Share

bab 4

Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya.

"Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..."

Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam.

Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya.

“Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan.

Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Marni menatapnya sekilas. “Kalau begini terus, nanti anakku cari makan di luar. Hati-hati lho, banyak godaan di luar sana.”

Susi menelan ludahnya, tidak tahu harus menjawab apa. Sindiran Marni selalu berhubungan dengan kurangnya perhatian terhadap Yogi dan masalah anak yang tak kunjung hadir. Dengan perasaan tertekan, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan.

---

Pukul sembilan, Yogi keluar dari kamar dengan rapi. Wanginya terasa lebih tajam dari biasanya, dan Susi memperhatikan gerak-geriknya. Tanpa ponsel dan alat komunikasi yang bisa digunakannya, Susi tak bisa bertanya lebih jauh tentang aktivitas Yogi.

"Mas, tumben rapi banget. Mau ke mana?" tanya Susi hati-hati.

"Kerjaan," jawab Yogi singkat sambil melihat jam tangan. "Ada urusan di cabang baru. Kamu jangan boros-boros di rumah."

Susi mengernyit, merasa kata-kata Yogi seperti peringatan yang tidak perlu. Dia tahu suaminya sangat menjaga pengeluaran mereka, bahkan melarangnya untuk membeli ponsel, apalagi kendaraan. Semua itu dianggap Yogi sebagai kemewahan yang tidak perlu.

“Tapi kenapa harus rapi banget, Mas? Biasanya nggak sampai segini,” tanyanya mencoba memahami.

Yogi berhenti sejenak, menatap Susi dengan sedikit kesal. “Kerja ya kerja. Nggak usah tanya-tanya mulu. Lagian kamu nggak ngerti soal bisnis.”

Hati Susi tersentak. Sikap Yogi yang semakin dingin semakin memperbesar keraguan di hatinya. Namun, tanpa alat komunikasi atau akses untuk mencari tahu, Susi hanya bisa menunggu di rumah, terkurung dalam kekhawatiran dan kecurigaan.

---

Setelah Yogi pergi, Susi menghabiskan waktunya membersihkan rumah sambil melamun. Tidak adanya ponsel membuatnya terputus dari dunia luar. Dia tidak bisa memantau apa yang dilakukan Yogi, dan rasa curiganya semakin tumbuh. Marni juga tak henti-hentinya menyindir, membuat Susi merasa semakin terpojok.

Pukul dua siang, Susi duduk di ruang tamu dengan kepala penuh pertanyaan. Ia tak bisa ke mana-mana tanpa izin atau transportasi, dan ini membuatnya merasa terpenjara. Pikiran tentang Yogi yang mungkin menyembunyikan sesuatu terus menghantuinya.

Di tengah lamunan, pintu rumah terbuka. Marni datang dari luar dengan wajah yang sumringah, membawa kantong belanjaan. Tanpa basa-basi, ia langsung masuk ke dapur untuk merapikan barang-barangnya.

"Nah, Susi, kamu kapan belanja?" tanya Marni sambil menata belanjaannya di meja dapur. “Jangan terlalu ngirit juga, nanti kebutuhan suami nggak terpenuhi.”

Susi tersenyum tipis, mencoba menahan rasa kesalnya. “Saya belanja seperlunya, Bu. Lagi pula, Mas Yogi juga yang bilang jangan terlalu banyak keluar uang.”

Marni mendecakkan lidahnya. “Ya, tapi jangan terlalu hemat juga. Nanti suami nggak nyaman di rumah, malah betah di luar.”

"Bu, jangan suka ngomong yang malah jadi doa. Bisa nggak sih?" berang Susi.

"Kenyataan kok, di mana mana laki laki itu cari yang bisa servis luar dalam. Kamu itu bukan payah dalam hal masak, dalam penampilan pun. payah!"

Perasaan Susi semakin campur aduk. Ia teringat betapa susahnya hidup dengan semua keterbatasan yang diberlakukan oleh Yogi. Tanpa kendaraan atau ponsel, Susi merasa seperti hidup di bawah pengawasan ketat. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin memperburuk situasi rumah tangganya. Namun, mertuanya malah membuatnya jengkel dan kesal.

---

Malamnya, ketika Yogi pulang, Susi sudah menyiapkan makan malam. Yogi duduk tanpa banyak bicara, wajahnya tampak lelah. Susi mengamati gerak-geriknya, berharap bisa mendapatkan sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi di luar sana.

“Mas, kamu kelihatan capek. Ada apa?” tanya Susi hati-hati.

Yogi hanya mengangguk kecil, tanpa menoleh. “Biasa, banyak kerjaan.”

Susi mendekat, mencoba mencairkan suasana. “Kalau capek banget, aku bisa bantu urus apa yang kamu butuh, Mas. Tapi ya… kalau aku bisa punya ponsel atau motor, biar aku nggak perlu nunggu di rumah terus.”

Yogi langsung mengangkat kepalanya, menatap Susi dengan tajam. “Ngapain kamu minta-minta ponsel segala? Kita kan udah sepakat, nggak ada barang mewah-mewahan. Apa kamu nggak puas sama yang ada sekarang?”

Susi terdiam, merasa terpojok. Bukan kemewahan yang ia inginkan, hanya sekadar cara untuk terhubung dengan dunia luar dan membantu suaminya lebih mudah.

“Kamu pikir aku mau pamer kemewahan? Nggak, Mas. Aku cuma ingin bisa lebih tahu kabar kamu, bantu urus ini-itu. Kadang, nggak ada apa-apa di rumah bikin aku bingung sendiri, Mas.”

Yogi mendengus pelan, lalu berdiri dari kursinya. “Nggak usah ikut campur urusan kerjaanku. Kamu fokus aja ngurus rumah.”

Susi hanya bisa memandangnya saat Yogi berbalik pergi ke kamar. Hatinya semakin gelisah, dan keraguan semakin menggerogoti. Namun, tanpa alat komunikasi atau kendaraan untuk mencari tahu lebih jauh, Susi merasa dirinya semakin terisolasi, terperangkap dalam ketidakpastian.

---

Keesokan harinya, saat Susi sedang membersihkan rumah, Marni kembali dengan senyuman lebar di wajahnya.

“Kamu harus siap-siap, Susi,” kata Marni tiba-tiba.

Susi menghentikan pekerjaannya. “Siap-siap buat apa, Bu?”

Marni duduk di kursi, mengamati Susi dengan pandangan penuh makna. “Kita bakal pindah rumah. Aku udah ngobrol sama agen properti kemarin. Rumah ini terlalu besar buat kita, lagian siapa tahu dengan pindah, kamu bisa lebih fokus nyari cucu buat Ibu.”

Susi tertegun. Pindah rumah? Ia belum pernah mendengar Yogi membicarakan hal ini.

“Tapi, Mas Yogi tahu soal ini?” tanya Susi ragu.

Marni tersenyum tipis. “Nggak usah repot-repot kasih tahu sekarang. Nanti kalau udah selesai, baru kita kabari dia.”

Susi merasa tenggelam dalam kebingungan. Apakah keputusan sebesar ini tidak perlu dibicarakan bersama Yogi? Atau memang Marni memiliki rencana lain? Bagaimanapun juga, rumah ini menyimpan banyak kenangan, meskipun selama tinggal di sini, Susi merasa terkekang oleh aturan-aturan ketat dari Yogi dan mertuanya.

---

Malam harinya, Susi memutuskan untuk berbicara dengan Yogi mengenai masalah rumah. Saat Yogi tiba di rumah, wajahnya tampak lebih dingin dari biasanya.

“Mas, Ibu bilang kita mau pindah rumah. Kamu nggak bilang apa-apa soal ini ke aku?”

Yogi menatap Susi sekilas, tampak tidak terkejut. “Aku belum ada waktu buat ngomong. Lagian ini keputusan keluarga. Rumah terlalu besar buat kita, dan hemat tempat juga hemat biaya.”

Hati Susi terasa sakit. Segala keputusan diambil tanpa melibatkan dirinya, seolah ia hanya penonton dalam hidupnya sendiri. Tanpa ponsel, tanpa mobil, tanpa hak untuk menentukan hal-hal besar dalam rumah tangga mereka, Susi merasa dirinya semakin tak berdaya.

Tapi, kali ini ia tidak bisa tinggal diam. “Mas, aku juga punya hak buat tahu dan ikut memutuskan. Ini rumah kita. Kamu nggak bisa cuma ikut keputusan Ibu terus.”

Yogi menghentikan langkahnya, menatap Susi dengan tajam. “Dengar, Sus. Semua ini demi kebaikan kita. Kalau kamu nggak bisa terima, ya terserah. Tapi aku nggak mau denger keluhan soal ini lagi.”

Susi menggigit bibirnya, merasa hatinya semakin hancur. Yogi semakin jauh, dan rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman, kini terasa seperti penjara yang mengekangnya dari semua sisi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status