"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ..."
"Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?" Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda. "Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya pulang, langkahnya terasa berat saat masuk ke kamar. Wajahnya letih, tapi ada sesuatu yang berbeda. Tanpa berkata apa-apa, Yogi langsung menuju kamar mandi, meninggalkan Susi dalam keheningan yang semakin menghimpit. “Mas, kita perlu bicara,” Susi akhirnya bersuara saat Yogi keluar dari kamar mandi. “Apa lagi, Sus? Aku capek,” jawab Yogi tanpa memandangnya. Susi mencoba menahan perasaan yang bergolak di dadanya. “Tentang kepindahan rumah ini, kenapa kamu nggak pernah ngomong ke aku dari awal? Aku baru tahu dari Ibu, dan kamu tidak pernah membicarakannya denganku.” Yogi duduk di tepi tempat tidur, mendesah panjang. “Ini lagi." Yogi langsung tidur dan tidak mau menggubris ucapan Susi. Susi akhirnya menyerah dan langsung ikut merebahkan diri di samping suaminya. Percuma dipaksa berbicara, suaminya Tidak mungkin mau menjelaskan alasan kepindahan ini." Pagi, suasana masih terlihat kaku. Yogi pergi begitu saja tanpa sarapan seperti biasanya dan lagi-lagi Marni juga mengoceh seperti biasa. Susi hanya bisa menghela nafas panjang dan dia mendekatkan diri saat malam nanti dia harus bertanya pada suaminya agar permasalahan ini tidak semakin lama. Jam 7 malam, Yogi pulang. Susi melayani suaminya dengan mengambilkan makanan dan menyediakan pakaian ganti setelah mandi. setelah dirasa santai, Susi pun mendekati suaminya. "Mas." "Mau bahas rumah lagi?" "Kamu belum menyampaikannya." "Aku sibuk, kamu tahu itu. Kita pindah karena bisnis makin berkembang, aku butuh tempat yang lebih bersih dan nyaman. Itu saja.” “Tapi kita ini suami istri, Mas. Aku berhak tahu dan ikut memutuskan soal rumah,” suara Susi bergetar, tidak bisa menahan kekecewaannya. “Cuma rumah, Sus. Kamu terlalu sensitif,” Yogi menjawab singkat, lalu berbaring dengan punggung menghadap Susi, seolah ingin menutup pembicaraan. --- Keesokan harinya, Marni terus mendominasi percakapan tentang rencana pindah rumah. Susi merasa semakin terasing di rumahnya sendiri. Semua keputusan sudah dibuat tanpa dirinya. Mereka pun pergi melihat rumah baru itu. Di perjalanan, Marni tampak sangat antusias, menjelaskan tentang segala detail rumah tersebut, sementara Susi hanya diam, merasa semakin jauh dari keluarga ini. Ketika mereka sampai di depan rumah, Susi benar-benar terkejut. Rumah itu sangat besar dan jauh lebih mewah dari yang dia bayangkan, padahal Yogi selalu berkata bahwa mereka harus hemat. “Rumahnya besar sekali, Bu…” gumam Susi. Marni tersenyum puas. “Tentu saja, ini rumah yang pantas untuk Yogi dan keluarganya.” Kata-kata Marni itu membuat Susi merenung. Apa yang dia maksud dengan ‘keluarganya’? Bukankah dia, Susi, bagian dari keluarga ini? Saat mereka berkeliling rumah, Susi terus merasa ada yang tidak beres. Ada satu kamar yang terletak di ujung lorong, namun pintunya tertutup rapat. Ketika Susi mencoba membukanya, Marni langsung menahan tangannya. “Yang itu belum siap. Renovasinya belum selesai. Nanti saja kamu lihat,” kata Marni dengan senyum tipis yang membuat Susi merinding. Ada sesuatu di balik pintu itu. Tapi Susi tidak tahu apa. Dan dia tidak bisa bertanya lebih lanjut karena Yogi dan Marni selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali Susi mencoba membahas hal-hal yang lebih mendalam tentang rumah itu. --- Hari-hari berikutnya, Susi semakin merasa terpinggirkan. Yogi semakin jarang berada di rumah, dan jika ada pun, dia tampak selalu sibuk dengan pekerjaannya. Marni, di sisi lain, tampak semakin memegang kendali dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Suatu malam, Susi memutuskan untuk menghadapi Yogi sekali lagi. “Mas, ada yang ingin aku tanyakan. Kenapa kita harus pindah jauh? Dan kenapa rasanya aku tidak dilibatkan sama sekali? Apakah ada sesuatu yang tidak kamu katakan padaku?” Yogi yang sedang sibuk dengan ponselnya hanya mengangkat alis. “Susi, kamu mikir yang nggak-nggak. Aku cuma fokus ke bisnis. Aku capek. Jangan tambah beban.” “Tapi, Mas, ada sesuatu yang terasa aneh. Rumah baru itu, kenapa begitu besar? Kita selalu hidup sederhana, dan sekarang tiba-tiba kamu mau rumah sebesar itu?” Yogi menatapnya sejenak, sebelum menghela napas panjang. “Karena bisnis berkembang, aku butuh ruang lebih banyak. Rumah itu juga buat masa depan kita. Kenapa kamu selalu curiga?” Susi terdiam, merasa semakin tidak ada jawaban yang memuaskan. Tapi rasa tidak nyaman di hatinya terus tumbuh. --- Waktu terus berjalan, dan kepindahan mereka semakin dekat. Pada suatu pagi, saat sedang membereskan barang-barang di rumah lama mereka, Susi tanpa sengaja menemukan beberapa dokumen yang tertinggal di meja kerja Yogi. Ada kontrak perjanjian yang membuat Susi penasaran. Saat dia membaca lebih teliti, matanya membelalak. Nama seorang wanita tertulis di sana: Amara. Dokumen itu bukan sekadar kontrak bisnis biasa. Susi tidak sepenuhnya mengerti isinya, tapi jelas ada sesuatu yang menghubungkan Yogi dengan wanita ini. Hatinya berdebar, perasaannya semakin kalut. Dia tahu ada yang tidak beres, tapi Yogi tidak pernah memberi penjelasan. Semua kebingungan ini membuat Susi merasa semakin terisolasi, dan sekarang, dengan nama wanita lain terlibat, rasa takut dan cemburu mulai menguasainya. Dia belum tahu pasti apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang pasti: dia harus mencari tahu siapa Amara ini, dan apa hubungannya dengan kepindahan mereka. Susi merasa, ada rencana tersembunyi yang jauh lebih besar daripada sekadar pindah rumah. ---Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
“Tagihan apa lagi ini?” teriak Yogi.Yogi melempar kertas tagihan yang diterimanya ke hadapan Susi dengan kasar. Bahkan saking kerasnya sampai membuat Susi kaget dan tak habis pikir dengan kebiasaan suaminya yang selalu marah ketika dia minta uang untuk membayar tagihan yang harus dibayarkan.“Itu tagihan Wifi, Mas. Mas sendiri yang kekeh pasang saat itu, ini tagihannya,” jawab Susi.“Kan aku hanya bilang ingin, kenapa langsung ada kertas tagihannya tanpa aku tahu pemakaiannya? Lagian selama ini aku pakai kuota biasa. Kamu yang pakai berarti kamu yang bayar!” Wanita yang sudah dinikahi selama 5 tahun itu hanya bisa menghela nafas panjang, karena uang bulanan yang dia dapatkan selalu memiliki nominal yang sama, bahkan jika ada tagihan dengan nominal lain dan banyak dia harus menambahkan sendiri. "Mas, aku uang dari mana? Tiap hari jatah selalu tombok, bukannya cukup dan bisa nabung, ini malah jadi tombok.”“Ah, nggak usah perhitungan jadi istri. Kita kan belum ada banyak tanggung
Sehari dua hari, bak setahun menunggu malam menjelang. Ada saja yang dilakukan Marni untuk merepotkan Susi. Bahkan, malam saja kadang masih diganggu untuk menemani tidur. Dengan alasan pegal, kadang Susi diminta memijat sampai ketiduran.Pagi ini Yogi pergi lebih awal. Susi yang baru selesai mandi menghela napas panjang saat mendengar suara ibu mertuanya yang memanggil dengan suara keras."Susi!"Dengan langkah pelan, Susi yang sedang di kamar pun Gegas keluar."Apa sih, Bu?""Uang!""Uang? Buat apa?""Nova anaknya sakit, Ibu pinjam buat pegangan di sana.""Ibu mau ke sana?" tanya Susi."Iya sebentar, masa datang hanya merepotkan.""Nggak ada, Bu.""Masa? Kemarin ibu lihat, kamu bawa uang dari pengajian.""Itu uang arisan, besok jatah Susi di rumah ini.""Ya udah, itu aja.""Itu aja apanya?""Pake itu, ntar Ibu bilang ke Yogi buat gantiin. Buruan! Ojek udah nunggu!""Tapi, Bu …""Ish, nanti Ibu ganti!"Terpaksa Susi memberikan uang itu. Tadinya hanya seratus ribu, tapi diminta semua k
Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi."Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan."Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar.""Sedikit ya?""Gak ada!""Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi."Ngapain? Kamu mau
Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya. "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..." Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam. Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya. “Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan. Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singka