"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ..."
"Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?" Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda. "Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya pulang, langkahnya terasa berat saat masuk ke kamar. Wajahnya letih, tapi ada sesuatu yang berbeda. Tanpa berkata apa-apa, Yogi langsung menuju kamar mandi, meninggalkan Susi dalam keheningan yang semakin menghimpit. “Mas, kita perlu bicara,” Susi akhirnya bersuara saat Yogi keluar dari kamar mandi. “Apa lagi, Sus? Aku capek,” jawab Yogi tanpa memandangnya. Susi mencoba menahan perasaan yang bergolak di dadanya. “Tentang kepindahan rumah ini, kenapa kamu nggak pernah ngomong ke aku dari awal? Aku baru tahu dari Ibu, dan kamu tidak pernah membicarakannya denganku.” Yogi duduk di tepi tempat tidur, mendesah panjang. “Ini lagi." Yogi langsung tidur dan tidak mau menggubris ucapan Susi. Susi akhirnya menyerah dan langsung ikut merebahkan diri di samping suaminya. Percuma dipaksa berbicara, suaminya Tidak mungkin mau menjelaskan alasan kepindahan ini." Pagi, suasana masih terlihat kaku. Yogi pergi begitu saja tanpa sarapan seperti biasanya dan lagi-lagi Marni juga mengoceh seperti biasa. Susi hanya bisa menghela nafas panjang dan dia mendekatkan diri saat malam nanti dia harus bertanya pada suaminya agar permasalahan ini tidak semakin lama. Jam 7 malam, Yogi pulang. Susi melayani suaminya dengan mengambilkan makanan dan menyediakan pakaian ganti setelah mandi. setelah dirasa santai, Susi pun mendekati suaminya. "Mas." "Mau bahas rumah lagi?" "Kamu belum menyampaikannya." "Aku sibuk, kamu tahu itu. Kita pindah karena bisnis makin berkembang, aku butuh tempat yang lebih bersih dan nyaman. Itu saja.” “Tapi kita ini suami istri, Mas. Aku berhak tahu dan ikut memutuskan soal rumah,” suara Susi bergetar, tidak bisa menahan kekecewaannya. “Cuma rumah, Sus. Kamu terlalu sensitif,” Yogi menjawab singkat, lalu berbaring dengan punggung menghadap Susi, seolah ingin menutup pembicaraan. --- Keesokan harinya, Marni terus mendominasi percakapan tentang rencana pindah rumah. Susi merasa semakin terasing di rumahnya sendiri. Semua keputusan sudah dibuat tanpa dirinya. Mereka pun pergi melihat rumah baru itu. Di perjalanan, Marni tampak sangat antusias, menjelaskan tentang segala detail rumah tersebut, sementara Susi hanya diam, merasa semakin jauh dari keluarga ini. Ketika mereka sampai di depan rumah, Susi benar-benar terkejut. Rumah itu sangat besar dan jauh lebih mewah dari yang dia bayangkan, padahal Yogi selalu berkata bahwa mereka harus hemat. “Rumahnya besar sekali, Bu…” gumam Susi. Marni tersenyum puas. “Tentu saja, ini rumah yang pantas untuk Yogi dan keluarganya.” Kata-kata Marni itu membuat Susi merenung. Apa yang dia maksud dengan ‘keluarganya’? Bukankah dia, Susi, bagian dari keluarga ini? Saat mereka berkeliling rumah, Susi terus merasa ada yang tidak beres. Ada satu kamar yang terletak di ujung lorong, namun pintunya tertutup rapat. Ketika Susi mencoba membukanya, Marni langsung menahan tangannya. “Yang itu belum siap. Renovasinya belum selesai. Nanti saja kamu lihat,” kata Marni dengan senyum tipis yang membuat Susi merinding. Ada sesuatu di balik pintu itu. Tapi Susi tidak tahu apa. Dan dia tidak bisa bertanya lebih lanjut karena Yogi dan Marni selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali Susi mencoba membahas hal-hal yang lebih mendalam tentang rumah itu. --- Hari-hari berikutnya, Susi semakin merasa terpinggirkan. Yogi semakin jarang berada di rumah, dan jika ada pun, dia tampak selalu sibuk dengan pekerjaannya. Marni, di sisi lain, tampak semakin memegang kendali dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Suatu malam, Susi memutuskan untuk menghadapi Yogi sekali lagi. “Mas, ada yang ingin aku tanyakan. Kenapa kita harus pindah jauh? Dan kenapa rasanya aku tidak dilibatkan sama sekali? Apakah ada sesuatu yang tidak kamu katakan padaku?” Yogi yang sedang sibuk dengan ponselnya hanya mengangkat alis. “Susi, kamu mikir yang nggak-nggak. Aku cuma fokus ke bisnis. Aku capek. Jangan tambah beban.” “Tapi, Mas, ada sesuatu yang terasa aneh. Rumah baru itu, kenapa begitu besar? Kita selalu hidup sederhana, dan sekarang tiba-tiba kamu mau rumah sebesar itu?” Yogi menatapnya sejenak, sebelum menghela napas panjang. “Karena bisnis berkembang, aku butuh ruang lebih banyak. Rumah itu juga buat masa depan kita. Kenapa kamu selalu curiga?” Susi terdiam, merasa semakin tidak ada jawaban yang memuaskan. Tapi rasa tidak nyaman di hatinya terus tumbuh. --- Waktu terus berjalan, dan kepindahan mereka semakin dekat. Pada suatu pagi, saat sedang membereskan barang-barang di rumah lama mereka, Susi tanpa sengaja menemukan beberapa dokumen yang tertinggal di meja kerja Yogi. Ada kontrak perjanjian yang membuat Susi penasaran. Saat dia membaca lebih teliti, matanya membelalak. Nama seorang wanita tertulis di sana: Amara. Dokumen itu bukan sekadar kontrak bisnis biasa. Susi tidak sepenuhnya mengerti isinya, tapi jelas ada sesuatu yang menghubungkan Yogi dengan wanita ini. Hatinya berdebar, perasaannya semakin kalut. Dia tahu ada yang tidak beres, tapi Yogi tidak pernah memberi penjelasan. Semua kebingungan ini membuat Susi merasa semakin terisolasi, dan sekarang, dengan nama wanita lain terlibat, rasa takut dan cemburu mulai menguasainya. Dia belum tahu pasti apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang pasti: dia harus mencari tahu siapa Amara ini, dan apa hubungannya dengan kepindahan mereka. Susi merasa, ada rencana tersembunyi yang jauh lebih besar daripada sekadar pindah rumah. ---Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
Susi mulai menikmati pekerjaannya. Membantu Bu Tia–pemilik kosan dan ternyata, keahlian Susi di tempat ini lebih dihargai. Rendy yang wara wiri terlihat membantu, seperti memperhatikan Susi yang membuat Susi penasaran.“Aku nggak percaya situ anak kosan,” ucap Susi.“Kan sama aja. Apa karena wajah saya terlalu ganteng sampai gak meyakinkan?”Susi tersenyum. “Bukan gitu, kamu ini kerjaannya bolak balik kontrakan. Gak terlihat sekolah atau bekerja di luar yang biasanya pergi pagi pulang malam. Apa mungkin …”“Bukan anak bos,” kekeh Rendy. “Ya ya ya, tapi kalaupun Bos, aku sih nggak masalah. Malah bisa saja aku ngelamar kerjaan di perusahaan situ. Jadi managernya mungkin,” kilah Susi bercanda.“Bisa saja.”“Eh, misal. Kan situ bukan bos.”“Iya sih, tapi memang lulusan apa?”“SMA aja. Gak mungkin ya jadi pegawai berprestasi dan jabatan tinggi?”“MUngkin saja, kalau bosnya saya,” jawab Rendy sekenanya.Lelaki itu memang sengaja memperhatikan Susi karena wanita itu mengingatkan dia pada s
---Di kosan sederhana yang kini menjadi tempat bernaung Susi, malam terasa tenang. Suara jangkrik berpadu dengan lampu temaram yang menggantung di depan pintu. Susi masih memandang catatan keuangan kosan, tetapi pikirannya sudah terbang jauh. Tawaran kerja dari Rendy tadi benar-benar membuatnya semangat. Setidaknya, ini bisa jadi langkah kecil untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang Yogi dan Amora.Namun, Rendy sendiri adalah teka-teki.“Dia terlalu baik,” gumam Susi pelan. “Tapi siapa dia sebenarnya?”Belum sempat pertanyaan itu menemukan jawabannya, suara ketukan di pintu mengejutkannya.“Susi, buka pintunya,” suara Rendy terdengar dari balik pintu.Susi segera berdiri, merapikan kerudung seadanya, lalu membuka pintu.“Masih belum tidur? Ini, aku bawain minuman hangat biar kamu nggak masuk angin,” ucap Rendy sambil menyerahkan segelas teh jahe.“Mas, kamu ini baik banget. Jangan sampai nanti aku ketagihan perhatianmu,” canda Susi sambil menerima gelas itu.Rendy tersenyum tipi
“Ada email dari PT kemarin?” tanya Rendy saat di pagi hari sudah mendatangi kamar kosan Susi.“Belum aku cek, Mas. Bentar,” ucap Susi yang semangat juga menunggu kabar dari perusahaan. Sebenarnya sudah insecure dia akan diterima, mengingat pendidikan terakhirnya hanya SMA.“Alhamdulillah, diterima, Mas. Tapi kok aneh ya? Kok bisa aku diterima di sana dengan mudah?”“Kan ada ordal di sini,” kekeh Rendy yang membuat Susi semakin merasa bersyukur, awal bingung ke mana dia harus melangkah setelah menikah. Nyatanya, dia dibantu lelaki baik yang bukan siapa siapa dan tak dia kenal sebelumnya.“Makasih banyak loh, Mas. Mas Rendy ini baik, ramah dan sangat santun juga. Pokoknya, gajian pertama nanti akan aku traktir Mas Rendy makan bakso.”“Bakso doang?” kekeh Rendy.“Bisanya bakso dulu, kan harus bayar kontrakan. Malu kan dibantu Mas Rendy semuanya.”“Oh, iya iya. Jadi, hari ini kan sudah mulai bekerja?”“Ya iya, semoga nggak dapat masalah di hari pertama.”Susi sangat bahagia dan dia pun la
“Gimana kerjaan hari ini?” tanya Rendy saat sudah di parkiran, ternyata Rendy menunggunya.“Lumayan, gak ada yang sulit. Bu Nurul baik orangnya, dia bantu aku dalam segala hal.”“Baguslah, dia tak menyulitkanmu.”“Kok tadi aku nggak ketemu Mas Rendy? Katanya kerja di sana?”“Oh, itu … aku cuma asisten dan pegawai cadangan. Jadi datang kalau pas dibutuhkan saja.”“Memang ada jabatan itu di perusahaan?”“Ada, buktinya aku di sana. Ya udah ayo! MEndung ini, bentar lagi hujan,” ucap Rendy dan memberikan helm pada Susi.Susi merasa senang dengan kebaikan Rendy. Meski tak enak selalu merepotkan, dia begitu sangat terbantu dengan kebaikan dan bantuan Rendy.“Kata Bu Nurul, kamu jarang datang, Mas. Tapi kok nggak dipecat ya?” kekeh Susi.“Mana berani dia mecat aku,” gumam Rendy.“Apa?” Susi tak begitu mendengar. “Ya karena aku ganteng kan, Mbak,” kekeh Rendy mengalihkan pembicaraan.“Gitu ya? Bisa jadi sih,” balas Susi dengan kekehan ringan dan mereka melaju dengan cepat sampai di kosan. Sa
Asri melangkah mendekat, wajahnya pucat karena amarah dan kebingungan. “Mas Rudi, selama ini aku diam, aku sabar. Tapi kamu malah mempermalukan keluargamu seperti ini? Apa kamu tidak berpikir apa-apa?”“Bukan begitu, Asri. Aku hanya ingin—” Rudi mencoba menjelaskan, tapi Asri memotongnya.“Kamu ingin apa? Menambah istri lagi? Menambah masalah? Bukankah aku sudah cukup menderita dengan penyakit ini? Sekarang kamu malah mempermainkan perasaan Mika juga?!” Suaranya mulai meninggi, matanya berkaca-kaca.“Dia salah, dia hamil duluan dan kamu sebenarnya tidak becus menjadi seorang ibu!” ucap Amora.“Jaga bicaramu!” Asri hendak memukul Amora, tapi tangannya dicegah oleh Rudi.Amora tersenyum, dia merasa senang karena mendapatkan pembelaan.“Mas!!”“Sudahlahlah, Asri. Jangan buat ribut, kita selesaikan ini di rumah.”“Gak akan! Aku benci kamu, Mas!”Amora tak senang dengan suasana ini. Dia pun maju, berkacak pinggang di depan Asri. “Mbak ini terlalu sok suci, merasa paling bener, kalau ada y
Mikaila celingukan. Kali ini dia mencari orang yang tentunya mengiriminya pesan. Bahkan, dia tak tahu siapa dia. Tak ada photo profil, bahkan tak ada nama kontak itu di ponselnya.“Di mana sih itu orang?”Mikaila menghubungi nomor baru itu, sayang tak diangkat angkat. Namun, matanya teralihkan oleh sesuatu yang ada di depannya.“Papa?”Mikaila membelalak. DIa tak menyangka ayahnya ada di cafe itu bersama wanita yang bukan ibunya. Alasannya selalu sibuk di luar karena pekerjaannya begitu banyak. Namun, ternyata ayahnya dengan wanita lain di sana.Mikaila mendekat, lalu menggebrak meja. Membuat Rudi kaget dengan apa yang dilakukan anaknya itu.“Mika? Ka-mu kenapa di sini? Kamu tak sekolah?” berondong Rudi.Di sampingnya, Amora sedang membahas tentang banyak hal. Dia juga kaget, tapi sudah tahu siapa Mikaila. Hanya saja, Rudi tak pernah memperkenalkan dia sebagai anak. Hanya sebatas tahu saja dari kontak yang sering memanggilnya.“Papa ngapain sama dia? Papa katanya sibuk di luar kota,
“Kamu nunggu siapa, Mika?” tanya Asri yang melihat sang anak berdiri di ruang tamu dan mondar mandir.“Teman, Ma.”“Kok ya mondar mandir begitu? Apa kamu tak bisa tenang?”“Ck!” decak Mikaila.Bagaimana Mikaila tidak resah, lelaki yang mengaku akan bertanggung jawab atas kehamilannya malah belum datang padahal janji akan datang sejam yang lalu. Mikaila mencoba menghubungi, tapi nomor Elgard sama sekali tak bisa dihubungi. Pesan hanya centang satu dan tentunya membuat Mikaila merasa khawatir.“Udah, Mika. Cuma teman, kenapa kamu menunggu sampai secemas itu?"Mikaila mendongak menatap ibunya dengan tatapan gelisah yang berusaha ia sembunyikan. "Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma... ya, cemas aja. Dia penting," jawabnya setengah berbisik.Asri mengerutkan kening. “Teman apa pacar, sih? Kalau teman, kok kelihatan serius banget nungguinnya?”“Teman, Ma. Udah, jangan banyak tanya.” Mikaila mencoba mengalihkan dengan membuka ponselnya, berharap ada balasan dari Elgard. Namun nihil. Nomor lelaki i
“Bagaimana ini?”Mikaila melihat tespek yang menyatakan dia positif. Sedangkan dia masih memakai seragam putih biru. Tahun ini adalah tahun terakhir dia menjadi seorang murid SMA. Namun, kenyataan dia hamil bahkan membuat mimpi buruk itu kian nyata.“Bagaimana mungkin aku hamil?”Mikaila merasa bingung, takut dan khawatir. Ibunya pasti sangat murka dengan apa yang dia alami. Ditambah ayahnya yang menginginkan dia kuliah di Universitas luar negeri. Apa jadinya jika dia hamil?“Mika, kamu lama sekali di kamar mandi? Ini sarapannya sudah siap,” ucap sang ibu.“Iya, Ma.”Mikaila membuang tespeknya, lalu keluar dengan merapikan wajah yang hampir saja menangis tadi. Dia pun dengan tersenyum pada Asri–sang ibu yang ada di ambang pintu.“Mau berangkat jam berapa? Ini sudah siang.”“Iya, bawel ah!’Mikaila mengambil tasnya, membawa sarapan ke dalam tas karena dia enggan memakan apapun. Dia shock dengan kehamilan tak terduganya ini karena dia memang tak menyangka akan hamil di hubungan yang bi
Amora berdiri di depan apartemennya, gelisah. Hatinya terus berkecamuk, takut dan cemas. Surat wasiat itu adalah kunci dari segalanya, dan jika sampai jatuh ke tangan yang salah, tidak hanya Rudi yang akan kehilangan, tapi juga dirinya. Dia menatap layar ponselnya, mengirim pesan singkat ke Rudi.*"Aku sedang urus ini. Akan segera kutemukan."*Amora menekan tombol kirim, lalu memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Matanya memandang tajam ke arah pintu apartemen, perasaan campur aduk menghantam dadanya. Rudi jelas-jelas menekannya. Di satu sisi, dia tahu dia harus menemukan surat itu, tapi di sisi lain, dia sadar bahwa semakin dalam dia terlibat, semakin sulit untuk melepaskan diri dari jebakan ini.Saat duduk di ruang lobi, menunggu satpam yang sedang mengurus rekaman CCTV, Amora mencoba mengingat kembali kejadian yang menuntunnya ke situasi sekarang. Perasaan bersalah karena mengkhianati Yogi menghantamnya lagi, meskipun saat ini urusan dengan Rudi jauh lebih mendesak."Bu Amora?" suara
“Kamu menyalahi perjanjian!” umpat Amora saat mereka sudah sampai di kamar mereka.“Bulshit dengan perjanjian! Kamu sendiri sibuk dan tak ada waktu sekarang. Aku mengkhawatirkan kamu tapi kamu malah pergi tanpa kabar seolah tak peduli,” protes Yogi.“Kamu gak mikir aku begini biar anak kita bisa hidup layak?”“Bukan hal mudah menerima ini, tapi bukankah kamu akan jadi wanita rumahan dan membiarkan aku yang bekerja? Kenapa malah jadi kamu yang sering tak pulang?”Sama sama dalam keadaan emosi, tentu Amora pun tak bisa mengerem amarahnya yang mengetahui Yogi pulang ke rumah ibunya tanpa konfirmasi padanya.Ponsel Amora tiba tiba berhenti. Dia yang sedang kesal pun mengangkat panggilan itu dengan kasar.“Mora.”“Apa?” tanya Amora ketus.“Mora, ada apa?”Amora melihat ponselnya, lalu baru sadar ada panggilan itu dari kekasihnya –Rudi.“Nggak, ada apa?” ralat Amora seraya melirik Yogi, lalu pergi dari sana. Tentu agar Yogi tak melihat dan mendengar nya sedang berbincang penting dan intim
“Kok cepet ya urus urus semuanya? Seminggu udah lepas kunci,” ucap Susi yang dipanggil pengembang perumahan untuk penerimaan kunci.“Nasib, Mbak. Anggap saja, rezeki setelah bercerai Mbak.” Dia ditemani Bu Tia, Randy sengaja meminta Bu kosa untuk menemani Susi karena Rendy tak ada di sana saat ini.“Udah cerai?” Seorang petugas menatapnya, melirik pada Bu Tia juga.“Bukan kami, saya aja.” Susi menjawabnya.Susi mengambil kunci yang diulurkan petugas dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Mas,” jawabnya pelan.Petugas itu mengangguk sopan sebelum berlalu, meninggalkan Susi berdiri di samping Bu Tia yang antusias menemaninya di depan rumah. Rumah itu terlihat megah dan berkelas, tapi di mata Susi, rumah itu hanyalah pengingat pahit akan pernikahan yang kandas.“Gak nyangka dapat ganti yang gede begini, eh. Keren Mbak Susi,” puji bu kos.“Terima kasih, Bu Tia” ucapnya pelan dan Bu Tia benar benar tak menyangka respon Susi akan sebahagia ini. Sampai dia sadar, tangan Susi gemetaran dan
“Kok di sini lagi?” tanya Susi pada Rendy yang kini ada di ruangannya.“Aku cuma mau ngasih ini. Disuruh Pak Rio, katanya buat kamu.”“Apa ini?”“Buka saja.”Rendy menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat, lalu Susi membukanya perlahan. Dia melihat uang yang cukup banyak dan itu membuat dia cukup menganga.“Banyak banget?” Susi tak menyangka akan mendapatkan uang sebanyak itu.“Katanya bonus bulan ini. Kamu sudah bisa melakukan banyak hal, Mbak. Dari menjadi pengganti Bu Nurul, membantu pekerjaan beliau dan membantu banyak karyawan lain. Kamu hebat, Mbak. Banyak belajar di sini dan mungkin Pak Rio suka dengan kinerjamu itu. Jadi, terima saja.”Saking senangnya, Susi sampai tak bisa berkata kata. Kali ini, Susi merasa setiap detiknya begitu berharga. Tenaga yang dia keluarkan untuk membantu teman demi mengasah kemampuan ternyata nggak sia sia.“Ini buat kamu,” ucap Susi memberikan uang yang tadi separuhnya pada Rendy.“Gak usah, ih. Aku juga udah dapat bonus sendiri.”“Gak papa, kam
"Nanti kamu handle pekerjaan saya, ya, Sus. Saya ada keperluan lain," ucap Nurul."Tapi, apa saya bisa, Bu?""Bisa, kamu pasti bisa. Kan sudah belajar selama ini sama saya? Tunjukkan kalau saya gak sia sia mengajari kamu selama ini.""Saya akan berusaha. Ibu berapa jam keluar?""Saya sampai besok, kerjakan ini sampai selesai. Besok saja cek dan semoga kamu gak ada kendala.""Kalau saya bingung, tanya siapa?""Bisa hubungi Pak Rendy."Susi mengangguk. Dia pun merasa terharu bisa diberikan kesempatan menggunakan kursi atasannya untuk bekerja. Dia bahkan diberikan mandat untuk menjadi Manager seharian ini. Ini adalah hal yang langka dan mungkin mendebarkan bagi Susi.Susi menatap ruangan kerja Bu Nurul dengan campuran rasa gugup dan bangga. Meja yang biasanya hanya dia lihat dari kejauhan kini terasa begitu dekat, bahkan bisa dia gunakan. “Manager sehari, ya?” gumamnya sambil mencoba duduk di kursi empuk yang mendominasi ruangan itu.Ia mulai menyalakan komputer, memeriksa email, dan men