Sehari dua hari, bak setahun menunggu malam menjelang. Ada saja yang dilakukan Marni untuk merepotkan Susi. Bahkan, malam saja kadang masih diganggu untuk menemani tidur. Dengan alasan pegal, kadang Susi diminta memijat sampai ketiduran.
Pagi ini Yogi pergi lebih awal. Susi yang baru selesai mandi menghela napas panjang saat mendengar suara ibu mertuanya yang memanggil dengan suara keras. "Susi!" Dengan langkah pelan, Susi yang sedang di kamar pun Gegas keluar. "Apa sih, Bu?" "Uang!" "Uang? Buat apa?" "Nova anaknya sakit, Ibu pinjam buat pegangan di sana." "Ibu mau ke sana?" tanya Susi. "Iya sebentar, masa datang hanya merepotkan." "Nggak ada, Bu." "Masa? Kemarin ibu lihat, kamu bawa uang dari pengajian." "Itu uang arisan, besok jatah Susi di rumah ini." "Ya udah, itu aja." "Itu aja apanya?" "Pake itu, ntar Ibu bilang ke Yogi buat gantiin. Buruan! Ojek udah nunggu!" "Tapi, Bu …" "Ish, nanti Ibu ganti!" Terpaksa Susi memberikan uang itu. Tadinya hanya seratus ribu, tapi diminta semua karena sang ibu takut kurang. Pagi sebelum kerja, Susi menagih pada Yogi. Namun, lagi lagi kalimat menjengkelkan pun keluar dari bibir lelaki itu. "Memangnya Ibu gak bilang dia pinjam uangku, Mas?" "Gak lah, uangmu kan uangku juga. Gak usah lah perhitungan," ucap Yogi. "Oh gak bisa! Justru karena uangnya tidak aku pegang makanya aku tanya sama mas. Ibu bilang atau enggak? Ibu bilangnya kan mas yang gantiin. Mana?" Susi menadahkan tangannya di depan Yogi. "Nggak ada, itu urusan kalian. Banyak urusan yang lebih penting yang harus aku pikirkan." "Mas!" Susi keluar dari kamar dan menemui Ibu mertuanya. Mertuanya sudah pulang setelah 3 hari di rumah anaknya. Dia ingin membuat persiapan untuk menyambut para jamaah tahlil Yasin yang biasa dia ikuti. "Bu." "Hm," jawab Marni pelan. "Yasin tahlilnya kan besok, suguhan untuk jamaah sudah ada atau belum?" "Ya belum, itu kan yang dapat kamu. Kamu lah yang mikir, kok ibu yang repot," jawab Marni "Tapi kan uangnya dipegang sama ibu semua. Gimana mau belanja buat suguhan kalau Susi nggak pegang sama sekali?" "Oh, jadi kamu keberatan Kalau uang nya ibu pakai dulu? Lagian, jamaah sedikit aja pake macam macam. Nggak usah pakai beli-beli lagi, boros! Uang itu sudah Ibu kasih sama Rita, anaknya sakit kemarin." "Kok Ibu nggak izin sama Susi? Jamaah sedikit juga kalau suguhannya tidak pantas dan tidak patut itu akan jadi bahan gunjingan, Bu." "Halah, kamu kan setiap Minggu dikasih uang sama Yogi. Emangnya Ibu nggak lihat? Jangan jahat-jahat sama saudara sendiri Karena bagaimanapun Rita itu adalah anak yang sangat berbakti kepada Ibu dulunya. Dia juga yang menyekolahkan Yogi sampai lulus SMA dan bisa mempunyai pekerjaan sendiri seperti sekarang. Udah, kamu pakai uangmu aja buat nambahin suguhan kalau memang kamu nggak nerima in apa yang ada di rumah. Ibu mau ke rumah Rita dan mau menjenguk anaknya. Baru juga pulang, udah ditagih. Pelit amat!" Marni keluar dari rumah tanpa dosa sedangkan Susi hanya bisa memijit pelipisnya karena bingung bagaimana dia akan membelikan makanan-makanan yang layak untuk disuguhkan pada jamaah yang lain. ** Pengajian digelar. Awalnya antusias, Tapi lama kelamaan Susi mendengar gunjingan para jamaah. "Gak pantas sekali," bisik salah satu jamaah. "Duh makanan apa ini?" "Pemilik rumah pasti cari untung nih." Susi mulai tak nyaman. Acara tahlil Yasin berlangsung cukup mendebarkan dan tak asik lagi. Bagaimana tidak, Susi sudah menyiapkan banyak suguhan tetapi sang Ibu melarang untuk diberikan semuanya. Separuhnya diminta untuk disimpan untuk dikirimkan kepada ipar iparnya yang lain sehingga terlihat sangat tidak pantas di mata para tetangga. Bisik-bisik terdengar tetapi Susi mencoba untuk tidak memikirkannya. Tapi tetap saja menyebalkan. Dia memohon maaf di akhir acara dan berharap semua jamaah yang hadir bisa memaklumi. "Lain kali kalau ada temen yang dapat kamu nitip saja, Susi. Jadi nanti kamu nggak terasa berat kalau pas jatah giliran dapat di rumah. Kamu juga bisa ada lebihan kalau nitip di giliran orang," ucap Ibu Halimah. "Iya, Bu. Kemarin kebetulan Kakak ipar saya sakit dan uangnya dipakai untuk berobat. Insyaallah, untuk kedepannya Saya akan belajar untuk menabung di beberapa jamaah yang sedang kedapatan giliran biar nggak berat seperti sekarang." "Hm, alasan," bisik jamaah julid di luar sana. Tidak semua jamaah paham tentang kondisi yang dialami oleh Susi. Susi karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk jamaah Yasin tahlil yang lain di saat dia mendapatkan giliran. Marni seperti tidak merasa terusik dengan kunjungan-gunjingan mereka. Dia asik menikmati makanan yang ada di belakang dan Susi pun mendekat untuk mengingatkan dan menasehati mertuanya. "Bu, lain kali jangan begini lagi. Susi Malu loh, kan semuanya sudah disiapin dengan susah payah. Kenapa sih malah diumpetin?" tanya Susi kesal. "Kamu ini nggak usah pakai acara malu segala. Yang namanya sodaqoh itu kalau ikhlas dan ada. Kalau nggak ada ya seadanya saja yang penting kan nggak melompong dan kosong piringnya. Lagian ibu-ibu juga ngapain ngaji malah gibah? Nggak usah ngaji kalau bikin dosa, mending pada di rumah aja ngurusin anak dan suami." "Gak gitu Bu, acara-acara seperti itu kan bagian dari aktivitas keagamaan untuk meluruskan hati yang kadang belok-belok. Ibu aja kemarin ikut, kan?" "Tapi ibu malas sekarang, nggak ada faedahnya ikut acara seperti itu. Setiap ada pertemuan ghibah terus, nambah dosa makin panjang," ucapnya. "Tapi Susi malu, Bu." "Malu? Malu tuh sama Tuhan karena kamu jadi mantu yang pelit. Malu kok sama manusia," ucap Marni. Susi hanya menghela nafas panjang mendengar ucapan mertuanya. Usia mertuanya memang sudah tidak muda dan tingkat kecerewetan yang luar biasa membuat dia harus benar-benar sabar dan ikhlas dengan segala perlakuannya.Bisnis Yogi memang sangat lumayan beromset. Yogi kini membuat banyak sekali usaha yang masing-masing berada di tempat ramai di sekitar kawasan kota. Hari-hari Yogi selalu sibuk dengan pekerjaan bahkan kadang tidak sampai memperhatikan Apa yang dilakukan oleh sang istri dan ibunya di rumah. Keluhan demi keluhan diabaikan seolah-olah itu adalah hal biasa dan Susi semakin tidak sabar dengan kelakuan mertuanya yang menjadi-jadi."Kayaknya sibuk banget akhir akhir ini nih, Mas. Tambahin uang belanjanya, boleh kan? Ya," ucap Susi dengan senyum lebarnya. Berharap kamu juga baik hati untuk menambahkan uang belanja yang selalu pas pasan."Tambah tambah! Ini bakalan buat beli beli kebutuhan dan modal untuk usaha. Memangnya usaha nggak harus modal apa? Mas ini mau bikin cabang lagi buat di daerah depan kampus sama pasar.""Sedikit ya?""Gak ada!""Ya sudah, izin kan bekerja di luar kalau begitu. Aku benar-benar Butuh tambahan uang, kamu pelitnya nggak ketulungan!" geram Susi."Ngapain? Kamu mau
Pagi itu, Susi bangun dengan kepala berat. Perasaan gelisah sejak malam masih membebani pikirannya. Yogi yang pulang larut, sindiran Marni yang semakin menekan, dan masalah keuangan yang selalu pas-pasan, membuat beban pikirannya semakin bertumpuk. Selain itu, masalah anak yang tak kunjung datang juga terus menghantui pikirannya. "Jangan-jangan suamimu itu sudah mulai bosan sama kamu..." Ucapan Marni semalam terus terngiang di telinganya. Walau Susi tahu bahwa mertuanya kerap bicara sembarangan, kali ini perasaan ragu menghantuinya lebih dalam. Di meja makan, Marni sudah duduk sambil menyesap kopi pagi. Tangannya sibuk membersihkan meja yang sudah jelas-jelas bersih. Entah apa yang membuat Marni melakukan itu, yang jelas semuanya jadi serba salah di matanya. “Anak Ibu nggak bawa bekal lagi ya? Apa kamu nggak sempat masak buat dia?” Marni memulai percakapan tanpa menoleh. Lagi lagi karena bekal masakan. Susi menahan diri agar tidak terpancing. "Nggak keburu, Bu," jawabnya singka
"Yang penting Ibu senang, kamu juga tenang dan gak ada masalah. Pindah kan lebih bagus, siapa tahu ...""Punya anak? Gitu kan yang Mas maksud?"Susi tahu, suaminya juga menginginkan seorang anak tetapi selama ini suaminya jarang sekali mau pergi tentang itu. Tapi setelah mertuanya pindah dan ikut tinggal di sini, suaminya Jadi terlihat aneh dan berbeda."Aku sedang malas berdebat dan aku sedang memikirkan ini biar kamu bisa lebih nyaman jadi istriku. Jadi jangan protes karena semua yang aku lakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Yogi seraya pergi meninggalkan kamar. Malam mulai larut, tapi Susi masih terjaga di tempat tidur, menunggu kepulangan Yogi. Sudah berhari-hari suaminya pulang terlambat, bahkan tanpa memberitahu alasan jelas. Meskipun malam ini terjadi keributan tetapi Susi merasa suaminya terlihat aneh. Selalu saja ada alasan pekerjaan, tetapi Susi merasa ada sesuatu yang salah. Selalu ada bahan keributan dan membuat dia tidak tenang jika suaminya pergi. Ketika Yogi akhirnya
Surat Perjanjian Pernikahan dan HakAntara: Yogi Arindra dan Amora PutriDengan kesadaran penuh dan tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun, kedua belah pihak yang bertanda tangan di bawah ini menyepakati ketentuan berikut:1. Kesepakatan Menikah Jika Amora Hamil:Yogi Arindra berjanji untuk menikahi Amora Putri jika dalam kurun waktu enam bulan setelah perjanjian ini dibuat, Amora dinyatakan hamil dengan bukti medis resmi.Jika Amora tidak hamil dalam jangka waktu tersebut, Yogi dibebaskan dari kewajiban untuk menikahi Amora dan hubungan keduanya dianggap selesai tanpa tuntutan hukum lebih lanjut.2. Hak Amora:Jika Amora hamil dan pernikahan berlangsung, Yogi berkewajiban:a. Memberikan nafkah sebesar Rp25 juta per bulan kepada Amora dan calon anaknya.b. Menyediakan tempat tinggal terpisah dari rumah orang tua Yogi.c. Memastikan Amora dan anak mereka mendapatkan asuransi kesehatan penuh.3. Pembagian Aset:Jika terjadi perceraian setelah pernikahan, Amora berhak atas 30% aset yan
Yogi menyeringai sinis. "Kamu bilang apa tadi? Cerai? Susi, kamu bercanda kan?"Di ruang tamu yang penuh dengan barang-barang setengah terkemas, suasana memanas. Susi berdiri tegak di depan koper yang sudah ia rapikan, sementara Yogi menatapnya dengan sorot mata meremehkan, dan Marni berdiri di belakang anaknya seperti benteng pendukung.Susi mendengus, mencoba menahan marah. "Aku serius, Mas. Aku minta cerai. Aku gak tahan lagi hidup kayak gini. Kamu sudah melenceng jauh."Yogi mengangkat alis, lalu tertawa, seolah Susi baru saja mengatakan hal paling konyol di dunia. "Kamu pikir cerai itu solusi? Kamu gak bakal bisa hidup tanpa aku, Susi. Kamu tuh gak punya apa-apa."Marni langsung menimpali, "Benar tuh, Susi. Kamu mau kemana? Keluar dari rumah ini, kamu gak punya siapa-siapa.""Kalian lupa aku punya Allah? Allah nggak tidur, nggak akan pernah biar kan hambanya mati kelaparan!""Sombong!" decih Marni.Susi balas menatap keduanya, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Aku lebih baik jad
Hujan gerimis mulai turun saat Susi berjalan keluar rumah dengan langkah cepat. Angin malam yang dingin menghembus menerpa wajahnya, tapi ia tak peduli. Sandal jepitnya menyentuh jalan setapak yang becek, dan suara derak ranting di bawah kakinya membuat suasana semakin sendu. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin itu menenangkan debar di dadanya.Ia hanya membawa tas kecil berisi dokumen penting dan beberapa pakaian sederhana. Hatinya berat, bukan karena menyesal, tapi karena ada ketakutan tentang masa depan yang kini sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri.Namun, ia tahu bahwa tak ada jalan kembali. Semua ini lebih dari sekadar pertengkaran biasa. Ia telah memutuskan untuk keluar dari lingkaran penuh manipulasi dan kontrol yang selama ini mengekangnya.Tiba-tiba, kakinya terhenti."Duh!" Susi merasakan pergelangan kakinya terkilir. Koper yang ia bawa terlepas dari genggaman, jatuh ke tanah dengan suara berat. Ia meringis menahan sakit dan mencoba memijakkan kakiny
Setelah berganti baju dan menghangatkan diri, Susi duduk di lantai kamar kos kecil itu sambil menggenggam secangkir teh hangat. Rendi duduk di dekat pintu, melihat ke luar sejenak seolah memastikan hujan benar-benar sudah reda."Terima kasih banyak, Mas Rendi," ucap Susi tulus.Rendi hanya mengangguk sambil tersenyum. "Nggak perlu dipikirin, Bu Susi. Hidup ini kadang cuma soal ketemu orang yang pas di waktu yang tepat."Suasana sejenak hening. Susi memandangi teh dalam cangkirnya, lalu memberanikan diri bertanya, "Mas Rendi tinggal di sini juga?"Rendi menggeleng. "Nggak, saya kerja serabutan. Lagi numpang di rumah teman sementara ini. Kebetulan tadi saya lewat sini pas lihat Ibu kesusahan."Susi mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. Kehangatan teh dan kebaikan orang asing malam itu memberikan harapan kecil di tengah badai kehidupannya.Tia, pemilik kos, masuk lagi dengan membawa sepiring nasi bungkus. "Makan dulu ya, Mbak Susi. Di sini mah sederhana, tapi semua orang bantu-bantu
Susi mulai menikmati pekerjaannya. Membantu Bu Tia–pemilik kosan dan ternyata, keahlian Susi di tempat ini lebih dihargai. Rendy yang wara wiri terlihat membantu, seperti memperhatikan Susi yang membuat Susi penasaran.“Aku nggak percaya situ anak kosan,” ucap Susi.“Kan sama aja. Apa karena wajah saya terlalu ganteng sampai gak meyakinkan?”Susi tersenyum. “Bukan gitu, kamu ini kerjaannya bolak balik kontrakan. Gak terlihat sekolah atau bekerja di luar yang biasanya pergi pagi pulang malam. Apa mungkin …”“Bukan anak bos,” kekeh Rendy. “Ya ya ya, tapi kalaupun Bos, aku sih nggak masalah. Malah bisa saja aku ngelamar kerjaan di perusahaan situ. Jadi managernya mungkin,” kilah Susi bercanda.“Bisa saja.”“Eh, misal. Kan situ bukan bos.”“Iya sih, tapi memang lulusan apa?”“SMA aja. Gak mungkin ya jadi pegawai berprestasi dan jabatan tinggi?”“MUngkin saja, kalau bosnya saya,” jawab Rendy sekenanya.Lelaki itu memang sengaja memperhatikan Susi karena wanita itu mengingatkan dia pada s
Asri melangkah mendekat, wajahnya pucat karena amarah dan kebingungan. “Mas Rudi, selama ini aku diam, aku sabar. Tapi kamu malah mempermalukan keluargamu seperti ini? Apa kamu tidak berpikir apa-apa?”“Bukan begitu, Asri. Aku hanya ingin—” Rudi mencoba menjelaskan, tapi Asri memotongnya.“Kamu ingin apa? Menambah istri lagi? Menambah masalah? Bukankah aku sudah cukup menderita dengan penyakit ini? Sekarang kamu malah mempermainkan perasaan Mika juga?!” Suaranya mulai meninggi, matanya berkaca-kaca.“Dia salah, dia hamil duluan dan kamu sebenarnya tidak becus menjadi seorang ibu!” ucap Amora.“Jaga bicaramu!” Asri hendak memukul Amora, tapi tangannya dicegah oleh Rudi.Amora tersenyum, dia merasa senang karena mendapatkan pembelaan.“Mas!!”“Sudahlahlah, Asri. Jangan buat ribut, kita selesaikan ini di rumah.”“Gak akan! Aku benci kamu, Mas!”Amora tak senang dengan suasana ini. Dia pun maju, berkacak pinggang di depan Asri. “Mbak ini terlalu sok suci, merasa paling bener, kalau ada y
Mikaila celingukan. Kali ini dia mencari orang yang tentunya mengiriminya pesan. Bahkan, dia tak tahu siapa dia. Tak ada photo profil, bahkan tak ada nama kontak itu di ponselnya.“Di mana sih itu orang?”Mikaila menghubungi nomor baru itu, sayang tak diangkat angkat. Namun, matanya teralihkan oleh sesuatu yang ada di depannya.“Papa?”Mikaila membelalak. DIa tak menyangka ayahnya ada di cafe itu bersama wanita yang bukan ibunya. Alasannya selalu sibuk di luar karena pekerjaannya begitu banyak. Namun, ternyata ayahnya dengan wanita lain di sana.Mikaila mendekat, lalu menggebrak meja. Membuat Rudi kaget dengan apa yang dilakukan anaknya itu.“Mika? Ka-mu kenapa di sini? Kamu tak sekolah?” berondong Rudi.Di sampingnya, Amora sedang membahas tentang banyak hal. Dia juga kaget, tapi sudah tahu siapa Mikaila. Hanya saja, Rudi tak pernah memperkenalkan dia sebagai anak. Hanya sebatas tahu saja dari kontak yang sering memanggilnya.“Papa ngapain sama dia? Papa katanya sibuk di luar kota,
“Kamu nunggu siapa, Mika?” tanya Asri yang melihat sang anak berdiri di ruang tamu dan mondar mandir.“Teman, Ma.”“Kok ya mondar mandir begitu? Apa kamu tak bisa tenang?”“Ck!” decak Mikaila.Bagaimana Mikaila tidak resah, lelaki yang mengaku akan bertanggung jawab atas kehamilannya malah belum datang padahal janji akan datang sejam yang lalu. Mikaila mencoba menghubungi, tapi nomor Elgard sama sekali tak bisa dihubungi. Pesan hanya centang satu dan tentunya membuat Mikaila merasa khawatir.“Udah, Mika. Cuma teman, kenapa kamu menunggu sampai secemas itu?"Mikaila mendongak menatap ibunya dengan tatapan gelisah yang berusaha ia sembunyikan. "Nggak apa-apa, Ma. Aku cuma... ya, cemas aja. Dia penting," jawabnya setengah berbisik.Asri mengerutkan kening. “Teman apa pacar, sih? Kalau teman, kok kelihatan serius banget nungguinnya?”“Teman, Ma. Udah, jangan banyak tanya.” Mikaila mencoba mengalihkan dengan membuka ponselnya, berharap ada balasan dari Elgard. Namun nihil. Nomor lelaki i
“Bagaimana ini?”Mikaila melihat tespek yang menyatakan dia positif. Sedangkan dia masih memakai seragam putih biru. Tahun ini adalah tahun terakhir dia menjadi seorang murid SMA. Namun, kenyataan dia hamil bahkan membuat mimpi buruk itu kian nyata.“Bagaimana mungkin aku hamil?”Mikaila merasa bingung, takut dan khawatir. Ibunya pasti sangat murka dengan apa yang dia alami. Ditambah ayahnya yang menginginkan dia kuliah di Universitas luar negeri. Apa jadinya jika dia hamil?“Mika, kamu lama sekali di kamar mandi? Ini sarapannya sudah siap,” ucap sang ibu.“Iya, Ma.”Mikaila membuang tespeknya, lalu keluar dengan merapikan wajah yang hampir saja menangis tadi. Dia pun dengan tersenyum pada Asri–sang ibu yang ada di ambang pintu.“Mau berangkat jam berapa? Ini sudah siang.”“Iya, bawel ah!’Mikaila mengambil tasnya, membawa sarapan ke dalam tas karena dia enggan memakan apapun. Dia shock dengan kehamilan tak terduganya ini karena dia memang tak menyangka akan hamil di hubungan yang bi
Amora berdiri di depan apartemennya, gelisah. Hatinya terus berkecamuk, takut dan cemas. Surat wasiat itu adalah kunci dari segalanya, dan jika sampai jatuh ke tangan yang salah, tidak hanya Rudi yang akan kehilangan, tapi juga dirinya. Dia menatap layar ponselnya, mengirim pesan singkat ke Rudi.*"Aku sedang urus ini. Akan segera kutemukan."*Amora menekan tombol kirim, lalu memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Matanya memandang tajam ke arah pintu apartemen, perasaan campur aduk menghantam dadanya. Rudi jelas-jelas menekannya. Di satu sisi, dia tahu dia harus menemukan surat itu, tapi di sisi lain, dia sadar bahwa semakin dalam dia terlibat, semakin sulit untuk melepaskan diri dari jebakan ini.Saat duduk di ruang lobi, menunggu satpam yang sedang mengurus rekaman CCTV, Amora mencoba mengingat kembali kejadian yang menuntunnya ke situasi sekarang. Perasaan bersalah karena mengkhianati Yogi menghantamnya lagi, meskipun saat ini urusan dengan Rudi jauh lebih mendesak."Bu Amora?" suara
“Kamu menyalahi perjanjian!” umpat Amora saat mereka sudah sampai di kamar mereka.“Bulshit dengan perjanjian! Kamu sendiri sibuk dan tak ada waktu sekarang. Aku mengkhawatirkan kamu tapi kamu malah pergi tanpa kabar seolah tak peduli,” protes Yogi.“Kamu gak mikir aku begini biar anak kita bisa hidup layak?”“Bukan hal mudah menerima ini, tapi bukankah kamu akan jadi wanita rumahan dan membiarkan aku yang bekerja? Kenapa malah jadi kamu yang sering tak pulang?”Sama sama dalam keadaan emosi, tentu Amora pun tak bisa mengerem amarahnya yang mengetahui Yogi pulang ke rumah ibunya tanpa konfirmasi padanya.Ponsel Amora tiba tiba berhenti. Dia yang sedang kesal pun mengangkat panggilan itu dengan kasar.“Mora.”“Apa?” tanya Amora ketus.“Mora, ada apa?”Amora melihat ponselnya, lalu baru sadar ada panggilan itu dari kekasihnya –Rudi.“Nggak, ada apa?” ralat Amora seraya melirik Yogi, lalu pergi dari sana. Tentu agar Yogi tak melihat dan mendengar nya sedang berbincang penting dan intim
“Kok cepet ya urus urus semuanya? Seminggu udah lepas kunci,” ucap Susi yang dipanggil pengembang perumahan untuk penerimaan kunci.“Nasib, Mbak. Anggap saja, rezeki setelah bercerai Mbak.” Dia ditemani Bu Tia, Randy sengaja meminta Bu kosa untuk menemani Susi karena Rendy tak ada di sana saat ini.“Udah cerai?” Seorang petugas menatapnya, melirik pada Bu Tia juga.“Bukan kami, saya aja.” Susi menjawabnya.Susi mengambil kunci yang diulurkan petugas dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Mas,” jawabnya pelan.Petugas itu mengangguk sopan sebelum berlalu, meninggalkan Susi berdiri di samping Bu Tia yang antusias menemaninya di depan rumah. Rumah itu terlihat megah dan berkelas, tapi di mata Susi, rumah itu hanyalah pengingat pahit akan pernikahan yang kandas.“Gak nyangka dapat ganti yang gede begini, eh. Keren Mbak Susi,” puji bu kos.“Terima kasih, Bu Tia” ucapnya pelan dan Bu Tia benar benar tak menyangka respon Susi akan sebahagia ini. Sampai dia sadar, tangan Susi gemetaran dan
“Kok di sini lagi?” tanya Susi pada Rendy yang kini ada di ruangannya.“Aku cuma mau ngasih ini. Disuruh Pak Rio, katanya buat kamu.”“Apa ini?”“Buka saja.”Rendy menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat, lalu Susi membukanya perlahan. Dia melihat uang yang cukup banyak dan itu membuat dia cukup menganga.“Banyak banget?” Susi tak menyangka akan mendapatkan uang sebanyak itu.“Katanya bonus bulan ini. Kamu sudah bisa melakukan banyak hal, Mbak. Dari menjadi pengganti Bu Nurul, membantu pekerjaan beliau dan membantu banyak karyawan lain. Kamu hebat, Mbak. Banyak belajar di sini dan mungkin Pak Rio suka dengan kinerjamu itu. Jadi, terima saja.”Saking senangnya, Susi sampai tak bisa berkata kata. Kali ini, Susi merasa setiap detiknya begitu berharga. Tenaga yang dia keluarkan untuk membantu teman demi mengasah kemampuan ternyata nggak sia sia.“Ini buat kamu,” ucap Susi memberikan uang yang tadi separuhnya pada Rendy.“Gak usah, ih. Aku juga udah dapat bonus sendiri.”“Gak papa, kam
"Nanti kamu handle pekerjaan saya, ya, Sus. Saya ada keperluan lain," ucap Nurul."Tapi, apa saya bisa, Bu?""Bisa, kamu pasti bisa. Kan sudah belajar selama ini sama saya? Tunjukkan kalau saya gak sia sia mengajari kamu selama ini.""Saya akan berusaha. Ibu berapa jam keluar?""Saya sampai besok, kerjakan ini sampai selesai. Besok saja cek dan semoga kamu gak ada kendala.""Kalau saya bingung, tanya siapa?""Bisa hubungi Pak Rendy."Susi mengangguk. Dia pun merasa terharu bisa diberikan kesempatan menggunakan kursi atasannya untuk bekerja. Dia bahkan diberikan mandat untuk menjadi Manager seharian ini. Ini adalah hal yang langka dan mungkin mendebarkan bagi Susi.Susi menatap ruangan kerja Bu Nurul dengan campuran rasa gugup dan bangga. Meja yang biasanya hanya dia lihat dari kejauhan kini terasa begitu dekat, bahkan bisa dia gunakan. “Manager sehari, ya?” gumamnya sambil mencoba duduk di kursi empuk yang mendominasi ruangan itu.Ia mulai menyalakan komputer, memeriksa email, dan men