Hai hai hai pemirsaaa.. Ini bab baru buat kalian. Buat kalian yang baru tiba di lapak author, salam kenal ya. Tinggalkan jejak komentar kalian juga. Buat readers, makasih banyak karena menjadi kekuatan author untuk teruz menulis dan menghiburkan kalian lewat tulisan. ^^
“Kau pasti sedang tidur di dalam peti mati saat ‘Lucas’ bertengkar dengan kakeknya.” Peter menyindir seraya melengos. “Langsung saja ke inti, apa sebenarnya yang telah terjadi?” Meski wajah Lucas tampak tenang, sorot matanya berubah sedingin kutub syamali. Peter mendesah sebal kala melihat binar menusuk dari mata sang alter ego Lucas yakni Lucky Luke. Ia tahu benar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain berkata jujur. Bagi Lucky Luke, hukuman yang pantas buat sang penipu adalah kematian. “Olivia kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit milik keluarga Knight. Dia masih hidup tapi…” “Tapi apa?” potong Lucas. Suaranya naik satu oktaf. Serentak, jantungnya berdenyut kencang. “Kedua kakinya lumpuh,” balas Peter, enteng. Dia telah menerima pesan khusus dari Carlos ketika membawa Fiona kepada Lucas. Ketenangan Lucas langsung buyar berganti amarah yang bergelegak. Lidahnya cepat mengeluarkan umpatan, “sialan!” Sontak satu tendangan singgah di bokong berotot Peter menyebabkan
“Xavier!” seru Tuan Marcus dengan suara yang sarat keputusasaan. Dengan terpaksa dia menyeret langkah kecil nan berat mendekati pasangan Knight. Bola mata Tuan Xavier Knight memindai wajah sedih Tuan Marcus Grant. Sementara itu, Alora menutup mulut dengan tangan sembari matanya terbelalak melihat kedua tangan pria gundul itu berlumur darah. “Mana putrimu? Bukankah aku telah menyuruhmu menyeret Emily kemari?” tanya Tuan Besar Knight, ketus. Alora mendekati suaminya lalu berbisik cepat, “Xavier, lihat tangannya.” Rasa marah berganti cemas secepat kilat. Tuan Xavier segera mendekati sahabatnya. “Bagaimana bisa tanganmu berdarah? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku!” Kedua tangannya menggenggam erat lengan sahabatnya. Perlahan, netra basah Tuan Marcus menumbuk wajah khawatir Tuan Xavier. “Putriku… Dia… sudah… ma… mati.” Usai bicara, seluruh tulangnya terasa lemah lalu tubuhnya memerosot menyentuh lantai dingin rumah sakit. “Xavier, dia pingsan! Ya Tuhan, apa yang harus kita
Tuan Dennis Hudson melangkah pelan menuju kamar rawat inap VVIP yang ditempati putrinya. Sempat ia melemparkan senyum kepada ibu-ibu yang sedang menunggu lift. “Lihat! Tuan Hudson sudah datang.” Seorang perawat berbisik dengan antusias kepada temannya yang sedang mengisi data pesakit di komputer. “Hmmm.” Temannya hanya menyahut acuh tak acuh. “Kamu kenapa, June?” Dia merasa heran dengan reaksi temannya. Bukan ini yang dia harapkan. “Tidak apa-apa, Lina. Aku cuma pernah mendengar cerita dari beberapa senior kita bahwa Tuan Hudson itu sangat membenci wanita setelah kematian istrinya. Saking bencinya, dia hanya menerima laki-laki sebagai sekretaris pribadi,” ujar June. Lina melongo tak percaya. “Benarkah? Maksudmu, dia sudah menjadi pria yang suka beradu pedang?” Belum sempat June membalas, kepala perawat yang mendengar obrolan mereka segera memberi peringatan keras. “Jangan mudah percaya dengan omongan senior di sini. Berhentilah menggunjing dan lanjutkan kerja
“Jawab aku, apa kamu pernah memikirkan Adam? Puluhan tahun dia membesar dengan pertelingkahan kalian yang tidak pernah usai. Fisiknya memang baik-baik saja tapi aku yakin, jiwa dan mentalnya sakit saat melihat Xavier menyiksamu. Apa kamu tahu itu?” tanya Tuan Dennis, gusar. Lisa mengatup tirai mata. Wajah Adam sewaktu kecil memenuhi benaknya. Anak itu… Tidak pernah memperlihatkan kesedihan walau sedikit. Dia sering tersenyum senang saat coba membujuknya setelah Xavier selesai melampiaskan segenap amarah di tubuhnya. Lisa masih ingat dengan jelas. Tangan mungil itu menyeka air mata yang membasahi pipinya dengan penuh kasih sayang. ‘Mama, jangan menangis. Ada Adam di sini.’ Hati kecil Lisa terenyuh. Dia kembali membuka mata. “Aku tahu.” Suaranya lirih sekali. “Kamu tahu tapi sengaja mengabaikannya! Adam butuh ibu yang bahagia agar dia juga bisa bahagia, Lisa.” Tuan Dennis menggeram. Tinjunya terkepal erat. “Setiap kali aku mendengar Xavier mengurungmu di penjara bawah tana
Olivia berjalan perlahan-lahan di hamparan rumput yang luas. Sinar matahari pagi yang hangat menerangi setiap helai rumput berwarna hijau segar. Langit biru cerah tanpa awan membuat suasana menjadi begitu tenang nan damai. Angin bersilir-silir menyapa sekujur tubuh Olivia. Nyaman sekali. "Tempat apa ini?” Suara seraknya memecah kesunyian. Riak bingung terpahat di wajahnya. Olivia masih ingat dengan jelas. Dia dikejar Emily sebelum terlibat dalam kecelakaan. Kepalanya terbentur setir bahkan mobil mewahnya jatuh ke jurang. Segera dia menyentuh kepala dan memeriksa tangan dan kakinya. Bagaimana bisa tidak ada luka walau satu goresan pun? Ajaib! “Apa aku sudah mati atau aku sedang bermimpi?" gumamnya, tak mengerti. Mata Olivia liar memandang ke kiri kanan guna mencari sosok manusia dan hewan. Akan tetapi, tiada makhluk bernyawa yang ditangkap oleh netranya. Mengabaikan rasa takut, dia membiarkan kedua-dua tungkainya terus mengatur langkah. Sampai di puncak bukit kecil, dia me
Cafe Memories. Di tengah aroma kopi yang harum dan suasana yang tenang, seorang wanita berparas cantik membuka pintu kafe. Sejenak dia berdiri di muka pintu. Matanya berlari ke tiap sudut kafe kesukaan muda mudi itu untuk mencari seseorang. Sebaik saja netranya menangkap sosok sang pria, dia langsung menyusun langkah penuh keanggunan. “Hei, Lily! Coba kamu lihat ke ruang privat VIP sana. Wanita berkacamata hitam itu adalah Olivia Hudson, artis populer kesukaan kamu, kan?” Seorang gadis menepuk lengan temannya berulang kali dengan wajah tak percaya. Matanya membulat dan mulutnya menganga. Teman satu kuliahnya lantas menoleh ke arah wanita yang dimaksudkan. Kedua kening indahnya terangkat tinggi. “Kamu benar. Ya Tuhan! Mimpi apa aku semalam hingga bisa bertemu dengan aktris dan supermodel yang sangat terkenal di kota Dashville. Anna, ingatkan aku untuk meminta autograf dari Kak Olivia setelah urusannya selesai,” jawabnya dengan nada senang. “Sebentar, kenapa Kak Olivia duduk
“Ah, caramu berbicara cukup tajam seperti belati yang bisa membunuh nurani. Tapi mau bagaimana lagi, kamu adalah putri tunggal dari keluarga konglomerat terpandang. Sudah tentu kamu terbiasa bersikap dingin, ketus dan… menyebalkan,” cemooh Lucas seraya menyeringai. Otak Olivia sudah terlampau lelah untuk meladeni sindiran sang tunangan. Jujur saja, batinnya memang sedikit terguncang ditambah emosinya yang berantakan setelah mengetahui kenyataan pahit bahwa Lucas ingin membatalkan pernikahan mereka. “Iya, iya. Terima kasih atas pujianmu. Terserah kamu mau menganggap aku sebagai wanita jahat. Aku tidak peduli. Apa yang terpenting saat ini adalah alasan apa yang harus aku berikan pada keluarga kita?” balas Olivia, sengit. “Kalau hal itu… gampang-gampang susah.” Lucas menggigit bibir, ragu-ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya. “Maksudmu? Tak usah mengulur waktu.” Olivia menyahut, dongkol. Alis kirinya terangkat tinggi. Rasa kesal, sebal dan marah bercampur menjadi satu rasa ya
“Baiklah, aku setuju membatalkan pernikahan gila ini. Asal kamu tahu, kisah cinta kita tidak pernah berakhir karena tidak pernah ada permulaan." "Lagian, aku dan kamu hanya dijodohkan, bukannya saling cinta. Urusan nenek, itu urusanmu." "Apa pun alasan yang akan kamu berikan pada keluarga kita, aku sama sekali tidak peduli. Selamat tinggal. Aku berharap kita tidak akan berurusan lagi baik di dunia maupun di akhirat,” putus Olivia, tegas dan tidak berbelit-belit. Dengan cepat aktris kelas A itu bangun lalu meninggalkan Lucas yang masih duduk termangu seperti orang kehilangan akal. “Sial, bukan ini yang aku harapkan,” gumam Lucas, lemah. Dengan jiwa yang dibelenggu rasa putus asa, dia memejamkan mata lalu membuang napas berat. *** Olivia melangkah separuh berlari menuju ke area parkir sambil menahan tangis. ‘Tidak, Via. Jangan menangis. Di sini bukan tempatnya,’ bujuknya pada diri sendiri. Kacamata hitam segera dipakai demi melindungi netra yang mendadak sensitif dengan cahay
Olivia berjalan perlahan-lahan di hamparan rumput yang luas. Sinar matahari pagi yang hangat menerangi setiap helai rumput berwarna hijau segar. Langit biru cerah tanpa awan membuat suasana menjadi begitu tenang nan damai. Angin bersilir-silir menyapa sekujur tubuh Olivia. Nyaman sekali. "Tempat apa ini?” Suara seraknya memecah kesunyian. Riak bingung terpahat di wajahnya. Olivia masih ingat dengan jelas. Dia dikejar Emily sebelum terlibat dalam kecelakaan. Kepalanya terbentur setir bahkan mobil mewahnya jatuh ke jurang. Segera dia menyentuh kepala dan memeriksa tangan dan kakinya. Bagaimana bisa tidak ada luka walau satu goresan pun? Ajaib! “Apa aku sudah mati atau aku sedang bermimpi?" gumamnya, tak mengerti. Mata Olivia liar memandang ke kiri kanan guna mencari sosok manusia dan hewan. Akan tetapi, tiada makhluk bernyawa yang ditangkap oleh netranya. Mengabaikan rasa takut, dia membiarkan kedua-dua tungkainya terus mengatur langkah. Sampai di puncak bukit kecil, dia me
“Jawab aku, apa kamu pernah memikirkan Adam? Puluhan tahun dia membesar dengan pertelingkahan kalian yang tidak pernah usai. Fisiknya memang baik-baik saja tapi aku yakin, jiwa dan mentalnya sakit saat melihat Xavier menyiksamu. Apa kamu tahu itu?” tanya Tuan Dennis, gusar. Lisa mengatup tirai mata. Wajah Adam sewaktu kecil memenuhi benaknya. Anak itu… Tidak pernah memperlihatkan kesedihan walau sedikit. Dia sering tersenyum senang saat coba membujuknya setelah Xavier selesai melampiaskan segenap amarah di tubuhnya. Lisa masih ingat dengan jelas. Tangan mungil itu menyeka air mata yang membasahi pipinya dengan penuh kasih sayang. ‘Mama, jangan menangis. Ada Adam di sini.’ Hati kecil Lisa terenyuh. Dia kembali membuka mata. “Aku tahu.” Suaranya lirih sekali. “Kamu tahu tapi sengaja mengabaikannya! Adam butuh ibu yang bahagia agar dia juga bisa bahagia, Lisa.” Tuan Dennis menggeram. Tinjunya terkepal erat. “Setiap kali aku mendengar Xavier mengurungmu di penjara bawah tana
Tuan Dennis Hudson melangkah pelan menuju kamar rawat inap VVIP yang ditempati putrinya. Sempat ia melemparkan senyum kepada ibu-ibu yang sedang menunggu lift. “Lihat! Tuan Hudson sudah datang.” Seorang perawat berbisik dengan antusias kepada temannya yang sedang mengisi data pesakit di komputer. “Hmmm.” Temannya hanya menyahut acuh tak acuh. “Kamu kenapa, June?” Dia merasa heran dengan reaksi temannya. Bukan ini yang dia harapkan. “Tidak apa-apa, Lina. Aku cuma pernah mendengar cerita dari beberapa senior kita bahwa Tuan Hudson itu sangat membenci wanita setelah kematian istrinya. Saking bencinya, dia hanya menerima laki-laki sebagai sekretaris pribadi,” ujar June. Lina melongo tak percaya. “Benarkah? Maksudmu, dia sudah menjadi pria yang suka beradu pedang?” Belum sempat June membalas, kepala perawat yang mendengar obrolan mereka segera memberi peringatan keras. “Jangan mudah percaya dengan omongan senior di sini. Berhentilah menggunjing dan lanjutkan kerja
“Xavier!” seru Tuan Marcus dengan suara yang sarat keputusasaan. Dengan terpaksa dia menyeret langkah kecil nan berat mendekati pasangan Knight. Bola mata Tuan Xavier Knight memindai wajah sedih Tuan Marcus Grant. Sementara itu, Alora menutup mulut dengan tangan sembari matanya terbelalak melihat kedua tangan pria gundul itu berlumur darah. “Mana putrimu? Bukankah aku telah menyuruhmu menyeret Emily kemari?” tanya Tuan Besar Knight, ketus. Alora mendekati suaminya lalu berbisik cepat, “Xavier, lihat tangannya.” Rasa marah berganti cemas secepat kilat. Tuan Xavier segera mendekati sahabatnya. “Bagaimana bisa tanganmu berdarah? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku!” Kedua tangannya menggenggam erat lengan sahabatnya. Perlahan, netra basah Tuan Marcus menumbuk wajah khawatir Tuan Xavier. “Putriku… Dia… sudah… ma… mati.” Usai bicara, seluruh tulangnya terasa lemah lalu tubuhnya memerosot menyentuh lantai dingin rumah sakit. “Xavier, dia pingsan! Ya Tuhan, apa yang harus kita
“Kau pasti sedang tidur di dalam peti mati saat ‘Lucas’ bertengkar dengan kakeknya.” Peter menyindir seraya melengos. “Langsung saja ke inti, apa sebenarnya yang telah terjadi?” Meski wajah Lucas tampak tenang, sorot matanya berubah sedingin kutub syamali. Peter mendesah sebal kala melihat binar menusuk dari mata sang alter ego Lucas yakni Lucky Luke. Ia tahu benar bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain berkata jujur. Bagi Lucky Luke, hukuman yang pantas buat sang penipu adalah kematian. “Olivia kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit milik keluarga Knight. Dia masih hidup tapi…” “Tapi apa?” potong Lucas. Suaranya naik satu oktaf. Serentak, jantungnya berdenyut kencang. “Kedua kakinya lumpuh,” balas Peter, enteng. Dia telah menerima pesan khusus dari Carlos ketika membawa Fiona kepada Lucas. Ketenangan Lucas langsung buyar berganti amarah yang bergelegak. Lidahnya cepat mengeluarkan umpatan, “sialan!” Sontak satu tendangan singgah di bokong berotot Peter menyebabkan
‘Firasatku benar. Aaron sengaja mengincarku,’ batin Lucas sambil mengangguk puas. Aaron Xavier Knight, satu-satunya anggota keluarga Knight yang sangat suka mengusik hidup Lucas. Jika ditanya apa alasannya? Jawabannya hanya satu, cinta tulus Aaron pernah ditolak mentah-mentah oleh Olivia Hudson. Konyol, bukan? “Sebentar. Aku masih ada satu pertanyaan untukmu.” Lucas berdiri. Sigaret yang ada di antara dua jarinya dibuang. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Dengarkan baik-baik, Fiona,” tutur Lucas, dingin. Fiona mengangguk-angguk cemas dengan napas tertahan. “Aktris terkenal berinisial O –yang pernah membintangi film Wanita Yang Membenci Mentari– terluka parah setelah mobil mewahnya jatuh ke jurang dalam posisi terbalik. Seorang saksi berkata, Olivia sempat bertemu aktor tampan berinisial L di sebuah kafe sebelum kecelakaan itu terjadi.” Lucas mengalihkan tatapan dari layar ponsel lalu menikam iris biru Fiona yang tampak mengembun. “Kau sengaja menulis judul film yan
Edward mendelik. Apa dia tidak salah dengar? Pria tampan seperti Zen merasa kasihan pada wanita kotor itu? Tidak bisa dibiarkan! “Apa katamu? Kasihan? Kau pasti tidak pernah mendengar kisah silam ibu-anak yang dipenuhi rahasia gelap itu, bukan? Sini, biar aku ceritakan padamu.” Edward menepuk lembut pundak Zen; tampak bersemangat untuk memulakan cerita. “Barbara bukanlah wanita baik. Dia pernah menjadi kupu-kupu penjaja kenikmatan, bergelimang dalam kubangan dosa malam dengan puluhan pria hidung belang. Dia–” “Cukup, Bos.” Zen menggeleng meski dia sadar tindakannya itu bisa menyinggung Edward namun ia menolak tegas untuk mendengar semua cerita buruk tentang selir kesayangan Tuan Besar Grant. Lagian, untuk apa coba mendengar aib orang yang sudah meninggal dunia? Tidak ada manfaat! “Memalukan.” Lucas bergumam seraya melontarkan tatapan sinis kepada Edward yang suka sekali mengumbar masa lalu orang lain. Tak ingin ikut campur, dia segera menggeser layar ponsel lalu men
“Ah, pujian anda tidak pantas untuk saya terima. Malah saya yang berutang budi pada keluarga Knight karena sudi memberi beasiswa kepada adik laki-laki saya,” balas sang dokter, merendah diri. “Ah, iya. Jika ada informasi baru, akan saya kabarkan secepat mungkin,” imbuhnya lagi. Usai bicara, segaris senyum licik mengapung di bibirnya. ‘Sepertinya, kau harus mengucapkan selamat tinggal kepada kariermu sebagai aktor, Lucas Sullivan.’ Sang dokter membatin puas. Sementara itu, di kamar rawat inap VVIP. ‘Aduh, kapan Bos mau pulang? Tuhan, kelopak mataku semakin berat.’ Zen berkali-kali mengangakan mulut dengan mengeluarkan napas berat karena terlalu mengantuk. Namun, dia tidak bisa merebahkan kepala apalagi memejamkan mata karena ada sang majikan di sini. Aktor tampan berhidung mancung dan beralis indah itu sedang duduk bersandar di kursi kulit sambil memejamkan mata. ‘Pasti Bos lagi memikirkan Nona Olivia,’ tebak Zen, asal-asalan. Ponsel Lucas bergetar tetiba, berhas
Barbara terkesiap. Benarkah apa yang dikatakan Emily barusan? Di mata Tuan Besar Grant, aku hanyalah boneka seks? “Ah iya, aku membunuh putrimu karena dia merebut calon suamiku, Adam Abraham Knight. Pelacur sialan itu menggoda Adam dengan melebarkan pahanya sama seperti kamu menggoda ayahku,” balasnya, dingin. “Tetap saja, mengambil nyawa orang lain adalah dosa besar! Kamu pasti akan dihukum Tuhan!” tengking Barbara, geram dengan kalimat Emily yang merendahkan putrinya. ‘Dihukum Tuhan? Yang benar saja.’ Rahang Emily mengetat. Urat di lehernya terlihat jelas. “Omong kosong! Kamu pikir Tuhan akan mendengar dan memperkenankan doa wanita kotor sepertimu? Hei, Barbara! Apa yang terjadi pada putrimu adalah sebuah karma. Kamu juga telah menyiksa jiwa aku dan ibuku selama 12 tahun, dan sekarang kamu meminta agar Tuhan memberikan hukuman padaku? Sungguh, kamu benar-benar bermuka tebal!” ejek Emily, sombong. Barbara menangis tersedu-sedu. “Berhenti menangis, sialan!” Jerkah Emily