Kanaya yang sedang membersihkan beberapa pakaian kotornya, merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Ia sering merasa seperti masuk angin yang menyebabkan mual-mual. Pagi ini ia sudah tiga kali bolak balik kamar mandi untuk megeluarkan muntahannya.
"Tidak biasanya aku masuk angin sampai mual-mual begini," ucapnya lemah.
"Apa aku ke dokter saja? Bulan ini juga aku belum datang bulan."
Ia belum memikirkan mengenai kejadian satu bulan yang lalu. Kanaya segera membersihkan wajahnya. Selesai ia memakan roti tawar yang diolesi mentega untuk mengganjal perutnya dan segera menuju rumah sakit. Sesampainya di sana Kanaya segera dibawa menemui dokter.
"Ada keluhan apa, Bu?" tanya dokter Nova sambil tersenyum.
"Akhir-akhir ini saya sering merasa mual, dok. Selain itu saya juga sering lemas." terang Kanaya.
"Baiklah, Bu. Mari saya periksa. Silakan, Bu." dokter tersebut memberi instruksi pada Kanaya.
Kanaya segera membaringkan tubuhnya di tempat yang telah disediakan. dokter Nova segera melakukan pemeriksaan. Sesekali Kanaya memperhatikan raut wajah dokternya yang tersenyum. Setelah selesai Kanaya kembali ke tempat duduknya sambil menunggu hasilnya.
"Bagaimana, dok?"
"Bu, saya hanya bisa mengucapkan selamat."
"Maksud dokter? Selamat karena apa?" Wajah Kanaya terlihat sangat kebingungan.
"Ibu sedang mengandung tiga minggu," ucap dokter tersebut dengan wajah senang.
"Bagaimana bisa?"
"Bu, kehamilan biasanya terjadi saat suami istri melakukan hubungan suami istri," ucap dokter Nova sambil tersenyum geli melihat kepolosan pasiennya.
"Oh, begitu? Terima kasih dokter." Sebenarnya Kanaya masih belum mengerti dengan apa yang diucapkan oleh dokter tersebut.
Kanaya segera keluar dari sana sambil memikirkan ucapan dokter yang menyatakan dia hamil. Seingatnya ia tidak pernah memiliki suami, bukankah ini sangat lucu.
"Bagaimana mungkin aku bisa hamil di saat aku sendiri tidak memiliki suami."
Kanaya berpikir keras untuk menemukan jawabannya kemudian ia teringat sesuatu, tepatnya satu bulan yang lalu. Ia menepok jidatnya.
"Apa aku hamil karena malam itu?"
Kanaya menggelengkan kepala dan berjalan dengan lesu. Ia berjalan sambil menunduk. Ia tidak melihat ada seorang pria berjalan ke arahnya dengan tergesa-gesa.
Bruk...
"Mbak, kalau jalan lihat-lihat dong!" Kesal pria tersebut tanpa melihat pria tersebut.
"Maaf, Mas." ujar Kanaya dengan lemah.
Pria tersebut mengalihkan matanya ke arah Kanaya. Namun, tidak lama setelah itu dia dibuat kaget luar biasa. Antara bahagia dan syok karena akhirnya bisa menemukan Kanaya. Ia mencarinya seperti mencari sebongkah berlian.
"Kamu!" Tunjuknya.
"Siapa ya?" tanya Kanaya dengan wajah polos.
Eiden tidak habis pikir kenapa wanita di depannya yang sudah ia tiduri malah tidak mengenalinya. Ini benar-benar aneh.
"Kamu tidak mengenalku?"
"Nggak, Mas." Lagi-lagi jawaban polos yang keluar dari mulut Kanaya.
"Gila! Udah ditidurin malah melupakanku!" kesal Eiden dengan sewot. Suaranya yang lumayan keras berhasil menarik perhatian beberapa orang yang melintas.
Kanaya menutupi wajahnya saat beberapa mata malihatnya dengan aneh.
"Mas, kenapa berbicara seperti itu."
"Karena kenyataannya aku sudah meniduri kamu. Biasanya kaum lelaki yang melupakan wanita yang pernah dia tiduri. Lah malah kamu yang melupakanku, apa dunia sudah benar-benar terbalik?"
"Ya, maaf mas."
"Kamu ngapain di rumah sakit ini?" tanya Eiden. Tatapannya penuh menyelidik. Sesekali matanya menatap perut Kanaya yang masih datar. Ia kembali teringat pada bayi mungil yang memanggilnya om. Eiden mendengkus kesal mengingatnya.
"Eh, itu Mas, saya lagi periksa."
"Kamu periksa kandungan?"
"Kok, Mas tahu."
"Nah, kamu hamil?"
"Kok, Mas tahu."
Eiden ingin sekali mengubek-ubek wajah polos Kanaya yang berhasil membuatnya kesal. Sejak tadi hanya kok, mas tahu yang keluar dari bibirnya. Ia bertanya dengan serius agar bisa siap siaga. Hatinya sangat senang saat mengetahui Kanaya benar-benar hamil anaknya. Awas saja kalau bayinya memanggilnya om.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Eiden serius.
"Di rumah saya Mas."
"Aku tau Kanaya! Maksudnya alamat."
"Buat apa Mas tahu alamat saya?" tanya Kanaya dengan curiga. Beberapa hari yang lalu ia sempat menonton berita mengenai modus beberapa pria yang pura-pura menanyakan alamat.
"Jangan bilang kalau Mas mau menguntit, ayo ngaku!"
"Enak aja! Aku Eiden. Masa kamu nggak mengenali sih."
"Mas Eiden yang diputusin sama mantannya dulu?"
Eiden mendengkus kesal. Dari sekian banyaknya kenangan mereka. Kenapa Kanaya hanya mengingat hal tersebut. Membuat moodnya hancur saja.
"Iya dan aku juga yang menjadi ayah dari kandunganmu."
"Iya, Mas. Saya ingat," ucap Kanaya dengan raut yang biasa. Bukankah seharusnya dia histeris, Eiden menggeleng melihat kelakuan Kanaya.
"Kamu nggak minta pertanggung jawaban dariku?" Eiden mulai memancing Kanaya bereaksi. Ia berharap gadis itu menodongnya dengan beberapa ancaman dan berujung memintanya bertanggung jawab.
Kanaya menggeleng polos. "Mas, kan nggak salah."
Eiden ingin berteriak bahwa ia baru saja ditolak oleh wanita yang sudah ia tiduri dan sekarang sedang hamil. Kenapa dari semua prediksinya tidak ada yang benar sedikit pun. Wanita di hadapannya ini sangat berbeda 180 derajat dengan wanita pada umumnya. Hal itu membuat Eiden tidak senang, bagaimana pun caranya ia akan menjadikan Kanaya sebagai istrinya.
-------
Sudah dua minggu lamanya semenjak pertemuan Eiden dengan kanaya. Wanita yang membuatnya merasa telah menjadi laki-laki paling bejat di muka bumi ini. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak belakangan ini. Banyak hal yang ia pikirkan dan di antara semuanya, Kanaya yang paling menguras pikirannya."Wanita itu benar-benar tidak meminta pertanggung jawaban, tetapi kenapa aku merasa sudah menjadi lelaki bejat." Eiden mengacak-acak rambutnya kesal.Dering gawainya berbunyi, ia melihat ke pusat suara. Ia memegang benda pipih tersebut sambil membawanya ke telinga."Halo, Ma.""Nanti malam, Mama akan memperkenalkan kamu sama calon menantu Mama.""Apa? Eden nggak mau, Ma.""Kenapa nggak mau? Apa kamu masih menginginkan Risma!" teriak ibunya garang. Rasa tidak suka jelas menguasai suar
Eiden menatap wajah Kanaya dengan bahagia. Sebentar lagi ia akan mendapatkan anak dari wanita yang baru saja ia kenal. Meskipun terdengar aneh. Namun, bagi Eiden semua tidak menjadi masalah asal ia tidak menikah dengan wanita pilihan ibunya. Membayangkan dempul tebal yang menghiasi wajah mereka saja membuat Eiden mual. Disela pengamatannya, mata Kanaya terbuka secara perlahan. Maniknya menatap aneh pada Eiden."Kamu di mana?" Kanaya mengedarkan pandang matanya ke depan. Ia terlihat meneliti tempat Eiden berada.Eiden sedikit terkejut mendengar pertanyaan Kanaya, jika biasanya wanita yang baru sadar selalu menanyakan di mana mereka, ini malah terbalik. Ia menggeleng kepala melihat kekonyolan Kanaya."Kamu tadi pingsan terus kubawa ke rumah sakit." Eiden menatap lekat wajah polos Kanaya.Kanaya memilin jemarinya dengan pelan sambil membuang pandang dari Eiden. Ia sedikit gugup melihat ketampanan pria itu.
Malam yang ditunggu pun datang. Eiden sudah siap dengan setelan kasualnya. Ia turun dari mobil dan menunggu Kanaya yang belum menampakkan batang hidungnya. Di dalam rumah, Kanaya masih bingung harus mengenakan pakaian apa. Namun, saat ia mendengar suara mobil Eiden sudah di depan. Kanaya segera memakai pakaiannya dengan polesan make up sederhana.Kanaya berjalan cepat menuju pintu utamanya. Eiden melihat ke arah pintu dan ternganga melihat penampilan super biasa dari Kanaya sampai ia tidak menyadari kehadiran Kanaya di hadapannya."Ada apa?" tanya Kanaya saat melihat bola mata Eiden hampir saja jatuh.Kanaya berpikir kalau Eiden sudah terpesona dengan kesederhanaannya. Bisakah dia sedikit bangga akan hal itu."Apa kau dayang yang turun dari khayangan?" Eiden bertanya sarkastik."Ah, tentu saja bukan," ucap kanaya sedikit malu-malu. Meskipun hanya sebatas dayang tapi bukankah dayang berada
Kanaya hanya mampu mengigit bibir saat tangan Eiden mencubit pinggangnya. Raut yang terlihat aneh membuat Anita penasaran, apalagi tingkah keduanya semakin mencurigakan. Jika keduanya benar-benar membohonginya, maka tidak akan ada ampunan sedikit pun."Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Anita dengan tatapan mencurigakan, apalagi Kanaya tampak menahan sesuatu dan terlihat jelas dari wajahnya."Hah! Tidak, Tan, eh, Ma. Ada semut," ucapnya sambil menggosok pinggangnya yang terasa nyeri."Semut? Mana semutnya?" tanya Angga sambil mengambil sebuah majalan untuk membunuh semut yang mengganggu Kanaya."Papa mau ngapain?" Eiden bertanya heran."Mau membunuh semutnya. Kanaya bilang ada semut," ucap Angga serius. Eiden menegak ludahnya kasar. Papanya ada-ada saja."Jadi, apa kalian pacaran?""Tidak!""Ya!"Untuk kedua kali keduanya memberikan jawaban berbeda. Anita menatap putranya garang."Apa ada yang kamu se
Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Maxwell. Pasalnya tidak lama lagi mereka akan memiliki cucu pewaris kekayaan Maxwell. Awalnya Kanaya pikir ia akan mendapat sumpah serapah dari wanita yang saat ini sedang tersenyum melihatnya. Kanaya tersenyum kecil menyambut seluruh tamu yang hadir di acara pernikahannya dengan Eiden.Lelaki itu tampak menawan di balik balutan baju pengantin khas Jawa Barat. Kanaya sering mencuri pandang ke arah pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Terkadang ia heran pada suaminya, kenapa begitu ingin menjadikan ia sebagai istrinya. Padahal jika dilihat, orang akan berpikir kalau Eiden pasti melakukan khilaf besar karena memperistrinya."Tampan tanpa pengawet." Kanaya terkikik sendiri dengan ucapannya."Saya tau ketampanan ini mengalahkan Webtoon ‘Terlalu Tamvan’." Raut wajah Eiden terlihat bangga setelah selesai memuji diri sendiri.Ingin sekali Kanaya mengetok kepala suaminya dengan gagang cangkul biar jadi
Eiden uring-uringan di kantornya setelah malam pertama yang ia lewati gagal total. Padahal malam pertama sudah menjadi malam yang paling dia tunggu selama hidupnya. Tapi semuanya berantakan karena istrinya adalah Kanaya. Jika Kanaya tidak menjadi istrinya, ia juga akan tetap uring-uringan karena terbayang selalu. Ardi masuk ke ruangan Eiden sambil membawa beberapa berkas. Pria dengan jambang tipis menatap heran wajah Eiden yang terlihat masam, bahkan mengalahkan asamnya kehidupan."Lo kenapa?"Eiden melihat Ardi, napas ia embuskan dengan lesu. Entah bisa ia mengadu pada pria kribo itu atau tidak. Tapi jika dibiarkan dia sendiri yang akan menderita karena memendam semuanya. Bukankah tidak baik untuk menyimpan unek-unek dalam hati. Ia menatap penuh pertimbangan antara mau bercerita atau tidak. Sungguh, kebimbangan saat ini sedang memeluknya erat.“Serius, kalau lo nggak mau cerita, gue keluar!” pancing Aldi dan hendak pergi."Aku gagal malam p
Pagi Eiden diawali dengan kegabutan yang hakiki. Bagaimana tidak, gagal malam pertama, Kanaya menggodanya tapi tidak memuaskannya, ia ibarat ikan yang dipanggang di atas api yang sedang tamasya ke laut, apes sekali hidupnya sebagai suami."Wajahmu kenapa?" Anita menghampiri meja makan sambil membawa sepiring lauk kesukaan putranya."Memangnya wajahku kenapa, Ma?"Anita melihat dengan serius wajah putranya. "Seperti orang lagi menahan derita. Kalau sakit perut pergilah ke kamar mandi. Nanti kamu malah anu di sini."Eiden makin menekuk wajahnya yang tampan dan rupawannya dinistakan. Kanaya datang sambil membawa nasi dan meletakkan di meja makan. Eiden melirik istrinya yang sedang tersenyum bodoh, bahkan tidak meliriknya sama sekali, padahal Eiden sedang ingin menatap wajah yang selalu membuatnya terbayang siang dan malam."Hai, Istriku," ucap Eiden dengan nada geram yang dibuat terdengar manis.
"Kenapa lagi dengan sekretarismu?" Angga duduk sambil meletakkan cangkirnya di meja.Eiden menghela napas, mengingat insiden kehilangan tender miliaran rupiah. Raut marah masih terlihat jelas di matanya. Masih untung dia memecat bukan membunuh wanita itu. Kewarasan masih menyuruhnya untuk sekadar marah."Papa tau, proyek A&N Company hilang gitu aja. Padahal Eiden bekerja bagai kuda agar bisa memenangkan tender tersebut," terangnya dengan dramatis."Ini sudah kesepuluh kalinya, Ei." Anita datang dan meletakkan cemilan ke hadapan keduanya."Mereka tidak ada yang kompeten sama sekali, Pa. Semuanya hanya menang tampang, tapi otak nihil!"Kanaya datang membawa minuman kemudian ikut duduk di ruang tamu tersebut. Anita melihat ke arah Kanaya dengan seksama. Ia sedang menilai, mana tahu bisa dijadikan sekretaris di perusahaan keluarga mereka."Kanaya kamu lulusan apa?" tanya Anita penasaran.
Perusahaan Eiden hampir saja mengalami masalah serius. Salah satu pegawai yang menjabat sebagai bendahara, berusaha membawa kabur uang perusahaan. Untungnya pegawai yang selama ini loyal terhadapnya segera melaporkan kejadian tersebut. Jika tidak maka perusahaannya di ambang kehancuran. Eiden keluar dari ruangannya, ia menatap Kanaya serius."Kanaya, ikut saya!" perintahnya.Kanaya mengernyit bingung. Namun, tetap mengikuti langkah suaminya. Mereka berdua sudah sampai di ruang rapat. Pelaku yang selama ini menangani keuangan, tertunduk lesu dengan wajah sembab. Wajahnya yang cantik terlihat memerah menahan tangisan agar tidak keluar. Ia sangat menyesal melakukannya. Tapi saat itu dirinya sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibunya yang bernilai ratusan juta rupiah.Eiden segera duduk di kursi kebesarannya, Kanaya juga duduk di sampingnya."Jelaskan!" perintah Eiden dingin. Wajah tampannya terlihat mengetat menahan amarah. 
Fajar menyingsing menampakkan sinar keemasan. Kanaya membuka mata perlahan. Saat hendak turun, sepasang tangan besar melingkar di perutnya yang sudah berbentuk meskipun belum terlalu menonjol besar. Ia tersenyum menatap wajah damai Eiden yang snagat dekat dengannya, bahkan embusan napas suaminya mengelus lembut permukaan pipinya."Morning, Istriku." Eiden membuka mata dengan mata sayu, bahkan tangannya belum ingin beranjak dari sana."Pagi juga, Ei," balas Kanaya sambil menguap."Bahkan napasmu tercium harum," gombal Eiden sambil memajukan bibirnya.Kanaya meniup napas ke telapak tangan lalu menciumnya. Ia sedikit mual."Bau naga begini dibilang harum, dasar suami bucin!” ejek Kanaya."Tapi bagi diriku napasmu sangat harum, apalagi kalau benda kenyal milikmu dan milikku saling silaturahmi."Kanaya menatap lembut wajah suaminya, perlahan ia membiarkan Eiden mendekatkan bibirnya. Mendekati satu in
Wajah Eiden terlihat kusut setelah pertemuannya dengan Risma. Wanita itu meskipun sangat dibenci olehnya. Tetap saja mereka memiliki kisah manis sebelum ia ditinggalkan. Kanaya masuk sambil membawa minumannya."Kamu kenapa?" tanya Kanaya sambil duduk di pinggir ranjangnya. Eiden diam tanpa menjawab. Kanaya mengangkat bahu lalu memainkan ponselnya. Sesekali ia tertawa. Eiden yang sedang melamun seketika melirik ke samping."Ada apa?" tanyanya sambil mengintip ponsel istrinya.Kanaya pura-pura tidak mendengar, ia membalikkan tubuhnya meski sedikit kesusahan akibat perutnya. Ia kembali tertawa, sesekali menyeka air matanya. Eiden menghela napas lelah. Ia tahu sudah salah karena mengabaikan istrinya, semua ini karena kehadiran Risma yang menyebabkan dirinya menjadi seperti sekarang."Sayang, maaf aku nggak bermaksud mengabaikan kamu barusan."Kanaya masih diam tidak menanggapi. Ia malah semakin tertawa menatap ponselnya, Eiden s
Kanaya termenung panjang di sudut kamar. Masa lalunya yang menyakitkan tak mampu ia lupakan sampai sekarang. Kilasan akan orang-orang yang sangat ia sayangi terus mendoktrin pikirannya. Tanpa terasa sebulir air mengalir dari sudut matanya yang terlihat murung. "Andai … mama dan papa masih hidup, aku tidak akan hidup seperti ini.” Tapi sosok mereka hadir dalam diri kedua mertuanya. Setidaknya bisa mengobati luka hati yang ia simpan sendirian tanpa sepengetahuan siapa pun."Kana ...!" panggil sebuah suara.Kanaya mengusap air matanya, kemudian tersenyum polos."Kana ...!"Wanita itu dengan segera membuka pintu kamarnya. Wajah pria tampan terpampang nyata di hadapannya, maka dusta mana lagi yang kau inginkan."Tara ...!" Kanaya dibuat kaget oleh ulah suaminya."Suamimu yang tampan bawa sesuatu untukmu. Eits, jangan terharu dulu," ucap Eiden dengan jahil. Wajah Kanaya terli
"Kenapa lagi dengan sekretarismu?" Angga duduk sambil meletakkan cangkirnya di meja.Eiden menghela napas, mengingat insiden kehilangan tender miliaran rupiah. Raut marah masih terlihat jelas di matanya. Masih untung dia memecat bukan membunuh wanita itu. Kewarasan masih menyuruhnya untuk sekadar marah."Papa tau, proyek A&N Company hilang gitu aja. Padahal Eiden bekerja bagai kuda agar bisa memenangkan tender tersebut," terangnya dengan dramatis."Ini sudah kesepuluh kalinya, Ei." Anita datang dan meletakkan cemilan ke hadapan keduanya."Mereka tidak ada yang kompeten sama sekali, Pa. Semuanya hanya menang tampang, tapi otak nihil!"Kanaya datang membawa minuman kemudian ikut duduk di ruang tamu tersebut. Anita melihat ke arah Kanaya dengan seksama. Ia sedang menilai, mana tahu bisa dijadikan sekretaris di perusahaan keluarga mereka."Kanaya kamu lulusan apa?" tanya Anita penasaran.
Pagi Eiden diawali dengan kegabutan yang hakiki. Bagaimana tidak, gagal malam pertama, Kanaya menggodanya tapi tidak memuaskannya, ia ibarat ikan yang dipanggang di atas api yang sedang tamasya ke laut, apes sekali hidupnya sebagai suami."Wajahmu kenapa?" Anita menghampiri meja makan sambil membawa sepiring lauk kesukaan putranya."Memangnya wajahku kenapa, Ma?"Anita melihat dengan serius wajah putranya. "Seperti orang lagi menahan derita. Kalau sakit perut pergilah ke kamar mandi. Nanti kamu malah anu di sini."Eiden makin menekuk wajahnya yang tampan dan rupawannya dinistakan. Kanaya datang sambil membawa nasi dan meletakkan di meja makan. Eiden melirik istrinya yang sedang tersenyum bodoh, bahkan tidak meliriknya sama sekali, padahal Eiden sedang ingin menatap wajah yang selalu membuatnya terbayang siang dan malam."Hai, Istriku," ucap Eiden dengan nada geram yang dibuat terdengar manis.
Eiden uring-uringan di kantornya setelah malam pertama yang ia lewati gagal total. Padahal malam pertama sudah menjadi malam yang paling dia tunggu selama hidupnya. Tapi semuanya berantakan karena istrinya adalah Kanaya. Jika Kanaya tidak menjadi istrinya, ia juga akan tetap uring-uringan karena terbayang selalu. Ardi masuk ke ruangan Eiden sambil membawa beberapa berkas. Pria dengan jambang tipis menatap heran wajah Eiden yang terlihat masam, bahkan mengalahkan asamnya kehidupan."Lo kenapa?"Eiden melihat Ardi, napas ia embuskan dengan lesu. Entah bisa ia mengadu pada pria kribo itu atau tidak. Tapi jika dibiarkan dia sendiri yang akan menderita karena memendam semuanya. Bukankah tidak baik untuk menyimpan unek-unek dalam hati. Ia menatap penuh pertimbangan antara mau bercerita atau tidak. Sungguh, kebimbangan saat ini sedang memeluknya erat.“Serius, kalau lo nggak mau cerita, gue keluar!” pancing Aldi dan hendak pergi."Aku gagal malam p
Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Maxwell. Pasalnya tidak lama lagi mereka akan memiliki cucu pewaris kekayaan Maxwell. Awalnya Kanaya pikir ia akan mendapat sumpah serapah dari wanita yang saat ini sedang tersenyum melihatnya. Kanaya tersenyum kecil menyambut seluruh tamu yang hadir di acara pernikahannya dengan Eiden.Lelaki itu tampak menawan di balik balutan baju pengantin khas Jawa Barat. Kanaya sering mencuri pandang ke arah pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Terkadang ia heran pada suaminya, kenapa begitu ingin menjadikan ia sebagai istrinya. Padahal jika dilihat, orang akan berpikir kalau Eiden pasti melakukan khilaf besar karena memperistrinya."Tampan tanpa pengawet." Kanaya terkikik sendiri dengan ucapannya."Saya tau ketampanan ini mengalahkan Webtoon ‘Terlalu Tamvan’." Raut wajah Eiden terlihat bangga setelah selesai memuji diri sendiri.Ingin sekali Kanaya mengetok kepala suaminya dengan gagang cangkul biar jadi
Kanaya hanya mampu mengigit bibir saat tangan Eiden mencubit pinggangnya. Raut yang terlihat aneh membuat Anita penasaran, apalagi tingkah keduanya semakin mencurigakan. Jika keduanya benar-benar membohonginya, maka tidak akan ada ampunan sedikit pun."Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Anita dengan tatapan mencurigakan, apalagi Kanaya tampak menahan sesuatu dan terlihat jelas dari wajahnya."Hah! Tidak, Tan, eh, Ma. Ada semut," ucapnya sambil menggosok pinggangnya yang terasa nyeri."Semut? Mana semutnya?" tanya Angga sambil mengambil sebuah majalan untuk membunuh semut yang mengganggu Kanaya."Papa mau ngapain?" Eiden bertanya heran."Mau membunuh semutnya. Kanaya bilang ada semut," ucap Angga serius. Eiden menegak ludahnya kasar. Papanya ada-ada saja."Jadi, apa kalian pacaran?""Tidak!""Ya!"Untuk kedua kali keduanya memberikan jawaban berbeda. Anita menatap putranya garang."Apa ada yang kamu se