Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi.
"Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan. "Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar." "Sedikit ya?" "Gak ada!" "Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi. "Ngapain? Kamu mau bikin malu aku? Apa kamu mau tunjukin kamu bisa menafkahiku? Malu-maluin saja!" Yogi memang lelaki yang mempunyai rasa gengsi yang tinggi. Dia tidak pernah memperbolehkan Susi untuk melakukan aktivitas mencari nafkah ataupun membantu untuk mencari nafkah karena itu bagian dari mencoreng harga dirinya sebagai lelaki. Baginya, seberapapun nafkah yang diberikan itu adalah suatu kesanggupan seorang suami dalam membahagiakan istri dan Yogi merasa dia sudah sangat membahagiakan istrinya karena semua kebutuhan sudah dipenuhi bahkan sudah memberikan uang jajan yang nominalnya hanya 300.000 itu. Yogi merasa sudah sangat adil dan merasa sudah bisa membahagiakan istrinya sendiri. Padahal, terkadang Susi ingin membeli sesuatu yang dia inginkan seperti baju atau tas bermerk. Malam ini, Yogi belum juga pulang dan Maryati pun memperhatikan Suci yang masih menunggunya di depan pintu. Tidak biasanya memang Yogi pulang sampai larut dan itu cukup mengundang tanda tanya bagi semua penghuni rumah. "Yogi belum pulang juga?" tanya Marni yang juga ikut menunggu pulang Yogi dari tempat kerja. "Belum, Bu." "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu, Susi. Nikah 5 tahun belum juga punya anak jadinya kayak gini ini. Pergi ngelayap nggak ingat pulang," ucap Marni. Ucapan mertuanya sungguh membuat hati Susi merasa tersayat-sayat. Bukan hanya sekali Dia mendengar mertuanya menyinggung perihal keturunan tetapi sering bahkan hampir setiap hari. "Namanya juga belum rezeki Bu, doakan saja semoga bisa secepatnya mendapatkan momongan." "Nggak biasanya Yogi pulang malam loh. Kemarin Ibu sempat bertanya sama dia, apa dia nggak pengen punya anak. Dia bilangnya, masih ingin bahagiakan kamu. Sebenarnya Ibu kecewa dengan jawaban itu tetapi setelah Ibu pikir-pikir mungkin jawaban itu adalah bagian dari kekecewaannya. Coba kamu kontrol, siapa tahu kamu bermasalah." "Iya." Susi tidak bisa membantah ucapan yang lain karena jika dibalas dengan jawaban yang lebih panjang maka mertuanya akan bertambah panjang menceramahinya. Dia memilih untuk masuk ke dalam kamar dan menunggu suaminya dari kamar saja daripada di luar dan mendengarkan ocehan mertuanya yang kadang membuat hatinya merasa kepikiran yang macam-macam.Susi merasakan ranjang yang bergoyang. Dia sedikit bergerak dan merasa suaminya sudah pulang. Namun, dia sengaja berpura pura tidur agar tak perlu berdebat malam malam.
Pagi hari, dia bangun seperti biasa. Melakukan tugasnya sebagai istri dan menantu di rumah ini. Tak ada yang berubah, kecuali perasaannya.
"Semalam pulang jam berapa?" tanya Susi sengaja.
"Jam 11.”
“Memang harus pulang semalam itu?”
“Ada salah satu kedai yang Emang sedang ramai dan kebetulan malam Minggu jadinya tutupnya agak malam. Memangnya kamu nungguin?"
"Ya iya, bukan hanya aku yang nungguin. Ibu juga sampai nungguin kok di depan. Dia nyindir dan mengatakan yang nggak nggak tentang aku. Bikin aku gak tenang dan kepikiran terus kalau kamu pulang malam."
“Ya nggak usah dipikirkan.”
“Gimana nggak dipikirkna, orang ngomongnya nanceb banget sampai hati. Bisa bisanya kayak gitu, astaga. Ibu itu ada dendam apa sih sama aku, Mas? Ngatain mandul segala loh,” cerocos Susi meluapkan segala emosinya pada sang suami.
“Kamu kayak nggak ngerti tabiat orang tua saja. Ya sudah, lupakan saja. Memang seperti itu kan Ibu? Apa apa diomong. Yang waras ngalah dikit,” ucapnya.
“Memang agak agak ibumu itu,” gerutu Susi. Beruntung suaminya tak membela sang ibu, jika itu terjadi, jelas Susi akan semakin kesal dan menyalahkan suaminya yang kenapa tidak mau progam kehamilan.
Yogi hanya menanggapi biasa saja dan memakai kembali pakaiannya setelah mandi. Dia memang sering mendengar keluahan dari keduanya, tapi dia tak ambil pusing. Dia yakin itu bukan karena memang ibunya sengaja, tapi lebih ke memberi semanat saja.
Saat keluar dari kamar, Marni sedang mengelap meja. Dia melirik ke arah anaknya yang keluar dengan pakaian rapi dan menantunya yang baru keluar kamar.
"Apa nggak takut rezekinya dipatok sama ayam? Lain kali kalau adzan subuh itu langsung bangun dan Masak Biar suaminya Kalau mau pergi nggak kelaparan."
“Nggak mungkin kelaparan lah, kan sudah ada masakan Ibu. Ibu sudah masak ‘kan?” tanya Susi sengaja. Sedang malas berdebat tapi jika disindir pun tak mau kalah juga.
Susi langsung ke dapur dan menyiapkan piirng untuk mengambil makanan. Mertuanya memang terlihat sibuk di dapur, tapi bukan menyelesaikan masakan. Bahkan Marni tidak terbiasa masak karena ada saja yang terjadi jika dia itu di dapur.
“Ibu duduk saja, ribut kalau pagi,” ucap Yogi meminta sang Ibu duduk. Yogi juga tidak membolehkan ibunya itu terlalu lelah karena usianya yang sudah dianggap sepuh padahal umurnya masih 50-an tahun.
Masakan sederhana tersaji di meja makan dan mereka sarpan juga bersama sama. Yogi masuk ke kamar lagi dan keluar dengan aroma parfum yang sangat wangi sampai membuat Susi heran sendiri.
"Mas mau ke mana lagi ini sampai terlihat rapi begitu?"
“Ada urusan lah, kerja. Apalagi?” tanya Yogi.
"Tumben pagi? Biasanya juga siang atau sore."
"Pas kebetulan lagi ada urusan pagi ini dan Mas harus pergi dengan cepat."
"Gak bawa bekal lagi?"
"Mas Udah kesiangan Nanti kamu makan sama ibu aja sisanya."
Susi menerima uluran tangan dari suaminya dan mengantarnya sampai ke depan pintu. Tidak biasanya suaminya melewatkan bekal tambahan padahal kadang menyempatkan untuk membawa bekal dari rumah jika siang atau sore karena beralasan hemat dan tidak ingin membuang-buang uang hanya untuk makan di luar.
Marni melihat anaknya sudah pergi tanpa sarapan dan dia lagi lagi menyindir menantunya yang sedang bengong di luar.
"Anak Ibu nggak bawa bekal ya?"
Susi hanya mengedikkan bahu lalu berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Percuma saja dijawab karena pasti mertuanya akan ngoceh panjang lebar.
"Makanya jadi istri itu yang cekatan dan jangan bangun lebih terlambat daripada suami. Itu tuh, Suami pergi dalam keadaan marah dan pasti di luaran cari yang bisa bikin kenyang! Kalau sudah begitu istri yang rugi!"
Ucapan itu masih terdengar oleh Susi meskipun sudah di dalam kamar. Dia pun menjadi kepikiran tentang perginya sang suami yang tidak biasanya pagi ini tanpa sarapan. Dia pun merasa resah, Apa mungkin suaminya itu benar-benar pergi karena bekerja atau memang ada urusan lain?
Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya. "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..." Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam. Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya. “Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan. Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singka
"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ...""Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?"Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda."Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya
Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
Susi mulai menikmati pekerjaannya. Membantu Bu Tia–pemilik kosan dan ternyata, keahlian Susi di tempat ini lebih dihargai. Rendy yang wara wiri terlihat membantu, seperti memperhatikan Susi yang membuat Susi penasaran.“Aku nggak percaya situ anak kosan,” ucap Susi.“Kan sama aja. Apa karena wajah saya terlalu ganteng sampai gak meyakinkan?”Susi tersenyum. “Bukan gitu, kamu ini kerjaannya bolak balik kontrakan. Gak terlihat sekolah atau bekerja di luar yang biasanya pergi pagi pulang malam. Apa mungkin …”“Bukan anak bos,” kekeh Rendy. “Ya ya ya, tapi kalaupun Bos, aku sih nggak masalah. Malah bisa saja aku ngelamar kerjaan di perusahaan situ. Jadi managernya mungkin,” kilah Susi bercanda.“Bisa saja.”“Eh, misal. Kan situ bukan bos.”“Iya sih, tapi memang lulusan apa?”“SMA aja. Gak mungkin ya jadi pegawai berprestasi dan jabatan tinggi?”“MUngkin saja, kalau bosnya saya,” jawab Rendy sekenanya.Lelaki itu memang sengaja memperhatikan Susi karena wanita itu mengingatkan dia pada s
---Di kosan sederhana yang kini menjadi tempat bernaung Susi, malam terasa tenang. Suara jangkrik berpadu dengan lampu temaram yang menggantung di depan pintu. Susi masih memandang catatan keuangan kosan, tetapi pikirannya sudah terbang jauh. Tawaran kerja dari Rendy tadi benar-benar membuatnya semangat. Setidaknya, ini bisa jadi langkah kecil untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang Yogi dan Amora.Namun, Rendy sendiri adalah teka-teki.“Dia terlalu baik,” gumam Susi pelan. “Tapi siapa dia sebenarnya?”Belum sempat pertanyaan itu menemukan jawabannya, suara ketukan di pintu mengejutkannya.“Susi, buka pintunya,” suara Rendy terdengar dari balik pintu.Susi segera berdiri, merapikan kerudung seadanya, lalu membuka pintu.“Masih belum tidur? Ini, aku bawain minuman hangat biar kamu nggak masuk angin,” ucap Rendy sambil menyerahkan segelas teh jahe.“Mas, kamu ini baik banget. Jangan sampai nanti aku ketagihan perhatianmu,” canda Susi sambil menerima gelas itu.Rendy tersenyum tipi
Asri melangkah mendekat, wajahnya pucat karena amarah dan kebingungan. “Mas Rudi, selama ini aku diam, aku sabar. Tapi kamu malah mempermalukan keluargamu seperti ini? Apa kamu tidak berpikir apa-apa?”“Bukan begitu, Asri. Aku hanya ingin—” Rudi mencoba menjelaskan, tapi Asri memotongnya.“Kamu ingin apa? Menambah istri lagi? Menambah masalah? Bukankah aku sudah cukup menderita dengan penyakit ini? Sekarang kamu malah mempermainkan perasaan Mika juga?!” Suaranya mulai meninggi, matanya berkaca-kaca.“Dia salah, dia hamil duluan dan kamu sebenarnya tidak becus menjadi seorang ibu!” ucap Amora.“Jaga bicaramu!” Asri hendak memukul Amora, tapi tangannya dicegah oleh Rudi.Amora tersenyum, dia merasa senang karena mendapatkan pembelaan.“Mas!!”“Sudahlahlah, Asri. Jangan buat ribut, kita selesaikan ini di rumah.”“Gak akan! Aku benci kamu, Mas!”Amora tak senang dengan suasana ini. Dia pun maju, berkacak pinggang di depan Asri. “Mbak ini terlalu sok suci, merasa paling bener, kalau ada y
Mikaila celingukan. Kali ini dia mencari orang yang tentunya mengiriminya pesan. Bahkan, dia tak tahu siapa dia. Tak ada photo profil, bahkan tak ada nama kontak itu di ponselnya.“Di mana sih itu orang?”Mikaila menghubungi nomor baru itu, sayang tak diangkat angkat. Namun, matanya teralihkan oleh sesuatu yang ada di depannya.“Papa?”Mikaila membelalak. DIa tak menyangka ayahnya ada di cafe itu bersama wanita yang bukan ibunya. Alasannya selalu sibuk di luar karena pekerjaannya begitu banyak. Namun, ternyata ayahnya dengan wanita lain di sana.Mikaila mendekat, lalu menggebrak meja. Membuat Rudi kaget dengan apa yang dilakukan anaknya itu.“Mika? Ka-mu kenapa di sini? Kamu tak sekolah?” berondong Rudi.Di sampingnya, Amora sedang membahas tentang banyak hal. Dia juga kaget, tapi sudah tahu siapa Mikaila. Hanya saja, Rudi tak pernah memperkenalkan dia sebagai anak. Hanya sebatas tahu saja dari kontak yang sering memanggilnya.“Papa ngapain sama dia? Papa katanya sibuk di luar kota,
“Kamu nunggu siapa, Mika?” tanya Asri yang melihat sang anak berdiri di ruang tamu dan mondar mandir.“Teman, Ma.”“Kok ya mondar mandir begitu? Apa kamu tak bisa tenang?”“Ck!” decak Mikaila.Bagaimana Mikaila tidak resah, lelaki yang mengaku akan bertanggung jawab atas kehamilannya malah belum datang padahal janji akan datang sejam yang lalu. Mikaila mencoba menghubungi, tapi nomor Elgard sama sekali tak bisa dihubungi. Pesan hanya centang satu dan tentunya membuat Mikaila merasa khawatir.“Udah, Mika. Cuma teman, kenapa kamu menunggu sampai secemas itu?"Mikaila mendongak menatap ibunya dengan tatapan gelisah yang berusaha ia sembunyikan. "Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma... ya, cemas aja. Dia penting," jawabnya setengah berbisik.Asri mengerutkan kening. “Teman apa pacar, sih? Kalau teman, kok kelihatan serius banget nungguinnya?”“Teman, Ma. Udah, jangan banyak tanya.” Mikaila mencoba mengalihkan dengan membuka ponselnya, berharap ada balasan dari Elgard. Namun nihil. Nomor lelaki i
“Bagaimana ini?”Mikaila melihat tespek yang menyatakan dia positif. Sedangkan dia masih memakai seragam putih biru. Tahun ini adalah tahun terakhir dia menjadi seorang murid SMA. Namun, kenyataan dia hamil bahkan membuat mimpi buruk itu kian nyata.“Bagaimana mungkin aku hamil?”Mikaila merasa bingung, takut dan khawatir. Ibunya pasti sangat murka dengan apa yang dia alami. Ditambah ayahnya yang menginginkan dia kuliah di Universitas luar negeri. Apa jadinya jika dia hamil?“Mika, kamu lama sekali di kamar mandi? Ini sarapannya sudah siap,” ucap sang ibu.“Iya, Ma.”Mikaila membuang tespeknya, lalu keluar dengan merapikan wajah yang hampir saja menangis tadi. Dia pun dengan tersenyum pada Asri–sang ibu yang ada di ambang pintu.“Mau berangkat jam berapa? Ini sudah siang.”“Iya, bawel ah!’Mikaila mengambil tasnya, membawa sarapan ke dalam tas karena dia enggan memakan apapun. Dia shock dengan kehamilan tak terduganya ini karena dia memang tak menyangka akan hamil di hubungan yang bi
Amora berdiri di depan apartemennya, gelisah. Hatinya terus berkecamuk, takut dan cemas. Surat wasiat itu adalah kunci dari segalanya, dan jika sampai jatuh ke tangan yang salah, tidak hanya Rudi yang akan kehilangan, tapi juga dirinya. Dia menatap layar ponselnya, mengirim pesan singkat ke Rudi.*"Aku sedang urus ini. Akan segera kutemukan."*Amora menekan tombol kirim, lalu memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Matanya memandang tajam ke arah pintu apartemen, perasaan campur aduk menghantam dadanya. Rudi jelas-jelas menekannya. Di satu sisi, dia tahu dia harus menemukan surat itu, tapi di sisi lain, dia sadar bahwa semakin dalam dia terlibat, semakin sulit untuk melepaskan diri dari jebakan ini.Saat duduk di ruang lobi, menunggu satpam yang sedang mengurus rekaman CCTV, Amora mencoba mengingat kembali kejadian yang menuntunnya ke situasi sekarang. Perasaan bersalah karena mengkhianati Yogi menghantamnya lagi, meskipun saat ini urusan dengan Rudi jauh lebih mendesak."Bu Amora?" suara
“Kamu menyalahi perjanjian!” umpat Amora saat mereka sudah sampai di kamar mereka.“Bulshit dengan perjanjian! Kamu sendiri sibuk dan tak ada waktu sekarang. Aku mengkhawatirkan kamu tapi kamu malah pergi tanpa kabar seolah tak peduli,” protes Yogi.“Kamu gak mikir aku begini biar anak kita bisa hidup layak?”“Bukan hal mudah menerima ini, tapi bukankah kamu akan jadi wanita rumahan dan membiarkan aku yang bekerja? Kenapa malah jadi kamu yang sering tak pulang?”Sama sama dalam keadaan emosi, tentu Amora pun tak bisa mengerem amarahnya yang mengetahui Yogi pulang ke rumah ibunya tanpa konfirmasi padanya.Ponsel Amora tiba tiba berhenti. Dia yang sedang kesal pun mengangkat panggilan itu dengan kasar.“Mora.”“Apa?” tanya Amora ketus.“Mora, ada apa?”Amora melihat ponselnya, lalu baru sadar ada panggilan itu dari kekasihnya –Rudi.“Nggak, ada apa?” ralat Amora seraya melirik Yogi, lalu pergi dari sana. Tentu agar Yogi tak melihat dan mendengar nya sedang berbincang penting dan intim
“Kok cepet ya urus urus semuanya? Seminggu udah lepas kunci,” ucap Susi yang dipanggil pengembang perumahan untuk penerimaan kunci.“Nasib, Mbak. Anggap saja, rezeki setelah bercerai Mbak.” Dia ditemani Bu Tia, Randy sengaja meminta Bu kosa untuk menemani Susi karena Rendy tak ada di sana saat ini.“Udah cerai?” Seorang petugas menatapnya, melirik pada Bu Tia juga.“Bukan kami, saya aja.” Susi menjawabnya.Susi mengambil kunci yang diulurkan petugas dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Mas,” jawabnya pelan.Petugas itu mengangguk sopan sebelum berlalu, meninggalkan Susi berdiri di samping Bu Tia yang antusias menemaninya di depan rumah. Rumah itu terlihat megah dan berkelas, tapi di mata Susi, rumah itu hanyalah pengingat pahit akan pernikahan yang kandas.“Gak nyangka dapat ganti yang gede begini, eh. Keren Mbak Susi,” puji bu kos.“Terima kasih, Bu Tia” ucapnya pelan dan Bu Tia benar benar tak menyangka respon Susi akan sebahagia ini. Sampai dia sadar, tangan Susi gemetaran dan
“Kok di sini lagi?” tanya Susi pada Rendy yang kini ada di ruangannya.“Aku cuma mau ngasih ini. Disuruh Pak Rio, katanya buat kamu.”“Apa ini?”“Buka saja.”Rendy menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat, lalu Susi membukanya perlahan. Dia melihat uang yang cukup banyak dan itu membuat dia cukup menganga.“Banyak banget?” Susi tak menyangka akan mendapatkan uang sebanyak itu.“Katanya bonus bulan ini. Kamu sudah bisa melakukan banyak hal, Mbak. Dari menjadi pengganti Bu Nurul, membantu pekerjaan beliau dan membantu banyak karyawan lain. Kamu hebat, Mbak. Banyak belajar di sini dan mungkin Pak Rio suka dengan kinerjamu itu. Jadi, terima saja.”Saking senangnya, Susi sampai tak bisa berkata kata. Kali ini, Susi merasa setiap detiknya begitu berharga. Tenaga yang dia keluarkan untuk membantu teman demi mengasah kemampuan ternyata nggak sia sia.“Ini buat kamu,” ucap Susi memberikan uang yang tadi separuhnya pada Rendy.“Gak usah, ih. Aku juga udah dapat bonus sendiri.”“Gak papa, kam
"Nanti kamu handle pekerjaan saya, ya, Sus. Saya ada keperluan lain," ucap Nurul."Tapi, apa saya bisa, Bu?""Bisa, kamu pasti bisa. Kan sudah belajar selama ini sama saya? Tunjukkan kalau saya gak sia sia mengajari kamu selama ini.""Saya akan berusaha. Ibu berapa jam keluar?""Saya sampai besok, kerjakan ini sampai selesai. Besok saja cek dan semoga kamu gak ada kendala.""Kalau saya bingung, tanya siapa?""Bisa hubungi Pak Rendy."Susi mengangguk. Dia pun merasa terharu bisa diberikan kesempatan menggunakan kursi atasannya untuk bekerja. Dia bahkan diberikan mandat untuk menjadi Manager seharian ini. Ini adalah hal yang langka dan mungkin mendebarkan bagi Susi.Susi menatap ruangan kerja Bu Nurul dengan campuran rasa gugup dan bangga. Meja yang biasanya hanya dia lihat dari kejauhan kini terasa begitu dekat, bahkan bisa dia gunakan. “Manager sehari, ya?” gumamnya sambil mencoba duduk di kursi empuk yang mendominasi ruangan itu.Ia mulai menyalakan komputer, memeriksa email, dan men