“Bagaimana aku tahu? Ayolah, gunakan otakmu. Ingat masa lalumu baik-baik,” desis Olivia, sinis.
Senang sekali rasanya bisa mengusik jiwa Emily. Sekejap mata, Olivia mengerang kesakitan ketika Emily mendadak mencengkeram lehernya. Terasa nyata betapa tajamnya kuku wanita berotak rusak ini di kulit mulusnya. “Kau ingin mempermainkan aku, Olive? Asal kau tahu, wanita gila sepertiku tak mengenal arti sabar. Katakan sejujurnya atau kau mati di sini!” Netra Emily berubah tajam dan dia semakin mengetatkan cengkaman di leher Olivia. ‘Sial! Wanita gila ini benar-benar ingin membunuhku.’ Dengan tangan dan kaki terikat, Olivia tak bisa mempertahankan diri. Urat lehernya menegang. Mukanya memerah kala berusaha menarik napas. Namun semuanya terasa sukar. Tak lama, dadanya seperti terbakar gara-gara kekurangan oksigen. Bibirnya perlahan bertukar warna kebiru-biruan. “Kau cantik sekali. Andai saja kau bisa melihat wajahmu yang sedang sekarat, Olive.” Emily memuji dengan nada sarkastis. Segaris senyum penuh kegilaan dan kebencian menghiasi mukanya. ‘Dasar wanita sakit jiwa! Psikopat! Tunggu saja, Emily. Meski aku mati, aku akan datang kembali untuk membunuhmu.’ Olivia berseru marah di dalam hati. Melihat kondisi Olivia yang hampir mengucap salam kepada malaikat maut, Fred segera menarik kasar tangan sang majikan hingga genggamannya terlepas. “Hentikan, nona!” Tubuh Emily ditolak keras, menjauh dari Olivia. Saking kerasnya dorongan Fred, lutut Emily sampai terluka dan berdarah. “Dasar bajingan. Beraninya kau menyakiti tuan yang telah memberimu makan!” bentak Emily, tak percaya. Mata bulatnya menusuk pupil Fred seakan-akan mau menguliti pria itu. “Maafkan saya, nona. Saya terpaksa menghentikan Anda. Ini sudah keterlaluan. Jika sampai Nona Olivia mati di tangan Anda, keluarga Hudson pasti akan menuntut bela,” terang Fred, bersungguh-sungguh. Di sisi lain, Olivia terbatuk-batuk. Ujung matanya berair saat berusaha menghirup udara sebanyak yang dia mampu. Telinganya sama sekali tidak mendengarkan butir bicara Emily dan Fred. Dia cuma memedulikan paru-parunya yang membutuhkan oksigen untuk terus hidup. Emily bangkit berdiri setelah mengeluarkan belati dari tasnya. Dia mengayunkan langkah menghampiri Fred. Dahinya sempat berkerut ketika rasa sakit di pinggul menjalar hingga ke tulang punggung. Namun, sedaya upaya dia menekan rasa itu agar tidak terlihat nyata di wajahnya. Tegak bertumpu pada kaki, Emily berkata, “ah, aku mengerti sekarang. Kau lebih mengutamakan perasaan keluarga Hudson dibandingkan aku.” Rahang Fred mengetat. Kenapa sukar sekali untuk membuat wanita ini mengerti? “Saya hanya tidak mau keluarga Grant binasa di tangan penguasa barbar Hudson,” balas Fred, tegas. Kali ini, tidak ada kegugupan apalagi ketakutan bersarang dalam jiwa. “Benarkah? Entah mengapa aku masih mencium aroma dusta dalam bicaramu.” Emily tersenyum pahit. “Taat setia saya cuma untuk keluarga Grant. Saya yakin anda sangat tahu akan hal itu.” Emily mengangguk kecil, berpuas hati dengan jawaban Fred. “Baiklah. Aku percaya.” Sesaat kemudian, tatapan matanya berubah galak. “Namun, aku menginginkan bukti.” Olivia menelan air liurnya. Rasa cemas memalu jantung. ‘Sial, jangan-jangan dia masih mengincar nyawaku.’ “Bukti apa yang anda mau, Nona Emily?” tanya Fred, tak gentar. Emily mengulurkan belati kepada sang bodyguard. “Pilih antara dua. Habisi Olive atau khianati aku?” Emily memberi pilihan terakhir. Tanpa suara, Fred mengambil belati tersebut lalu mendekati Olivia. Dia lantas memutuskan ikatan tali baik di tangan, kaki dan juga tubuh wanita itu. “Selamatkan diri anda, nona. Saya akan menahan Nona Emily di sini.” Dengan berbisik, Fred memberi perintah. Setelah memberikan persetujuan lewat anak mata, Olivia segera mengangkat kaki lalu berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Sempat telinganya menangkap jeritan berang yang terlontar dari mulut Emily. “Dasar pengkhianat! Matilah kau!” Kaki Olivia menuruni anak tangga menuju lantai satu. Dalam kekalutan yang menyiksa diri, dia mencapai kunci mobil di atas meja lalu berlari keluar dari vila. Setelah hidungnya mencium udara segar, barulah dia bisa membuang napas lega. Namun, takdir masih tidak puas mempermainkannya. Mesin mobilnya tidak bisa dihidupkan! Seketika terasa bangun bulu kuduk Olivia karena terlampau takut. “Ya Tuhan! Ujian apa lagi ini? Ayolah, jangan bikin hidupku sama seperti film horor. Aku tak mau mati di tangan si gila itu,” sungut Olivia, hampir putus asa. “Kau mau lari ke mana, jalang sialan?!” pekik Emily ketika berlari ke arah mobil Olivia sambil menggenggam belati berlumur darah di tangan kanannya. Deg! Jantung Olivia semakin kencang berdetak. “Ayolah, kau harus hidup agar aku bisa hidup.” Dia masih berusaha menghidupkan mesin mobilnya sambil memukul kemudi. Sewaktu jemari Emily menyentuh jendela mobil, Tuhan langsung mengabulkan permintaan Olivia. Mesin mobilnya hidup dan dia segera menginjak pedal gas lalu meninggalkan vila kepunyaan Nyonya Serena itu. “Argh, sial!” Emily menjerit sekuat hati bahkan dia turut membanting belati ke tanah untuk melampiaskan rasa kesal di dada. Segera wanita itu memasuki mobilnya. Dia menatap sejenak wajah pucat Darren lalu mengukir senyum jahat. “Jangan khawatir, Darren. Sebentar saja lagi, aku akan membawa Olive kepadamu. Jadi, kamu tidak akan kesepian di alam akhirat sana.” *** Lama Adam Knight merenung langit dari jendela mobil. Banyak perkara bermain dalam kepalanya hingga dia hanyut dalam kesunyian yang menyelimuti malam. “Kamu yakin mau bertemu Emily sekarang? Robert sendiri bilang dia sedang menggila, Adam.” Suara halus dan sentuhan jemari Hilda Montgomery sukses membuyarkan lamunan Adam Knight. Hilda menggigit bibir. Mukanya terlihat resah. Bagaimana, tidak? 30 menit yang lalu, Adam telah menerima panggilan telepon dari mata-matanya, Robert Lewis. Robert mengatakan bahwa Emily coba melukai Nona Hudson setelah mengetahui wanita itu membeli vila kesayangan Nyonya Serena. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Nona Hudson sekarang. Entah hidup, entah mati. “Terus, kamu mau melihat dia memenggal leher Nona Hudson?” kelakar Adam lalu dia tertawa kecil. ‘Ya, bagus juga kalau itu terjadi. Gara-gara dia, rencana honeymoon kita batal.’ Hilda membatin kejam. Namun, bicara batin dan lahirnya berbeda. “Bukan itu maksudku. Menurutku, lebih baik kita menyerahkan urusan ini pada pihak kepolisian,” sahutnya penuh kelembutan. Sejujurnya dia juga takut untuk menghadapi Emily yang masih berdendam padanya. Pasti wanita itu akan marah besar sampai kalap saat melihatnya datang ke vila milik keluarga Grant. ‘Bagaimana kalau Emily tega membunuhku?’ Hilda pantas menyentuh lehernya. ‘Tidak! dia tidak akan berani menyentuh walau satu inci pun kulitku karena ada Adam yang melindungiku.’ “Aku tidak mau mengecewakan Papa. Dia tidak suka masalah keluarga diketahui publik.” Adam mendesah pelan. Rasa letih setelah perjalanan panjang masih belum hilang, namun beban di pundaknya makin bertambah. “Masalah keluarga? Nona Hudson bahkan bukan anggota keluarga Knight,” ujar Hilda, ketus. Wajahnya menunjukkan kecemburuan. “Iya, kamu benar. Aku juga bingung bagaimana Papa bisa menganggap perempuan itu sebagai putrinya,” balas Adam seraya memejamkan kelopak mata. Hilda berdecih. “Mungkin dia perempuan yang bermulut manis, sebab itu papa lebih menyayanginya. Oh iya, apa kamu pernah bertemu dengan Nona Hudson?” Rasa ingin tahu Hilda meledak. “Seingatku, terakhir kali aku melihatnya… Yah, 20 tahun yang lalu.” Adam menjawab, acuh tak acuh. Lagian, hal itu bukanlah sesuatu yang penting baginya. Mata Hilda langsung terbelalak. “Serius? Kamu tidak bercanda kan?”‘Jadi Adam masih tidak tahu kalau Nona Hudson itu adalah Olivia Hudson, aktris populer di kota ini,’ batin Hilda menimpali. “Bercanda tidak ada dalam kamus hidupku. Satu hal yang harus kamu tahu, aku sama sekali tidak peduli padanya,” tekan Adam, terdengar sangat meyakinkan. Namun, Hilda masih belum puas. “Kalau tidak peduli, mengapa kamu repot-repot mau menyelamatkannya?” Nada suara Hilda dipenuhi rasa cemburu. Adam baru saja ingin membalas pertanyaan istrinya ketika bunyi klakson truk bergema. Tak lama kemudian, satu cahaya yang sangat terang muncul tepat di depan limosin mereka. *** Keringat merenik-renik di dahi Olivia meskipun dia sudah menurunkan semua jendela mobil. Entah mengapa angin malam yang seharusnya menyamankan tubuh berubah menjadi pawana yang membakar tiap inci kulitnya. Bunyi klakson bertalu-talu dari mobil Emily yang masih mengekor rapat di belakang mobilnya semakin mendera jiwa Olivia. “Ternyata wanita sinting ini masih belum menyerah selagi tidak berhasil
“Pergi! Jangan mendekat!” bentak Hilda. Riak gelisah tampak nyata di mukanya. Telapak tangan mulai berkeringat seiring dengan perubahan warna muka yang memucat.Emily cuma mengorak senyum bengis. Semakin dilarang, semakin tinggi keinginannya untuk menuntaskan dendam. Lagian sudah bertahun-tahun dia memendam rasa amarah terhadap perempuan miskin berhati iblis ini. Dulu sempat dia membenci Tuhan karena membiarkan dirinya dirundung Hilda namun hari ini, dia ingin menarik kembali perasaan itu.“Aku bilang pergi!” teriak Hilda lantang seraya melepaskan stileto lalu melempar sepatu hak tinggi itu kepada Emily. Malangnya, Emily sempat menghindar lalu dengan santai mengambil stileto berwarna merah tersebut.“Wah, ini stileto dari merek eksklusif. Hanya ada tiga di negara ini. Kalau tak salah, harganya 300 ribu dollar,” ujarnya, ringan. “Bagai… bagaimana kamu tahu?” Hilda bertanya, takut-takut berani.Ujung sudut bibir Emily terangkat. Merasa lucu dengan pertanyaan Hilda yang menurutnya sanga
Adam Knight terus berlari tanpa menoleh ke belakang meskipun telinganya bisa mendengar suara Hilda yang melarangnya pergi.‘Maafkan aku, Hilda. Aku terpaksa meninggalkanmu demi menyelamatkan Nona Hudson. Aku tidak peduli jika Papa ingin menyerahkan seluruh hartanya kepada anak haram itu tetapi aku tidak rela melihat Mama terluka. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu, Mama akan dipukul sehingga mati.’ Sebaik saja tiba di tepi tebing, Adam terpaku ketika melihat mobil mewah Nona Hudson dalam posisi terbalik di dalam jurang. Tangannya segera merogoh saku jas, mencari ponsel untuk menelepon pengawal pribadinya, Robert.“Sial! Ponselku ketinggalan di mobil bahkan ponsel cadangan juga ada di tangan Emily.” Pria itu mendesah sebal.Dia dalam dilema sekarang. Jika turun ke jurang sendirian, itu namanya sengaja mencari mati. Namun, kalau dia terus berdiam di sini tanpa berbuat apa-apa, nyawa Nona Hudson bisa terancam.Adam mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada rasa hampa
Lucas mengerling ke arah jam yang berdiri teguh di atas nakas. “Sudah jam 2 pagi tapi aku masih tak bisa memejamkan mata.”Irisnya merenung plafon dengan tatapan kosong. Hati langsung merusuh saat si otak memainkan ingatan yang terjadi sewaktu pertemuannya dengan Olivia. Wajah marah bercampur kecewa sang mantan terbayang dalam pandangannya.“Maafkan aku, Via. Tapi aku tidak boleh menikahimu. Hatiku tidak bisa memilih kamu karena…,” Tak ingin menyudahi kalimat, Lucas lantas meraup mukanya.Andai saja dia mempunyai kekuatan untuk jujur pada Olivia tentang hal yang sesungguhnya, pasti… Ah, sudahlah. Lagian, semuanya telah berakhir. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah terjadi.Ponsel pintar Lucas berdering, memusnahkan lamunan yang bermain di kepala. Pria itu mendengkus sebal, merasa terganggu. Segera jarinya menggeser skrin ponsel kala melihat nama sang manajer sekaligus sepupunya, Edward Sullivan.“Ada apa, Ed? Kalau kau ingin mengajakku ke klub, maaf aku tidak mau,” ujar Lucas
“Hah, cinta?! Kau pikir dengan cinta, perutmu bisa kenyang, rasa hausmu bisa hilang?” sindir Tuan Ingomar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan yang sama sekali tidak coba ia tutupi.“Aku–” Lucas tak berhasil membela diri sendiri, kalimatnya tergantung tak terselesaikan. Sambil menepuk dada, Tuan Ingomar memangkas perkataan Lucas dengan berujar lantang, “dengarkan kata pria tua ini, cucuku. Sudah banyak garam kesusahan hidup yang telah aku telan sebelum kau lahir ke dunia ini.” Ia memelototi Lucas. Tajam yang bisa menebas nyali siapa pun.“Kalau kau mau hidup tenang dan bahagia, kau harus punya uang! Punya harta tak habis dimakan tujuh turunan. Lihat ibumu. Dia bahkan sanggup menusuk belakang sahabat baiknya demi mendapatkan ayahmu. Dulunya dia tinggal di gubuk reyot tetapi setelah menikah dengan ayahmu, dia menjadi nyonya kedua di Sullivan Manor.”Sengaja pria berusia 85 tahun itu membakar jiwa anak dan cucunya. Seringai puas terpahat di wajah Tuan Ingomar setelah ia melampiaskan amarah
“Ermm… Saya mendengar Tuan Marcus ingin bertemu Tuan Xavier di Rumah Sakit Royal Knight.”‘Pasti Olivia dan Adam dirawat di rumah sakit itu. Bagus! Rencana terakhirku pasti berhasil.’Emily bersorak senang di dalam hati.“Bagaimana dengan wanita jalang itu? Apa dia ikut bersama Papa?” selidiknya lagi.“Tidak, Nona. Barbara sedang tidur di kamarnya,” balas si pelayan, cepat.Di mansion keluarga Grant, semua pelayan memanggil Barbara dengan sebutan nama bukan Nyonya Barbara atas perintah mendiang orang tua Marcus Grant untuk menghormati kedudukan Nyonya Serena sebagai istri sah.“Bagus! Aku ada tugas penting buat kamu. Beri tahu semua pelayan untuk mengunci pintu kamar mereka. Tidak boleh keluar walau apa pun yang terjadi. Siapa yang ingkar, akan dicambuk sehingga mati. Mengerti?” Emily mengeluarkan perintah dengan ekspresi kejam tergambar di wajah cantiknya.“Saya mengerti, Nona.” Sang pelayan tak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia lantas melebarkan langkah menuju kamar pekerja
Barbara terkesiap. Benarkah apa yang dikatakan Emily barusan? Di mata Tuan Besar Grant, aku hanyalah boneka seks? “Ah iya, aku membunuh putrimu karena dia merebut calon suamiku, Adam Abraham Knight. Pelacur sialan itu menggoda Adam dengan melebarkan pahanya sama seperti kamu menggoda ayahku,” balasnya, dingin. “Tetap saja, mengambil nyawa orang lain adalah dosa besar! Kamu pasti akan dihukum Tuhan!” tengking Barbara, geram dengan kalimat Emily yang merendahkan putrinya. ‘Dihukum Tuhan? Yang benar saja.’ Rahang Emily mengetat. Urat di lehernya terlihat jelas. “Omong kosong! Kamu pikir Tuhan akan mendengar dan memperkenankan doa wanita kotor sepertimu? Hei, Barbara! Apa yang terjadi pada putrimu adalah sebuah karma. Kamu juga telah menyiksa jiwa aku dan ibuku selama 12 tahun, dan sekarang kamu meminta agar Tuhan memberikan hukuman padaku? Sungguh, kamu benar-benar bermuka tebal!” ejek Emily, sombong. Barbara menangis tersedu-sedu. “Berhenti menangis, sialan!” Jerkah Emily, berang.
“Ah, pujian anda tidak pantas untuk saya terima. Malah saya yang berutang budi pada keluarga Knight karena sudi memberi beasiswa kepada adik laki-laki saya,” balas sang dokter, merendah diri. “Ah, iya. Jika ada informasi baru, akan saya kabarkan secepat mungkin,” imbuhnya lagi. Usai bicara, segaris senyum licik mengapung di bibirnya. ‘Sepertinya, kau harus mengucapkan selamat tinggal kepada kariermu sebagai aktor, Lucas Sullivan.’ Sang dokter membatin puas. Sementara itu, di kamar rawat inap VVIP. ‘Aduh, kapan Bos mau pulang? Tuhan, kelopak mataku semakin berat.’ Zen berkali-kali mengangakan mulut dengan mengeluarkan napas berat karena terlalu mengantuk. Namun, dia tidak bisa merebahkan kepala apalagi memejamkan mata karena ada sang majikan di sini. Aktor tampan berhidung mancung dan beralis indah itu sedang duduk bersandar di kursi kulit sambil memejamkan mata. ‘Pasti Bos lagi memikirkan Nona Olivia,’ tebak Zen, asal-asalan. Ponsel Lucas bergetar tetiba, berhasil menarik p
“Xavier!” seru Tuan Marcus dengan suara yang sarat keputusasaan. Dengan terpaksa dia menyeret langkah kecil nan berat mendekati pasangan Knight. Bola mata Tuan Xavier Knight memindai wajah sedih Tuan Marcus Grant. Sementara itu, Alora menutup mulut dengan tangan sembari matanya terbelalak melihat kedua tangan pria gundul itu berlumur darah. “Mana putrimu? Bukankah aku telah menyuruhmu menyeret Emily kemari?” tanya Tuan Besar Knight, ketus. Alora mendekati suaminya lalu berbisik cepat, “Xavier, lihat tangannya.” Rasa marah berganti cemas secepat kilat. Tuan Xavier segera mendekati sahabatnya. “Bagaimana bisa tanganmu berdarah? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku!” Kedua tangannya menggenggam erat lengan sahabatnya. Perlahan, netra basah Tuan Marcus menumbuk wajah khawatir Tuan Xavier. “Putriku… Dia… sudah… ma… mati.” Usai bicara, seluruh tulangnya terasa lemah lalu tubuhnya memerosot menyentuh lantai dingin rumah sakit. “Xavier, dia pingsan! Ya Tuhan, apa yang harus kita
“Kau pasti sedang tidur di dalam peti mati saat ‘Lucas’ bertengkar dengan kakeknya.” Peter menyindir seraya melengos. “Langsung saja ke inti, apa sebenarnya yang telah terjadi?” Meski wajah Lucas tampak tenang, sorot matanya berubah sedingin kutub syamali. Peter mendesah sebal kala melihat binar menusuk dari mata sang alter ego Lucas yakni Lucky Luke. Ia tahu benar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain berkata jujur. Bagi Lucky Luke, hukuman yang pantas buat sang penipu adalah kematian. “Olivia kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit milik keluarga Knight. Dia masih hidup tapi…” “Tapi apa?” potong Lucas. Suaranya naik satu oktaf. Serentak, jantungnya berdenyut kencang. “Kedua kakinya lumpuh,” balas Peter, enteng. Dia telah menerima pesan khusus dari Carlos ketika membawa Fiona kepada Lucas. Ketenangan Lucas langsung buyar berganti amarah yang bergelegak. Lidahnya cepat mengeluarkan umpatan, “sialan!” Sontak satu tendangan singgah di bokong berotot Peter menyebabkan
‘Firasatku benar. Aaron sengaja mengincarku,’ batin Lucas sambil mengangguk puas. Aaron Xavier Knight, satu-satunya anggota keluarga Knight yang sangat suka mengusik hidup Lucas. Jika ditanya apa alasannya? Jawabannya hanya satu, cinta tulus Aaron pernah ditolak mentah-mentah oleh Olivia Hudson. Konyol, bukan? “Sebentar. Aku masih ada satu pertanyaan untukmu.” Lucas berdiri. Sigaret yang ada di antara dua jarinya dibuang. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dengarkan baik-baik, Fiona,” tutur Lucas, dingin. Fiona mengangguk-angguk cemas dengan napas tertahan. “Aktris terkenal berinisial O –yang pernah membintangi film Wanita Yang Membenci Mentari– terluka parah setelah mobil mewahnya jatuh ke jurang dalam posisi terbalik. Seorang saksi berkata, Olivia sempat bertemu aktor tampan berinisial L di sebuah kafe sebelum kecelakaan itu terjadi.” Lucas mengalihkan tatapan dari layar ponsel lalu menikam iris biru Fiona yang tampak mengembun. “Kau sengaja menulis judul film yan
Edward mendelik. Apa dia tidak salah dengar? Pria tampan seperti Zen merasa kasihan pada wanita kotor itu? Tidak bisa dibiarkan! “Apa katamu? Kasihan? Kau pasti tidak pernah mendengar kisah silam ibu-anak yang dipenuhi rahasia gelap itu, bukan? Sini, biar aku ceritakan padamu.” Edward menepuk lembut pundak Zen; tampak bersemangat untuk memulakan cerita. “Barbara bukanlah wanita baik. Dia pernah menjadi kupu-kupu penjaja kenikmatan, bergelimang dalam kubangan dosa malam dengan puluhan pria hidung belang. Dia–” “Cukup, Bos.” Zen menggeleng meski dia sadar tindakannya itu bisa menyinggung Edward namun ia menolak tegas untuk mendengar semua cerita buruk tentang selir kesayangan Tuan Besar Grant. Lagian, untuk apa coba mendengar aib orang yang sudah meninggal dunia? Tidak ada manfaat! “Memalukan.” Lucas bergumam seraya melontarkan tatapan sinis kepada Edward yang suka sekali mengumbar masa lalu orang lain. Tak ingin ikut campur, dia segera menggeser layar ponsel lalu mengirim
“Ah, pujian anda tidak pantas untuk saya terima. Malah saya yang berutang budi pada keluarga Knight karena sudi memberi beasiswa kepada adik laki-laki saya,” balas sang dokter, merendah diri. “Ah, iya. Jika ada informasi baru, akan saya kabarkan secepat mungkin,” imbuhnya lagi. Usai bicara, segaris senyum licik mengapung di bibirnya. ‘Sepertinya, kau harus mengucapkan selamat tinggal kepada kariermu sebagai aktor, Lucas Sullivan.’ Sang dokter membatin puas. Sementara itu, di kamar rawat inap VVIP. ‘Aduh, kapan Bos mau pulang? Tuhan, kelopak mataku semakin berat.’ Zen berkali-kali mengangakan mulut dengan mengeluarkan napas berat karena terlalu mengantuk. Namun, dia tidak bisa merebahkan kepala apalagi memejamkan mata karena ada sang majikan di sini. Aktor tampan berhidung mancung dan beralis indah itu sedang duduk bersandar di kursi kulit sambil memejamkan mata. ‘Pasti Bos lagi memikirkan Nona Olivia,’ tebak Zen, asal-asalan. Ponsel Lucas bergetar tetiba, berhasil menarik p
Barbara terkesiap. Benarkah apa yang dikatakan Emily barusan? Di mata Tuan Besar Grant, aku hanyalah boneka seks? “Ah iya, aku membunuh putrimu karena dia merebut calon suamiku, Adam Abraham Knight. Pelacur sialan itu menggoda Adam dengan melebarkan pahanya sama seperti kamu menggoda ayahku,” balasnya, dingin. “Tetap saja, mengambil nyawa orang lain adalah dosa besar! Kamu pasti akan dihukum Tuhan!” tengking Barbara, geram dengan kalimat Emily yang merendahkan putrinya. ‘Dihukum Tuhan? Yang benar saja.’ Rahang Emily mengetat. Urat di lehernya terlihat jelas. “Omong kosong! Kamu pikir Tuhan akan mendengar dan memperkenankan doa wanita kotor sepertimu? Hei, Barbara! Apa yang terjadi pada putrimu adalah sebuah karma. Kamu juga telah menyiksa jiwa aku dan ibuku selama 12 tahun, dan sekarang kamu meminta agar Tuhan memberikan hukuman padaku? Sungguh, kamu benar-benar bermuka tebal!” ejek Emily, sombong. Barbara menangis tersedu-sedu. “Berhenti menangis, sialan!” Jerkah Emily, berang.
“Ermm… Saya mendengar Tuan Marcus ingin bertemu Tuan Xavier di Rumah Sakit Royal Knight.”‘Pasti Olivia dan Adam dirawat di rumah sakit itu. Bagus! Rencana terakhirku pasti berhasil.’Emily bersorak senang di dalam hati.“Bagaimana dengan wanita jalang itu? Apa dia ikut bersama Papa?” selidiknya lagi.“Tidak, Nona. Barbara sedang tidur di kamarnya,” balas si pelayan, cepat.Di mansion keluarga Grant, semua pelayan memanggil Barbara dengan sebutan nama bukan Nyonya Barbara atas perintah mendiang orang tua Marcus Grant untuk menghormati kedudukan Nyonya Serena sebagai istri sah.“Bagus! Aku ada tugas penting buat kamu. Beri tahu semua pelayan untuk mengunci pintu kamar mereka. Tidak boleh keluar walau apa pun yang terjadi. Siapa yang ingkar, akan dicambuk sehingga mati. Mengerti?” Emily mengeluarkan perintah dengan ekspresi kejam tergambar di wajah cantiknya.“Saya mengerti, Nona.” Sang pelayan tak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia lantas melebarkan langkah menuju kamar pekerja
“Hah, cinta?! Kau pikir dengan cinta, perutmu bisa kenyang, rasa hausmu bisa hilang?” sindir Tuan Ingomar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan yang sama sekali tidak coba ia tutupi.“Aku–” Lucas tak berhasil membela diri sendiri, kalimatnya tergantung tak terselesaikan. Sambil menepuk dada, Tuan Ingomar memangkas perkataan Lucas dengan berujar lantang, “dengarkan kata pria tua ini, cucuku. Sudah banyak garam kesusahan hidup yang telah aku telan sebelum kau lahir ke dunia ini.” Ia memelototi Lucas. Tajam yang bisa menebas nyali siapa pun.“Kalau kau mau hidup tenang dan bahagia, kau harus punya uang! Punya harta tak habis dimakan tujuh turunan. Lihat ibumu. Dia bahkan sanggup menusuk belakang sahabat baiknya demi mendapatkan ayahmu. Dulunya dia tinggal di gubuk reyot tetapi setelah menikah dengan ayahmu, dia menjadi nyonya kedua di Sullivan Manor.”Sengaja pria berusia 85 tahun itu membakar jiwa anak dan cucunya. Seringai puas terpahat di wajah Tuan Ingomar setelah ia melampiaskan amarah
Lucas mengerling ke arah jam yang berdiri teguh di atas nakas. “Sudah jam 2 pagi tapi aku masih tak bisa memejamkan mata.”Irisnya merenung plafon dengan tatapan kosong. Hati langsung merusuh saat si otak memainkan ingatan yang terjadi sewaktu pertemuannya dengan Olivia. Wajah marah bercampur kecewa sang mantan terbayang dalam pandangannya.“Maafkan aku, Via. Tapi aku tidak boleh menikahimu. Hatiku tidak bisa memilih kamu karena…,” Tak ingin menyudahi kalimat, Lucas lantas meraup mukanya.Andai saja dia mempunyai kekuatan untuk jujur pada Olivia tentang hal yang sesungguhnya, pasti… Ah, sudahlah. Lagian, semuanya telah berakhir. Tidak ada gunanya menyesali hal yang telah terjadi.Ponsel pintar Lucas berdering, memusnahkan lamunan yang bermain di kepala. Pria itu mendengkus sebal, merasa terganggu. Segera jarinya menggeser skrin ponsel kala melihat nama sang manajer sekaligus sepupunya, Edward Sullivan.“Ada apa, Ed? Kalau kau ingin mengajakku ke klub, maaf aku tidak mau,” ujar Lucas