Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi.
"Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan. "Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar." "Sedikit ya?" "Gak ada!" "Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi. "Ngapain? Kamu mau bikin malu aku? Apa kamu mau tunjukin kamu bisa menafkahiku? Malu-maluin saja!" Yogi memang lelaki yang mempunyai rasa gengsi yang tinggi. Dia tidak pernah memperbolehkan Susi untuk melakukan aktivitas mencari nafkah ataupun membantu untuk mencari nafkah karena itu bagian dari mencoreng harga dirinya sebagai lelaki. Baginya, seberapapun nafkah yang diberikan itu adalah suatu kesanggupan seorang suami dalam membahagiakan istri dan Yogi merasa dia sudah sangat membahagiakan istrinya karena semua kebutuhan sudah dipenuhi bahkan sudah memberikan uang jajan yang nominalnya hanya 300.000 itu. Yogi merasa sudah sangat adil dan merasa sudah bisa membahagiakan istrinya sendiri. Padahal, terkadang Susi ingin membeli sesuatu yang dia inginkan seperti baju atau tas bermerk. Malam ini, Yogi belum juga pulang dan Maryati pun memperhatikan Suci yang masih menunggunya di depan pintu. Tidak biasanya memang Yogi pulang sampai larut dan itu cukup mengundang tanda tanya bagi semua penghuni rumah. "Yogi belum pulang juga?" tanya Marni yang juga ikut menunggu pulang Yogi dari tempat kerja. "Belum, Bu." "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu, Susi. Nikah 5 tahun belum juga punya anak jadinya kayak gini ini. Pergi ngelayap nggak ingat pulang," ucap Marni. Ucapan mertuanya sungguh membuat hati Susi merasa tersayat-sayat. Bukan hanya sekali Dia mendengar mertuanya menyinggung perihal keturunan tetapi sering bahkan hampir setiap hari. "Namanya juga belum rezeki Bu, doakan saja semoga bisa secepatnya mendapatkan momongan." "Nggak biasanya Yogi pulang malam loh. Kemarin Ibu sempat bertanya sama dia, apa dia nggak pengen punya anak. Dia bilangnya, masih ingin bahagiakan kamu. Sebenarnya Ibu kecewa dengan jawaban itu tetapi setelah Ibu pikir-pikir mungkin jawaban itu adalah bagian dari kekecewaannya. Coba kamu kontrol, siapa tahu kamu bermasalah." "Iya." Susi tidak bisa membantah ucapan yang lain karena jika dibalas dengan jawaban yang lebih panjang maka mertuanya akan bertambah panjang menceramahinya. Dia memilih untuk masuk ke dalam kamar dan menunggu suaminya dari kamar saja daripada di luar dan mendengarkan ocehan mertuanya yang kadang membuat hatinya merasa kepikiran yang macam-macam.Susi merasakan ranjang yang bergoyang. Dia sedikit bergerak dan merasa suaminya sudah pulang. Namun, dia sengaja berpura pura tidur agar tak perlu berdebat malam malam.
Pagi hari, dia bangun seperti biasa. Melakukan tugasnya sebagai istri dan menantu di rumah ini. Tak ada yang berubah, kecuali perasaannya.
"Semalam pulang jam berapa?" tanya Susi sengaja.
"Jam 11.”
“Memang harus pulang semalam itu?”
“Ada salah satu kedai yang Emang sedang ramai dan kebetulan malam Minggu jadinya tutupnya agak malam. Memangnya kamu nungguin?"
"Ya iya, bukan hanya aku yang nungguin. Ibu juga sampai nungguin kok di depan. Dia nyindir dan mengatakan yang nggak nggak tentang aku. Bikin aku gak tenang dan kepikiran terus kalau kamu pulang malam."
“Ya nggak usah dipikirkan.”
“Gimana nggak dipikirkna, orang ngomongnya nanceb banget sampai hati. Bisa bisanya kayak gitu, astaga. Ibu itu ada dendam apa sih sama aku, Mas? Ngatain mandul segala loh,” cerocos Susi meluapkan segala emosinya pada sang suami.
“Kamu kayak nggak ngerti tabiat orang tua saja. Ya sudah, lupakan saja. Memang seperti itu kan Ibu? Apa apa diomong. Yang waras ngalah dikit,” ucapnya.
“Memang agak agak ibumu itu,” gerutu Susi. Beruntung suaminya tak membela sang ibu, jika itu terjadi, jelas Susi akan semakin kesal dan menyalahkan suaminya yang kenapa tidak mau progam kehamilan.
Yogi hanya menanggapi biasa saja dan memakai kembali pakaiannya setelah mandi. Dia memang sering mendengar keluahan dari keduanya, tapi dia tak ambil pusing. Dia yakin itu bukan karena memang ibunya sengaja, tapi lebih ke memberi semanat saja.
Saat keluar dari kamar, Marni sedang mengelap meja. Dia melirik ke arah anaknya yang keluar dengan pakaian rapi dan menantunya yang baru keluar kamar.
"Apa nggak takut rezekinya dipatok sama ayam? Lain kali kalau adzan subuh itu langsung bangun dan Masak Biar suaminya Kalau mau pergi nggak kelaparan."
“Nggak mungkin kelaparan lah, kan sudah ada masakan Ibu. Ibu sudah masak ‘kan?” tanya Susi sengaja. Sedang malas berdebat tapi jika disindir pun tak mau kalah juga.
Susi langsung ke dapur dan menyiapkan piirng untuk mengambil makanan. Mertuanya memang terlihat sibuk di dapur, tapi bukan menyelesaikan masakan. Bahkan Marni tidak terbiasa masak karena ada saja yang terjadi jika dia itu di dapur.
“Ibu duduk saja, ribut kalau pagi,” ucap Yogi meminta sang Ibu duduk. Yogi juga tidak membolehkan ibunya itu terlalu lelah karena usianya yang sudah dianggap sepuh padahal umurnya masih 50-an tahun.
Masakan sederhana tersaji di meja makan dan mereka sarpan juga bersama sama. Yogi masuk ke kamar lagi dan keluar dengan aroma parfum yang sangat wangi sampai membuat Susi heran sendiri.
"Mas mau ke mana lagi ini sampai terlihat rapi begitu?"
“Ada urusan lah, kerja. Apalagi?” tanya Yogi.
"Tumben pagi? Biasanya juga siang atau sore."
"Pas kebetulan lagi ada urusan pagi ini dan Mas harus pergi dengan cepat."
"Gak bawa bekal lagi?"
"Mas Udah kesiangan Nanti kamu makan sama ibu aja sisanya."
Susi menerima uluran tangan dari suaminya dan mengantarnya sampai ke depan pintu. Tidak biasanya suaminya melewatkan bekal tambahan padahal kadang menyempatkan untuk membawa bekal dari rumah jika siang atau sore karena beralasan hemat dan tidak ingin membuang-buang uang hanya untuk makan di luar.
Marni melihat anaknya sudah pergi tanpa sarapan dan dia lagi lagi menyindir menantunya yang sedang bengong di luar.
"Anak Ibu nggak bawa bekal ya?"
Susi hanya mengedikkan bahu lalu berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Percuma saja dijawab karena pasti mertuanya akan ngoceh panjang lebar.
"Makanya jadi istri itu yang cekatan dan jangan bangun lebih terlambat daripada suami. Itu tuh, Suami pergi dalam keadaan marah dan pasti di luaran cari yang bisa bikin kenyang! Kalau sudah begitu istri yang rugi!"
Ucapan itu masih terdengar oleh Susi meskipun sudah di dalam kamar. Dia pun menjadi kepikiran tentang perginya sang suami yang tidak biasanya pagi ini tanpa sarapan. Dia pun merasa resah, Apa mungkin suaminya itu benar-benar pergi karena bekerja atau memang ada urusan lain?
Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya. "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..." Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam. Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya. “Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan. Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singka
"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ...""Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?"Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda."Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya
Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
Susi mulai menikmati pekerjaannya. Membantu Bu Tia–pemilik kosan dan ternyata, keahlian Susi di tempat ini lebih dihargai. Rendy yang wara wiri terlihat membantu, seperti memperhatikan Susi yang membuat Susi penasaran.“Aku nggak percaya situ anak kosan,” ucap Susi.“Kan sama aja. Apa karena wajah saya terlalu ganteng sampai gak meyakinkan?”Susi tersenyum. “Bukan gitu, kamu ini kerjaannya bolak balik kontrakan. Gak terlihat sekolah atau bekerja di luar yang biasanya pergi pagi pulang malam. Apa mungkin …”“Bukan anak bos,” kekeh Rendy. “Ya ya ya, tapi kalaupun Bos, aku sih nggak masalah. Malah bisa saja aku ngelamar kerjaan di perusahaan situ. Jadi managernya mungkin,” kilah Susi bercanda.“Bisa saja.”“Eh, misal. Kan situ bukan bos.”“Iya sih, tapi memang lulusan apa?”“SMA aja. Gak mungkin ya jadi pegawai berprestasi dan jabatan tinggi?”“MUngkin saja, kalau bosnya saya,” jawab Rendy sekenanya.Lelaki itu memang sengaja memperhatikan Susi karena wanita itu mengingatkan dia pada s
---Di kosan sederhana yang kini menjadi tempat bernaung Susi, malam terasa tenang. Suara jangkrik berpadu dengan lampu temaram yang menggantung di depan pintu. Susi masih memandang catatan keuangan kosan, tetapi pikirannya sudah terbang jauh. Tawaran kerja dari Rendy tadi benar-benar membuatnya semangat. Setidaknya, ini bisa jadi langkah kecil untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang Yogi dan Amora.Namun, Rendy sendiri adalah teka-teki.“Dia terlalu baik,” gumam Susi pelan. “Tapi siapa dia sebenarnya?”Belum sempat pertanyaan itu menemukan jawabannya, suara ketukan di pintu mengejutkannya.“Susi, buka pintunya,” suara Rendy terdengar dari balik pintu.Susi segera berdiri, merapikan kerudung seadanya, lalu membuka pintu.“Masih belum tidur? Ini, aku bawain minuman hangat biar kamu nggak masuk angin,” ucap Rendy sambil menyerahkan segelas teh jahe.“Mas, kamu ini baik banget. Jangan sampai nanti aku ketagihan perhatianmu,” canda Susi sambil menerima gelas itu.Rendy tersenyum tipi
“Kamu serius daftar jadi donatur di sekolah dia?” tanya Rio kaget saat melihat Rendy baru saja pulang dari sekolah Mikaila dan meminta Rio menjemputnya.“Jelas! Kalau nggak gitu, kapan aku ada alasan ketemu dia? Setelah ini, dia mungkin akan berpikir aku cowok tajir yang bisa dia porotin. Aku yakin, sikapnya gak beda jauh kayak ayahnya. Matre!”“Sudah dipastikan belum tuh? KHawatir aku kalau kamu jatuh cinta sama dia.”“Dih, otak kamu jauh mikirnya!”Rendy menatap jalanan yang cukup padat. Hari ini memang dia merasa begitu menggebu ingin membuat Rudi jatuh sejatuh jatuhnya. Dia ingin dekat dengan Mikaila dan menunjukan siapa wajah lelaki yang selama ini digadang sebagai ayah terbaiknya.“Gimana kerjaan Mbak Rianti? Ada masalah?”“Nurul bilang sih, oke. Dia bisa belajar banyak hal.”“Baguslah! Dia memang harus belajar banyak hal. Apalagi jika nanti kembali pada keluarga Mama. Mam akan senang dengan apa yang aku lakukan dan tentu, sebelum itu aku harus persiapkan semua matang matang.”“
Setelah meninggalkan rumah Mikaila, Rendy membawa mobil melaju menuju sebuah kafe kecil yang sering menjadi tempat berkumpulnya dia dan Rio. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam, namun suasana di dalam mobil terasa berat oleh pikiran dan emosi Rendy yang sulit ditebak.Begitu mereka tiba di kafe, Rendy memesan kopi hitam tanpa gula, sedangkan Rio memilih es teh manis. Keduanya duduk di pojok ruangan yang sepi, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka.“Kamu serius mau melibatkan dia?” Rio akhirnya memecah keheningan.Rendy menatap cangkir kopinya dalam-dalam sebelum menjawab, “Ini bukan cuma tentang melibatkan. Ini tentang menunjukkan kepadanya, bahwa apa yang dia nikmati selama ini adalah hasil dari penderitaan orang lain. Ayahnya menghancurkan hidupku, hidup ibuku, dan aku akan memastikan dia tahu siapa sebenarnya Rudi.”Rio menghela napas panjang. “Tapi, Mika nggak bersalah. Dia nggak tahu apa-apa soal masa lalu kalian. Kamu yakin ini cara yang tepat?”Rendy tersenyum
Rendy menuju ke sebuah tempat di mana Rudi biasa datang. Seorang gadis berseragam putih abu terlihat tertawa dengan teman temannya di depan gerbang sekolah nya. Menunggu jemputan seperti biasanya. Dialah Mikaila Rudi. Anak kesayangan Rudi yang selama ini hidupnya penuh kemudahan dan kebahagiaan karena sang ayah memenuhi semua kebutuhan hidupnya.“Dia?” tanya Rio.“Ya. Gadis itu hidup dengan kemudahan yang dibuat bedebah itu, dia buah cinta yang hadir sebelum menikahi ibuku. Dia juga alasan lelaki itu menjadi tamak,” ucap Rendy sinis.“Apa yang akan kamu lakukan padanya?”Rendy tak menjawab. Dia turun, tak jauh dari sana. Dia mendekat pada tiga gadis itu, lalu tersenyum pada mereka semua.“Ladies, tahu alamat ini gak?” tanya Rendy sopan, manis dan tentu saja wajahnya yang tampan mampu membius para gadis di sana.Mereka menengok ke alamat yang sengaja Rendy tunjukkan.“Aduh, Mas. Ini jauh, Masnya harus naik bus dua kali baru sampai. Memang mau cari siapa?” Tanya Teman Mikaila.“Saya di
“Hai, Ren,” sapa Susi di kantin kantor. “Tumben makan di sini?”“Sengaja nunggu Mbak keluar. Udah makan?”“Kalau udah makan, nggak akan juga di sini sekarang.”“Iya sih, aku udah pesan makanan. Tinggal ambil aja!”“Seriusan? Buat aku?”“Kalau Mbak ajak teman, teman Mbak juga aku traktir.”“Wah, ini luar biasa,” ucap Susi.Susi merasa bahagia dan dia pun menyantap makan siangnya berdua dengan Rendy. Dia pun merasa selalu beruntung jika bersama Rendy karena dia merasa lelaki itu selalu baik dan memperlakukan dia dengan sangat baik.“Kayaknya kamu sering pergi sama Pak Bos ya?” tanya Susi.“Ya, ini juga mau pergi lagi. Dia masih di ruangan?”“Masih, baru selesai meeting sama Bu Nurul tadi dan petinggi lain. Kamu nggak ikut rapat?”“Ikut, via darring.”Susi terkekeh, lalu menyeruput minumannya. “Mana ada rapat daring? Ini kan rapat mingguan. Semua karyawan dan bukan rapat dengan client. AKu kira kamu ikut.”“Iya, aku darring. Di mobil,” jawab Rendy yang malah dikira Susi sebagai lelucon
“Hasilnya bagaimana?” tanya Rendy pada Alfa–temannya yang bekerja sebagai Dokter di rumah sakit tempat dia dan Susi datangi.“Sama, memang ada kemiripan di sampel darah Bu Mustika dan Susi. 98% dan kemungkinan besarnya memang anak kandung,” ucap Alfa.“Sudah aku duga. Dia anak Mama yang sudah lama hilang itu. Aku udah feeling pas liat tanda lahir di tangannya. Hanya Mama yang ingat karena pernah berkata jika Kak Rianti memiliki tanda lahir yang sama dengan ibunya, yaitu di tangannya.”“Kok kamu bisa ingat dan tahu? Memang dengar atau ibumu cerita?”“Ya nggak, tapi Mama pernah keceplosan saat aku tanya kenapa tangan mama ada hitam di bagian sikunya. Jadi, iseng pengin tahu apa sama nggak pas ketemu Mbak Susi. Nyatanya, memang benar dan aku sampai nggak percaya saat ini.”“Ini keajaiban dan kakakmu dipertemukan kembali denganmu dalam keadaan keluarga kamu yang begini. Apa ini sebuah jawaban atas doa doamu dulu yang sering menangis itu?”“Tentu saja. Bajingan itu, sudah membuat Mama m
Keesokan harinya, Rendy sudah menyiapkan motornya di depan kosan Susi. Rendy mengetuk pintu kos Susi dengan semangat. Dia sudah bersiap untuk pergi. “Mbak Susi, ayo! Jangan lama-lama, nanti antre panjang!” teriaknya dari luar.Pintu terbuka pelan. Susi muncul dengan wajah setengah ngantuk dan rambut masih berantakan. “Mas, aku belum sarapan. Kalau pingsan, tanggung jawab ya!” katanya sambil mengusap wajahnya.“Astaga, aku kira udah bangun dari tadi.” Kekeh Rendy.“Mas, ini pagi banget. Aku sampai lupa sarapan,” keluh Susi sembari mengunci pintu. “Nggak apa-apa, nanti mampir beli roti di jalan,” jawab Rendy santai. “Donor darah itu nggak berat kok, asal Mbak fit dan nggak telat makan.”“Ya ampun, Mas! Katanya penting, tapi malah nggak disuruh sarapan dulu,” Susi mengomel kecil.“Kan aku nggak nyuruh Mbak buru-buru keluar,” balas Rendy sambil tertawa. "Hm." "Sorry." ucap Rendy dann Ia segera memberikan helm dan memberikan motornya menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan, mere
“Lembur lagi, Mas?” tanya Mustika pada suaminya.“Ya biasa, memangnya kerjaanmu? Tiap hari rebahan saja.”“Kalau aku nggak sakit, aku juga akan memilih kerja daripada jadi beban kamu, Mas.”Sudah biasa Mustika menghadapi sikap semaunya sang suami. Namun, kadang Mustika juga heran kenapa sikap suami berubah ubah. Kadang baik, kadang juga ketus seperti sekarang.“Apa yang membuatmu tak bisa sabar dengan hari ini?” tanya Mustika saat suaminya selesai mandi dan duduk di sampingnya.“Kerjaan sedang berantakan. Kolega dan teman bisnis sepertinya menipu kita.”“Menipu? Menipu bagaimana?”“Kita minus banyak, Tika. Milyaran dan sepertinya, perusahaan kali ini drop.”“Lagi? Masa harus jual rumah agar bisa me_”“Aku nggak bilang begitu, aku hanya menjawab pertanyaanmu dan tak meminta kamu menjual rumah ini. Jadi, jangan memancing keributan.”Mustika diam. Dia tahu, suaminya sensitif sekali masalah pekerjaan dan dia tahu, setiap masalah yang timbul dia tak akan diperkenankan untuk ikut campur. Ha
“Ibumu ini banyak maunya, Mas,” ucap Amora kesal. Yogi hanya mendesah pelan, tahu jika istrinya tak suka jika sang ibu memintanya pulang.“Kenapa sih? Udah, nggak usah dibawa emosi.”“Emosi lah! Ibumu kan nggak pernah mau ngerti keadaan di sini. Udah tahu aku hamil, kerja dan harus mengurus semua hal. Dia malah minta kamu tinggal di sana. Bilang aja kalau dia mau tinggal di sini,” gerutu Amora.“Ya sesekali berkunjung kan gak papa? Salahnya di mana?” tanya Yogi heran.Setiap kali Ibunya meminta izin datang, Amora selalu menolak. Hanya boleh datang jika bersama dengan Yogi dan itu terkesan aneh. Sedangkan Yogi saja tak diperbolahkan untuk pulang.Yogi menghela napas berat, merasa terjepit di antara keinginan ibunya dan kemarahan istrinya. "Amora, coba deh lihat dari sisi lain. Ibu kan juga kangen sama aku. Lagi Pula, kalau dia tinggal di sini, kamu juga pasti nggak betah," ucap Yogi sambil menatap istrinya yang masih sibuk membereskan riasan make upnya.Amora mendengus. "Kamu itu nggak
“Mas, ada kabar dari Rendy?” tanya Mustika sedih.“Anakmu itu tak pernah ada kabar lagi Tika, dia benar benar tak bisa diandalkan. Jadi berhenti cari dia,” ucap Rudi–ayah tiri Rendy.“Tapi, Mas_”“Sudahlah, yang penting dia tak mengganggu bisnis kita lagi.”“Kamu sih kalau ada sama dia, berantem terus. Dia jadi takut mau pulang.”“Mungkin dia sudah mengaku kalah dan mungkin mengalah.” Mustika terlihat pasrah.“Mengalah? Tak mungkin, dia pasti sedang merencanakan hal besar untuk balas dendam sama aku karena dia tidak aku berikan jabatan di perushaanmu, Tika.”Mustika jadi bingung, dia juga tak tahu Rendy di mana. Namun, dia juga tak bisa memaksa Rendy untuk kembali. Asal sudah mendengar kabarnya baik baik di luar sana, Mustika sudah senang. Rendy hampir saja membuat perusahaannya bangkrut saat itu sehingga membuat suami barunya murka dan menurunkan jabatan Redy. Hanya saja, ketika ditanya keberadaan tentu Rendy tak pernah mengatakan ada di mana sekarang ini.“Bisnis kamu lancar, kan,