“Pergi! Jangan mendekat!” bentak Hilda. Riak gelisah tampak nyata di mukanya. Telapak tangan mulai berkeringat seiring dengan perubahan warna muka yang memucat.Emily cuma mengorak senyum bengis. Semakin dilarang, semakin tinggi keinginannya untuk menuntaskan dendam. Lagian sudah bertahun-tahun dia memendam rasa amarah terhadap perempuan miskin berhati iblis ini. Dulu sempat dia membenci Tuhan karena membiarkan dirinya dirundung Hilda namun hari ini, dia ingin menarik kembali perasaan itu.“Aku bilang pergi!” teriak Hilda lantang seraya melepaskan stileto lalu melempar sepatu hak tinggi itu kepada Emily. Malangnya, Emily sempat menghindar lalu dengan santai mengambil stileto berwarna merah tersebut.“Wah, ini stileto dari merek eksklusif. Hanya ada tiga di negara ini. Kalau tak salah, harganya 300 ribu dollar,” ujarnya, ringan. “Bagai… bagaimana kamu tahu?” Hilda bertanya, takut-takut berani.Ujung sudut bibir Emily terangkat. Merasa lucu dengan pertanyaan Hilda yang menurutnya sanga
Adam Knight terus berlari tanpa menoleh ke belakang meskipun telinganya bisa mendengar suara Hilda yang melarangnya pergi.‘Maafkan aku, Hilda. Aku terpaksa meninggalkanmu demi menyelamatkan Nona Hudson. Aku tidak peduli jika Papa ingin menyerahkan seluruh hartanya kepada anak haram itu tetapi aku tidak rela melihat Mama terluka. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu, Mama akan dipukul sehingga mati.’ Sebaik saja tiba di tepi tebing, Adam terpaku ketika melihat mobil mewah Nona Hudson dalam posisi terbalik di dalam jurang. Tangannya segera merogoh saku jas, mencari ponsel untuk menelepon pengawal pribadinya, Robert.“Sial! Ponselku ketinggalan di mobil bahkan ponsel cadangan juga ada di tangan Emily.” Pria itu mendesah sebal.Dia dalam dilema sekarang. Jika turun ke jurang sendirian, itu namanya sengaja mencari mati. Namun, kalau dia terus berdiam di sini tanpa berbuat apa-apa, nyawa Nona Hudson bisa terancam.Adam mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada rasa hampa
Lucas mengerling ke arah jam yang berdiri teguh di atas nakas. “Sudah jam 2 pagi tapi aku masih tak bisa memejamkan mata.”Irisnya merenung plafon dengan tatapan kosong. Hati langsung merusuh saat si otak memainkan ingatan yang terjadi sewaktu pertemuannya dengan Olivia. Wajah marah bercampur kecewa sang mantan terbayang dalam pandangannya.“Maafkan aku, Via. Tapi aku tidak boleh menikahimu. Hatiku tidak bisa memilih kamu karena…,” Tak ingin menyudahi kalimat, Lucas lantas meraup mukanya.Andai saja dia mempunyai kekuatan untuk jujur pada Olivia tentang hal yang sesungguhnya, pasti… Ah, sudahlah. Lagian, semuanya telah berakhir. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah terjadi.Ponsel pintar Lucas berdering, memusnahkan lamunan yang bermain di kepala. Pria itu mendengkus sebal, merasa terganggu. Segera jarinya menggeser skrin ponsel kala melihat nama sang manajer sekaligus sepupunya, Edward Sullivan.“Ada apa, Ed? Kalau kau ingin mengajakku ke klub, maaf aku tidak mau,” ujar Lucas
“Hah, cinta?! Kau pikir dengan cinta, perutmu bisa kenyang, rasa hausmu bisa hilang?” sindir Tuan Ingomar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan yang sama sekali tidak coba ia tutupi.“Aku–” Lucas tak berhasil membela diri sendiri, kalimatnya tergantung tak terselesaikan. Sambil menepuk dada, Tuan Ingomar memangkas perkataan Lucas dengan berujar lantang, “dengarkan kata pria tua ini, cucuku. Sudah banyak garam kesusahan hidup yang telah aku telan sebelum kau lahir ke dunia ini.” Ia memelototi Lucas. Tajam yang bisa menebas nyali siapa pun.“Kalau kau mau hidup tenang dan bahagia, kau harus punya uang! Punya harta tak habis dimakan tujuh turunan. Lihat ibumu. Dia bahkan sanggup menusuk belakang sahabat baiknya demi mendapatkan ayahmu. Dulunya dia tinggal di gubuk reyot tetapi setelah menikah dengan ayahmu, dia menjadi nyonya kedua di Sullivan Manor.”Sengaja pria berusia 85 tahun itu membakar jiwa anak dan cucunya. Seringai puas terpahat di wajah Tuan Ingomar setelah ia melampiaskan amarah
“Ermm… Saya mendengar Tuan Marcus ingin bertemu Tuan Xavier di Rumah Sakit Royal Knight.”‘Pasti Olivia dan Adam dirawat di rumah sakit itu. Bagus! Rencana terakhirku pasti berhasil.’Emily bersorak senang di dalam hati.“Bagaimana dengan wanita jalang itu? Apa dia ikut bersama Papa?” selidiknya lagi.“Tidak, Nona. Barbara sedang tidur di kamarnya,” balas si pelayan, cepat.Di mansion keluarga Grant, semua pelayan memanggil Barbara dengan sebutan nama bukan Nyonya Barbara atas perintah mendiang orang tua Marcus Grant untuk menghormati kedudukan Nyonya Serena sebagai istri sah.“Bagus! Aku ada tugas penting buat kamu. Beri tahu semua pelayan untuk mengunci pintu kamar mereka. Tidak boleh keluar walau apa pun yang terjadi. Siapa yang ingkar, akan dicambuk sehingga mati. Mengerti?” Emily mengeluarkan perintah dengan ekspresi kejam tergambar di wajah cantiknya.“Saya mengerti, Nona.” Sang pelayan tak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia lantas melebarkan langkah menuju kamar pekerja
Barbara terkesiap. Benarkah apa yang dikatakan Emily barusan? Di mata Tuan Besar Grant, aku hanyalah boneka seks? “Ah iya, aku membunuh putrimu karena dia merebut calon suamiku, Adam Abraham Knight. Pelacur sialan itu menggoda Adam dengan melebarkan pahanya sama seperti kamu menggoda ayahku,” balasnya, dingin. “Tetap saja, mengambil nyawa orang lain adalah dosa besar! Kamu pasti akan dihukum Tuhan!” tengking Barbara, geram dengan kalimat Emily yang merendahkan putrinya. ‘Dihukum Tuhan? Yang benar saja.’ Rahang Emily mengetat. Urat di lehernya terlihat jelas. “Omong kosong! Kamu pikir Tuhan akan mendengar dan memperkenankan doa wanita kotor sepertimu? Hei, Barbara! Apa yang terjadi pada putrimu adalah sebuah karma. Kamu juga telah menyiksa jiwa aku dan ibuku selama 12 tahun, dan sekarang kamu meminta agar Tuhan memberikan hukuman padaku? Sungguh, kamu benar-benar bermuka tebal!” ejek Emily, sombong. Barbara menangis tersedu-sedu. “Berhenti menangis, sialan!” Jerkah Emily, berang.
“Ah, pujian anda tidak pantas untuk saya terima. Malah saya yang berutang budi pada keluarga Knight karena sudi memberi beasiswa kepada adik laki-laki saya,” balas sang dokter, merendah diri. “Ah, iya. Jika ada informasi baru, akan saya kabarkan secepat mungkin,” imbuhnya lagi. Usai bicara, segaris senyum licik mengapung di bibirnya. ‘Sepertinya, kau harus mengucapkan selamat tinggal kepada kariermu sebagai aktor, Lucas Sullivan.’ Sang dokter membatin puas. Sementara itu, di kamar rawat inap VVIP. ‘Aduh, kapan Bos mau pulang? Tuhan, kelopak mataku semakin berat.’ Zen berkali-kali mengangakan mulut dengan mengeluarkan napas berat karena terlalu mengantuk. Namun, dia tidak bisa merebahkan kepala apalagi memejamkan mata karena ada sang majikan di sini. Aktor tampan berhidung mancung dan beralis indah itu sedang duduk bersandar di kursi kulit sambil memejamkan mata. ‘Pasti Bos lagi memikirkan Nona Olivia,’ tebak Zen, asal-asalan. Ponsel Lucas bergetar tetiba, berhasil menarik p
Edward mendelik. Apa dia tidak salah dengar? Pria tampan seperti Zen merasa kasihan pada wanita kotor itu? Tidak bisa dibiarkan! “Apa katamu? Kasihan? Kau pasti tidak pernah mendengar kisah silam ibu-anak yang dipenuhi rahasia gelap itu, bukan? Sini, biar aku ceritakan padamu.” Edward menepuk lembut pundak Zen; tampak bersemangat untuk memulakan cerita. “Barbara bukanlah wanita baik. Dia pernah menjadi kupu-kupu penjaja kenikmatan, bergelimang dalam kubangan dosa malam dengan puluhan pria hidung belang. Dia–” “Cukup, Bos.” Zen menggeleng meski dia sadar tindakannya itu bisa menyinggung Edward namun ia menolak tegas untuk mendengar semua cerita buruk tentang selir kesayangan Tuan Besar Grant. Lagian, untuk apa coba mendengar aib orang yang sudah meninggal dunia? Tidak ada manfaat! “Memalukan.” Lucas bergumam seraya melontarkan tatapan sinis kepada Edward yang suka sekali mengumbar masa lalu orang lain. Tak ingin ikut campur, dia segera menggeser layar ponsel lalu mengirim
“Xavier!” seru Tuan Marcus dengan suara yang sarat keputusasaan. Dengan terpaksa dia menyeret langkah kecil nan berat mendekati pasangan Knight. Bola mata Tuan Xavier Knight memindai wajah sedih Tuan Marcus Grant. Sementara itu, Alora menutup mulut dengan tangan sembari matanya terbelalak melihat kedua tangan pria gundul itu berlumur darah. “Mana putrimu? Bukankah aku telah menyuruhmu menyeret Emily kemari?” tanya Tuan Besar Knight, ketus. Alora mendekati suaminya lalu berbisik cepat, “Xavier, lihat tangannya.” Rasa marah berganti cemas secepat kilat. Tuan Xavier segera mendekati sahabatnya. “Bagaimana bisa tanganmu berdarah? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku!” Kedua tangannya menggenggam erat lengan sahabatnya. Perlahan, netra basah Tuan Marcus menumbuk wajah khawatir Tuan Xavier. “Putriku… Dia… sudah… ma… mati.” Usai bicara, seluruh tulangnya terasa lemah lalu tubuhnya memerosot menyentuh lantai dingin rumah sakit. “Xavier, dia pingsan! Ya Tuhan, apa yang harus kita
“Kau pasti sedang tidur di dalam peti mati saat ‘Lucas’ bertengkar dengan kakeknya.” Peter menyindir seraya melengos. “Langsung saja ke inti, apa sebenarnya yang telah terjadi?” Meski wajah Lucas tampak tenang, sorot matanya berubah sedingin kutub syamali. Peter mendesah sebal kala melihat binar menusuk dari mata sang alter ego Lucas yakni Lucky Luke. Ia tahu benar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain berkata jujur. Bagi Lucky Luke, hukuman yang pantas buat sang penipu adalah kematian. “Olivia kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit milik keluarga Knight. Dia masih hidup tapi…” “Tapi apa?” potong Lucas. Suaranya naik satu oktaf. Serentak, jantungnya berdenyut kencang. “Kedua kakinya lumpuh,” balas Peter, enteng. Dia telah menerima pesan khusus dari Carlos ketika membawa Fiona kepada Lucas. Ketenangan Lucas langsung buyar berganti amarah yang bergelegak. Lidahnya cepat mengeluarkan umpatan, “sialan!” Sontak satu tendangan singgah di bokong berotot Peter menyebabkan
‘Firasatku benar. Aaron sengaja mengincarku,’ batin Lucas sambil mengangguk puas. Aaron Xavier Knight, satu-satunya anggota keluarga Knight yang sangat suka mengusik hidup Lucas. Jika ditanya apa alasannya? Jawabannya hanya satu, cinta tulus Aaron pernah ditolak mentah-mentah oleh Olivia Hudson. Konyol, bukan? “Sebentar. Aku masih ada satu pertanyaan untukmu.” Lucas berdiri. Sigaret yang ada di antara dua jarinya dibuang. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dengarkan baik-baik, Fiona,” tutur Lucas, dingin. Fiona mengangguk-angguk cemas dengan napas tertahan. “Aktris terkenal berinisial O –yang pernah membintangi film Wanita Yang Membenci Mentari– terluka parah setelah mobil mewahnya jatuh ke jurang dalam posisi terbalik. Seorang saksi berkata, Olivia sempat bertemu aktor tampan berinisial L di sebuah kafe sebelum kecelakaan itu terjadi.” Lucas mengalihkan tatapan dari layar ponsel lalu menikam iris biru Fiona yang tampak mengembun. “Kau sengaja menulis judul film yan
Edward mendelik. Apa dia tidak salah dengar? Pria tampan seperti Zen merasa kasihan pada wanita kotor itu? Tidak bisa dibiarkan! “Apa katamu? Kasihan? Kau pasti tidak pernah mendengar kisah silam ibu-anak yang dipenuhi rahasia gelap itu, bukan? Sini, biar aku ceritakan padamu.” Edward menepuk lembut pundak Zen; tampak bersemangat untuk memulakan cerita. “Barbara bukanlah wanita baik. Dia pernah menjadi kupu-kupu penjaja kenikmatan, bergelimang dalam kubangan dosa malam dengan puluhan pria hidung belang. Dia–” “Cukup, Bos.” Zen menggeleng meski dia sadar tindakannya itu bisa menyinggung Edward namun ia menolak tegas untuk mendengar semua cerita buruk tentang selir kesayangan Tuan Besar Grant. Lagian, untuk apa coba mendengar aib orang yang sudah meninggal dunia? Tidak ada manfaat! “Memalukan.” Lucas bergumam seraya melontarkan tatapan sinis kepada Edward yang suka sekali mengumbar masa lalu orang lain. Tak ingin ikut campur, dia segera menggeser layar ponsel lalu mengirim
“Ah, pujian anda tidak pantas untuk saya terima. Malah saya yang berutang budi pada keluarga Knight karena sudi memberi beasiswa kepada adik laki-laki saya,” balas sang dokter, merendah diri. “Ah, iya. Jika ada informasi baru, akan saya kabarkan secepat mungkin,” imbuhnya lagi. Usai bicara, segaris senyum licik mengapung di bibirnya. ‘Sepertinya, kau harus mengucapkan selamat tinggal kepada kariermu sebagai aktor, Lucas Sullivan.’ Sang dokter membatin puas. Sementara itu, di kamar rawat inap VVIP. ‘Aduh, kapan Bos mau pulang? Tuhan, kelopak mataku semakin berat.’ Zen berkali-kali mengangakan mulut dengan mengeluarkan napas berat karena terlalu mengantuk. Namun, dia tidak bisa merebahkan kepala apalagi memejamkan mata karena ada sang majikan di sini. Aktor tampan berhidung mancung dan beralis indah itu sedang duduk bersandar di kursi kulit sambil memejamkan mata. ‘Pasti Bos lagi memikirkan Nona Olivia,’ tebak Zen, asal-asalan. Ponsel Lucas bergetar tetiba, berhasil menarik p
Barbara terkesiap. Benarkah apa yang dikatakan Emily barusan? Di mata Tuan Besar Grant, aku hanyalah boneka seks? “Ah iya, aku membunuh putrimu karena dia merebut calon suamiku, Adam Abraham Knight. Pelacur sialan itu menggoda Adam dengan melebarkan pahanya sama seperti kamu menggoda ayahku,” balasnya, dingin. “Tetap saja, mengambil nyawa orang lain adalah dosa besar! Kamu pasti akan dihukum Tuhan!” tengking Barbara, geram dengan kalimat Emily yang merendahkan putrinya. ‘Dihukum Tuhan? Yang benar saja.’ Rahang Emily mengetat. Urat di lehernya terlihat jelas. “Omong kosong! Kamu pikir Tuhan akan mendengar dan memperkenankan doa wanita kotor sepertimu? Hei, Barbara! Apa yang terjadi pada putrimu adalah sebuah karma. Kamu juga telah menyiksa jiwa aku dan ibuku selama 12 tahun, dan sekarang kamu meminta agar Tuhan memberikan hukuman padaku? Sungguh, kamu benar-benar bermuka tebal!” ejek Emily, sombong. Barbara menangis tersedu-sedu. “Berhenti menangis, sialan!” Jerkah Emily, berang.
“Ermm… Saya mendengar Tuan Marcus ingin bertemu Tuan Xavier di Rumah Sakit Royal Knight.”‘Pasti Olivia dan Adam dirawat di rumah sakit itu. Bagus! Rencana terakhirku pasti berhasil.’Emily bersorak senang di dalam hati.“Bagaimana dengan wanita jalang itu? Apa dia ikut bersama Papa?” selidiknya lagi.“Tidak, Nona. Barbara sedang tidur di kamarnya,” balas si pelayan, cepat.Di mansion keluarga Grant, semua pelayan memanggil Barbara dengan sebutan nama bukan Nyonya Barbara atas perintah mendiang orang tua Marcus Grant untuk menghormati kedudukan Nyonya Serena sebagai istri sah.“Bagus! Aku ada tugas penting buat kamu. Beri tahu semua pelayan untuk mengunci pintu kamar mereka. Tidak boleh keluar walau apa pun yang terjadi. Siapa yang ingkar, akan dicambuk sehingga mati. Mengerti?” Emily mengeluarkan perintah dengan ekspresi kejam tergambar di wajah cantiknya.“Saya mengerti, Nona.” Sang pelayan tak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia lantas melebarkan langkah menuju kamar pekerja
“Hah, cinta?! Kau pikir dengan cinta, perutmu bisa kenyang, rasa hausmu bisa hilang?” sindir Tuan Ingomar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan yang sama sekali tidak coba ia tutupi.“Aku–” Lucas tak berhasil membela diri sendiri, kalimatnya tergantung tak terselesaikan. Sambil menepuk dada, Tuan Ingomar memangkas perkataan Lucas dengan berujar lantang, “dengarkan kata pria tua ini, cucuku. Sudah banyak garam kesusahan hidup yang telah aku telan sebelum kau lahir ke dunia ini.” Ia memelototi Lucas. Tajam yang bisa menebas nyali siapa pun.“Kalau kau mau hidup tenang dan bahagia, kau harus punya uang! Punya harta tak habis dimakan tujuh turunan. Lihat ibumu. Dia bahkan sanggup menusuk belakang sahabat baiknya demi mendapatkan ayahmu. Dulunya dia tinggal di gubuk reyot tetapi setelah menikah dengan ayahmu, dia menjadi nyonya kedua di Sullivan Manor.”Sengaja pria berusia 85 tahun itu membakar jiwa anak dan cucunya. Seringai puas terpahat di wajah Tuan Ingomar setelah ia melampiaskan amarah
Lucas mengerling ke arah jam yang berdiri teguh di atas nakas. “Sudah jam 2 pagi tapi aku masih tak bisa memejamkan mata.”Irisnya merenung plafon dengan tatapan kosong. Hati langsung merusuh saat si otak memainkan ingatan yang terjadi sewaktu pertemuannya dengan Olivia. Wajah marah bercampur kecewa sang mantan terbayang dalam pandangannya.“Maafkan aku, Via. Tapi aku tidak boleh menikahimu. Hatiku tidak bisa memilih kamu karena…,” Tak ingin menyudahi kalimat, Lucas lantas meraup mukanya.Andai saja dia mempunyai kekuatan untuk jujur pada Olivia tentang hal yang sesungguhnya, pasti… Ah, sudahlah. Lagian, semuanya telah berakhir. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah terjadi.Ponsel pintar Lucas berdering, memusnahkan lamunan yang bermain di kepala. Pria itu mendengkus sebal, merasa terganggu. Segera jarinya menggeser skrin ponsel kala melihat nama sang manajer sekaligus sepupunya, Edward Sullivan.“Ada apa, Ed? Kalau kau ingin mengajakku ke klub, maaf aku tidak mau,” ujar Lucas