"Diam, aku suamimu!” Seketika itu Wulan berhenti memberontak. Dia memutar tubuhnya saat pelukan di perutnya mulai renggang. Kedua netranya lekat menatap sosok berbaju serba hitam yang membuka penutup kepalanya. Perlahan … rasa takut di hatinya sirna. Tergantikan dengan rasa bahagia yang tak pernah terpikirkan oleh Wulan saat wajah yang dinantikan kini berada di hadapannya. “Mas Langit …,” panggilnya terbata. Dia bahkan membekap mulutnya. Seolah tak percaya dengan apa yang tersaji di depan mata. “Iya, aku suamimu. Suamimu sudah kembali,” katanya dengan senyum manis. “Ya Allah ….” Wulan langsung memeluk suaminya dengan perasaan haru. Dia menangis di pelukan lelaki yang telah dianggap meninggal itu, tapi Wulan meyakini jika suaminya masih hidup. Dan keyakinan itu sekarang berubah menjadi kenyataan. “Aku sangat merindukanmu, Wulan.” Nada bicara Langit sedikit bergetar. Lelaki bertubuh tegap itu ikut terharu karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan istri dan keluarganya setelah
Wulan menoleh dan menatap suaminya dengan senyum lebar. Lalu kembali menatap sang Ibu mertua yang masih terlihat syok. Dia menggeser tubuhnya sambil membuka pintu kamar lebih lebar dari sebelumnya. Membiarkan suaminya itu mendekati ibunya. Kemudian memeluk perempuan itu penuh rindu. “Ya Allah … ini bener kamu, Langit?” isak Maya sambil mendekap putranya yang sudah lebih tinggi darinya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan. “Iya, Ma. Aku masih hidup. Aku belum mati. Dan aku kembali untuk kalian, juga untuk anakku,” balas Langit sambil menyeka sudut matanya yang basah. “Alhamdulillah, Ya Allah … Kau kembalikan putraku.” Wulan menatap haru. Dia pun sangat bahagia karena akhirnya suaminya yang sebelumnya sudah dinyatakan meninggal kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun. Maya melepas pelukannya. Tangannya beralih menyentuh wajah hingga bahu putranya yang kokoh. “Maasayaallah … Mama nggak nyangka,” katanya lagi sambil menatap penuh haru. “Aku bersyukur banget akhir
Laki-laki berkumis tipis itu menghela napas panjang dengan sedikit berat. Ini memang pilihan yang tidak mudah. Purnomo hanya akan berusaha meyakinkan ibunya tentang apa yang sudah menjadi keputusannya, yaitu tidak akan menikah dengan Shela. “Mas … tolonglah. Melembut sedikit hatinya untuk mau menuruti permintaan Ibu,” pinta Bintang. Kedua telapak tangan gadis itu sampai ditangkupkan di depan dada. “Tapi nggak sama Shela juga, Dek. Mas tahu tabiat dia seperti apa. Mas nggak mau salah pilih jodoh. Seumur hidup sama dia itu terlalu lama,” ungkapnya. “Terus mau sama siapa? Menunggu Mbak Wulan kan lama. Mas nggak bisa menikahinya sekarang kan? Dia statusnya masih istri orang meski suaminya sudah dinyatakan meninggal, tapi kan surat kematiannya belum diambil. Itu berarti dia masih mengharap suaminya kembali.” “Mas akan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan Wulan jika suaminya sudah tidak ada dan ada Mas yang akan menggantikannya sebagai suami
"Sudah punya suami juga. Masih saja gatal gangguin calon suami orang. Memang suami kamu kurang memuaskan, hah! Apa kurang dibelai karena suami jarang di rumah?” tuding Shela sambil mendorong dada Wulan dengan jari telunjuknya. “Hei, jaga sikapmu, ya!” tegur Langit. “Istri saya tidak mungkin seperti itu. Jadi, jangan menuduhnya!” “Kata siapa aku asal nuduh? Aku punya bukti kok,” katanya. Lalu mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto Wulan dengan Purnomo yang dia ambil sewaktu berada di resto sebelum kedatangan Awan dan Bella. Shela sengaja membuntuti Purnomo yang diyakini akan bertemu dengan Wulan. Lalu mengambil beberapa foto mereka saat masih berdua.“Ini istrimu yang sok sholehah itu kan?” Shela tersenyum sinis melihat reaksi Langit yang berubah tegang setelah melihat foto di ponsel Shela. “Ini benar kamu, Wulan?” tanyanya memeperlihatkan fotonya pada sang Istri. “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Mas. Aku akan jelaskan sama Awa
“Kapan kita bisa menemuinya?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Awan. “Secepatnya. Biar semua beres,” jawab Awan cepat. Wulan mengangguk setuju. “Biar tidak ada salah paham lagi,” sahut sang Istri. “Aku ingin menjalani pernikahan ini dengan tenang. Mengurus suami dan anakku dengan damai,” imbuhnya sambil terus menggenggam lembut telapak tangan suaminya yang juga digenggam Langit. “Aku nanti akan minta waktu ketemu sama Mas Pur.” “Iya. Secepatnya!” balas Langit. Lalu menatap sang Istri dan berkata, “blokir kontak dia. Kalau perlu hapus semua riwayat chatnya. Aku nggak mau lagi kamu ingat-ingat tentang mantan, ya, Dek!” tegasnya menatap sang Istri. “Siap, Kapten!” jawab Wulan sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Karena dia tahu, Langit hanya sedang cemburu. Maka dia pun tak perlu memburu. Hanya perlu meluluhkan hati sang Kapten yang tengah dilanda kecemasan karena istrinya terancam diambil mantan kembali. “Ya sudah. Cepat hubungi dia, Wan. Tanya, kapan kita bisa secepatnya
“Kenapa?” Langit menatap dengan senyum sinis. Purnomo mengerjapkan kedua matanya. Tersadar dari keterkejutannya. Lalu menatap Awan yang kini wajahnya entah seperti apa. Perasaan bersalah menghantuinya. “Wan, ini maksudnya gimana? Bukannya suami Wulan kata kamu sudah meninggal? Lalu dia siapa?” Purnomo menuntut penjelasan. “Emmm … maaf, Mas Pur. Ini, di luar dugaan kami,” jawabnya dengan tak enak hati. “Jelaskan saja, Wan!” titah Langit yang kini sudah duduk di sisi istrinya. Berhadapan dengan Purnomo.Dia sebenarnya sudah datang bersama dengan Awan dan Wulan, tapi Langit sengaja menepi terlebih dulu. Ingin tahu seperti apa sikap Purnomo pada sang Istri jika dirinya benar-benar tidak ada. Dan baru beberapa saat melihat istrinya ditatap dengan penuh cinta oleh mantan kekasih sang Istri, hati Langit sudah terbakar cemburu. Tak tahan dan tak rela istrinya ditatap oleh pria lain, dia pun akhirnya keluar dari persembunyiannya. Awa
“Wulan sudah diambil suaminya, Bu,” ujarnya dengan nada sedikit frustasi. “Apa?” pekik Ningsih. Lalu menoleh pada Bintang yang juga tampak terkejut. “Kamu gimana sih, Bintang? Katanya suaminya Wulan sudah meninggal?” “Iya. Kemarin yang aku dengar dari Mas Pur juga begitu. Jadi ini gimana?” Bintang menatap Purnomo, menuntut penjelasan. “Ya … jadi suaminya ternyata masih hidup. Dia sempat disandera juga saat itu. Tapi berhasil meloloskan diri dan akhirnya kembali,” jelasnya tanpa semangat. “Pur baru dapat kabar kebenaran ini tadi. Ketemu sama suaminya Wulan juga.”“Ya Allah … baru saja Ibu mau dapat menantu kesayangan. Malah nggak jadi,” keluh Ningsih dengan wajah sedihnya. “Yaaahhhh … Mas Pur nggak jadi dong nikah sama Mbak Wulan ….”“Ya nggak jadi, Bintang. Orang dia masih jadi istri orang,” sahut Ningsih sambil menepuk bahu putrinya pelan. “Berarti kalau gitu balik lagi ke kesepakatan awal, ya. Kamu menikah dengan Shela, Pur
"Mas, ayo dong nikah!"Seketika itu Purnomo menyemburkan kopi panas yang baru saja dia sesap saat tiba-tiba saja mendengar seruan yang tak asing lagi baginya. Tatapannya tertuju pada perempuan berseragam serba putih yang kini berdiri di hadapannya dengan wajahnya yang ditekuk. "Masuk rumah itu ngucapin salam, Dek! Bukan malah nyuruh nikah!" tegurnya sambil memutar bola matanya. Merasa jengah tiap kali sang Adik menyuruhnya untuk menikah. "Ayo nikah, Mas! Aku tuh udah dua puluh lima tahun. Pacar aku udah ngajakin nikah terus. Kalau nggak mau, dia bakal putusin aku," jelasnya panjang lebar. "Ya udah sih, putus aja. Lagian kayak laki-laki cuma dia aja. Masih banyak laki-laki baik di dunia ini, Bintang!""Enak aja! Aku nggak mau putus sama dia, Mas. Aku tuh cinta sama dia.""Cinta itu bulshit!" tegasnya. Perempuan yang rambutnya dicepol itu mengembuskan napasnya dengan kasar. Menatap kakaknya dengan jengah. "Mas tuh mau sampai kapan sih begini terus? Umur udah tiga puluh tahun lho. T
“Wulan sudah diambil suaminya, Bu,” ujarnya dengan nada sedikit frustasi. “Apa?” pekik Ningsih. Lalu menoleh pada Bintang yang juga tampak terkejut. “Kamu gimana sih, Bintang? Katanya suaminya Wulan sudah meninggal?” “Iya. Kemarin yang aku dengar dari Mas Pur juga begitu. Jadi ini gimana?” Bintang menatap Purnomo, menuntut penjelasan. “Ya … jadi suaminya ternyata masih hidup. Dia sempat disandera juga saat itu. Tapi berhasil meloloskan diri dan akhirnya kembali,” jelasnya tanpa semangat. “Pur baru dapat kabar kebenaran ini tadi. Ketemu sama suaminya Wulan juga.”“Ya Allah … baru saja Ibu mau dapat menantu kesayangan. Malah nggak jadi,” keluh Ningsih dengan wajah sedihnya. “Yaaahhhh … Mas Pur nggak jadi dong nikah sama Mbak Wulan ….”“Ya nggak jadi, Bintang. Orang dia masih jadi istri orang,” sahut Ningsih sambil menepuk bahu putrinya pelan. “Berarti kalau gitu balik lagi ke kesepakatan awal, ya. Kamu menikah dengan Shela, Pur
“Kenapa?” Langit menatap dengan senyum sinis. Purnomo mengerjapkan kedua matanya. Tersadar dari keterkejutannya. Lalu menatap Awan yang kini wajahnya entah seperti apa. Perasaan bersalah menghantuinya. “Wan, ini maksudnya gimana? Bukannya suami Wulan kata kamu sudah meninggal? Lalu dia siapa?” Purnomo menuntut penjelasan. “Emmm … maaf, Mas Pur. Ini, di luar dugaan kami,” jawabnya dengan tak enak hati. “Jelaskan saja, Wan!” titah Langit yang kini sudah duduk di sisi istrinya. Berhadapan dengan Purnomo.Dia sebenarnya sudah datang bersama dengan Awan dan Wulan, tapi Langit sengaja menepi terlebih dulu. Ingin tahu seperti apa sikap Purnomo pada sang Istri jika dirinya benar-benar tidak ada. Dan baru beberapa saat melihat istrinya ditatap dengan penuh cinta oleh mantan kekasih sang Istri, hati Langit sudah terbakar cemburu. Tak tahan dan tak rela istrinya ditatap oleh pria lain, dia pun akhirnya keluar dari persembunyiannya. Awa
“Kapan kita bisa menemuinya?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Awan. “Secepatnya. Biar semua beres,” jawab Awan cepat. Wulan mengangguk setuju. “Biar tidak ada salah paham lagi,” sahut sang Istri. “Aku ingin menjalani pernikahan ini dengan tenang. Mengurus suami dan anakku dengan damai,” imbuhnya sambil terus menggenggam lembut telapak tangan suaminya yang juga digenggam Langit. “Aku nanti akan minta waktu ketemu sama Mas Pur.” “Iya. Secepatnya!” balas Langit. Lalu menatap sang Istri dan berkata, “blokir kontak dia. Kalau perlu hapus semua riwayat chatnya. Aku nggak mau lagi kamu ingat-ingat tentang mantan, ya, Dek!” tegasnya menatap sang Istri. “Siap, Kapten!” jawab Wulan sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Karena dia tahu, Langit hanya sedang cemburu. Maka dia pun tak perlu memburu. Hanya perlu meluluhkan hati sang Kapten yang tengah dilanda kecemasan karena istrinya terancam diambil mantan kembali. “Ya sudah. Cepat hubungi dia, Wan. Tanya, kapan kita bisa secepatnya
"Sudah punya suami juga. Masih saja gatal gangguin calon suami orang. Memang suami kamu kurang memuaskan, hah! Apa kurang dibelai karena suami jarang di rumah?” tuding Shela sambil mendorong dada Wulan dengan jari telunjuknya. “Hei, jaga sikapmu, ya!” tegur Langit. “Istri saya tidak mungkin seperti itu. Jadi, jangan menuduhnya!” “Kata siapa aku asal nuduh? Aku punya bukti kok,” katanya. Lalu mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto Wulan dengan Purnomo yang dia ambil sewaktu berada di resto sebelum kedatangan Awan dan Bella. Shela sengaja membuntuti Purnomo yang diyakini akan bertemu dengan Wulan. Lalu mengambil beberapa foto mereka saat masih berdua.“Ini istrimu yang sok sholehah itu kan?” Shela tersenyum sinis melihat reaksi Langit yang berubah tegang setelah melihat foto di ponsel Shela. “Ini benar kamu, Wulan?” tanyanya memeperlihatkan fotonya pada sang Istri. “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Mas. Aku akan jelaskan sama Awa
Laki-laki berkumis tipis itu menghela napas panjang dengan sedikit berat. Ini memang pilihan yang tidak mudah. Purnomo hanya akan berusaha meyakinkan ibunya tentang apa yang sudah menjadi keputusannya, yaitu tidak akan menikah dengan Shela. “Mas … tolonglah. Melembut sedikit hatinya untuk mau menuruti permintaan Ibu,” pinta Bintang. Kedua telapak tangan gadis itu sampai ditangkupkan di depan dada. “Tapi nggak sama Shela juga, Dek. Mas tahu tabiat dia seperti apa. Mas nggak mau salah pilih jodoh. Seumur hidup sama dia itu terlalu lama,” ungkapnya. “Terus mau sama siapa? Menunggu Mbak Wulan kan lama. Mas nggak bisa menikahinya sekarang kan? Dia statusnya masih istri orang meski suaminya sudah dinyatakan meninggal, tapi kan surat kematiannya belum diambil. Itu berarti dia masih mengharap suaminya kembali.” “Mas akan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan Wulan jika suaminya sudah tidak ada dan ada Mas yang akan menggantikannya sebagai suami
Wulan menoleh dan menatap suaminya dengan senyum lebar. Lalu kembali menatap sang Ibu mertua yang masih terlihat syok. Dia menggeser tubuhnya sambil membuka pintu kamar lebih lebar dari sebelumnya. Membiarkan suaminya itu mendekati ibunya. Kemudian memeluk perempuan itu penuh rindu. “Ya Allah … ini bener kamu, Langit?” isak Maya sambil mendekap putranya yang sudah lebih tinggi darinya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan. “Iya, Ma. Aku masih hidup. Aku belum mati. Dan aku kembali untuk kalian, juga untuk anakku,” balas Langit sambil menyeka sudut matanya yang basah. “Alhamdulillah, Ya Allah … Kau kembalikan putraku.” Wulan menatap haru. Dia pun sangat bahagia karena akhirnya suaminya yang sebelumnya sudah dinyatakan meninggal kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun. Maya melepas pelukannya. Tangannya beralih menyentuh wajah hingga bahu putranya yang kokoh. “Maasayaallah … Mama nggak nyangka,” katanya lagi sambil menatap penuh haru. “Aku bersyukur banget akhir
"Diam, aku suamimu!” Seketika itu Wulan berhenti memberontak. Dia memutar tubuhnya saat pelukan di perutnya mulai renggang. Kedua netranya lekat menatap sosok berbaju serba hitam yang membuka penutup kepalanya. Perlahan … rasa takut di hatinya sirna. Tergantikan dengan rasa bahagia yang tak pernah terpikirkan oleh Wulan saat wajah yang dinantikan kini berada di hadapannya. “Mas Langit …,” panggilnya terbata. Dia bahkan membekap mulutnya. Seolah tak percaya dengan apa yang tersaji di depan mata. “Iya, aku suamimu. Suamimu sudah kembali,” katanya dengan senyum manis. “Ya Allah ….” Wulan langsung memeluk suaminya dengan perasaan haru. Dia menangis di pelukan lelaki yang telah dianggap meninggal itu, tapi Wulan meyakini jika suaminya masih hidup. Dan keyakinan itu sekarang berubah menjadi kenyataan. “Aku sangat merindukanmu, Wulan.” Nada bicara Langit sedikit bergetar. Lelaki bertubuh tegap itu ikut terharu karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan istri dan keluarganya setelah
Semakin hari, Purnomo selalu menunjukkan cintanya pada Wulan. Dari diam-diam mengirim makanan, hadiah-hadiah kecil, sampai beberapa perlengkapan bayi yang Purnomo sendiri tahu jika bayi yang dikandung Wulan berjenis kelamin perempuan. Semua itu demi membuktikan kalau Purnomo benar-benar mencintai Wulan. Maya sampai heran melihat beberapa kali tukang paket datang ke rumah mengirim sesuatu pada Wulan. “Kamu beli lagi?” tanyanya menatap heran. “Iya, Ma,” jawab Wulan merasa sungkan. Takut dibilang boros, padahal itu semua karena pemberian Purnomo. Bukan Wulan yang membelinya sendiri. “Beli apapun lah yang kamu mau, Nak. Asal cucu Mama nggak kelaparan,” kekeh Maya sambil mengusap perut Wulan yang sudah semakin buncit saat usia kehamilannya hampir memasuki minggu ke dua puluh tiga. “Iya, Ma. Wulan permisi dulu, ya,” pamitnya menuju kamar. Lalu membuka paket yang dikirim dari Purnomo. Sebuah novel bertema romantic yang menceritakan tentang sebuah perjalanan cinta dua manusia yang salin
"Dia yang menjadi pelipur lara di saat aku tersakiti olehmu. Dia juga yang sudah membantuku berdiri saat aku terjatuh. Jadi, apa salahnya kalau aku mencintainya? Dia suamiku. Sudah sepatutnya aku mencintainya,” balasnya menatap serius. Ada gemuruh di dadanya saat mengatakan kalimat tersebut. Purnomo mengembuskan napas panjang. Dadanya terasa sesak mendengar pengakuan perempuan yang selalu menjadi pujaan hatinya. Rasa penyesalan itu semakin besar. “Aku minta maaf. Tapi, sumpah, Lan. Aku nggak pernah selingkuh selama kita menjalani hubungan dulu. Semua yang kamu dengar itu hanya fitnah.” Purnomo kembali menjelaskan. “Aku sudah tidak mau dengar lagi apapun alasanmu, Pur. Bagiku, pengkhianat tetap pengkhianat. Lebih baik kamu lupakan aku. Biarpun nanti jika suamiku tidak benar-benar kembali, aku akan mengikhlaskannya dan memilih untuk tetap sendiri. Ataupun kalau menikah lagi, tidak dengan pengkhianat sepertimu,” katanya seraya menahan geram. Perasaan benci seketika itu muncul setiap