"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ..."
"Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?" Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda. "Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya pulang, langkahnya terasa berat saat masuk ke kamar. Wajahnya letih, tapi ada sesuatu yang berbeda. Tanpa berkata apa-apa, Yogi langsung menuju kamar mandi, meninggalkan Susi dalam keheningan yang semakin menghimpit. “Mas, kita perlu bicara,” Susi akhirnya bersuara saat Yogi keluar dari kamar mandi. “Apa lagi, Sus? Aku capek,” jawab Yogi tanpa memandangnya. Susi mencoba menahan perasaan yang bergolak di dadanya. “Tentang kepindahan rumah ini, kenapa kamu nggak pernah ngomong ke aku dari awal? Aku baru tahu dari Ibu, dan kamu tidak pernah membicarakannya denganku.” Yogi duduk di tepi tempat tidur, mendesah panjang. “Ini lagi." Yogi langsung tidur dan tidak mau menggubris ucapan Susi. Susi akhirnya menyerah dan langsung ikut merebahkan diri di samping suaminya. Percuma dipaksa berbicara, suaminya Tidak mungkin mau menjelaskan alasan kepindahan ini." Pagi, suasana masih terlihat kaku. Yogi pergi begitu saja tanpa sarapan seperti biasanya dan lagi-lagi Marni juga mengoceh seperti biasa. Susi hanya bisa menghela nafas panjang dan dia mendekatkan diri saat malam nanti dia harus bertanya pada suaminya agar permasalahan ini tidak semakin lama. Jam 7 malam, Yogi pulang. Susi melayani suaminya dengan mengambilkan makanan dan menyediakan pakaian ganti setelah mandi. setelah dirasa santai, Susi pun mendekati suaminya. "Mas." "Mau bahas rumah lagi?" "Kamu belum menyampaikannya." "Aku sibuk, kamu tahu itu. Kita pindah karena bisnis makin berkembang, aku butuh tempat yang lebih bersih dan nyaman. Itu saja.” “Tapi kita ini suami istri, Mas. Aku berhak tahu dan ikut memutuskan soal rumah,” suara Susi bergetar, tidak bisa menahan kekecewaannya. “Cuma rumah, Sus. Kamu terlalu sensitif,” Yogi menjawab singkat, lalu berbaring dengan punggung menghadap Susi, seolah ingin menutup pembicaraan. --- Keesokan harinya, Marni terus mendominasi percakapan tentang rencana pindah rumah. Susi merasa semakin terasing di rumahnya sendiri. Semua keputusan sudah dibuat tanpa dirinya. Mereka pun pergi melihat rumah baru itu. Di perjalanan, Marni tampak sangat antusias, menjelaskan tentang segala detail rumah tersebut, sementara Susi hanya diam, merasa semakin jauh dari keluarga ini. Ketika mereka sampai di depan rumah, Susi benar-benar terkejut. Rumah itu sangat besar dan jauh lebih mewah dari yang dia bayangkan, padahal Yogi selalu berkata bahwa mereka harus hemat. “Rumahnya besar sekali, Bu…” gumam Susi. Marni tersenyum puas. “Tentu saja, ini rumah yang pantas untuk Yogi dan keluarganya.” Kata-kata Marni itu membuat Susi merenung. Apa yang dia maksud dengan ‘keluarganya’? Bukankah dia, Susi, bagian dari keluarga ini? Saat mereka berkeliling rumah, Susi terus merasa ada yang tidak beres. Ada satu kamar yang terletak di ujung lorong, namun pintunya tertutup rapat. Ketika Susi mencoba membukanya, Marni langsung menahan tangannya. “Yang itu belum siap. Renovasinya belum selesai. Nanti saja kamu lihat,” kata Marni dengan senyum tipis yang membuat Susi merinding. Ada sesuatu di balik pintu itu. Tapi Susi tidak tahu apa. Dan dia tidak bisa bertanya lebih lanjut karena Yogi dan Marni selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali Susi mencoba membahas hal-hal yang lebih mendalam tentang rumah itu. --- Hari-hari berikutnya, Susi semakin merasa terpinggirkan. Yogi semakin jarang berada di rumah, dan jika ada pun, dia tampak selalu sibuk dengan pekerjaannya. Marni, di sisi lain, tampak semakin memegang kendali dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Suatu malam, Susi memutuskan untuk menghadapi Yogi sekali lagi. “Mas, ada yang ingin aku tanyakan. Kenapa kita harus pindah jauh? Dan kenapa rasanya aku tidak dilibatkan sama sekali? Apakah ada sesuatu yang tidak kamu katakan padaku?” Yogi yang sedang sibuk dengan ponselnya hanya mengangkat alis. “Susi, kamu mikir yang nggak-nggak. Aku cuma fokus ke bisnis. Aku capek. Jangan tambah beban.” “Tapi, Mas, ada sesuatu yang terasa aneh. Rumah baru itu, kenapa begitu besar? Kita selalu hidup sederhana, dan sekarang tiba-tiba kamu mau rumah sebesar itu?” Yogi menatapnya sejenak, sebelum menghela napas panjang. “Karena bisnis berkembang, aku butuh ruang lebih banyak. Rumah itu juga buat masa depan kita. Kenapa kamu selalu curiga?” Susi terdiam, merasa semakin tidak ada jawaban yang memuaskan. Tapi rasa tidak nyaman di hatinya terus tumbuh. --- Waktu terus berjalan, dan kepindahan mereka semakin dekat. Pada suatu pagi, saat sedang membereskan barang-barang di rumah lama mereka, Susi tanpa sengaja menemukan beberapa dokumen yang tertinggal di meja kerja Yogi. Ada kontrak perjanjian yang membuat Susi penasaran. Saat dia membaca lebih teliti, matanya membelalak. Nama seorang wanita tertulis di sana: Amara. Dokumen itu bukan sekadar kontrak bisnis biasa. Susi tidak sepenuhnya mengerti isinya, tapi jelas ada sesuatu yang menghubungkan Yogi dengan wanita ini. Hatinya berdebar, perasaannya semakin kalut. Dia tahu ada yang tidak beres, tapi Yogi tidak pernah memberi penjelasan. Semua kebingungan ini membuat Susi merasa semakin terisolasi, dan sekarang, dengan nama wanita lain terlibat, rasa takut dan cemburu mulai menguasainya. Dia belum tahu pasti apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang pasti: dia harus mencari tahu siapa Amara ini, dan apa hubungannya dengan kepindahan mereka. Susi merasa, ada rencana tersembunyi yang jauh lebih besar daripada sekadar pindah rumah. ---Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
Susi mulai menikmati pekerjaannya. Membantu Bu Tia–pemilik kosan dan ternyata, keahlian Susi di tempat ini lebih dihargai. Rendy yang wara wiri terlihat membantu, seperti memperhatikan Susi yang membuat Susi penasaran.“Aku nggak percaya situ anak kosan,” ucap Susi.“Kan sama aja. Apa karena wajah saya terlalu ganteng sampai gak meyakinkan?”Susi tersenyum. “Bukan gitu, kamu ini kerjaannya bolak balik kontrakan. Gak terlihat sekolah atau bekerja di luar yang biasanya pergi pagi pulang malam. Apa mungkin …”“Bukan anak bos,” kekeh Rendy. “Ya ya ya, tapi kalaupun Bos, aku sih nggak masalah. Malah bisa saja aku ngelamar kerjaan di perusahaan situ. Jadi managernya mungkin,” kilah Susi bercanda.“Bisa saja.”“Eh, misal. Kan situ bukan bos.”“Iya sih, tapi memang lulusan apa?”“SMA aja. Gak mungkin ya jadi pegawai berprestasi dan jabatan tinggi?”“MUngkin saja, kalau bosnya saya,” jawab Rendy sekenanya.Lelaki itu memang sengaja memperhatikan Susi karena wanita itu mengingatkan dia pada s
---Di kosan sederhana yang kini menjadi tempat bernaung Susi, malam terasa tenang. Suara jangkrik berpadu dengan lampu temaram yang menggantung di depan pintu. Susi masih memandang catatan keuangan kosan, tetapi pikirannya sudah terbang jauh. Tawaran kerja dari Rendy tadi benar-benar membuatnya semangat. Setidaknya, ini bisa jadi langkah kecil untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang Yogi dan Amora.Namun, Rendy sendiri adalah teka-teki.“Dia terlalu baik,” gumam Susi pelan. “Tapi siapa dia sebenarnya?”Belum sempat pertanyaan itu menemukan jawabannya, suara ketukan di pintu mengejutkannya.“Susi, buka pintunya,” suara Rendy terdengar dari balik pintu.Susi segera berdiri, merapikan kerudung seadanya, lalu membuka pintu.“Masih belum tidur? Ini, aku bawain minuman hangat biar kamu nggak masuk angin,” ucap Rendy sambil menyerahkan segelas teh jahe.“Mas, kamu ini baik banget. Jangan sampai nanti aku ketagihan perhatianmu,” canda Susi sambil menerima gelas itu.Rendy tersenyum tipi
“Ada email dari PT kemarin?” tanya Rendy saat di pagi hari sudah mendatangi kamar kosan Susi.“Belum aku cek, Mas. Bentar,” ucap Susi yang semangat juga menunggu kabar dari perusahaan. Sebenarnya sudah insecure dia akan diterima, mengingat pendidikan terakhirnya hanya SMA.“Alhamdulillah, diterima, Mas. Tapi kok aneh ya? Kok bisa aku diterima di sana dengan mudah?”“Kan ada ordal di sini,” kekeh Rendy yang membuat Susi semakin merasa bersyukur, awal bingung ke mana dia harus melangkah setelah menikah. Nyatanya, dia dibantu lelaki baik yang bukan siapa siapa dan tak dia kenal sebelumnya.“Makasih banyak loh, Mas. Mas Rendy ini baik, ramah dan sangat santun juga. Pokoknya, gajian pertama nanti akan aku traktir Mas Rendy makan bakso.”“Bakso doang?” kekeh Rendy.“Bisanya bakso dulu, kan harus bayar kontrakan. Malu kan dibantu Mas Rendy semuanya.”“Oh, iya iya. Jadi, hari ini kan sudah mulai bekerja?”“Ya iya, semoga nggak dapat masalah di hari pertama.”Susi sangat bahagia dan dia pun la
“Gimana kerjaan hari ini?” tanya Rendy saat sudah di parkiran, ternyata Rendy menunggunya.“Lumayan, gak ada yang sulit. Bu Nurul baik orangnya, dia bantu aku dalam segala hal.”“Baguslah, dia tak menyulitkanmu.”“Kok tadi aku nggak ketemu Mas Rendy? Katanya kerja di sana?”“Oh, itu … aku cuma asisten dan pegawai cadangan. Jadi datang kalau pas dibutuhkan saja.”“Memang ada jabatan itu di perusahaan?”“Ada, buktinya aku di sana. Ya udah ayo! MEndung ini, bentar lagi hujan,” ucap Rendy dan memberikan helm pada Susi.Susi merasa senang dengan kebaikan Rendy. Meski tak enak selalu merepotkan, dia begitu sangat terbantu dengan kebaikan dan bantuan Rendy.“Kata Bu Nurul, kamu jarang datang, Mas. Tapi kok nggak dipecat ya?” kekeh Susi.“Mana berani dia mecat aku,” gumam Rendy.“Apa?” Susi tak begitu mendengar. “Ya karena aku ganteng kan, Mbak,” kekeh Rendy mengalihkan pembicaraan.“Gitu ya? Bisa jadi sih,” balas Susi dengan kekehan ringan dan mereka melaju dengan cepat sampai di kosan. Sa
Setelah tangis mereka reda, Susi masih berlutut di depan Mustika, menggenggam erat tangan ibunya. Hatinya terasa penuh dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seumur hidup ia berpikir tak punya siapa-siapa, dan kini, ada sosok ibu di depannya dan seorang adik di sampingnya."Maafkan aku lama sekali pulang, Ma," bisik Susi dengan suara bergetar.Mustika menggeleng pelan. "Bukan salahmu, Nak. Mama yang seharusnya mencari lebih keras. Mama nggak pernah berhenti berdoa supaya kamu ditemukan dalam keadaan selamat. Tapi lelaki itu memanipulasi semuanya dan kita jadi terpisah lama."Susi mengangguk, air matanya masih berlinang. Ia lalu meraih tangan Mustika dan menciumnya penuh haru. "Aku di sini sekarang, Ma. Aku nggak akan pergi lagi."Rendy tersenyum di samping mereka. "Akhirnya, keluarga kita utuh lagi."Rendy merasa semua ini berhasil. Tak ada yang meleset dari dugaannya. Dibantu teman temannya juga, dia bisa dengan mudah mengumpulkan bukti dan mengungkap semua kejaha
“Mbak, ada gambaran keinginan nggak?”Susi mengernyitkan keningnya, lalu melanjutkan aktivitas nya. “Mbak.”“Gak ada, bisa kerja dengan baik sama kamu aja udah bagus. Cari apa lagi?”“Mau aku kenalkan sama keluarga aku gak?”Susi menghentikan aktivitas nya, mencuci tangan lalu menyangga wajah dengan kepalanya melihat Rendy yang sepagi ini sudah bertanya hal aneh.“Mendadak banget pengin ngenalin,” kekehnya.“Serius, Mbak. Mungkin mbak lupa sesuatu yang dulu pernah mbak rasakan.”Susi menatap Rendy dengan bingung. “Kenapa tiba-tiba ngomong soal kenalan sama keluarga? Ada apa?”Rendy menelan ludah, jelas terlihat gelisah. “Sebenarnya... ada seseorang yang pengin banget ketemu Mbak. Dari dulu.”Kening Susi mengernyit. “Siapa?”Rendy menghela napas panjang. “Ibuku.”Susi menegakkan punggungnya, menatap Rendy lebih intens. “Ibumu? Kenapa ibumu mau ketemu aku? Kita bahkan belum pernah kenal.”Rendy tersenyum hambar. “Ada sesuatu yang kamu nggak tahu, Mbak. Ibuku... pernah kehilangan anakny
Yogi terduduk lemas di kursi, kepalanya tertunduk dalam. Dunia yang dia pikir sudah sempurna setelah mencampakkan Susi dan menikahi Monica, kini berantakan di depan matanya. Bayi yang dia banggakan, yang dia yakini sebagai penerus namanya, ternyata bukan anak kandungnya. Dan Monica—wanita yang dia bela mati-matian di hadapan ibunya—bahkan tak tahu siapa ayah dari bayi itu.Rendy menyeringai puas, lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, dia menoleh dan berkata dengan nada penuh sindiran, “Nikmati hidupmu, Yogi. Oh ya, jangan lupa—anakmu bukan anakmu.”Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan keheningan mencekam di dalam ruangan. Monica meremas ujung selimut dengan wajah penuh air mata. “Mas Yogi… aku nggak pernah bermaksud begini. Aku benar-benar nggak tahu…”“Kapan kau selingkuh?” Yogi menatapnya tajam. Matanya memancarkan amarah yang sudah tak bisa dia bendung lagi. Kali ini dia benar benar sudah tidak bisa bersikap sabar. Semua bukti yang diberikan Rendy sanga
Rendy sudah menyiapkan kejutan besar untuk Yogi dan Monica. Kali ini, kejutan itu akan membuat Yogi pasti menyesal sudah membuang Susi sebagai istrinya. Dia menemui Alfa, meminta tes DNA anak Monica yang baru saja dilahirkan belum lama ini.“Gimana hasilnya?” tanya Rendy.“Negatif, dia bukan anak Yogi. KIta akan uji dengan sample darah siapa?” tanya Alfa.“Baj!ngan itu. Aku yakin, bajingan itu yang menghamili Monica.”Alfa mengangguk. Dia akan melakukan itu dengan mudah karena sekarang ini Rudi sedang berada di sel tahanan. Dia hanya perlu meminta petugas kesehatan lapas untuk mengambil sampel darah dan rambut, lalu pengecekan akan dimulai dari 3 hari ini.Rendy kembali beraktivitas seperti biasa. Ibunya yang sudah mulai ceria karena sudah mendapatkan hiburan baru di rumah, dia juga sudah mulai lega karena masalah sudah mulai clear. Tinggal dia membereskan urusan kakaknya yang tak lain adalah Susi.“Gimana kerjaan hari ini, Mbak?” tanya Rendy.“Biasa, gak ada yang berubah. Kamu nih ya
Asri berjalan gontai keluar ruangan, sesekali menyeka air mata yang terus jatuh tanpa bisa ia hentikan. Langkahnya terasa berat, seolah ada ribuan beban yang menekan pundaknya. Bayangan Meysila, anaknya yang kini terbaring koma di rumah sakit, terus menghantui pikirannya. Ia tidak bisa kehilangan anaknya. Tidak peduli betapa hancurnya harga dirinya saat ini, ia harus bertahan.Rendy menutup pintu kamar dengan kasar, menatap ibunya yang tampak kelelahan. Mustika masih berbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, tetapi Rendy tahu pikirannya terus bekerja.“Mama yakin dengan keputusan ini?” Rendy bertanya dengan nada hati-hati.Mustika membuka matanya perlahan. “Mama tidak yakin, Nak. Tapi mama tahu satu hal—jika mama memilih untuk membiarkan dia dipenjara, itu tidak akan mengubah apa pun. Keluarganya tetap akan menderita, anaknya tetap akan kesulitan. Dan itu tidak akan membuat kita lebih bahagia.”“Tapi, Ma… bagaimana kalau dia berkhianat lagi?” Rendy masih belum bisa menerim
Mustika menatap selang infus yang menempel di tangannya. Dia tahu, tubuhnya tak sekuat itu mengetahui kabar yang mengejutkan, menyaksikan sendiri suaminya berlaku tak sebenarnya. Dia menengok pada Rendy yang setia menemaninya.“Rendy.”Rendy yang memang tidak tidur langsung mendongak dan mendekat saat sang ibu memanggilnya.“Mama sudah bangun, syukurlah. Mama haus?”“Apa Rudi sudah dihukum dengan berat?” tanyanya serak.“Sudah, polisi sedang menindak lanjuti urusan ini. Mama harus sehat, ya?”Saat ini, pikiran Mustika sangatlah tidak fokus. Dia benar benar merasa bersalah pada anak anaknya yang selama ini dia abaikan. Air mata kembali merembes, bahkan dia terus menyalahkan dirinya sendiri yang tak peduli pada anak anaknya.“Maafkan Mama, Rendy.”Rendy tersenyum, lalu mengusap tangan sang ibu.“Mama jangan terus menyalahkan diri sendiri, semua sudah diatur oleh Sang Maha Pencipta. Mama harus sehat, mama harus kuat agar nanti mama sendiri yang akan jemput Kak Rianti.”“Rianti? Di mana d
Semua yang Rendy tunjukkan membuat Mustika berada di ambang kehancuran. Pikirannya terus berputar, mengingat saat-saat dia percaya sepenuhnya pada Rudi, lelaki yang kini terbukti sebagai dalang dari semua penderitaannya. Dia bahkan melihat bukti yang sudah lama Rendy kumpukan, lalu mengucap istighfar berkali kali.Mustika mengusap wajahnya, air mata terus mengalir tanpa henti. "Bagaimana mungkin, Rendy? Bagaimana mungkin aku selama ini buta?" suaranya bergetar, seolah berbicara pada dirinya sendiri."Mama terlalu percaya padanya," Rendy berkata tenang namun tegas, "tapi sudah saatnya kita buka matanya, Ma. Kita harus hancurkan dia. Dia melakukan ini agar keluarga aslinya hidup sejahtera dan mama dijadikan ATM berjalannya. Dia singkirkan Rendy agar dia bisa mengendalikan semua. Mama ingat kecelakan yang menimpa aku dan kakak? Dialah penyebabnya.Mustika mendongak, hampir tak percaya. Tapi bukti yang dibawa Rendy lengkap dan tentunya valid untuk dipertanggungjawabkan. Dia menatap Rendy
Asri melangkah mendekat, wajahnya pucat karena amarah dan kebingungan. “Mas Rudi, selama ini aku diam, aku sabar. Tapi kamu malah mempermalukan keluargamu seperti ini? Apa kamu tidak berpikir apa-apa?”“Bukan begitu, Asri. Aku hanya ingin—” Rudi mencoba menjelaskan, tapi Asri memotongnya.“Kamu ingin apa? Menambah istri lagi? Menambah masalah? Bukankah aku sudah cukup menderita dengan penyakit ini? Sekarang kamu malah mempermainkan perasaan Mika juga?!” Suaranya mulai meninggi, matanya berkaca-kaca.“Dia salah, dia hamil duluan dan kamu sebenarnya tidak becus menjadi seorang ibu!” ucap Amora.“Jaga bicaramu!” Asri hendak memukul Amora, tapi tangannya dicegah oleh Rudi.Amora tersenyum, dia merasa senang karena mendapatkan pembelaan.“Mas!!”“Sudahlahlah, Asri. Jangan buat ribut, kita selesaikan ini di rumah.”“Gak akan! Aku benci kamu, Mas!”Amora tak senang dengan suasana ini. Dia pun maju, berkacak pinggang di depan Asri. “Mbak ini terlalu sok suci, merasa paling bener, kalau ada y
Mikaila celingukan. Kali ini dia mencari orang yang tentunya mengiriminya pesan. Bahkan, dia tak tahu siapa dia. Tak ada photo profil, bahkan tak ada nama kontak itu di ponselnya.“Di mana sih itu orang?”Mikaila menghubungi nomor baru itu, sayang tak diangkat angkat. Namun, matanya teralihkan oleh sesuatu yang ada di depannya.“Papa?”Mikaila membelalak. DIa tak menyangka ayahnya ada di cafe itu bersama wanita yang bukan ibunya. Alasannya selalu sibuk di luar karena pekerjaannya begitu banyak. Namun, ternyata ayahnya dengan wanita lain di sana.Mikaila mendekat, lalu menggebrak meja. Membuat Rudi kaget dengan apa yang dilakukan anaknya itu.“Mika? Ka-mu kenapa di sini? Kamu tak sekolah?” berondong Rudi.Di sampingnya, Amora sedang membahas tentang banyak hal. Dia juga kaget, tapi sudah tahu siapa Mikaila. Hanya saja, Rudi tak pernah memperkenalkan dia sebagai anak. Hanya sebatas tahu saja dari kontak yang sering memanggilnya.“Papa ngapain sama dia? Papa katanya sibuk di luar kota,