Sudah satu bulan berlalu. Namun, belum ada wanita bernama Kanaya yang menemui Eiden untuk meminta pertanggung jawaban. Hal tersebut semakin membuat Eiden frustrasi sekaligus bingung. Di saat banyak pria yang bahagia karena tidak dituntut untuk bertanggung jawab. Berbeda dengan Eiden, pria itu tidak bisa hidup dengan tenang sampai Kanaya menemuinya. Ia bahkan sampai bermimpi memiliki bayi yang mungil nan lucu dan memanggilnya om. Tentu saja Eiden tidak senang akan panggilan tersebut meski hanya dalam mimpi.
"Lo kenapa lagi?" Tanya Ardi saat melihat wajah sahabatnya sudah bisa disulam.
"Ardi, kamu bilang dia bakal datang. Mana buktinya? Ini sudah satu bulan tapi dia belum juga datang menemuiku."
"Astaga Eiden! Harusnya lo senang."
"Senang ndasmu! Yang ada otakku rasanya mau pecah karena kepikiran terus!" dengkusnya membuat Ardi terkikik geli.
"Lo yakin kalau dia hamil anak lo?"
"Yakinlah, kan yang pertama menyentuh dia itu aku, tahu nggak, bahkan pacarnya sendiri nggak dia kasih. Eh ralat mantan pacarnya."
"Anying! Jadi lo yang pertama!"
Mereka berdua tertawa sejenak sebelum seseorang datang mengetuk pintu ruangan Eiden."Masuk!" teriak Eiden.
"Maaf, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak."
"Siapa?" tanya Eiden dengan wajah sedikit berseri. Ia sangat berharap Kanayalah orangnya.
"Saya tidak tahu, Pak. Karena Nona itu tidak menyebutkan namanya."
Eiden seolah yakin jika tamu itu adalah wanita yang selama ini ia tunggu. "Persilakan dia masuk!" Perintahnya.
"Baik, Pak."
“Apa gue bilang, cewek itu pasti orang yang selama ini lo tunggu.”
“Untuk selanjutnya aku akan berguru padamu Kanda.”
“Najis lo, kampret!”Eiden tertawa mendengarnya.
wanita paruh baya yang menjabat sebagai sekretarisnya mempersilakan wanita itu masuk. Ia sengaja mempekerjakan wanita paruh baya, agar terhindar dari wanita jelmaan syaitan yang terkutuk. Eiden membalikkan tubuhnya menghadap jendela. Sedangkan Ardi memutuskan pergi dari sana. Suara tumit sepatu bertemu permukaan lantai membuat ketukan berirama. Jantung Eiden berpacu dengan cepat. Dia membalikkan tubuhnya saat suara sepatu semakin mendekat. Senyumnya merekah sempurna saat ia menghadap wanita tersebut. Namun, lekukan bibirnya perlahan berubah datar saat wanita lain yang muncul dihadapannya.
"Halo, Sayang!" Sapa wanita tersebut.
"Apa yang kau lakukan di sini!" Intonasinya terdengar datar.
"Aku sangat merindukanmu," ucapnya dengan wajah tersenyum seksi versi majalah dewasa. Eiden sangat membenci wanita yang kini sedang berdiri di hadapannya. Wanita yang sudah membuatnya hampir gila.
"Ketika kau memutuskan pergi bersama pria lain, di saat itu juga tidak akan ada pintu lain untukmu kembali!" tegas Eiden dingin. Wajahnya terlihat sangat marah. Berbagai guratan emosi terlihat jelas di matanya.
"Sayang, kenapa kamu begitu dingin padaku?" tanya wanita itu dengan raut sedih.
"Bukan aku yang memintanya, tapi kau! Sekarang pergi dari ruanganku!" usirnya.
"Kau sudah berjanji padaku akan selalu menyayangiku."
Mata Eiden sudah merah menahan amarah. Dia mendekati wanita itu dengan mata tajam. "Bukan aku yang tidak menyayangimu, tapi dirimu sendiri! Kau mau keluar dengan baik-baik atau diseret paksa oleh satpam!"
"Aku tidak akan keluar sampai kamu mau mendengarkan aku."
Dengan geram Eiden segera memanggil satpam.
"Keruangan saya sekarang!"Risma tampak masih mengiba pada Eiden. Namun, pria tersebut tidak bergeming sama sekali sampai dua satpam datang menghadapnya. Sesungguhnya mereka berdua sangat takut, apalagi melihat wajah bos besar mereka yang merah padam.
"Seret wanita ini keluar! Jangan sampai dia masuk dan merusak suasana hatiku! Jika dia masuk kembali, pekerjaan kalian akan menjadi taruhannya! Sampah tidak seharusnya di tempat yang bersih!" ejek Eiden tanpa perasaan.
"Eiden, kamu akan menyesal. Aku akan membalasmu!" teriak Risma tak terima dirinya di seret dua satpam. Secara langsung Eiden mempermalukannya di depan umum.
"Bodo amat! Dasar sinting." kesalnya. Ia menarik napas dengan dalam sambil mengembuskan kembali. Ia. Melakukannya sampai tiga kali.
Malamnya, Eiden pulang dengan wajah kusut. Tubuhnya sangat kelelahan di tambah kemacetan ibu kota membuatnya semakin frustrasi. Ia mengalihkan tatapannya ke arah acak. Matanya menangkap satu sosok yang selama ini ia tunggu siang dan malam.
"Kanaya," ucapnya.
Ia hendak mengejar Kanaya. Namun, lampu yang tadi merah kini sudah berganti hijau. Kebisingan terjadi saat beberapa mobil di belakangnya membunyikan klakson.
"Sial!" rutuknya kesal.
Ia melihat kembali ke arah tadi tapi tidak ada lagi sosok itu di sana. Kembali ia kehilangan jejak Kanaya. Besok mungkin dia harus mengemis di sekitar sini. Ia menggelengkan kepala dengan idenya yang sangat menjatuhkan martabatnya sebagai lelaki tampan dan mapan. Ia kembali harus kecewa karena tidak bisa menemukan Kanaya di mana pun. Apa dia harus membayar seorang detektif agar Kanaya bisa ditemukan. Ia kembali menggeleng dan memutuskan kembali ke rumahnya. Ia akan memikirkan segalanya besok, untuk malam ini ia harus beristirahat dengan tenang.
-----------Kanaya yang sedang membersihkan beberapa pakaian kotornya, merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Ia sering merasa seperti masuk angin yang menyebabkan mual-mual. Pagi ini ia sudah tiga kali bolak balik kamar mandi untuk megeluarkan muntahannya."Tidak biasanya aku masuk angin sampai mual-mual begini," ucapnya lemah."Apa aku ke dokter saja? Bulan ini juga aku belum datang bulan."Ia belum memikirkan mengenai kejadian satu bulan yang lalu. Kanaya segera membersihkan wajahnya. Selesai ia memakan roti tawar yang diolesi mentega untuk mengganjal perutnya dan segera menuju rumah sakit. Sesampainya di sana Kanaya segera dibawa menemui dokter."Ada keluhan apa, Bu?" tanya dokter Nova sambil tersenyum."Akhir-akhir ini saya sering merasa mual, dok. Selain itu saya juga serin
Sudah dua minggu lamanya semenjak pertemuan Eiden dengan kanaya. Wanita yang membuatnya merasa telah menjadi laki-laki paling bejat di muka bumi ini. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak belakangan ini. Banyak hal yang ia pikirkan dan di antara semuanya, Kanaya yang paling menguras pikirannya."Wanita itu benar-benar tidak meminta pertanggung jawaban, tetapi kenapa aku merasa sudah menjadi lelaki bejat." Eiden mengacak-acak rambutnya kesal.Dering gawainya berbunyi, ia melihat ke pusat suara. Ia memegang benda pipih tersebut sambil membawanya ke telinga."Halo, Ma.""Nanti malam, Mama akan memperkenalkan kamu sama calon menantu Mama.""Apa? Eden nggak mau, Ma.""Kenapa nggak mau? Apa kamu masih menginginkan Risma!" teriak ibunya garang. Rasa tidak suka jelas menguasai suar
Eiden menatap wajah Kanaya dengan bahagia. Sebentar lagi ia akan mendapatkan anak dari wanita yang baru saja ia kenal. Meskipun terdengar aneh. Namun, bagi Eiden semua tidak menjadi masalah asal ia tidak menikah dengan wanita pilihan ibunya. Membayangkan dempul tebal yang menghiasi wajah mereka saja membuat Eiden mual. Disela pengamatannya, mata Kanaya terbuka secara perlahan. Maniknya menatap aneh pada Eiden."Kamu di mana?" Kanaya mengedarkan pandang matanya ke depan. Ia terlihat meneliti tempat Eiden berada.Eiden sedikit terkejut mendengar pertanyaan Kanaya, jika biasanya wanita yang baru sadar selalu menanyakan di mana mereka, ini malah terbalik. Ia menggeleng kepala melihat kekonyolan Kanaya."Kamu tadi pingsan terus kubawa ke rumah sakit." Eiden menatap lekat wajah polos Kanaya.Kanaya memilin jemarinya dengan pelan sambil membuang pandang dari Eiden. Ia sedikit gugup melihat ketampanan pria itu.
Malam yang ditunggu pun datang. Eiden sudah siap dengan setelan kasualnya. Ia turun dari mobil dan menunggu Kanaya yang belum menampakkan batang hidungnya. Di dalam rumah, Kanaya masih bingung harus mengenakan pakaian apa. Namun, saat ia mendengar suara mobil Eiden sudah di depan. Kanaya segera memakai pakaiannya dengan polesan make up sederhana.Kanaya berjalan cepat menuju pintu utamanya. Eiden melihat ke arah pintu dan ternganga melihat penampilan super biasa dari Kanaya sampai ia tidak menyadari kehadiran Kanaya di hadapannya."Ada apa?" tanya Kanaya saat melihat bola mata Eiden hampir saja jatuh.Kanaya berpikir kalau Eiden sudah terpesona dengan kesederhanaannya. Bisakah dia sedikit bangga akan hal itu."Apa kau dayang yang turun dari khayangan?" Eiden bertanya sarkastik."Ah, tentu saja bukan," ucap kanaya sedikit malu-malu. Meskipun hanya sebatas dayang tapi bukankah dayang berada
Kanaya hanya mampu mengigit bibir saat tangan Eiden mencubit pinggangnya. Raut yang terlihat aneh membuat Anita penasaran, apalagi tingkah keduanya semakin mencurigakan. Jika keduanya benar-benar membohonginya, maka tidak akan ada ampunan sedikit pun."Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Anita dengan tatapan mencurigakan, apalagi Kanaya tampak menahan sesuatu dan terlihat jelas dari wajahnya."Hah! Tidak, Tan, eh, Ma. Ada semut," ucapnya sambil menggosok pinggangnya yang terasa nyeri."Semut? Mana semutnya?" tanya Angga sambil mengambil sebuah majalan untuk membunuh semut yang mengganggu Kanaya."Papa mau ngapain?" Eiden bertanya heran."Mau membunuh semutnya. Kanaya bilang ada semut," ucap Angga serius. Eiden menegak ludahnya kasar. Papanya ada-ada saja."Jadi, apa kalian pacaran?""Tidak!""Ya!"Untuk kedua kali keduanya memberikan jawaban berbeda. Anita menatap putranya garang."Apa ada yang kamu se
Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Maxwell. Pasalnya tidak lama lagi mereka akan memiliki cucu pewaris kekayaan Maxwell. Awalnya Kanaya pikir ia akan mendapat sumpah serapah dari wanita yang saat ini sedang tersenyum melihatnya. Kanaya tersenyum kecil menyambut seluruh tamu yang hadir di acara pernikahannya dengan Eiden.Lelaki itu tampak menawan di balik balutan baju pengantin khas Jawa Barat. Kanaya sering mencuri pandang ke arah pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Terkadang ia heran pada suaminya, kenapa begitu ingin menjadikan ia sebagai istrinya. Padahal jika dilihat, orang akan berpikir kalau Eiden pasti melakukan khilaf besar karena memperistrinya."Tampan tanpa pengawet." Kanaya terkikik sendiri dengan ucapannya."Saya tau ketampanan ini mengalahkan Webtoon ‘Terlalu Tamvan’." Raut wajah Eiden terlihat bangga setelah selesai memuji diri sendiri.Ingin sekali Kanaya mengetok kepala suaminya dengan gagang cangkul biar jadi
Eiden uring-uringan di kantornya setelah malam pertama yang ia lewati gagal total. Padahal malam pertama sudah menjadi malam yang paling dia tunggu selama hidupnya. Tapi semuanya berantakan karena istrinya adalah Kanaya. Jika Kanaya tidak menjadi istrinya, ia juga akan tetap uring-uringan karena terbayang selalu. Ardi masuk ke ruangan Eiden sambil membawa beberapa berkas. Pria dengan jambang tipis menatap heran wajah Eiden yang terlihat masam, bahkan mengalahkan asamnya kehidupan."Lo kenapa?"Eiden melihat Ardi, napas ia embuskan dengan lesu. Entah bisa ia mengadu pada pria kribo itu atau tidak. Tapi jika dibiarkan dia sendiri yang akan menderita karena memendam semuanya. Bukankah tidak baik untuk menyimpan unek-unek dalam hati. Ia menatap penuh pertimbangan antara mau bercerita atau tidak. Sungguh, kebimbangan saat ini sedang memeluknya erat.“Serius, kalau lo nggak mau cerita, gue keluar!” pancing Aldi dan hendak pergi."Aku gagal malam p
Pagi Eiden diawali dengan kegabutan yang hakiki. Bagaimana tidak, gagal malam pertama, Kanaya menggodanya tapi tidak memuaskannya, ia ibarat ikan yang dipanggang di atas api yang sedang tamasya ke laut, apes sekali hidupnya sebagai suami."Wajahmu kenapa?" Anita menghampiri meja makan sambil membawa sepiring lauk kesukaan putranya."Memangnya wajahku kenapa, Ma?"Anita melihat dengan serius wajah putranya. "Seperti orang lagi menahan derita. Kalau sakit perut pergilah ke kamar mandi. Nanti kamu malah anu di sini."Eiden makin menekuk wajahnya yang tampan dan rupawannya dinistakan. Kanaya datang sambil membawa nasi dan meletakkan di meja makan. Eiden melirik istrinya yang sedang tersenyum bodoh, bahkan tidak meliriknya sama sekali, padahal Eiden sedang ingin menatap wajah yang selalu membuatnya terbayang siang dan malam."Hai, Istriku," ucap Eiden dengan nada geram yang dibuat terdengar manis.
Perusahaan Eiden hampir saja mengalami masalah serius. Salah satu pegawai yang menjabat sebagai bendahara, berusaha membawa kabur uang perusahaan. Untungnya pegawai yang selama ini loyal terhadapnya segera melaporkan kejadian tersebut. Jika tidak maka perusahaannya di ambang kehancuran. Eiden keluar dari ruangannya, ia menatap Kanaya serius."Kanaya, ikut saya!" perintahnya.Kanaya mengernyit bingung. Namun, tetap mengikuti langkah suaminya. Mereka berdua sudah sampai di ruang rapat. Pelaku yang selama ini menangani keuangan, tertunduk lesu dengan wajah sembab. Wajahnya yang cantik terlihat memerah menahan tangisan agar tidak keluar. Ia sangat menyesal melakukannya. Tapi saat itu dirinya sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibunya yang bernilai ratusan juta rupiah.Eiden segera duduk di kursi kebesarannya, Kanaya juga duduk di sampingnya."Jelaskan!" perintah Eiden dingin. Wajah tampannya terlihat mengetat menahan amarah. 
Fajar menyingsing menampakkan sinar keemasan. Kanaya membuka mata perlahan. Saat hendak turun, sepasang tangan besar melingkar di perutnya yang sudah berbentuk meskipun belum terlalu menonjol besar. Ia tersenyum menatap wajah damai Eiden yang snagat dekat dengannya, bahkan embusan napas suaminya mengelus lembut permukaan pipinya."Morning, Istriku." Eiden membuka mata dengan mata sayu, bahkan tangannya belum ingin beranjak dari sana."Pagi juga, Ei," balas Kanaya sambil menguap."Bahkan napasmu tercium harum," gombal Eiden sambil memajukan bibirnya.Kanaya meniup napas ke telapak tangan lalu menciumnya. Ia sedikit mual."Bau naga begini dibilang harum, dasar suami bucin!” ejek Kanaya."Tapi bagi diriku napasmu sangat harum, apalagi kalau benda kenyal milikmu dan milikku saling silaturahmi."Kanaya menatap lembut wajah suaminya, perlahan ia membiarkan Eiden mendekatkan bibirnya. Mendekati satu in
Wajah Eiden terlihat kusut setelah pertemuannya dengan Risma. Wanita itu meskipun sangat dibenci olehnya. Tetap saja mereka memiliki kisah manis sebelum ia ditinggalkan. Kanaya masuk sambil membawa minumannya."Kamu kenapa?" tanya Kanaya sambil duduk di pinggir ranjangnya. Eiden diam tanpa menjawab. Kanaya mengangkat bahu lalu memainkan ponselnya. Sesekali ia tertawa. Eiden yang sedang melamun seketika melirik ke samping."Ada apa?" tanyanya sambil mengintip ponsel istrinya.Kanaya pura-pura tidak mendengar, ia membalikkan tubuhnya meski sedikit kesusahan akibat perutnya. Ia kembali tertawa, sesekali menyeka air matanya. Eiden menghela napas lelah. Ia tahu sudah salah karena mengabaikan istrinya, semua ini karena kehadiran Risma yang menyebabkan dirinya menjadi seperti sekarang."Sayang, maaf aku nggak bermaksud mengabaikan kamu barusan."Kanaya masih diam tidak menanggapi. Ia malah semakin tertawa menatap ponselnya, Eiden s
Kanaya termenung panjang di sudut kamar. Masa lalunya yang menyakitkan tak mampu ia lupakan sampai sekarang. Kilasan akan orang-orang yang sangat ia sayangi terus mendoktrin pikirannya. Tanpa terasa sebulir air mengalir dari sudut matanya yang terlihat murung. "Andai … mama dan papa masih hidup, aku tidak akan hidup seperti ini.” Tapi sosok mereka hadir dalam diri kedua mertuanya. Setidaknya bisa mengobati luka hati yang ia simpan sendirian tanpa sepengetahuan siapa pun."Kana ...!" panggil sebuah suara.Kanaya mengusap air matanya, kemudian tersenyum polos."Kana ...!"Wanita itu dengan segera membuka pintu kamarnya. Wajah pria tampan terpampang nyata di hadapannya, maka dusta mana lagi yang kau inginkan."Tara ...!" Kanaya dibuat kaget oleh ulah suaminya."Suamimu yang tampan bawa sesuatu untukmu. Eits, jangan terharu dulu," ucap Eiden dengan jahil. Wajah Kanaya terli
"Kenapa lagi dengan sekretarismu?" Angga duduk sambil meletakkan cangkirnya di meja.Eiden menghela napas, mengingat insiden kehilangan tender miliaran rupiah. Raut marah masih terlihat jelas di matanya. Masih untung dia memecat bukan membunuh wanita itu. Kewarasan masih menyuruhnya untuk sekadar marah."Papa tau, proyek A&N Company hilang gitu aja. Padahal Eiden bekerja bagai kuda agar bisa memenangkan tender tersebut," terangnya dengan dramatis."Ini sudah kesepuluh kalinya, Ei." Anita datang dan meletakkan cemilan ke hadapan keduanya."Mereka tidak ada yang kompeten sama sekali, Pa. Semuanya hanya menang tampang, tapi otak nihil!"Kanaya datang membawa minuman kemudian ikut duduk di ruang tamu tersebut. Anita melihat ke arah Kanaya dengan seksama. Ia sedang menilai, mana tahu bisa dijadikan sekretaris di perusahaan keluarga mereka."Kanaya kamu lulusan apa?" tanya Anita penasaran.
Pagi Eiden diawali dengan kegabutan yang hakiki. Bagaimana tidak, gagal malam pertama, Kanaya menggodanya tapi tidak memuaskannya, ia ibarat ikan yang dipanggang di atas api yang sedang tamasya ke laut, apes sekali hidupnya sebagai suami."Wajahmu kenapa?" Anita menghampiri meja makan sambil membawa sepiring lauk kesukaan putranya."Memangnya wajahku kenapa, Ma?"Anita melihat dengan serius wajah putranya. "Seperti orang lagi menahan derita. Kalau sakit perut pergilah ke kamar mandi. Nanti kamu malah anu di sini."Eiden makin menekuk wajahnya yang tampan dan rupawannya dinistakan. Kanaya datang sambil membawa nasi dan meletakkan di meja makan. Eiden melirik istrinya yang sedang tersenyum bodoh, bahkan tidak meliriknya sama sekali, padahal Eiden sedang ingin menatap wajah yang selalu membuatnya terbayang siang dan malam."Hai, Istriku," ucap Eiden dengan nada geram yang dibuat terdengar manis.
Eiden uring-uringan di kantornya setelah malam pertama yang ia lewati gagal total. Padahal malam pertama sudah menjadi malam yang paling dia tunggu selama hidupnya. Tapi semuanya berantakan karena istrinya adalah Kanaya. Jika Kanaya tidak menjadi istrinya, ia juga akan tetap uring-uringan karena terbayang selalu. Ardi masuk ke ruangan Eiden sambil membawa beberapa berkas. Pria dengan jambang tipis menatap heran wajah Eiden yang terlihat masam, bahkan mengalahkan asamnya kehidupan."Lo kenapa?"Eiden melihat Ardi, napas ia embuskan dengan lesu. Entah bisa ia mengadu pada pria kribo itu atau tidak. Tapi jika dibiarkan dia sendiri yang akan menderita karena memendam semuanya. Bukankah tidak baik untuk menyimpan unek-unek dalam hati. Ia menatap penuh pertimbangan antara mau bercerita atau tidak. Sungguh, kebimbangan saat ini sedang memeluknya erat.“Serius, kalau lo nggak mau cerita, gue keluar!” pancing Aldi dan hendak pergi."Aku gagal malam p
Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Maxwell. Pasalnya tidak lama lagi mereka akan memiliki cucu pewaris kekayaan Maxwell. Awalnya Kanaya pikir ia akan mendapat sumpah serapah dari wanita yang saat ini sedang tersenyum melihatnya. Kanaya tersenyum kecil menyambut seluruh tamu yang hadir di acara pernikahannya dengan Eiden.Lelaki itu tampak menawan di balik balutan baju pengantin khas Jawa Barat. Kanaya sering mencuri pandang ke arah pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Terkadang ia heran pada suaminya, kenapa begitu ingin menjadikan ia sebagai istrinya. Padahal jika dilihat, orang akan berpikir kalau Eiden pasti melakukan khilaf besar karena memperistrinya."Tampan tanpa pengawet." Kanaya terkikik sendiri dengan ucapannya."Saya tau ketampanan ini mengalahkan Webtoon ‘Terlalu Tamvan’." Raut wajah Eiden terlihat bangga setelah selesai memuji diri sendiri.Ingin sekali Kanaya mengetok kepala suaminya dengan gagang cangkul biar jadi
Kanaya hanya mampu mengigit bibir saat tangan Eiden mencubit pinggangnya. Raut yang terlihat aneh membuat Anita penasaran, apalagi tingkah keduanya semakin mencurigakan. Jika keduanya benar-benar membohonginya, maka tidak akan ada ampunan sedikit pun."Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Anita dengan tatapan mencurigakan, apalagi Kanaya tampak menahan sesuatu dan terlihat jelas dari wajahnya."Hah! Tidak, Tan, eh, Ma. Ada semut," ucapnya sambil menggosok pinggangnya yang terasa nyeri."Semut? Mana semutnya?" tanya Angga sambil mengambil sebuah majalan untuk membunuh semut yang mengganggu Kanaya."Papa mau ngapain?" Eiden bertanya heran."Mau membunuh semutnya. Kanaya bilang ada semut," ucap Angga serius. Eiden menegak ludahnya kasar. Papanya ada-ada saja."Jadi, apa kalian pacaran?""Tidak!""Ya!"Untuk kedua kali keduanya memberikan jawaban berbeda. Anita menatap putranya garang."Apa ada yang kamu se