Disangka
Masih Hilang Ingatan
Part 2
♥️♥️♥️
"Inah!" Tuan Andri memanggilku yang sedang mengelapi benda-benda mati berharga puluhan juta. Seperti guci dan sebagainya.
"Iya, Tuan?" Aku menghampirinya. Dia berdiri diam dekat tangga.
"Kamu gak usah keluar rumah. Kamu gak boleh keluar rumah. Yang belanja biar Mbok Mun saja." Ia memberiku aturan. Aku kok bingung. Kenapa Tuan Andri tidak memperbolehkanku keluar?
"Tapi kenapa, Tuan? Mbok Mun kan sudah sepuh. Jadi biarkan saya saja yang belanja. Sekalian saya menghafal arah," jawabku penuh tanda tanya.
"Pokoknya gak usah. Mbok Mun udah biasa belanja sendiri. Kamu gak usah keluar rumah. Walaupun hanya sampai depan pintu gerbang. Semua kebutuhan kamu akan dibelikan mbok Mun," pesannya lagi makin tegas. Tuan Andri bicara sambil melipat kerah bajunya hingga rapi seusai ia selesai mengenakan dasi.
"Tapi, Tuan?" Aku terus memaksa.
"Gak ada tapi-tapian. Kamu gak boleh keluar rumah. Kalau sampai kamu melanggar, kamu akan saya pecat. Ngerti!" Ia membentak di ujung kalimat. Membuatku menunduk takut. Entah mengapa, bentakkan Pak Andri, maksudnya Tuan Andri menusuk sekali ke sanubari ini.
"Semua ruangan ada CCTV-nya, jadi kamu gak bisa diam-diam keluar. Kamu masih mau kerja disini, kan?" pekiknya kasar. Membuatku makin meringis.
"I-iya, Tuan, saya mengerti. Saya gak akan keluar rumah. Tapi, kalau mbok Mun gak bisa keluar gimana? Acap kali kita sebagai manusia itu kan tak selalu sehat. Kadang ada sakitnya, Tuan," masukanku.
"Gak usah. Kalau mbok Mun sakit, ada satpam yang bisa belanja. Dia juga sudah biasa, kok. Kamu tinggal kasih uang sama catatan belanjanya," jelasnya sambil melangkah pergi. Sepertinya akan kerja. Tapi aku belum ingat apa pekerjaan Tuan Andri. Pastinya dia orang kantoran.
"Eh, Tuan?" Aku memanggilnya. Ada hal yang ingin aku tanyakan.
Ia menoleh. "Apalagi?"
"Tuan, sebenarnya saya punya keluarga gak ya? Terus, uang gajian saya, apa suka saya kirim pada orang tua saya? Apa boleh saya tahu kontak keluarga saya?" tanyaku menyelidik status keluargaku yang sama sekali belum kuingat. Mbok Mun tak bicara banyak. Dia seolah-olah menghindar setiap kutanya.
Tuan Andri malah diam.
"Tuan?" panggilku penasaran.
"Saya gak tahu kontak keluarga kamu. Kamu kan yang simpen. Tapi ponsel kamu ilang pas kecelakaan," jawabnya seperti ragu di awal.
"Kalau gitu, alamat rumah saya? Tuan tahu?" telusurku lagi. Soalnya aku tak menemukan apapun di kamar. Hanya ada selembar baju dan kartu identitaspun tak ada.
"Ya, aku gak tahu. Semua identitas kamu hilang pas kecelakaan. Mungkin jatuh ke sungai waktu itu. Terbawa arus. Sudahlah, kamu jangan tanya-tanya keluarga kamu. Kamu itu orang Jawa. Tapi kalau gak salah, kamu bilang dulu orang tua kamu udah meninggal. Kamu juga gak punya adek atau kakak," jelas Tuan Andri sambil membalikan badannya dengan kesal. Ia kembali berjalan.
"Oh begitu, ya sudah, terima kasih, Tuan. Maaf kalau saya sudah lancang bertanya," ujarku lirih menunduk. Tak berani menatap perawakan majikanku.
"Aku mau pergi ke kantor dulu. Awas! Jangan pernah keluar rumah. Nanti kamu tersesat. Ngerepotin lagi!" Tuan Andri berkata amat sinis. Dia bukanlah majikan yang ramah. Tapi kok aku bisa memilih kerja di rumah ini?
"Baik, Tuan," jawabku masih terus menunduk.
"Bagus!"
"Oh ya, gaji kamu bulan ini saya potong buat biaya rumah sakit pas kamu kecelakaan kemarin lusa. Sisanya aku kasih tiap awal bulan." Ia menambahkan. Membahas perihal gaji.
"Iya, Tuan," sanggupku. Dia lalu pergi.
Dimana ada majikan motong gaji karyawannya kecelakaan? Katanya aku pergi bersamanya pula? Tapi kenapa dia itung-itungan. Dasar majikan pelit.
Kususuri langkah Tuan Andri. Aku melihatnya dekat pintu. Dia masuk ke dalam mobil mewah. Mobilnya bagus. Pasti Tuan Andri pengusaha besar. Lalu ia melajukan mobil yang sudah siap di depan rumah itu. Pasti dibersihkan oleh Pak Nasir. Pegawai rumah ini.
***
"Mbok, aku saja yang cuci piring," tawarku pada Mbok Mun. Dia nampak kelelahan sekali. Tapi selama dua hari ini, ia sama sekali tak pernah menyuruhku hal yang berarti. Dia selalu kerjakan sendiri. Kecuali aku yang menawarkan. Seperti saat ini.
"Ora usah. Biar aku saja. Sampeyan duduk saja. Lanjutin aja kerjaan lain," jawab Mbok Mun dengan suara gemetar. Mbok kenapa sih?
"Mbok, aku udah selesaikan semua pekerjaan. Oh ya, hari ini kita masak apa? Apa tuan Andri minta dimasakin sesuatu?" tanyaku pada Mbok Mun yang masih asyik mencuci gelas dan piring.
"O-oh iya. Tuan minta dimasakin cumi lada hitam. Kalau sayurannya capcay saja. Tapi biar aku nanti yang buat." Mbok Mun lagi-lagi terus tak mau memperkerjakanku. Tapi memamg waktu masih menunjukkan pukul tiga. Jadi kami belum waktunya masak.
"Mbok, biar aku saja yang gantiin. Masak aku diam saja. Mbok 'kan udah sepuh. Mbok duduk 'gih!" seruku sambil meraih gelas untuk kucuci.
Mbok malah diam. Lalu ia mencuci tangannya. Tangan basah dilapkannya ke ujung baju yang ia kenakan. Dia berbalik arah menatapku.
"I-Inah? Sampeyan memang benar-benar lupa ingatan? Gak inget apapun? Sampeyan gak ngibul toh?" Mbok bertanya sambil meringis. Dia seperti begitu ingin mendengar jawabanku yang meyakinkan.
"Lah, memangnya aku ngapain bohong? Oh ya, Mbok, tolong dong jelasin sama aku. Aku itu gimana? Terus tadi tuan sampai melarang keras aku buat keluar rumah. Aku sih aneh, Mbok," ujarku penuh tanda tanya. Si Mbok malah diam. Dia seperti berfikir sesuatu. Namun lebih ke seperti ketakutan.
"Oh enggak. Ya, kamu dulu wanita baik-baik. Kulo pikir, koe ngibul." Mbok berkata kembali. Terkekeh kecil di akhir.
"Ngibul buat opo sih, Mbok?" tanggapku. Dengan segera kuraih spon untuk melanjutkan cuci piring yang tinggal beberapa lagi. Bekas makan siang kami para pekerja.
"Biar aku saja," kata si Mbok yang terus melarangku untuk bekerja. "Biar aku saja. Mbok duduk saja. Minum dulu kek," jawabku sambil meremas spons yang sudah penuh dengan busa. Si Mbok masih berdiri.
"Oh ya, Mbok. Orang tuaku dimana? Aku kan masih lupa." Sengaja aku bertanya pada Mbok Mun. Apa ia akan menjawab hal yang sama dengan Tuan Andri? Soalnya, tadi Tuan Andri gugup pas kutanya.
Mbok Mun diam. "Eum, a, u, anu ...."
"Anu apa, Mbok? Mbok pasti tahu kan keluarga aku. Aku kan udah kerja disini lima tahun!" tempalku menyelidik. Lengan ini masih terus lanjut mencuci. Tapi Mbok Mun tak lantang menjawab.
"Iku, keluarga kamu udah gak ada. Begitu saja katamu. Kamu tak pernah bicara banyak," jawab si Mbok. Seperti mengada-ada. Lama menjawabnya. Dan kok katamu? Kan dia sedaerah denganku?
Tapi, benar, Tuan Andri juga berkata demikian. Lagipula, untuk apa ia berbohong. Toh aku cuma babu. Apa untungnya pula? Kecuali dengan alasan supaya aku jauh dari orang tuaku. Oh tidak. Apa benar? Jangan-jangan ada masalah lagi. Jawaban mereka sama. Tapi gugup.
"Oh ya, Mbok. Tuan Andri bilang, aku memang tidak punya orang tua. Tapi aku masih punya adik. Jadi gajiku tiap bulan kutransfer untuknya. Bener 'kan, Mbok?" tanyaku berbohong. Padahal Tuan Andri bilang kalau aku sebatang kara. Kalau iya, Mbok Mun pasti jelaskan. Tapi, kalau jawaban Mbok Mun tak sesuai, berarti ada sesuatu denganku. Dan bukannya aku kerja dibawa olehnya?
"Em, iyo, kowe punya adik." Segitu saja jawabnya. Jelas, jawaban Mbok Mun dan Tuan Andri berbeda. Jadi, siapa yang bohong? Tuan Andri? Dengan alasan supaya aku tak kirimi adikku uang? Kalau Mbok Mun? Kok kebetulan sekali aku sela bohong, ia jawab iya. Aneh.
"Oh gitu. Berarti Mbok tahu dong adikku dimana? Dan namanya siapa? Mbok 'kan yang bawa aku kerja disini," jawabku datar dengan masih membersihkan piring juga gelas yang semuanya sudah selesai dibersihkan oleh sabun bermerek panggilan untuk seorang wanita yang paling berjasa. Di iming-imingi tulisan sebuah buah di belakangnya.
Aku tatap wajah Mbok Mun. Dia nampak gelisah. Dia juga seperti kebingungan.
"Ehm!" dehemku.
"Oh ya, Mbok. Aku asal daerah mana? Kita satu kampung dong?" tanyaku dengan nada standar sambil mengelapi piring supaya cepat kering.
Mbok Mun menoleh. Dia nampak sedang mengatur pernafasan. Mencoba tenang. Lalu ia menjawab. Sudut mata ini memperhatikan. "I-iyo, kulo karo sampeyan asli orang Sumenep-Jawa Timur," jawab Mbok sambil meraih pisau. Sepertinya ia hendak memotong sayuran.
"Oh, kita orang Sumenep. Mbok, Mbok bisa 'kan ajak aku ketemu adik aku kesana nanti. Aku akan minta kita cuti. Atau pas tuan keluar kota," usulku masih penasaran.
"Waduh!" Si Mbok nampak panik sendiri. Aku mendengar ia mengucapkan kata 'waduh' seperti barusan. "Kenapa, Mbok?" selidikku atas tingkahnya.
"Itu, aku tadi mau setrika baju. Setrikane pasti udah idup. Aku ke atas dulu. Sampeyan disini saja, yok!" pintanya buru-buru pergi. Mbok Mun tak menanggapi keinginanku. Ini semakin aneh. Paling tidak ia bilang, kita gak bisa kesana karena tuan marah. Dan aku hanya bisa kirim uang lewat pos saja. Karena adikku mana punya ATM.
Seusai mencucui piring dan mengelapnya sampai kering, aku iseng untuk mencari tahu kebenaran jati diriku. Karena mereka benar-benar seperti sedang bersandiwara.
Aku berjalan ke arah kamar Tuan Andri. Supaya tak dicurigai dari CCTV, aku akan berjalan santai. Membawa sapu dan juga kemoceng. Tidak mengendap-endap seperti orang yang sedang menyelidiki sesuatu. Siapa tahu aku temukan surat lamaran kerjaku. Atau apalah, karena aku masih belum yakin.
Aku sudah masuk dengan santai. Pintu kututup sedikit. Takutnya ada Mbok Mun datang dan curiga. Aku akan cari identitas atau apapun yang bisa jadi bukti tentang diriku sebenarnya.
Tiba-tiba.
"Inah! Kamu ngapain?"
Aku syok. Sontak tubuhku membalik kala aku baru saja membuka laci meja kamar. Dan yang datang adalah Nyonya Maya.
"Nyo-Nyonya?" Aku kaget setengah mati. Kok bisa Nyonya Maya tiba-tiba datang. Tak ada suara mobil terdengar sedikitpun.
"Kamu ngapain? Kamu mau mencuri?" tuduhnya sadis. Tatapannya tajam bagai seekor harimau ingin menikam mangsa. Tapi dia juga memperlihatkan gelagat cemas. Kedap-kedipnya terbaca sekali olehku.
Ia menjewang lenganku. "Sini kamu!" bentaknya kasar. "Apa yang kamu curi, hah? Atau apa yang kamu lihat?" tegasnya menyelidik.
"Enggak, Nyonya. A-aku hanya sedang membersihkan meja saja. Banyak debunya. Tolong lepaskan pegangan Nyonya. Sakit sekali!" Aku meringis karena cengkraman kukunya menusuk ke kulit. Bu Maya memang lumayan kejam ternyata. Padahal aku kan pembantu. Aku juga bawa sapu dan kemoceng.
Ia menyeretku. "Sini kamu! Jangan pernah berani-beraninya masuk ke kamar ini. Ini kamar calon suamiku!" teriaknya kasar sambil menjewang lenganku dengan sekuat tenaganya. Lalu ia malah mendorong tubuhku. Inikah kelakuan yang hanya baru jadi seorang calon istri?
Nyonya Maya membantingku dengan kasar.
"Aduh, Bu, eh, Nyonya!" Tubuhku benar-benar terbanting. Tepatnya bagian kepala.
Dukgk!
Sakit sekali. Kepala ini terbentur railing. Pagar pembatas tangga lantai atas.
"Arkh!" Pandanganku buram. Kepalaku pusing.
"Inah!" Bu Maya kaget dan panik.
DisangkaMasih Hilang IngatanPart 3"Auwkh! Kepalaku pusing banget!" rintihku kesakitan sembari memegangi kepala. Aku terbangun. Entah aku pingsan atau tertidur pulas. Kuremas pelan rambut kepala. Melihat sekitar ruangan.Aku syok!"Hah? Ini dimana? Dan bajuku? Kenapa bajuku kek gini?" Aku bingung. Kepala ini memutar dan sempat kulihat bintang berlalu lalang menghiasi sudut pandangan."Ini, kok kaya cat rumahku. Terus, ya! Ini kayak kamar pembantu?" Aku mulai ingat. Dan itu makin membuatku terkejut bukan main. Keadaanku yang terbaring di kasur lantai tipis yang sudah mulai rontok jahitannya. Baju yang kukenakan pun hanyalah sebuah baju daster.What?
DisangkaMasih Hilang IngatanPart 4♥️♥️♥️Sekarang aku tahu. Mereka memanfaatkan amnesiaku ini. Demi apa? Pasti demi harta, tahta dan kekuasaan. Aku yakin, ini diluar ekspektasi mereka. Tentang aku amnesia. Namun, itu malah dibuat peluang untuk mereka.Setelah aku tahu semua yang Mas Andri dan Maya bicarakan, aku langsung kembali ke kamar. Kepala ini masih sangat pusing. Maksudku adalah untuk memikirkan rencana. Untuk mengibuli mereka dengan secara tidak langsung melindungi aset-aset milikku. Aku tak mau hasil kerja keras papa dan mama berakhir tragis di tangan kedua orang serakah itu. Dan aku ba
DisangkaMasih Hilang IngatanPart 5"Mbok, Tuan Andri kok belum menikah?" tanyaku pada Mbok Mun yang sedang asyik memotong sayuran untuk kami masak. Lagi-lagi dia hanya diam dengan raut wajah tertekan. Sebenarnya aku sedang menyelidik. Berpihak pada siapakah Mbok Mun?"Em, ya belum. Kan baru mau menikah sama non Maya," jawab Mbok Mun ragu-ragu. Sekali-kali ia kerutkan senyuman. Aku lihat pula tangannya gemetar."Menurut Mbok, apa tuan Andri dan non Maya cocok?" tanyaku sambil mengiris bawang putih menjadi potongan persegi. Namun tak beraturan, karena aku kurang ahli.
"Mbok, menurut Mbok, bagusnya si Maya diapain ya?" tanyaku pada Simbok. Ia yang sedang mencuci piring dan aku sedang duduk sambil memainkan pisau."Aduh, itu pisau buat apa?" kata Simbok ketakutan. Ia yang sedang mencuci piring pun segera meraih pisau di tanganku."Apa sih, Mbok?" ulasku halus."Non jangan nekad ah. Mending kita jahilin aja tuh si non Maya. Jangan dengan benda tajam kayak gitu." Wajah Simbok parno. Memangnya aku fikir aku akan berbuat nekad dengan pisau di tanganku?Aku terkekeh. Pisau sudah ada di genggaman Simbok. "Ya ampun, Mbok, aku masih waras kali. Kalau yang adanya pisau di meja, ya yang aku raba pisau, lah," jawabku masih terkekeh."Syukurlah. Simbok pikir Non mau ....""Enggaklah, Mbok. Aku kan gak jahat. Tindakan kriminal mah aku gak suka. Lebih suka ke, menjahili gitu. B
Sebuah benda kecil yang bertugas merekam percakapan Mas Andri di kamar sudah kutempel sejak satu hari yang lalu. Kusuruh Simbok membelinya. Supaya aku tak keluar rumah.Barusan Mas Andri marah sekali saat pulang. Dia yang tak berhasil mendapatkan tanda tanganku untuk ia berikan pada pengacara keluarga, langsung membanting pintu dengan keras. Dia mungkin kecewa. Mas Andri, Mas Andri.Segera aku berlari ke kamar yang selama ini kutempati. Sebuah kamar berukuran kecil. Petak dan tak ber-AC. Namun aku nikmati saja. Demi kelancaran sandiwara ini.Langsung kudekatkan headset ke telinga. Dimana aku bisa mendengar percakapan Mas Andri atau apapun menggunakan benda yang sudah kubeli. Seperti seorang detektif saja."Bod*h! Si Aurel hilang ingatan. Mana mungkin ia ingat soal tanda tangannya? Dan aku? Aku sama sekali tak tahu tanda tangan dia seperti apa. Kalau
"Bu Aurel? Coba beritahu saya, apa yang anda ingat?" Dokter bertanya. Baru saja ia datang. Tak lama setelah aku pura-pura terbangun dokter pun tiba. Pasti Mas Andri tak sabar ingin mengetahui kondisiku sebenarnya.Kulihat Maya masih mematung dengan wajah pucat. Tapi ia juga pasti percaya dengan sandiwaraku. Maka dari itu ia tak langsung pergi. Ia pasti sedang menyelidiki semua yang terjadi padaku."Seingat saya ...." Sengaja kupangkas kalimat. Sejenak kutatap Mas Andri, lalu kutatap Maya. Ketiga jari memegangi kening tanda aku masih merasa pusing. Saat kutatap Maya, wajahnya makin pucat saja. Mas Andri seperti menelan ludah melihatku yang tak henti menatap Maya. Namun tatapan ini bukan tatapan Amarah. Hanya tatapan menyelidik.Lalu kutatap Mas Andri lagi. Kini butiran keringat kecil mulai muncul di keningnya. Nafasnya pula naik turun tertahan. Dia
Bukan tak sakit harus bersandiwara seperti ini. Cintaku pada Mas Andri bukan sekedar cinta monyet kaum remaja. Tapi, cinta ini murni dari dalam hati dengan itikad menjalankan rumah tangga yang harmonis. Karena Allah.Dia yang sedari dulu kulabuhkan cinta, kini telah berkhianat. Amat sangat menusuk sanubari. Bukan sekedar mainan atau kebohongan belaka. Cinta suci ini telah ia nodai. Bahkan ingin ia nodai sampai ingin memusnahkan aku dari dunia ini. Setelah mendapatkan semua hartaku.Tidak.Kamu tak bisa lakukan itu, Mas. Kalian berdua amat menyakiti pikiran ini. Apalagi kudengar kalau aku akan segera kalian musnahkan. Pedih. Perih. Tubuh ini mengguncang hebat kala mendengar pembicaraan kejimu itu. Aku seperti benalu yang ingin kalian singkirkan sejak lama, mungkin. Tapi alasan harta dan tahta, itulah yang memperlambat laju kalian. Kalau itu cara kalian, aku juga puny
DisangkaMasih Hilang IngatanDeg!"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat."Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan.Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri."Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan."Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.