"Jangan bercanda, Pak! Saya ini istri orang. Anda harus menghargai itu," ujar Febby dengan suara tegas, matanya menembus Bayu dengan tatapan yang begitu tajam, seolah-olah bisa melihat hingga ke dasar hatinya. "Jangan pernah berpikir bahwa Anda bisa mendapatkan segala yang Anda inginkan. Saya akan tetap menjadi istri Rangga, tak peduli seberapa miskin dan diremehkan dia oleh mama tiri saya," tambahnya, suaranya bertambah lantang. Setelah melontarkan kata-kata itu, Febby beranjak keluar dari ruangan bosnya dengan langkah cepat penuh emosi tanpa menoleh atau berpamitan. Dia merasa begitu tersinggung dengan perilaku Bayu yang mencoba menjadikannya lebih dari sekedar sekretaris, padahal dia tahu bahwa Febby telah berkomitmen pada suaminya. "Dasar laki-laki tak bermoral! Sudah jelas saya beristri, tapi masih saja mengincar saya, apa lagi yang dia inginkan?" gumam Febby dalam hati, matanya berkaca-kaca, ketika dia kembali ke meja kerjanya. "Seharusnya aku menolak tawaran menjadi sekret
"Kita jadi kayak orang selingkuh gak sih, harus masuk hotel segala," keluh Febby pada suaminya.Rangga tertawa, "gimana dong, Aku benar-benar tak tahan. Ini akibat jatah ranjangku selalu berkurang gara-gara kamu pergi dengan si sialan itu."Febby hanya mendengus kesal, namun dia membiarkan suaminya mengurus cek in. Setelah mendapatkan kunci kamarnya, keduanya masuk ke dalam kamar."Padahal sama saja, mainnya gitu-gitu aja, kok gak pernah ada bosannya ya?"Pertanyaan konyol itu membuat Rangga kembali tertawa, karena dia tahu sang istri juga menginginkan hal yang sama sepertinya."Ini karena kamu terlalu menggoda, Feb. Jadi setiap melihatmu aku selalu tak kuasa untuk menahan diri."Mereka masuk ke dalam kamar hotel, lalu menutupnya kembali. Keduanya buru-buru membuka pakaian kerjanya dan menaruhnya agar tak kusut. Rangga berdeck melihat maha karyanya tadi malam di atas tubuh sang istri, sangat banyak dan warnanya sudah berubah menjadi keunguan."Oh Feb," desah Rangga, saat tangan nakal
"Maksud Mama apa?" tanya Febby, suaranya menggantung dalam ketidakpastian. "Kalau memang dia mandul, buat apa kau pertahankan? Lebih baik cari laki-laki kaya dan sehat." Suara Mayang menyebar racun dalam ruang keluarga yang sempit itu. Febby hendak menanggapi, tapi Rangga menyentuh lengannya lembut, seolah mengingatkannya bahwa balasan itu pada ocehan Mayang tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebelum Febby bisa menarik nafas lega, Rossa yang baru keluar dari kamar setelah merapikan barang-barangnya, turut serta dalam drama keluarga yang penuh intrik ini. "Kau sadar tidak, selama ini kau adalah sumber masalah di rumah ini? Kau yang menjadi penyebab kami semua terus bertengkar. Seharusnya kau sadar diri, pergi dari rumah ini dan ceraikan adikku!" tegas Rosaa kepada Rangga, nada suaranya penuh amarah dan kebencian. Rangga, yang hatinya seolah terlukai mendalam oleh tuduhan itu, menatap tajam ke arah Rossa. "Adik yang kau klaim kau sayangi itu, setiap tetes keringatnya adalah untuk me
Febby menyentuh tangan suaminya, menggenggamnya erat sebagai simbol kekuatan dan penghiburan. "Percayalah, kita akan baik-baik saja," bisiknya penuh keyakinan, menawarkan sebuah cahaya harapan di tengah kegelapan yang mendadak menerpa mereka. Meskipun dokter Rangga menyampaikan kabar pahit tentang kemandulan suaminya, Febby tidak memiliki sedikit pun keinginan untuk meninggalkan sang suami. "Pasti ada jalan lain menuju kebahagiaan," ujarnya dengan lembut. Di ruangan yang dipenuhi aroma steril, ketegangan jelas terasa. Rangga menatap Dokter Irwan, matanya mencari jawaban, "Apakah masih ada kemungkinan kami bisa memiliki anak, Dokter?" suaranya bergetar, harap dan takut bercampur menjadi satu. Dokter Irwan menatap Rangga dengan belas kasihan, hatinya terasa berat menyampaikan realita, "Kalian bisa mencoba bayi tabung, tetapi harus menggunakan Sperma orang lain karena milik Anda, Pak Rangga, tidak ada sama sekali. Anda dinyatakan mandul permanen, bisa jadi karena faktor genetik atau
Ponsel Rangga bergetar dengan derasnya, mengejutkan diamnya malam itu. Layar menampilkan nama Arka yang berkedip dengan mendesak. Rangga menarik napas dalam, menekan tombol hijau. "Halo," suaranya mengambang di udara. "Tuan," suara Arka terdengar tegang dari ujung sana. "Bayu meminta pengembalian hutang itu dua kali lipat dari yang dipinjam oleh Mayang. Jika tidak, dia menolak untuk menerima pelunasan." Rangga merasakan urat di kepalanya menegang. "Sialan, betapa liciknya dia!" amarahnya mendidih mendengar permintaan yang tak masuk akal itu. Arka, sejenak terdiam, mencerna kegelisahan yang menjalar dari suara Rangga. Suara deburan ombak di kejauhan makin menggencarkan suasana. "Anda lagi di mana, Tuan?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran. "Di pantai," jawab Rangga lirih, seolah-olah tiap kata terbawa angin laut. "Di pantai?" Arka mengulang, rasa ingin tahu dan kekhawatiran bercampur jadi satu. "Apa ada masalah, Tuan?" Rangga menarik napas panjang, mengumpulkan keberani
‘Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Baru saja hubungan kami membaik, namun sekarang harus kembali diterpa kenyataan pahit ini,’ Febby membatin menunggu suaminya yang masih membersihkan diri.Tak berselang lama Rangga keluar dari dalam kamar mandi. Bahkan saat Febby mengajaknya makan pria itu menggeleng dan duduk di depan TV. Pikirannya mulai tak tenang, cemas berlebih tengah ia rasakan saat ini. Namun Rangga tetap harus bicara dengan sang istri, meski berat sepertinya ini adalah keputusan terbaik untuk mereka.Sebab kenyataan yang paling menyakitkan bagi seorang laki-laki adalah ketika dia divonis mandul. Hal inilah yang kini dirasakan Rangga. Hatinya sangat perih dan terasa teriris.Hubungannya dengan Febby yang baru saja membaik seolah tak lagi ada artinya setelah kabar buruk itu. Rasa pahit menggerogoti batinnya, dan dia merasa telah mengecewakan Febby.Rangga duduk termenung, mengingat hasil pemeriksaan medis yang telah mengubah hidupnya. Ucapan dokter Irwan terngiang-ngiang dalam be
"Sudah kuduga sejak dulu kalau kau hanya pria payah yang menyusahkan. Sudah miskin, mandul pula. Haduuuuh, kebangetan kalau sampai manusia sepertimu masih tak punya harga diri dan bertahan di sini," sindir Mayang dengan nada sinis.Mayang tak pernah peduli apakah ucapannya akan menyakiti orang lain atau tidak. Yang jelas, bagi dirinya, menantu gembelnya ini harus segera disingkirkan.Sementara itu, Rangga memilih untuk segera keluar dari rumah dan menuju ke kantor. Emosinya bisa saja meledak bila terus-menerus berada di tempat itu. Ia tak tahu sampai kapan dirinya bisa menahan amarah yang sudah berada di ujung tanduk.Pikirannya kacau. Sepanjang perjalanan, Rangga terus berpikir tentang apa yang harus dia lakukan. Apakah benar dirinya harus memilih pergi dari kehidupan wanita yang sangat ia cintai, ataukah ia bertahan?Namun, hati kecilnya menolak untuk bertahan. Meskipun cintanya pada Febby begitu besar, Rangga tidak ingin menyaksikan wanita itu terluka dalam jangka waktu yang lama.
Febby berdiri terpaku saat suaminya, Rangga, bergegas ingin meninggalkan restoran tanpa menoleh ke arahnya sekalipun. Amarah bergejolak dalam hati Febby. Febby berlari kecil lalu menahan sang suami dengan menarik tangannya.“Rangga, tunggu! Kau tahu kan, kalau aku di sini hanya sedang makan siang bersama Pak Bayu, beliau atasan di kantorku, dan ini masih dalam jam kantor. Aku harap kau tak cemburu lalu menjadikan pertemuan kita ini sebagai alasan untuk bertengkar lagi di rumah,” suara Febby tampak kesal.Dia mulai paham dengan sifat suaminya, kalau marah pria itu menghilang tanpa jejak. Febby takut suaminya sengaja mencari-cari kesalahannya.Rangga, yang semula hanya ingin keluar tanpa keributan, menghentikan langkahnya, napasnya tertahan. “Febby, ini bukan soal cemburu. Aku tahu banyak sekretaris yang menemani bosnya makan siang, aku tidak tidak sedang menuduhmu selingkuh. Aku juga punya kegiatan yang harus aku kerjakan lagi.” Febby menelan ludah, matanya berkaca-kaca karena air m