Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi.
"Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan. "Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar." "Sedikit ya?" "Gak ada!" "Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi. "Ngapain? Kamu mau bikin malu aku? Apa kamu mau tunjukin kamu bisa menafkahiku? Malu-maluin saja!" Yogi memang lelaki yang mempunyai rasa gengsi yang tinggi. Dia tidak pernah memperbolehkan Susi untuk melakukan aktivitas mencari nafkah ataupun membantu untuk mencari nafkah karena itu bagian dari mencoreng harga dirinya sebagai lelaki. Baginya, seberapapun nafkah yang diberikan itu adalah suatu kesanggupan seorang suami dalam membahagiakan istri dan Yogi merasa dia sudah sangat membahagiakan istrinya karena semua kebutuhan sudah dipenuhi bahkan sudah memberikan uang jajan yang nominalnya hanya 300.000 itu. Yogi merasa sudah sangat adil dan merasa sudah bisa membahagiakan istrinya sendiri. Padahal, terkadang Susi ingin membeli sesuatu yang dia inginkan seperti baju atau tas bermerk. Malam ini, Yogi belum juga pulang dan Maryati pun memperhatikan Suci yang masih menunggunya di depan pintu. Tidak biasanya memang Yogi pulang sampai larut dan itu cukup mengundang tanda tanya bagi semua penghuni rumah. "Yogi belum pulang juga?" tanya Marni yang juga ikut menunggu pulang Yogi dari tempat kerja. "Belum, Bu." "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu, Susi. Nikah 5 tahun belum juga punya anak jadinya kayak gini ini. Pergi ngelayap nggak ingat pulang," ucap Marni. Ucapan mertuanya sungguh membuat hati Susi merasa tersayat-sayat. Bukan hanya sekali Dia mendengar mertuanya menyinggung perihal keturunan tetapi sering bahkan hampir setiap hari. "Namanya juga belum rezeki Bu, doakan saja semoga bisa secepatnya mendapatkan momongan." "Nggak biasanya Yogi pulang malam loh. Kemarin Ibu sempat bertanya sama dia, apa dia nggak pengen punya anak. Dia bilangnya, masih ingin bahagiakan kamu. Sebenarnya Ibu kecewa dengan jawaban itu tetapi setelah Ibu pikir-pikir mungkin jawaban itu adalah bagian dari kekecewaannya. Coba kamu kontrol, siapa tahu kamu bermasalah." "Iya." Susi tidak bisa membantah ucapan yang lain karena jika dibalas dengan jawaban yang lebih panjang maka mertuanya akan bertambah panjang menceramahinya. Dia memilih untuk masuk ke dalam kamar dan menunggu suaminya dari kamar saja daripada di luar dan mendengarkan ocehan mertuanya yang kadang membuat hatinya merasa kepikiran yang macam-macam.Susi merasakan ranjang yang bergoyang. Dia sedikit bergerak dan merasa suaminya sudah pulang. Namun, dia sengaja berpura pura tidur agar tak perlu berdebat malam malam.
Pagi hari, dia bangun seperti biasa. Melakukan tugasnya sebagai istri dan menantu di rumah ini. Tak ada yang berubah, kecuali perasaannya.
"Semalam pulang jam berapa?" tanya Susi sengaja.
"Jam 11.”
“Memang harus pulang semalam itu?”
“Ada salah satu kedai yang Emang sedang ramai dan kebetulan malam Minggu jadinya tutupnya agak malam. Memangnya kamu nungguin?"
"Ya iya, bukan hanya aku yang nungguin. Ibu juga sampai nungguin kok di depan. Dia nyindir dan mengatakan yang nggak nggak tentang aku. Bikin aku gak tenang dan kepikiran terus kalau kamu pulang malam."
“Ya nggak usah dipikirkan.”
“Gimana nggak dipikirkna, orang ngomongnya nanceb banget sampai hati. Bisa bisanya kayak gitu, astaga. Ibu itu ada dendam apa sih sama aku, Mas? Ngatain mandul segala loh,” cerocos Susi meluapkan segala emosinya pada sang suami.
“Kamu kayak nggak ngerti tabiat orang tua saja. Ya sudah, lupakan saja. Memang seperti itu kan Ibu? Apa apa diomong. Yang waras ngalah dikit,” ucapnya.
“Memang agak agak ibumu itu,” gerutu Susi. Beruntung suaminya tak membela sang ibu, jika itu terjadi, jelas Susi akan semakin kesal dan menyalahkan suaminya yang kenapa tidak mau progam kehamilan.
Yogi hanya menanggapi biasa saja dan memakai kembali pakaiannya setelah mandi. Dia memang sering mendengar keluahan dari keduanya, tapi dia tak ambil pusing. Dia yakin itu bukan karena memang ibunya sengaja, tapi lebih ke memberi semanat saja.
Saat keluar dari kamar, Marni sedang mengelap meja. Dia melirik ke arah anaknya yang keluar dengan pakaian rapi dan menantunya yang baru keluar kamar.
"Apa nggak takut rezekinya dipatok sama ayam? Lain kali kalau adzan subuh itu langsung bangun dan Masak Biar suaminya Kalau mau pergi nggak kelaparan."
“Nggak mungkin kelaparan lah, kan sudah ada masakan Ibu. Ibu sudah masak ‘kan?” tanya Susi sengaja. Sedang malas berdebat tapi jika disindir pun tak mau kalah juga.
Susi langsung ke dapur dan menyiapkan piirng untuk mengambil makanan. Mertuanya memang terlihat sibuk di dapur, tapi bukan menyelesaikan masakan. Bahkan Marni tidak terbiasa masak karena ada saja yang terjadi jika dia itu di dapur.
“Ibu duduk saja, ribut kalau pagi,” ucap Yogi meminta sang Ibu duduk. Yogi juga tidak membolehkan ibunya itu terlalu lelah karena usianya yang sudah dianggap sepuh padahal umurnya masih 50-an tahun.
Masakan sederhana tersaji di meja makan dan mereka sarpan juga bersama sama. Yogi masuk ke kamar lagi dan keluar dengan aroma parfum yang sangat wangi sampai membuat Susi heran sendiri.
"Mas mau ke mana lagi ini sampai terlihat rapi begitu?"
“Ada urusan lah, kerja. Apalagi?” tanya Yogi.
"Tumben pagi? Biasanya juga siang atau sore."
"Pas kebetulan lagi ada urusan pagi ini dan Mas harus pergi dengan cepat."
"Gak bawa bekal lagi?"
"Mas Udah kesiangan Nanti kamu makan sama ibu aja sisanya."
Susi menerima uluran tangan dari suaminya dan mengantarnya sampai ke depan pintu. Tidak biasanya suaminya melewatkan bekal tambahan padahal kadang menyempatkan untuk membawa bekal dari rumah jika siang atau sore karena beralasan hemat dan tidak ingin membuang-buang uang hanya untuk makan di luar.
Marni melihat anaknya sudah pergi tanpa sarapan dan dia lagi lagi menyindir menantunya yang sedang bengong di luar.
"Anak Ibu nggak bawa bekal ya?"
Susi hanya mengedikkan bahu lalu berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Percuma saja dijawab karena pasti mertuanya akan ngoceh panjang lebar.
"Makanya jadi istri itu yang cekatan dan jangan bangun lebih terlambat daripada suami. Itu tuh, Suami pergi dalam keadaan marah dan pasti di luaran cari yang bisa bikin kenyang! Kalau sudah begitu istri yang rugi!"
Ucapan itu masih terdengar oleh Susi meskipun sudah di dalam kamar. Dia pun menjadi kepikiran tentang perginya sang suami yang tidak biasanya pagi ini tanpa sarapan. Dia pun merasa resah, Apa mungkin suaminya itu benar-benar pergi karena bekerja atau memang ada urusan lain?
Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya. "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..." Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam. Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya. “Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan. Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singka
"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ...""Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?"Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda."Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya
Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
Susi mulai menikmati pekerjaannya. Membantu Bu Tia–pemilik kosan dan ternyata, keahlian Susi di tempat ini lebih dihargai. Rendy yang wara wiri terlihat membantu, seperti memperhatikan Susi yang membuat Susi penasaran.“Aku nggak percaya situ anak kosan,” ucap Susi.“Kan sama aja. Apa karena wajah saya terlalu ganteng sampai gak meyakinkan?”Susi tersenyum. “Bukan gitu, kamu ini kerjaannya bolak balik kontrakan. Gak terlihat sekolah atau bekerja di luar yang biasanya pergi pagi pulang malam. Apa mungkin …”“Bukan anak bos,” kekeh Rendy. “Ya ya ya, tapi kalaupun Bos, aku sih nggak masalah. Malah bisa saja aku ngelamar kerjaan di perusahaan situ. Jadi managernya mungkin,” kilah Susi bercanda.“Bisa saja.”“Eh, misal. Kan situ bukan bos.”“Iya sih, tapi memang lulusan apa?”“SMA aja. Gak mungkin ya jadi pegawai berprestasi dan jabatan tinggi?”“MUngkin saja, kalau bosnya saya,” jawab Rendy sekenanya.Lelaki itu memang sengaja memperhatikan Susi karena wanita itu mengingatkan dia pada s
---Di kosan sederhana yang kini menjadi tempat bernaung Susi, malam terasa tenang. Suara jangkrik berpadu dengan lampu temaram yang menggantung di depan pintu. Susi masih memandang catatan keuangan kosan, tetapi pikirannya sudah terbang jauh. Tawaran kerja dari Rendy tadi benar-benar membuatnya semangat. Setidaknya, ini bisa jadi langkah kecil untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang Yogi dan Amora.Namun, Rendy sendiri adalah teka-teki.“Dia terlalu baik,” gumam Susi pelan. “Tapi siapa dia sebenarnya?”Belum sempat pertanyaan itu menemukan jawabannya, suara ketukan di pintu mengejutkannya.“Susi, buka pintunya,” suara Rendy terdengar dari balik pintu.Susi segera berdiri, merapikan kerudung seadanya, lalu membuka pintu.“Masih belum tidur? Ini, aku bawain minuman hangat biar kamu nggak masuk angin,” ucap Rendy sambil menyerahkan segelas teh jahe.“Mas, kamu ini baik banget. Jangan sampai nanti aku ketagihan perhatianmu,” canda Susi sambil menerima gelas itu.Rendy tersenyum tipi
Setelah tangis mereka reda, Susi masih berlutut di depan Mustika, menggenggam erat tangan ibunya. Hatinya terasa penuh dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seumur hidup ia berpikir tak punya siapa-siapa, dan kini, ada sosok ibu di depannya dan seorang adik di sampingnya."Maafkan aku lama sekali pulang, Ma," bisik Susi dengan suara bergetar.Mustika menggeleng pelan. "Bukan salahmu, Nak. Mama yang seharusnya mencari lebih keras. Mama nggak pernah berhenti berdoa supaya kamu ditemukan dalam keadaan selamat. Tapi lelaki itu memanipulasi semuanya dan kita jadi terpisah lama."Susi mengangguk, air matanya masih berlinang. Ia lalu meraih tangan Mustika dan menciumnya penuh haru. "Aku di sini sekarang, Ma. Aku nggak akan pergi lagi."Rendy tersenyum di samping mereka. "Akhirnya, keluarga kita utuh lagi."Rendy merasa semua ini berhasil. Tak ada yang meleset dari dugaannya. Dibantu teman temannya juga, dia bisa dengan mudah mengumpulkan bukti dan mengungkap semua kejaha
“Mbak, ada gambaran keinginan nggak?”Susi mengernyitkan keningnya, lalu melanjutkan aktivitas nya. “Mbak.”“Gak ada, bisa kerja dengan baik sama kamu aja udah bagus. Cari apa lagi?”“Mau aku kenalkan sama keluarga aku gak?”Susi menghentikan aktivitas nya, mencuci tangan lalu menyangga wajah dengan kepalanya melihat Rendy yang sepagi ini sudah bertanya hal aneh.“Mendadak banget pengin ngenalin,” kekehnya.“Serius, Mbak. Mungkin mbak lupa sesuatu yang dulu pernah mbak rasakan.”Susi menatap Rendy dengan bingung. “Kenapa tiba-tiba ngomong soal kenalan sama keluarga? Ada apa?”Rendy menelan ludah, jelas terlihat gelisah. “Sebenarnya... ada seseorang yang pengin banget ketemu Mbak. Dari dulu.”Kening Susi mengernyit. “Siapa?”Rendy menghela napas panjang. “Ibuku.”Susi menegakkan punggungnya, menatap Rendy lebih intens. “Ibumu? Kenapa ibumu mau ketemu aku? Kita bahkan belum pernah kenal.”Rendy tersenyum hambar. “Ada sesuatu yang kamu nggak tahu, Mbak. Ibuku... pernah kehilangan anakny
Yogi terduduk lemas di kursi, kepalanya tertunduk dalam. Dunia yang dia pikir sudah sempurna setelah mencampakkan Susi dan menikahi Monica, kini berantakan di depan matanya. Bayi yang dia banggakan, yang dia yakini sebagai penerus namanya, ternyata bukan anak kandungnya. Dan Monica—wanita yang dia bela mati-matian di hadapan ibunya—bahkan tak tahu siapa ayah dari bayi itu.Rendy menyeringai puas, lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, dia menoleh dan berkata dengan nada penuh sindiran, “Nikmati hidupmu, Yogi. Oh ya, jangan lupa—anakmu bukan anakmu.”Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan keheningan mencekam di dalam ruangan. Monica meremas ujung selimut dengan wajah penuh air mata. “Mas Yogi… aku nggak pernah bermaksud begini. Aku benar-benar nggak tahu…”“Kapan kau selingkuh?” Yogi menatapnya tajam. Matanya memancarkan amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Kali ini dia benar benar sudah tidak bisa bersikap sabar. Semua bukti yang diberikan Rendy sanga
Rendy sudah menyiapkan kejutan besar untuk Yogi dan Monica. Kali ini, kejutan itu akan membuat Yogi pasti menyesal sudah membuang Susi sebagai istrinya. Dia menemui Alfa, meminta tes DNA anak Monica yang baru saja dilahirkan belum lama ini.“Gimana hasilnya?” tanya Rendy.“Negatif, dia bukan anak Yogi. KIta akan uji dengan sample darah siapa?” tanya Alfa.“Baj!ngan itu. Aku yakin, bajingan itu yang menghamili Monica.”Alfa mengangguk. Dia akan melakukan itu dengan mudah karena sekarang ini Rudi sedang berada di sel tahanan. Dia hanya perlu meminta petugas kesehatan lapas untuk mengambil sampel darah dan rambut, lalu pengecekan akan dimulai dari 3 hari ini.Rendy kembali beraktivitas seperti biasa. Ibunya yang sudah mulai ceria karena sudah mendapatkan hiburan baru di rumah, dia juga sudah mulai lega karena masalah sudah mulai clear. Tinggal dia membereskan urusan kakaknya yang tak lain adalah Susi.“Gimana kerjaan hari ini, Mbak?” tanya Rendy.“Biasa, gak ada yang berubah. Kamu nih ya
Asri berjalan gontai keluar ruangan, sesekali menyeka air mata yang terus jatuh tanpa bisa ia hentikan. Langkahnya terasa berat, seolah ada ribuan beban yang menekan pundaknya. Bayangan Meysila, anaknya yang kini terbaring koma di rumah sakit, terus menghantui pikirannya. Ia tidak bisa kehilangan anaknya. Tidak peduli betapa hancurnya harga dirinya saat ini, ia harus bertahan.Rendy menutup pintu kamar dengan kasar, menatap ibunya yang tampak kelelahan. Mustika masih berbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, tetapi Rendy tahu pikirannya terus bekerja.“Mama yakin dengan keputusan ini?” Rendy bertanya dengan nada hati-hati.Mustika membuka matanya perlahan. “Mama tidak yakin, Nak. Tapi mama tahu satu hal—jika mama memilih untuk membiarkan dia dipenjara, itu tidak akan mengubah apa pun. Keluarganya tetap akan menderita, anaknya tetap akan kesulitan. Dan itu tidak akan membuat kita lebih bahagia.”“Tapi, Ma… bagaimana kalau dia berkhianat lagi?” Rendy masih belum bisa menerim
Mustika menatap selang infus yang menempel di tangannya. Dia tahu, tubuhnya tak sekuat itu mengetahui kabar yang mengejutkan, menyaksikan sendiri suaminya berlaku tak sebenarnya. Dia menengok pada Rendy yang setia menemaninya.“Rendy.”Rendy yang memang tidak tidur langsung mendongak dan mendekat saat sang ibu memanggilnya.“Mama sudah bangun, syukurlah. Mama haus?”“Apa Rudi sudah dihukum dengan berat?” tanyanya serak.“Sudah, polisi sedang menindak lanjuti urusan ini. Mama harus sehat, ya?”Saat ini, pikiran Mustika sangatlah tidak fokus. Dia benar benar merasa bersalah pada anak anaknya yang selama ini dia abaikan. Air mata kembali merembes, bahkan dia terus menyalahkan dirinya sendiri yang tak peduli pada anak anaknya.“Maafkan Mama, Rendy.”Rendy tersenyum, lalu mengusap tangan sang ibu.“Mama jangan terus menyalahkan diri sendiri, semua sudah diatur oleh Sang Maha Pencipta. Mama harus sehat, mama harus kuat agar nanti mama sendiri yang akan jemput Kak Rianti.”“Rianti? Di mana d
Semua yang Rendy tunjukkan membuat Mustika berada di ambang kehancuran. Pikirannya terus berputar, mengingat saat-saat dia percaya sepenuhnya pada Rudi, lelaki yang kini terbukti sebagai dalang dari semua penderitaannya. Dia bahkan melihat bukti yang sudah lama Rendy kumpukan, lalu mengucap istighfar berkali kali.Mustika mengusap wajahnya, air mata terus mengalir tanpa henti. "Bagaimana mungkin, Rendy? Bagaimana mungkin aku selama ini buta?" suaranya bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri."Mama terlalu percaya padanya," Rendy berkata tenang namun tegas, "tapi sudah saatnya kita buka matanya, Ma. Kita harus hancurkan dia. Dia melakukan ini agar keluarga aslinya hidup sejahtera dan mama dijadikan ATM berjalannya. Dia singkirkan Rendy agar dia bisa mengendalikan semua. Mama ingat kecelakan yang menimpa aku dan kakak? Dialah penyebabnya.Mustika mendongak, hampir tak percaya. Tapi bukti yang dibawa Rendy lengkap dan tentunya valid untuk dipertanggungjawabkan. Dia menatap Rendy
Asri melangkah mendekat, wajahnya pucat karena amarah dan kebingungan. “Mas Rudi, selama ini aku diam, aku sabar. Tapi kamu malah mempermalukan keluargamu seperti ini? Apa kamu tidak berpikir apa-apa?”“Bukan begitu, Asri. Aku hanya ingin—” Rudi mencoba menjelaskan, tapi Asri memotongnya.“Kamu ingin apa? Menambah istri lagi? Menambah masalah? Bukankah aku sudah cukup menderita dengan penyakit ini? Sekarang kamu malah mempermainkan perasaan Mika juga?!” Suaranya mulai meninggi, matanya berkaca-kaca.“Dia salah, dia hamil duluan dan kamu sebenarnya tidak becus menjadi seorang ibu!” ucap Amora.“Jaga bicaramu!” Asri hendak memukul Amora, tapi tangannya dicegah oleh Rudi.Amora tersenyum, dia merasa senang karena mendapatkan pembelaan.“Mas!!”“Sudahlahlah, Asri. Jangan buat ribut, kita selesaikan ini di rumah.”“Gak akan! Aku benci kamu, Mas!”Amora tak senang dengan suasana ini. Dia pun maju, berkacak pinggang di depan Asri. “Mbak ini terlalu sok suci, merasa paling bener, kalau ada y
Mikaila celingukan. Kali ini dia mencari orang yang tentunya mengiriminya pesan. Bahkan, dia tak tahu siapa dia. Tak ada photo profil, bahkan tak ada nama kontak itu di ponselnya.“Di mana sih itu orang?”Mikaila menghubungi nomor baru itu, sayang tak diangkat angkat. Namun, matanya teralihkan oleh sesuatu yang ada di depannya.“Papa?”Mikaila membelalak. DIa tak menyangka ayahnya ada di cafe itu bersama wanita yang bukan ibunya. Alasannya selalu sibuk di luar karena pekerjaannya begitu banyak. Namun, ternyata ayahnya dengan wanita lain di sana.Mikaila mendekat, lalu menggebrak meja. Membuat Rudi kaget dengan apa yang dilakukan anaknya itu.“Mika? Ka-mu kenapa di sini? Kamu tak sekolah?” berondong Rudi.Di sampingnya, Amora sedang membahas tentang banyak hal. Dia juga kaget, tapi sudah tahu siapa Mikaila. Hanya saja, Rudi tak pernah memperkenalkan dia sebagai anak. Hanya sebatas tahu saja dari kontak yang sering memanggilnya.“Papa ngapain sama dia? Papa katanya sibuk di luar kota,