpa merajuk, Darel akan merayakan kemenangan seorang diri. Malam telah kelam, warna gelap teramat pekat ketika memasuki area hutan sunyi menggunakan motor. Darel berhenti di depan rumahnya, menunggu beberapa saat; apakah wanita itu akan berlari keluar dari selimutnya? Selayaknya istri baik yang ia katakan. Tapi tidak, tiada tanda-tanda pintu akan terbuka sendiri. “Dia pasti tidur pulas,” gumamnya sembari melihat jam tangan. Maraih kunci motor, Darel percaya diri melangkah dan membuka pintu dengan kunci lain yang satu gantungan dengan kunci motor. Lampu di dalam padam, meski Renja penakut dia tidak suka terang. Katanya untuk menghemat biaya listrik. Darel menghidupkan lampu untuk mendapati makanan dingin di atas meja, membayangkan berapa lama Renja duduk menunggunya pulang di situ. Haruskah dia makan? Sayangnya Darel tidak berselera pada makanan dingin. P
Darel kembali ke tempat tidur usai mengosongkan piring makannya, memutuskan bermalas-malasan memeluk bantal guling. Suara air dari Renja yang mencuci piring sampai ke telinganya, sebab pintu kamar masih terbuka lebar. Memejamkan mata kemudian, rasa kantuk menyerang lebih pekat, jika diingat selama di kota dia kesulitan tidur. Rumah sendiri memang yang paling nyaman. Melewati kamar, Renja mendesah kasihan melihat Darel terlelap. Ia pikir pria itu telah bekerja teramat keras. Berapa bonus yang didapatkan Darel setelah membeli alat-alat mesin ke luar kota? Pun sejak tadi dia tidak melihat ada benda tersebut di rumah ini. ‘Bisa jadi telah diantar terlebih dahulu ke bengkel.’Mengambil topi di atas lemari kayu, niatnya Renja akan pergi ke luar hari ini. Halaman di depan luas, ia telah berangan-angan menanam banyak bunga di sana. Pasti menyenangkan melihat bunga bermekaran sambil duduk di teras, setidaknya ia memiliki kegiatan merawat bunga dari pada menghabiskan waktu dengan tidur. “Ak
“Sebenarnya aku tidak masalah bolak-balik ke toko mengangkat tanamanku.”“Tidap apa-apa, Nona. Cuaca terlalu panas hari ini.”Renja tidak mengerti kenapa pemilik toko berbesar hati padanya, mengantar Renja menggunakan mobil pick up bersama sepeda dan tanamannya di bak muatan. Ada sesuatu yang janggal, mereka yang mendengar tempat ini mendadak hormat. Mungkin Renja akan menceritakan ini hal tersebut pada Darel. “Ah, di sana rumahku.” Renja menunjuk, dia bisa melihat Darel tengah duduk bosan di teras. Tampaknya baru bangun tidur, terlihat dari gelagat lesunya. Mobil berhenti, Darel mengernyit melihat Renja turun. Lebih aneh melihat sepada Renja ada di bak mobil. Apa yang dipikirkan Renja? Membawa sepeda tetapi naik mobil. Rasa penasaran itu terbayar ketika Renja memperlihatkan polybag hitam dengan senyum manisnya berniat pamer. “Aku akan mengisi bunga di halaman.” Renja hanya menurunkan satu polybag, sisa lainnya juga sepeda, diturunkan oleh sang sopir. Itu semua tak luput dari peng
Gumpalan tanah telah ia sapu, setidaknya tidak lagi tampak seperti serangan babi lagi. Renja mengusap peluh menggunakan pergelangan lengan yang sekiranya cukup bersih, langit pun telah berwarna redup, hawa-hawa menyeramkan mulai tercium meski dunia seakan berhenti berputar. Tidak ada angin, suhu dingin meningkat, pohon-pohon berhenti, daun dan rumput diam menjelma seperti batu. Satu-satunya yang bergerak hanya Renja, dia berjalan cepat, bisa disebut separuh berlari, masuk dan mengunci pintu secara panik dengan napas yang tersengal. “Apa yang mengejarmu?” Ia lega melihat Darel duduk bersandar di dinding kayu, dia diam tapi Renja yakin pria itu menertawakan sisi pengecutnya. Jari-jari Darel mengetuk meja, memberi irama tidak beraturan serupa menanti jawaban yang seharusnya ia dapatkan. “Seperti yang kau lihat, aku ketakutan.” Sudut bibir Renja terangkat ringan. “Mau makan apa? Aku akan masak setelah membersihkan diri.” Tetap menjadi istri rajin, mengabaikan kelelahan tidak berguna y
“Kau punya banyak pakaian yang bagus!” Dorie melepaskan tangan dari pintu lemari Renja, menoleh ke belakang pada wanita yang duduk di birai kasur. Tidak percaya tadi Renja mengatakan tidak tahu baju untuk pergi ke pesta pernikahan. Lalu deretan gaun di dalam lemari besar ini apa? Melihat Renja menekuk wajah bingung, Dorie mendesah heran. “Baiklah, aku bantu pilihkan baju untuk kau bawa dan pakai nanti.”“Terima kasih, Dorie.”“Sungguh, Renja, aku sulit percaya kau tidak pandai bergaya.” Dorie berucap sambil memilih-milih pakaian, menjatuhkan pilihannya ke dalam koper kecil tanpa melihat. “Kenapa kau tidak percaya?”“Ya karena setiap hari kulihat kau selalu cantik. Jangan bilang kau memakai asal pakaian!”“Memang asal.” Tangan Dorie berhenti menggeledah, kembali menoleh ke belakang secara spontan dan cepat. Dia menyipitkan mata, menggambarkan bertapa kesalnya dia. “Sungguh! Aku sangat iri. Punya make-up?”Kenapa Dorie sangat serius? Seolah itu adalah masalah besar. “Aku punya bedak p
Renja menyembunyikan wajahnya pada bantal, menekan kuat sampai tidak ada sedikitpun suara dari mulutnya keluar. Dering ponsel ia abaikan, tidak mau tahu siapa pun itu yang menelepon. Ia kesulitan menahan emosi tidak menyenangkan, pikiran baik pun tidak dapat menghalau sesak seolah paru-parunya digenggam. Matahari perlahan-lahan terbit, langit mulai terang dan aktifitas kecil mulai terdengar. Tidak terasa, ya, Renja bahkan belum sempat tidur. Masih berharap Darel mendatanginya, itulah yang membuat dia menunggu. Tapi apa? Ia tahu keinginannya terlalu besar, tidak cukupkah dia mengenal suaminya? “Renja, apa kau sudah bangun?”Ketukan pintu bersama suara Dorie menyulut pergerakan kepala Renja menjauh dari bantal. Sejenak ia memperhatikan penampilan melalui cermin yang memantulkan sosoknya yang kacau. Mata sembab, rambut berantakan, hidung memerah serupa badut. Tidak mungkin dia memperlihatkan wajah kacau itu pada Dorie. “Iya, Dorie. Ada apa?” Ia menjawab dari belakang pintu, dari pada
Sepanjang jalan Renja hanya menatap jalanan, tidak ada inisiatif bicara, lamunan yang segan diganggu oleh Dorie dan Selon. Dia duduk seorang diri di bengku belakang, sesekali Dorie mengintipnya dari kaca spion. Mata wanita itu tenang, entah apa yang ada di dalam pikirannya sekarang. Renja menghela napas, bergerak menghadap depan, saat itu dia bertemu dengan mata Dorie melalui spion. Dorie terbelalak, langsung mengalihkan wajah ke jendela. Renja sadar lamunannya mengundang rasa khawatir pasangan suami istri itu. Tentu alasannya karena sebelumnya Renja bilang ia sakit. Cemas jika saja Renja ternyata tengah menahan sakit. “Apa kita masih jauh?” Akhirnya dia bicara, tersenyum saat Dorie menghadap ke belakang. “Tidak, sebentar lagi akan sampai. Kau yakin sudah sembuh?”“Iya, jangan khawatir.” Dorie memperhatikan saksama, memang benar wajah Renja sudah tidak pucat lagi. Dia telah beristirahat panjang, siang dan malam tidak keluar dari kamar selain membuka pintu menerima pelayan masuk me
Piring telah kosong, mengelap mulut menggunakan tisu, Renja melirik Darel diam-diam. Ketenangan pria itu sangat kontras, tiada tanda-tanda bahwa dia akan rela membantu Renja mendinginkan kepala seperti yang ia singgung tadi. “Aku pikir, kau bisa mencari bengkel lain untuk berkerja.” Darel meliriknya tidak senang, namun wanita itu berani tidak menundukkan kepalanya. Tatapan lantang itu ... ke mana perginya si wanita penakut? Ia tidak menyukai Renja seperti ini, Renja yang berani menuntut bukanlah istri yang ia kenal. “Ada apa denganmu?”“Aku tidak menyukai Yona.”“Terus?”Renja mengatupkan mulut, menahan gesekan gigi agar tidak terlihat. Tatapannya masih lekat pada Darel, saling menatap tajam, Renja mencengkeram ujung roknya kuat-kuat hingga menimbulkan bekas kuku di telapak tangan. “Cari tempat kerja lain.”Sudut bibir Darel terangkat, terkekeh ringan berbentuk ejekan sumbang. Benar-benar, siapa wanita yang ada di depannya ini? Sulit mempercayai mata sinis itu. Dia cemburu, Darel
Renja mematung melihat keadaan rumah yang seperti... habis perang? Berserakan dengan sampah, barang-barang tidak berada di tempatnya, debu, lebih parahnya pintu kamar mandi lepas. Ia menoleh kaku ke arah Darel, tidak bisa berkata-kata selain ekspresi syok teramat kental. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya, ia mengerti maksud tatapan wanita yang tidak pernah membiarkan rumahnya berdebu. “Maaf, aku lupa rumah belum dibersihkan.”Renja masih diam, tenggorokannya tercekat saking bingungnya ia mau mulai protes dari mana. Mengatur napas, kesulitan menelan ludah beberapa kali, hingga akhirnya ia hanya bisa mendesah berat melemaskan badan setelah melihat kembali kekacauan tersebut. “A-aku yang akan bersihkan, jangan khawatir.” Dan entah sejak kepan Darel berubah menjadi suami takut istri. Kebetulan ada sapu di sampingnya, dia langsung menggenggam sapu itu secepat kilat. Renja mengangguk-angguk, baguslah Darel mau bertanggung jawab atas kelakuannya. Namun bukan berarti Renja diam saja, ia
Ting.... Saat itu, Darel menerima pesan baru dari nomor yang tidak terdaftar dari kontaknya. Alis mengerut oleh kiriman video belum terunduh. Apa maksudnya ini? Orang tidak dikenal tiba-tiba mengirimkan video. Salah kirim? Kala ia membuka video tersebut, alangkah kagetnya ia dengan isinya, video mesum di masa lalu dengan wanita masa lalu. Mereka berhubungan intim, jelas terekam secara diam-diam. “Sialan!” Darel tersandar ke dinding, pandangannya lurus ke arah wanita yang sibuk berkutat dengan tanaman di halaman. [Aku akan kirim videonya ke istrimu kalau kau tidak menuruti permintaanku.]Mata Darel terbelalak besar, ia tahu sekarang bahwa ini adalah nomor Sina. Bagaimana jika Renja melihat video itu? Marah? Jijik? Darel merinding membayangkan ekspresi geli Renja terhadapnya. Ia memijat pangkal hidung, frustrasi dan bertanya-tanya kenapa wanita itu mengganggunya ketika Darel telah menetapkan rumahnya. [Berapa yang kau mau?] ~Darel.[Aku tidak ingin uang, aku ingin mengenang kembal
Darel selalu menanyakan kabar Renja, mendapatkan kiriman foto wanita itu, tampak sama sekali tidak ada kebahagiaan dari wajah Renja. Setiap foto yang datang selalu berwajah datar, di mana pun ia berada, sekalipun berada di taman hiburan yang menyenangkan. Rindu menggebu ingin segera menggenggamnya kembali, tapi demi tujuannya ia rela menunggu lebih lama lagi menahan gejolak sepi. Kinda harus mengerti, tindakannya hanya memperjelas bertapa besar perasaan Renja untuk Darel. Dengan begitu dia akan berhenti ikut campur perkara rumah tangga orang, sadar bahwa dia tidak memiliki kesempatan mendapatkan wanita itu. Terlentang di kasur, Darel mencari kembali foto Kinda yang tampak menyedihkan sebab diabaikan oleh Renja, itu foto tiga hari lalu yang dikirim oleh agen. Lihat nanti bagaimana ia akan mengantar sendiri Renja pulang ke tempat ini, seperti saat ia mengantar Renja pulang kala wanita tersebut merajuk pergi ke rumah orang tua dulu.“Aku akan menertawakanmu nanti,” ia bergumam sepert
Darel menurunkan sebelah kaki menahan motor yang berhenti di depan gerbang. Ia penasaran kenapa gerbang yang seharusnya tertutup itu terbuka lebar tanpa seorangpun satpam berjaga di depan. Ia melirik ke post, melihat beberapa kaki terbujur berantakan seolah mereka mati di sana. Maka ia mendekati mereka. Mengernyit, posisi mereka saling tumpang tindih, berantakan tak peduli tumpahan kopi di mana-mana sebab posisi demikian. “Hei, bangun!” Mereka tidak mendengar, Darel geram dibuatnya. Meski malam memang waktunya tidur, tapi itu bukan waktu mereka yang telah menelan uangnya. Setidaknya ada pergantian waktu sebagai peringan perkerjaan, karena mereka berjumlah empat orang. Ada satu kardus air mineral gelas di sisi teras dalam, dia mengambil satu lantas menumpahkan air di wajah mereka. “Tuan Darel!” Mereka sontak terduduk, tertekan oleh tatapan tidak senang dari sang majikan. “Ka-kami tertidur?” Mereka saling pandang tidak mengerti, hal seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi sebab
“Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi....”Kinda hampir menghempas ponselnya sebab lagi-lagi suara itu yang keluar saat ia menelepon Renja. Memijat pangkal hidung, ia benar-benar frustrasi memikirkan apa yang sedang terjadi di sana. Sudah berapa hari semenjak ia memergoki Darel menghabiskan waktu dengan wanita lain? Lebih dari seminggu. Sejak itulah kontaknya dengan Renja terputus, tidak peduli jika Kinda mencoba menipu dengan cara mengganti nomor, Renja tetap tidak dapat dihubungi. Artinya, HP Renja dalam keadaan mati, ya, kemungkinan besar. “Biarkan aku masuk!” Kinda membentak penjaga yang menghalangi dia di depan gerbang kayu. Mau berapa kali ia bolak-balik hanya untuk mencari kesempatan masuk. Kakinya sudah kram berdiri terlalu lama, capek juga menghadapi satpam yang tetap pada pendirian. Mereka tidak mempan disogok, Kinda telan mencoba banyak cara. “Maaf, kami diperintahkan untuk melarang Anda.”Menggusar rambut kasar, bolehkah ia mengajak duel para satpam tersebut? Tida
Darel membiarkan Renja tertidur setelah perdebatan mereka menguras air mata wanita itu. Ia berhati-hati melepaskan dekapan, kedua kakinya menyentuh lantai dingin. Sekali lagi ia melirik Renja lantas mendesah berat. Tujuan Darel ialah ponsel Renja yang tergeletak di nakas sisi lain dari Darel. 'Siapa saja yang bertukar dengan Renja?' Riwayat terbaru seperti dugaan Darel, siapa lagi kalau bukan Kinda. Pria itulah yang mengirimkan foto-fotonya bersama Sina. Pantas saja Darel merasa diawasi sepanjang melangkah, namun bodohnya ia memilih tidak peduli. Nyatanya terpampang jelas di bekas chat tersebut, Kinda yang mempengaruhi Renja untuk menuntut penjelasan dari Darel. 'Sialan kau, Kinda, awas saja jika kita bertemu lagi.' Yona? Ia tak percaya Renja menyimpan nomor wanita itu, siapa yang menduga mereka pernah bertukar pesan. Penasaran apa yang dibahas mereka, akan menyenangkan melihat Renja mengancam Yona atau mengejeknya dibalik topeng ramahnya jika dibandingkan bertemu secara langsung.
Renja duduk di depan meja hias, rambutnya dibungkus handuk karena ia baru saja selesai mandi sebab pesan terakhir Kinda memberitahu bahwa Darel pulang hari ini. Meski sudah sore, Renja menggunakan riasan, berusaha menyembunyikan jejak wajah sembab. Dia juga sudah selesai memasak, sebentar lagi Darel pasti akan sampai. Jantungnya menggebu-gebu, menimpal pewarna pipi membantunya terlihat lebih segar. Air mata yang ingin jatuh, ia tahan mati-matian, berulang kali menimbulkan pikiran positif untuk menghibur diri sendiri. [Kali ini kau harus tegas, Renja.] ~Kinda.Pesan Kinda terngiang-ngiang, pria itu terus mengirim pesan mendorongnya untuk lebih berani. [Bersikap adillah pada diri sendiri. Kau terlalu banyak mengalah.] ~Kinda.Tangan Renja langsung jatuh ke atas meja, kuas make-up ikut berceceran akibat senggolan tangan Renja. Wanita itu mendongak ke atas, air matanya tidak terbendung lagi. Tarik napas dalam-dalam, hembuskan, lakukan berulang kali meski tidak merasa lebih baik.‘Harus
Sudah dua hari semenjak ia ditinggalkan sendiri dengan peraturan membentuk rantai mengekang leher membatasi pergerakkan Renja. Hari-hari ia melamun duduk di teras yang bersuasana hening. Ia ingin menjadi seperti orang yang bisa mendapatkan kesenangan dari HP, tapi mata Renja tidak bisa bertahan lama menatap layar—matanya perih. Benda pipih tersebut tergeletak di atas meja dalam keadaan padam, bekas Renja mencoba menghubungi Darel namun tidak mendapatkan respon. Ia penasaran, apa membeli alat-alat bengkel memang memakan waktu berhari-hari? Bahkan tidak dapat dihubungi. Ting. Belum lepas pandangan Renja dari HP, layarnya menyala menunjukkan sebuah notifikasi chat. Gerakannya cepat menyambar ponsel, tapi yang tertera ialah nama Kinda. [Suamimu ada di mana?] Kinda memperhatikan pria di depannya dalam gedung mall menuju lantai atas, ia merendahkan topi agar Darel tidak menyadari Kinda mengikutinya. Sesekali ia mengangkat ponsel, menunggu Renja sedang mengetik. Syukurlah Renja membaca
Dia kecewa namun ia enggan menyuarakan. Menatap jaket di tangannya, kelembapan membuat ia tak nyaman. Jika tidak segera dicuci akan mengeluarkan bau apek. Yang benar saja Yona mengembalikan barang dari orang yang ditaksir seperti ini? Paling tidak dicuci, jelas mereka ditemani rintik hujan tadi malam. Hanya satu jaket saja, Renja mencucinya melalui keran wastafel. Seiring tangannya bergerak, rambut panjang menjuntai ke bawah hampir merendam ujungnya sebelum Renja mengangkat kepalanya. Bagaimana ini? Tangannya sudah dipenuhi oleh sabun. Baru akan mencuci tangan, rambutnya digenggam ke belakang oleh sosok yang mulai terasa kehadirannya. “Biar aku saja yang ikat,” tutur Darel, ia menggunakan pita putih entah bekas apa tersangkut di paku dinding. Kini leher Renja bersih dari untaian tipis surai hitam, namun bercak-bercak di lehernya tidak tersamarkan. “Apa tadi malam aku sangat kasar?” Ah, dia merasa tidak wajar dengan kismark bertebaran di mana-mana, itu tidak bagus menurut dokter.