Share

bab 4

Penulis: Maey Angel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-06 20:11:18

Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya.

"Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..."

Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam.

Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya.

“Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan.

Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Marni menatapnya sekilas. “Kalau begini terus, nanti anakku cari makan di luar. Hati-hati lho, banyak godaan di luar sana.”

Susi menelan ludahnya, tidak tahu harus menjawab apa. Sindiran Marni selalu berhubungan dengan kurangnya perhatian terhadap Yogi dan masalah anak yang tak kunjung hadir. Dengan perasaan tertekan, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan.

---

Pukul sembilan, Yogi keluar dari kamar dengan rapi. Wanginya terasa lebih tajam dari biasanya, dan Susi memperhatikan gerak-geriknya. Tanpa ponsel dan alat komunikasi yang bisa digunakannya, Susi tak bisa bertanya lebih jauh tentang aktivitas Yogi.

"Mas, tumben rapi banget. Mau ke mana?" tanya Susi hati-hati.

"Kerjaan," jawab Yogi singkat sambil melihat jam tangan. "Ada urusan di cabang baru. Kamu jangan boros-boros di rumah."

Susi mengernyit, merasa kata-kata Yogi seperti peringatan yang tidak perlu. Dia tahu suaminya sangat menjaga pengeluaran mereka, bahkan melarangnya untuk membeli ponsel, apalagi kendaraan. Semua itu dianggap Yogi sebagai kemewahan yang tidak perlu.

“Tapi kenapa harus rapi banget, Mas? Biasanya nggak sampai segini,” tanyanya mencoba memahami.

Yogi berhenti sejenak, menatap Susi dengan sedikit kesal. “Kerja ya kerja. Nggak usah tanya-tanya mulu. Lagian kamu nggak ngerti soal bisnis.”

Hati Susi tersentak. Sikap Yogi yang semakin dingin semakin memperbesar keraguan di hatinya. Namun, tanpa alat komunikasi atau akses untuk mencari tahu, Susi hanya bisa menunggu di rumah, terkurung dalam kekhawatiran dan kecurigaan.

---

Setelah Yogi pergi, Susi menghabiskan waktunya membersihkan rumah sambil melamun. Tidak adanya ponsel membuatnya terputus dari dunia luar. Dia tidak bisa memantau apa yang dilakukan Yogi, dan rasa curiganya semakin tumbuh. Marni juga tak henti-hentinya menyindir, membuat Susi merasa semakin terpojok.

Pukul dua siang, Susi duduk di ruang tamu dengan kepala penuh pertanyaan. Ia tak bisa ke mana-mana tanpa izin atau transportasi, dan ini membuatnya merasa terpenjara. Pikiran tentang Yogi yang mungkin menyembunyikan sesuatu terus menghantuinya.

Di tengah lamunan, pintu rumah terbuka. Marni datang dari luar dengan wajah yang sumringah, membawa kantong belanjaan. Tanpa basa-basi, ia langsung masuk ke dapur untuk merapikan barang-barangnya.

"Nah, Susi, kamu kapan belanja?" tanya Marni sambil menata belanjaannya di meja dapur. “Jangan terlalu ngirit juga, nanti kebutuhan suami nggak terpenuhi.”

Susi tersenyum tipis, mencoba menahan rasa kesalnya. “Saya belanja seperlunya, Bu. Lagi pula, Mas Yogi juga yang bilang jangan terlalu banyak keluar uang.”

Marni mendecakkan lidahnya. “Ya, tapi jangan terlalu hemat juga. Nanti suami nggak nyaman di rumah, malah betah di luar.”

"Bu, jangan suka ngomong yang malah jadi doa. Bisa nggak sih?" berang Susi.

"Kenyataan kok, di mana mana laki laki itu cari yang bisa servis luar dalam. Kamu itu bukan payah dalam hal masak, dalam penampilan pun. payah!"

Perasaan Susi semakin campur aduk. Ia teringat betapa susahnya hidup dengan semua keterbatasan yang diberlakukan oleh Yogi. Tanpa kendaraan atau ponsel, Susi merasa seperti hidup di bawah pengawasan ketat. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin memperburuk situasi rumah tangganya. Namun, mertuanya malah membuatnya jengkel dan kesal.

---

Malamnya, ketika Yogi pulang, Susi sudah menyiapkan makan malam. Yogi duduk tanpa banyak bicara, wajahnya tampak lelah. Susi mengamati gerak-geriknya, berharap bisa mendapatkan sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi di luar sana.

“Mas, kamu kelihatan capek. Ada apa?” tanya Susi hati-hati.

Yogi hanya mengangguk kecil, tanpa menoleh. “Biasa, banyak kerjaan.”

Susi mendekat, mencoba mencairkan suasana. “Kalau capek banget, aku bisa bantu urus apa yang kamu butuh, Mas. Tapi ya… kalau aku bisa punya ponsel atau motor, biar aku nggak perlu nunggu di rumah terus.”

Yogi langsung mengangkat kepalanya, menatap Susi dengan tajam. “Ngapain kamu minta-minta ponsel segala? Kita kan udah sepakat, nggak ada barang mewah-mewahan. Apa kamu nggak puas sama yang ada sekarang?”

Susi terdiam, merasa terpojok. Bukan kemewahan yang ia inginkan, hanya sekadar cara untuk terhubung dengan dunia luar dan membantu suaminya lebih mudah.

“Kamu pikir aku mau pamer kemewahan? Nggak, Mas. Aku cuma ingin bisa lebih tahu kabar kamu, bantu urus ini-itu. Kadang, nggak ada apa-apa di rumah bikin aku bingung sendiri, Mas.”

Yogi mendengus pelan, lalu berdiri dari kursinya. “Nggak usah ikut campur urusan kerjaanku. Kamu fokus aja ngurus rumah.”

Susi hanya bisa memandangnya saat Yogi berbalik pergi ke kamar. Hatinya semakin gelisah, dan keraguan semakin menggerogoti. Namun, tanpa alat komunikasi atau kendaraan untuk mencari tahu lebih jauh, Susi merasa dirinya semakin terisolasi, terperangkap dalam ketidakpastian.

---

Keesokan harinya, saat Susi sedang membersihkan rumah, Marni kembali dengan senyuman lebar di wajahnya.

“Kamu harus siap-siap, Susi,” kata Marni tiba-tiba.

Susi menghentikan pekerjaannya. “Siap-siap buat apa, Bu?”

Marni duduk di kursi, mengamati Susi dengan pandangan penuh makna. “Kita bakal pindah rumah. Aku udah ngobrol sama agen properti kemarin. Rumah ini terlalu besar buat kita, lagian siapa tahu dengan pindah, kamu bisa lebih fokus nyari cucu buat Ibu.”

Susi tertegun. Pindah rumah? Ia belum pernah mendengar Yogi membicarakan hal ini.

“Tapi, Mas Yogi tahu soal ini?” tanya Susi ragu.

Marni tersenyum tipis. “Nggak usah repot-repot kasih tahu sekarang. Nanti kalau udah selesai, baru kita kabari dia.”

Susi merasa tenggelam dalam kebingungan. Apakah keputusan sebesar ini tidak perlu dibicarakan bersama Yogi? Atau memang Marni memiliki rencana lain? Bagaimanapun juga, rumah ini menyimpan banyak kenangan, meskipun selama tinggal di sini, Susi merasa terkekang oleh aturan-aturan ketat dari Yogi dan mertuanya.

---

Malam harinya, Susi memutuskan untuk berbicara dengan Yogi mengenai masalah rumah. Saat Yogi tiba di rumah, wajahnya tampak lebih dingin dari biasanya.

“Mas, Ibu bilang kita mau pindah rumah. Kamu nggak bilang apa-apa soal ini ke aku?”

Yogi menatap Susi sekilas, tampak tidak terkejut. “Aku belum ada waktu buat ngomong. Lagian ini keputusan keluarga. Rumah terlalu besar buat kita, dan hemat tempat juga hemat biaya.”

Hati Susi terasa sakit. Segala keputusan diambil tanpa melibatkan dirinya, seolah ia hanya penonton dalam hidupnya sendiri. Tanpa ponsel, tanpa mobil, tanpa hak untuk menentukan hal-hal besar dalam rumah tangga mereka, Susi merasa dirinya semakin tak berdaya.

Tapi, kali ini ia tidak bisa tinggal diam. “Mas, aku juga punya hak buat tahu dan ikut memutuskan. Ini rumah kita. Kamu nggak bisa cuma ikut keputusan Ibu terus.”

Yogi menghentikan langkahnya, menatap Susi dengan tajam. “Dengar, Sus. Semua ini demi kebaikan kita. Kalau kamu nggak bisa terima, ya terserah. Tapi aku nggak mau denger keluhan soal ini lagi.”

Susi menggigit bibirnya, merasa hatinya semakin hancur. Yogi semakin jauh, dan rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman, kini terasa seperti penjara yang mengekangnya dari semua sisi.

Bab terkait

  • Direndahkan Mertua   bab 5

    "Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ...""Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?"Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda."Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Direndahkan Mertua   bab 6

    Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Direndahkan Mertua   bab 7

    Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Direndahkan Mertua   bab 8. Bertemu Rendy

    Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Direndahkan Mertua   bab 9. dipanggil bos

    Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Direndahkan Mertua   bab 10. Karena perjanjian

    Susi mulai menikmati pekerjaannya. Membantu Bu Tia–pemilik kosan dan ternyata, keahlian Susi di tempat ini lebih dihargai. Rendy yang wara wiri terlihat membantu, seperti memperhatikan Susi yang membuat Susi penasaran.“Aku nggak percaya situ anak kosan,” ucap Susi.“Kan sama aja. Apa karena wajah saya terlalu ganteng sampai gak meyakinkan?”Susi tersenyum. “Bukan gitu, kamu ini kerjaannya bolak balik kontrakan. Gak terlihat sekolah atau bekerja di luar yang biasanya pergi pagi pulang malam. Apa mungkin …”“Bukan anak bos,” kekeh Rendy. “Ya ya ya, tapi kalaupun Bos, aku sih nggak masalah. Malah bisa saja aku ngelamar kerjaan di perusahaan situ. Jadi managernya mungkin,” kilah Susi bercanda.“Bisa saja.”“Eh, misal. Kan situ bukan bos.”“Iya sih, tapi memang lulusan apa?”“SMA aja. Gak mungkin ya jadi pegawai berprestasi dan jabatan tinggi?”“MUngkin saja, kalau bosnya saya,” jawab Rendy sekenanya.Lelaki itu memang sengaja memperhatikan Susi karena wanita itu mengingatkan dia pada s

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Direndahkan Mertua   rasa

    ---Di kosan sederhana yang kini menjadi tempat bernaung Susi, malam terasa tenang. Suara jangkrik berpadu dengan lampu temaram yang menggantung di depan pintu. Susi masih memandang catatan keuangan kosan, tetapi pikirannya sudah terbang jauh. Tawaran kerja dari Rendy tadi benar-benar membuatnya semangat. Setidaknya, ini bisa jadi langkah kecil untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang Yogi dan Amora.Namun, Rendy sendiri adalah teka-teki.“Dia terlalu baik,” gumam Susi pelan. “Tapi siapa dia sebenarnya?”Belum sempat pertanyaan itu menemukan jawabannya, suara ketukan di pintu mengejutkannya.“Susi, buka pintunya,” suara Rendy terdengar dari balik pintu.Susi segera berdiri, merapikan kerudung seadanya, lalu membuka pintu.“Masih belum tidur? Ini, aku bawain minuman hangat biar kamu nggak masuk angin,” ucap Rendy sambil menyerahkan segelas teh jahe.“Mas, kamu ini baik banget. Jangan sampai nanti aku ketagihan perhatianmu,” canda Susi sambil menerima gelas itu.Rendy tersenyum tipi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Direndahkan Mertua   Mulai bekerja

    “Ada email dari PT kemarin?” tanya Rendy saat di pagi hari sudah mendatangi kamar kosan Susi.“Belum aku cek, Mas. Bentar,” ucap Susi yang semangat juga menunggu kabar dari perusahaan. Sebenarnya sudah insecure dia akan diterima, mengingat pendidikan terakhirnya hanya SMA.“Alhamdulillah, diterima, Mas. Tapi kok aneh ya? Kok bisa aku diterima di sana dengan mudah?”“Kan ada ordal di sini,” kekeh Rendy yang membuat Susi semakin merasa bersyukur, awal bingung ke mana dia harus melangkah setelah menikah. Nyatanya, dia dibantu lelaki baik yang bukan siapa siapa dan tak dia kenal sebelumnya.“Makasih banyak loh, Mas. Mas Rendy ini baik, ramah dan sangat santun juga. Pokoknya, gajian pertama nanti akan aku traktir Mas Rendy makan bakso.”“Bakso doang?” kekeh Rendy.“Bisanya bakso dulu, kan harus bayar kontrakan. Malu kan dibantu Mas Rendy semuanya.”“Oh, iya iya. Jadi, hari ini kan sudah mulai bekerja?”“Ya iya, semoga nggak dapat masalah di hari pertama.”Susi sangat bahagia dan dia pun la

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30

Bab terbaru

  • Direndahkan Mertua   jadi donatur

    “Kamu serius daftar jadi donatur di sekolah dia?” tanya Rio kaget saat melihat Rendy baru saja pulang dari sekolah Mikaila dan meminta Rio menjemputnya.“Jelas! Kalau nggak gitu, kapan aku ada alasan ketemu dia? Setelah ini, dia mungkin akan berpikir aku cowok tajir yang bisa dia porotin. Aku yakin, sikapnya gak beda jauh kayak ayahnya. Matre!”“Sudah dipastikan belum tuh? KHawatir aku kalau kamu jatuh cinta sama dia.”“Dih, otak kamu jauh mikirnya!”Rendy menatap jalanan yang cukup padat. Hari ini memang dia merasa begitu menggebu ingin membuat Rudi jatuh sejatuh jatuhnya. Dia ingin dekat dengan Mikaila dan menunjukan siapa wajah lelaki yang selama ini digadang sebagai ayah terbaiknya.“Gimana kerjaan Mbak Rianti? Ada masalah?”“Nurul bilang sih, oke. Dia bisa belajar banyak hal.”“Baguslah! Dia memang harus belajar banyak hal. Apalagi jika nanti kembali pada keluarga Mama. Mam akan senang dengan apa yang aku lakukan dan tentu, sebelum itu aku harus persiapkan semua matang matang.”“

  • Direndahkan Mertua   Bertemu

    Setelah meninggalkan rumah Mikaila, Rendy membawa mobil melaju menuju sebuah kafe kecil yang sering menjadi tempat berkumpulnya dia dan Rio. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam, namun suasana di dalam mobil terasa berat oleh pikiran dan emosi Rendy yang sulit ditebak.Begitu mereka tiba di kafe, Rendy memesan kopi hitam tanpa gula, sedangkan Rio memilih es teh manis. Keduanya duduk di pojok ruangan yang sepi, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka.“Kamu serius mau melibatkan dia?” Rio akhirnya memecah keheningan.Rendy menatap cangkir kopinya dalam-dalam sebelum menjawab, “Ini bukan cuma tentang melibatkan. Ini tentang menunjukkan kepadanya, bahwa apa yang dia nikmati selama ini adalah hasil dari penderitaan orang lain. Ayahnya menghancurkan hidupku, hidup ibuku, dan aku akan memastikan dia tahu siapa sebenarnya Rudi.”Rio menghela napas panjang. “Tapi, Mika nggak bersalah. Dia nggak tahu apa-apa soal masa lalu kalian. Kamu yakin ini cara yang tepat?”Rendy tersenyum

  • Direndahkan Mertua   Mikaila

    Rendy menuju ke sebuah tempat di mana Rudi biasa datang. Seorang gadis berseragam putih abu terlihat tertawa dengan teman temannya di depan gerbang sekolah nya. Menunggu jemputan seperti biasanya. Dialah Mikaila Rudi. Anak kesayangan Rudi yang selama ini hidupnya penuh kemudahan dan kebahagiaan karena sang ayah memenuhi semua kebutuhan hidupnya.“Dia?” tanya Rio.“Ya. Gadis itu hidup dengan kemudahan yang dibuat bedebah itu, dia buah cinta yang hadir sebelum menikahi ibuku. Dia juga alasan lelaki itu menjadi tamak,” ucap Rendy sinis.“Apa yang akan kamu lakukan padanya?”Rendy tak menjawab. Dia turun, tak jauh dari sana. Dia mendekat pada tiga gadis itu, lalu tersenyum pada mereka semua.“Ladies, tahu alamat ini gak?” tanya Rendy sopan, manis dan tentu saja wajahnya yang tampan mampu membius para gadis di sana.Mereka menengok ke alamat yang sengaja Rendy tunjukkan.“Aduh, Mas. Ini jauh, Masnya harus naik bus dua kali baru sampai. Memang mau cari siapa?” Tanya Teman Mikaila.“Saya di

  • Direndahkan Mertua   Rencana

    “Hai, Ren,” sapa Susi di kantin kantor. “Tumben makan di sini?”“Sengaja nunggu Mbak keluar. Udah makan?”“Kalau udah makan, nggak akan juga di sini sekarang.”“Iya sih, aku udah pesan makanan. Tinggal ambil aja!”“Seriusan? Buat aku?”“Kalau Mbak ajak teman, teman Mbak juga aku traktir.”“Wah, ini luar biasa,” ucap Susi.Susi merasa bahagia dan dia pun menyantap makan siangnya berdua dengan Rendy. Dia pun merasa selalu beruntung jika bersama Rendy karena dia merasa lelaki itu selalu baik dan memperlakukan dia dengan sangat baik.“Kayaknya kamu sering pergi sama Pak Bos ya?” tanya Susi.“Ya, ini juga mau pergi lagi. Dia masih di ruangan?”“Masih, baru selesai meeting sama Bu Nurul tadi dan petinggi lain. Kamu nggak ikut rapat?”“Ikut, via darring.”Susi terkekeh, lalu menyeruput minumannya. “Mana ada rapat daring? Ini kan rapat mingguan. Semua karyawan dan bukan rapat dengan client. AKu kira kamu ikut.”“Iya, aku darring. Di mobil,” jawab Rendy yang malah dikira Susi sebagai lelucon

  • Direndahkan Mertua   Kenyataan

    “Hasilnya bagaimana?” tanya Rendy pada Alfa–temannya yang bekerja sebagai Dokter di rumah sakit tempat dia dan Susi datangi.“Sama, memang ada kemiripan di sampel darah Bu Mustika dan Susi. 98% dan kemungkinan besarnya memang anak kandung,” ucap Alfa.“Sudah aku duga. Dia anak Mama yang sudah lama hilang itu. Aku udah feeling pas liat tanda lahir di tangannya. Hanya Mama yang ingat karena pernah berkata jika Kak Rianti memiliki tanda lahir yang sama dengan ibunya, yaitu di tangannya.”“Kok kamu bisa ingat dan tahu? Memang dengar atau ibumu cerita?”“Ya nggak, tapi Mama pernah keceplosan saat aku tanya kenapa tangan mama ada hitam di bagian sikunya. Jadi, iseng pengin tahu apa sama nggak pas ketemu Mbak Susi. Nyatanya, memang benar dan aku sampai nggak percaya saat ini.”“Ini keajaiban dan kakakmu dipertemukan kembali denganmu dalam keadaan keluarga kamu yang begini. Apa ini sebuah jawaban atas doa doamu dulu yang sering menangis itu?”“Tentu saja. Bajingan itu, sudah membuat Mama m

  • Direndahkan Mertua   Sabar

    Keesokan harinya, Rendy sudah menyiapkan motornya di depan kosan Susi. Rendy mengetuk pintu kos Susi dengan semangat. Dia sudah bersiap untuk pergi. “Mbak Susi, ayo! Jangan lama-lama, nanti antre panjang!” teriaknya dari luar.Pintu terbuka pelan. Susi muncul dengan wajah setengah ngantuk dan rambut masih berantakan. “Mas, aku belum sarapan. Kalau pingsan, tanggung jawab ya!” katanya sambil mengusap wajahnya.“Astaga, aku kira udah bangun dari tadi.” Kekeh Rendy.“Mas, ini pagi banget. Aku sampai lupa sarapan,” keluh Susi sembari mengunci pintu. “Nggak apa-apa, nanti mampir beli roti di jalan,” jawab Rendy santai. “Donor darah itu nggak berat kok, asal Mbak fit dan nggak telat makan.”“Ya ampun, Mas! Katanya penting, tapi malah nggak disuruh sarapan dulu,” Susi mengomel kecil.“Kan aku nggak nyuruh Mbak buru-buru keluar,” balas Rendy sambil tertawa. "Hm." "Sorry." ucap Rendy dann Ia segera memberikan helm dan memberikan motornya menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan, mere

  • Direndahkan Mertua   Mulai bergerak

    “Lembur lagi, Mas?” tanya Mustika pada suaminya.“Ya biasa, memangnya kerjaanmu? Tiap hari rebahan saja.”“Kalau aku nggak sakit, aku juga akan memilih kerja daripada jadi beban kamu, Mas.”Sudah biasa Mustika menghadapi sikap semaunya sang suami. Namun, kadang Mustika juga heran kenapa sikap suami berubah ubah. Kadang baik, kadang juga ketus seperti sekarang.“Apa yang membuatmu tak bisa sabar dengan hari ini?” tanya Mustika saat suaminya selesai mandi dan duduk di sampingnya.“Kerjaan sedang berantakan. Kolega dan teman bisnis sepertinya menipu kita.”“Menipu? Menipu bagaimana?”“Kita minus banyak, Tika. Milyaran dan sepertinya, perusahaan kali ini drop.”“Lagi? Masa harus jual rumah agar bisa me_”“Aku nggak bilang begitu, aku hanya menjawab pertanyaanmu dan tak meminta kamu menjual rumah ini. Jadi, jangan memancing keributan.”Mustika diam. Dia tahu, suaminya sensitif sekali masalah pekerjaan dan dia tahu, setiap masalah yang timbul dia tak akan diperkenankan untuk ikut campur. Ha

  • Direndahkan Mertua   banyak mintanya

    “Ibumu ini banyak maunya, Mas,” ucap Amora kesal. Yogi hanya mendesah pelan, tahu jika istrinya tak suka jika sang ibu memintanya pulang.“Kenapa sih? Udah, nggak usah dibawa emosi.”“Emosi lah! Ibumu kan nggak pernah mau ngerti keadaan di sini. Udah tahu aku hamil, kerja dan harus mengurus semua hal. Dia malah minta kamu tinggal di sana. Bilang aja kalau dia mau tinggal di sini,” gerutu Amora.“Ya sesekali berkunjung kan gak papa? Salahnya di mana?” tanya Yogi heran.Setiap kali Ibunya meminta izin datang, Amora selalu menolak. Hanya boleh datang jika bersama dengan Yogi dan itu terkesan aneh. Sedangkan Yogi saja tak diperbolahkan untuk pulang.Yogi menghela napas berat, merasa terjepit di antara keinginan ibunya dan kemarahan istrinya. "Amora, coba deh lihat dari sisi lain. Ibu kan juga kangen sama aku. Lagi Pula, kalau dia tinggal di sini, kamu juga pasti nggak betah," ucap Yogi sambil menatap istrinya yang masih sibuk membereskan riasan make upnya.Amora mendengus. "Kamu itu nggak

  • Direndahkan Mertua   Kesepian

    “Mas, ada kabar dari Rendy?” tanya Mustika sedih.“Anakmu itu tak pernah ada kabar lagi Tika, dia benar benar tak bisa diandalkan. Jadi berhenti cari dia,” ucap Rudi–ayah tiri Rendy.“Tapi, Mas_”“Sudahlah, yang penting dia tak mengganggu bisnis kita lagi.”“Kamu sih kalau ada sama dia, berantem terus. Dia jadi takut mau pulang.”“Mungkin dia sudah mengaku kalah dan mungkin mengalah.” Mustika terlihat pasrah.“Mengalah? Tak mungkin, dia pasti sedang merencanakan hal besar untuk balas dendam sama aku karena dia tidak aku berikan jabatan di perushaanmu, Tika.”Mustika jadi bingung, dia juga tak tahu Rendy di mana. Namun, dia juga tak bisa memaksa Rendy untuk kembali. Asal sudah mendengar kabarnya baik baik di luar sana, Mustika sudah senang. Rendy hampir saja membuat perusahaannya bangkrut saat itu sehingga membuat suami barunya murka dan menurunkan jabatan Redy. Hanya saja, ketika ditanya keberadaan tentu Rendy tak pernah mengatakan ada di mana sekarang ini.“Bisnis kamu lancar, kan,

DMCA.com Protection Status