Sehari dua hari, bak setahun menunggu malam menjelang. Ada saja yang dilakukan Marni untuk merepotkan Susi. Bahkan, malam saja kadang masih diganggu untuk menemani tidur. Dengan alasan pegal, kadang Susi diminta memijat sampai ketiduran.
Pagi ini Yogi pergi lebih awal. Susi yang baru selesai mandi menghela napas panjang saat mendengar suara ibu mertuanya yang memanggil dengan suara keras. "Susi!" Dengan langkah pelan, Susi yang sedang di kamar pun Gegas keluar. "Apa sih, Bu?" "Uang!" "Uang? Buat apa?" "Nova anaknya sakit, Ibu pinjam buat pegangan di sana." "Ibu mau ke sana?" tanya Susi. "Iya sebentar, masa datang hanya merepotkan." "Nggak ada, Bu." "Masa? Kemarin ibu lihat, kamu bawa uang dari pengajian." "Itu uang arisan, besok jatah Susi di rumah ini." "Ya udah, itu aja." "Itu aja apanya?" "Pake itu, ntar Ibu bilang ke Yogi buat gantiin. Buruan! Ojek udah nunggu!" "Tapi, Bu …" "Ish, nanti Ibu ganti!" Terpaksa Susi memberikan uang itu. Tadinya hanya seratus ribu, tapi diminta semua karena sang ibu takut kurang. Pagi sebelum kerja, Susi menagih pada Yogi. Namun, lagi lagi kalimat menjengkelkan pun keluar dari bibir lelaki itu. "Memangnya Ibu gak bilang dia pinjam uangku, Mas?" "Gak lah, uangmu kan uangku juga. Gak usah lah perhitungan," ucap Yogi. "Oh gak bisa! Justru karena uangnya tidak aku pegang makanya aku tanya sama mas. Ibu bilang atau enggak? Ibu bilangnya kan mas yang gantiin. Mana?" Susi menadahkan tangannya di depan Yogi. "Nggak ada, itu urusan kalian. Banyak urusan yang lebih penting yang harus aku pikirkan." "Mas!" Susi keluar dari kamar dan menemui Ibu mertuanya. Mertuanya sudah pulang setelah 3 hari di rumah anaknya. Dia ingin membuat persiapan untuk menyambut para jamaah tahlil Yasin yang biasa dia ikuti. "Bu." "Hm," jawab Marni pelan. "Yasin tahlilnya kan besok, suguhan untuk jamaah sudah ada atau belum?" "Ya belum, itu kan yang dapat kamu. Kamu lah yang mikir, kok ibu yang repot," jawab Marni "Tapi kan uangnya dipegang sama ibu semua. Gimana mau belanja buat suguhan kalau Susi nggak pegang sama sekali?" "Oh, jadi kamu keberatan Kalau uang nya ibu pakai dulu? Lagian, jamaah sedikit aja pake macam macam. Nggak usah pakai beli-beli lagi, boros! Uang itu sudah Ibu kasih sama Rita, anaknya sakit kemarin." "Kok Ibu nggak izin sama Susi? Jamaah sedikit juga kalau suguhannya tidak pantas dan tidak patut itu akan jadi bahan gunjingan, Bu." "Halah, kamu kan setiap Minggu dikasih uang sama Yogi. Emangnya Ibu nggak lihat? Jangan jahat-jahat sama saudara sendiri Karena bagaimanapun Rita itu adalah anak yang sangat berbakti kepada Ibu dulunya. Dia juga yang menyekolahkan Yogi sampai lulus SMA dan bisa mempunyai pekerjaan sendiri seperti sekarang. Udah, kamu pakai uangmu aja buat nambahin suguhan kalau memang kamu nggak nerima in apa yang ada di rumah. Ibu mau ke rumah Rita dan mau menjenguk anaknya. Baru juga pulang, udah ditagih. Pelit amat!" Marni keluar dari rumah tanpa dosa sedangkan Susi hanya bisa memijit pelipisnya karena bingung bagaimana dia akan membelikan makanan-makanan yang layak untuk disuguhkan pada jamaah yang lain. ** Pengajian digelar. Awalnya antusias, Tapi lama kelamaan Susi mendengar gunjingan para jamaah. "Gak pantas sekali," bisik salah satu jamaah. "Duh makanan apa ini?" "Pemilik rumah pasti cari untung nih." Susi mulai tak nyaman. Acara tahlil Yasin berlangsung cukup mendebarkan dan tak asik lagi. Bagaimana tidak, Susi sudah menyiapkan banyak suguhan tetapi sang Ibu melarang untuk diberikan semuanya. Separuhnya diminta untuk disimpan untuk dikirimkan kepada ipar iparnya yang lain sehingga terlihat sangat tidak pantas di mata para tetangga. Bisik-bisik terdengar tetapi Susi mencoba untuk tidak memikirkannya. Tapi tetap saja menyebalkan. Dia memohon maaf di akhir acara dan berharap semua jamaah yang hadir bisa memaklumi. "Lain kali kalau ada temen yang dapat kamu nitip saja, Susi. Jadi nanti kamu nggak terasa berat kalau pas jatah giliran dapat di rumah. Kamu juga bisa ada lebihan kalau nitip di giliran orang," ucap Ibu Halimah. "Iya, Bu. Kemarin kebetulan Kakak ipar saya sakit dan uangnya dipakai untuk berobat. Insyaallah, untuk kedepannya Saya akan belajar untuk menabung di beberapa jamaah yang sedang kedapatan giliran biar nggak berat seperti sekarang." "Hm, alasan," bisik jamaah julid di luar sana. Tidak semua jamaah paham tentang kondisi yang dialami oleh Susi. Susi karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk jamaah Yasin tahlil yang lain di saat dia mendapatkan giliran. Marni seperti tidak merasa terusik dengan kunjungan-gunjingan mereka. Dia asik menikmati makanan yang ada di belakang dan Susi pun mendekat untuk mengingatkan dan menasehati mertuanya. "Bu, lain kali jangan begini lagi. Susi Malu loh, kan semuanya sudah disiapin dengan susah payah. Kenapa sih malah diumpetin?" tanya Susi kesal. "Kamu ini nggak usah pakai acara malu segala. Yang namanya sodaqoh itu kalau ikhlas dan ada. Kalau nggak ada ya seadanya saja yang penting kan nggak melompong dan kosong piringnya. Lagian ibu-ibu juga ngapain ngaji malah gibah? Nggak usah ngaji kalau bikin dosa, mending pada di rumah aja ngurusin anak dan suami." "Gak gitu Bu, acara-acara seperti itu kan bagian dari aktivitas keagamaan untuk meluruskan hati yang kadang belok-belok. Ibu aja kemarin ikut, kan?" "Tapi ibu malas sekarang, nggak ada faedahnya ikut acara seperti itu. Setiap ada pertemuan ghibah terus, nambah dosa makin panjang," ucapnya. "Tapi Susi malu, Bu." "Malu? Malu tuh sama Tuhan karena kamu jadi mantu yang pelit. Malu kok sama manusia," ucap Marni. Susi hanya menghela nafas panjang mendengar ucapan mertuanya. Usia mertuanya memang sudah tidak muda dan tingkat kecerewetan yang luar biasa membuat dia harus benar-benar sabar dan ikhlas dengan segala perlakuannya.Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi."Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan."Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar.""Sedikit ya?""Gak ada!""Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi."Ngapain? Kamu mau
Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya. "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..." Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam. Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya. “Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan. Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singka
"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ...""Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?"Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda."Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya
Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
“Tagihan apa lagi ini?” teriak Yogi.Yogi melempar kertas tagihan yang diterimanya ke hadapan Susi dengan kasar. Bahkan saking kerasnya sampai membuat Susi kaget dan tak habis pikir dengan kebiasaan suaminya yang selalu marah ketika dia minta uang untuk membayar tagihan yang harus dibayarkan.“Itu tagihan Wifi, Mas. Mas sendiri yang kekeh pasang saat itu, ini tagihannya,” jawab Susi.“Kan aku hanya bilang ingin, kenapa langsung ada kertas tagihannya tanpa aku tahu pemakaiannya? Lagian selama ini aku pakai kuota biasa. Kamu yang pakai berarti kamu yang bayar!” Wanita yang sudah dinikahi selama 5 tahun itu hanya bisa menghela nafas panjang, karena uang bulanan yang dia dapatkan selalu memiliki nominal yang sama, bahkan jika ada tagihan dengan nominal lain dan banyak dia harus menambahkan sendiri. "Mas, aku uang dari mana? Tiap hari jatah selalu tombok, bukannya cukup dan bisa nabung, ini malah jadi tombok.”“Ah, nggak usah perhitungan jadi istri. Kita kan belum ada banyak tanggung