Pagi Eiden diawali dengan kegabutan yang hakiki. Bagaimana tidak, gagal malam pertama, Kanaya menggodanya tapi tidak memuaskannya, ia ibarat ikan yang dipanggang di atas api yang sedang tamasya ke laut, apes sekali hidupnya sebagai suami.
"Wajahmu kenapa?" Anita menghampiri meja makan sambil membawa sepiring lauk kesukaan putranya. "Memangnya wajahku kenapa, Ma?"Anita melihat dengan serius wajah putranya. "Seperti orang lagi menahan derita. Kalau sakit perut pergilah ke kamar mandi. Nanti kamu malah anu di sini." Eiden makin menekuk wajahnya yang tampan dan rupawannya dinistakan. Kanaya datang sambil membawa nasi dan meletakkan di meja makan. Eiden melirik istrinya yang sedang tersenyum bodoh, bahkan tidak meliriknya sama sekali, padahal Eiden sedang ingin menatap wajah yang selalu membuatnya terbayang siang dan malam."Hai, Istriku," ucap Eiden dengan nada geram yang dibuat terdengar manis."Kenapa lagi dengan sekretarismu?" Angga duduk sambil meletakkan cangkirnya di meja.Eiden menghela napas, mengingat insiden kehilangan tender miliaran rupiah. Raut marah masih terlihat jelas di matanya. Masih untung dia memecat bukan membunuh wanita itu. Kewarasan masih menyuruhnya untuk sekadar marah."Papa tau, proyek A&N Company hilang gitu aja. Padahal Eiden bekerja bagai kuda agar bisa memenangkan tender tersebut," terangnya dengan dramatis."Ini sudah kesepuluh kalinya, Ei." Anita datang dan meletakkan cemilan ke hadapan keduanya."Mereka tidak ada yang kompeten sama sekali, Pa. Semuanya hanya menang tampang, tapi otak nihil!"Kanaya datang membawa minuman kemudian ikut duduk di ruang tamu tersebut. Anita melihat ke arah Kanaya dengan seksama. Ia sedang menilai, mana tahu bisa dijadikan sekretaris di perusahaan keluarga mereka."Kanaya kamu lulusan apa?" tanya Anita penasaran.
Kanaya termenung panjang di sudut kamar. Masa lalunya yang menyakitkan tak mampu ia lupakan sampai sekarang. Kilasan akan orang-orang yang sangat ia sayangi terus mendoktrin pikirannya. Tanpa terasa sebulir air mengalir dari sudut matanya yang terlihat murung. "Andai … mama dan papa masih hidup, aku tidak akan hidup seperti ini.” Tapi sosok mereka hadir dalam diri kedua mertuanya. Setidaknya bisa mengobati luka hati yang ia simpan sendirian tanpa sepengetahuan siapa pun."Kana ...!" panggil sebuah suara.Kanaya mengusap air matanya, kemudian tersenyum polos."Kana ...!"Wanita itu dengan segera membuka pintu kamarnya. Wajah pria tampan terpampang nyata di hadapannya, maka dusta mana lagi yang kau inginkan."Tara ...!" Kanaya dibuat kaget oleh ulah suaminya."Suamimu yang tampan bawa sesuatu untukmu. Eits, jangan terharu dulu," ucap Eiden dengan jahil. Wajah Kanaya terli
Wajah Eiden terlihat kusut setelah pertemuannya dengan Risma. Wanita itu meskipun sangat dibenci olehnya. Tetap saja mereka memiliki kisah manis sebelum ia ditinggalkan. Kanaya masuk sambil membawa minumannya."Kamu kenapa?" tanya Kanaya sambil duduk di pinggir ranjangnya. Eiden diam tanpa menjawab. Kanaya mengangkat bahu lalu memainkan ponselnya. Sesekali ia tertawa. Eiden yang sedang melamun seketika melirik ke samping."Ada apa?" tanyanya sambil mengintip ponsel istrinya.Kanaya pura-pura tidak mendengar, ia membalikkan tubuhnya meski sedikit kesusahan akibat perutnya. Ia kembali tertawa, sesekali menyeka air matanya. Eiden menghela napas lelah. Ia tahu sudah salah karena mengabaikan istrinya, semua ini karena kehadiran Risma yang menyebabkan dirinya menjadi seperti sekarang."Sayang, maaf aku nggak bermaksud mengabaikan kamu barusan."Kanaya masih diam tidak menanggapi. Ia malah semakin tertawa menatap ponselnya, Eiden s
Fajar menyingsing menampakkan sinar keemasan. Kanaya membuka mata perlahan. Saat hendak turun, sepasang tangan besar melingkar di perutnya yang sudah berbentuk meskipun belum terlalu menonjol besar. Ia tersenyum menatap wajah damai Eiden yang snagat dekat dengannya, bahkan embusan napas suaminya mengelus lembut permukaan pipinya."Morning, Istriku." Eiden membuka mata dengan mata sayu, bahkan tangannya belum ingin beranjak dari sana."Pagi juga, Ei," balas Kanaya sambil menguap."Bahkan napasmu tercium harum," gombal Eiden sambil memajukan bibirnya.Kanaya meniup napas ke telapak tangan lalu menciumnya. Ia sedikit mual."Bau naga begini dibilang harum, dasar suami bucin!” ejek Kanaya."Tapi bagi diriku napasmu sangat harum, apalagi kalau benda kenyal milikmu dan milikku saling silaturahmi."Kanaya menatap lembut wajah suaminya, perlahan ia membiarkan Eiden mendekatkan bibirnya. Mendekati satu in
Perusahaan Eiden hampir saja mengalami masalah serius. Salah satu pegawai yang menjabat sebagai bendahara, berusaha membawa kabur uang perusahaan. Untungnya pegawai yang selama ini loyal terhadapnya segera melaporkan kejadian tersebut. Jika tidak maka perusahaannya di ambang kehancuran. Eiden keluar dari ruangannya, ia menatap Kanaya serius."Kanaya, ikut saya!" perintahnya.Kanaya mengernyit bingung. Namun, tetap mengikuti langkah suaminya. Mereka berdua sudah sampai di ruang rapat. Pelaku yang selama ini menangani keuangan, tertunduk lesu dengan wajah sembab. Wajahnya yang cantik terlihat memerah menahan tangisan agar tidak keluar. Ia sangat menyesal melakukannya. Tapi saat itu dirinya sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibunya yang bernilai ratusan juta rupiah.Eiden segera duduk di kursi kebesarannya, Kanaya juga duduk di sampingnya."Jelaskan!" perintah Eiden dingin. Wajah tampannya terlihat mengetat menahan amarah. 
Malam itu Kanaya menangis di meja yang berada paling sudut ruangan klub. Jalinan cinta dengan kekasih, sudah ia rajuk semenjak 2012 lalu. Itu artinya ia dan kekasihnya sudah berpacaran kurang lebih selama delapan tahun. Air matanya merembes keluar bak air terjun yang mengalir deras.Di samping Kanaya, terlihat seorang pria sedang meneguk segelas Vodka. Seorang bartender kembali mengantar lagi satu gelas Vodka ke meja tersebut."Hai, kenapa kau menangis?" sapanya di tengah suara musik yang berdentum kencang, mengalahkan toa promo jamu kuat.Kanaya melihat ke sampingnya dan menemukan pria tersebut sedang menatapnya dengan wajah bertanya."Apa urusanmu?""Aku hanya tidak bisa melihat seorang gadis menangis." ejeknya yang terlihat sangat kentara.Kanaya menatap wajah pria tersebut, ke
Kanaya membuka matanya pukul lima pagi. Ia memegang kepalanya yang sedikit terasa pusing. Matanya menelusuri ruangan tempat ia berada dengan seksama."Akh....," Ringisnya saat ia merasakan sakit di area pusatnya.Hingga matanya terpaku pada sosok tubuh tegap yang sedang tidur telungkup di sampingnya. Seakan menyadari sesuatu, Kanaya segera memeriksa tubuhnya di balik selimut. Hampa, mata itu terlihat hampa saat melihat tubuhnya sudah polos dan hanya dibalut selimut putih tipis. Air mata Kanaya mengalir deras mengetahui dirinya tidak suci lagi. Ia pun teringat kejadian semalam. Di mana ia yang meminta pria itu untuk menidurinya. Entah karena alasan apa, tapi dirinya sangat mendamba pria tersebut. Dia pasti sudah gila. Semua yang terjadi adalah kesalahannya, ia tidak boleh melibatkan pria itu dalam masalah yang ia ciptakan sendiri."Dia nggak salah, aku yang ceroboh. Harusnya aku tidak pergi ke klub itu," gumamnya pelan.Kanaya turun dengan perl
Sudah satu bulan berlalu. Namun, belum ada wanita bernama Kanaya yang menemui Eiden untuk meminta pertanggung jawaban. Hal tersebut semakin membuat Eiden frustrasi sekaligus bingung. Di saat banyak pria yang bahagia karena tidak dituntut untuk bertanggung jawab. Berbeda dengan Eiden, pria itu tidak bisa hidup dengan tenang sampai Kanaya menemuinya. Ia bahkan sampai bermimpi memiliki bayi yang mungil nan lucu dan memanggilnya om. Tentu saja Eiden tidak senang akan panggilan tersebut meski hanya dalam mimpi."Lo kenapa lagi?" Tanya Ardi saat melihat wajah sahabatnya sudah bisa disulam."Ardi, kamu bilang dia bakal datang. Mana buktinya? Ini sudah satu bulan tapi dia belum juga datang menemuiku.""Astaga Eiden! Harusnya lo senang.""Senang ndasmu! Yang ada otakku rasanya mau pecah karena kepikiran terus!" dengkusnya membuat Ardi terkikik geli."Lo yakin kalau dia hamil anak lo?""Yakinlah, kan yang pertama menyentuh dia itu aku, tahu ngga
Perusahaan Eiden hampir saja mengalami masalah serius. Salah satu pegawai yang menjabat sebagai bendahara, berusaha membawa kabur uang perusahaan. Untungnya pegawai yang selama ini loyal terhadapnya segera melaporkan kejadian tersebut. Jika tidak maka perusahaannya di ambang kehancuran. Eiden keluar dari ruangannya, ia menatap Kanaya serius."Kanaya, ikut saya!" perintahnya.Kanaya mengernyit bingung. Namun, tetap mengikuti langkah suaminya. Mereka berdua sudah sampai di ruang rapat. Pelaku yang selama ini menangani keuangan, tertunduk lesu dengan wajah sembab. Wajahnya yang cantik terlihat memerah menahan tangisan agar tidak keluar. Ia sangat menyesal melakukannya. Tapi saat itu dirinya sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibunya yang bernilai ratusan juta rupiah.Eiden segera duduk di kursi kebesarannya, Kanaya juga duduk di sampingnya."Jelaskan!" perintah Eiden dingin. Wajah tampannya terlihat mengetat menahan amarah. 
Fajar menyingsing menampakkan sinar keemasan. Kanaya membuka mata perlahan. Saat hendak turun, sepasang tangan besar melingkar di perutnya yang sudah berbentuk meskipun belum terlalu menonjol besar. Ia tersenyum menatap wajah damai Eiden yang snagat dekat dengannya, bahkan embusan napas suaminya mengelus lembut permukaan pipinya."Morning, Istriku." Eiden membuka mata dengan mata sayu, bahkan tangannya belum ingin beranjak dari sana."Pagi juga, Ei," balas Kanaya sambil menguap."Bahkan napasmu tercium harum," gombal Eiden sambil memajukan bibirnya.Kanaya meniup napas ke telapak tangan lalu menciumnya. Ia sedikit mual."Bau naga begini dibilang harum, dasar suami bucin!” ejek Kanaya."Tapi bagi diriku napasmu sangat harum, apalagi kalau benda kenyal milikmu dan milikku saling silaturahmi."Kanaya menatap lembut wajah suaminya, perlahan ia membiarkan Eiden mendekatkan bibirnya. Mendekati satu in
Wajah Eiden terlihat kusut setelah pertemuannya dengan Risma. Wanita itu meskipun sangat dibenci olehnya. Tetap saja mereka memiliki kisah manis sebelum ia ditinggalkan. Kanaya masuk sambil membawa minumannya."Kamu kenapa?" tanya Kanaya sambil duduk di pinggir ranjangnya. Eiden diam tanpa menjawab. Kanaya mengangkat bahu lalu memainkan ponselnya. Sesekali ia tertawa. Eiden yang sedang melamun seketika melirik ke samping."Ada apa?" tanyanya sambil mengintip ponsel istrinya.Kanaya pura-pura tidak mendengar, ia membalikkan tubuhnya meski sedikit kesusahan akibat perutnya. Ia kembali tertawa, sesekali menyeka air matanya. Eiden menghela napas lelah. Ia tahu sudah salah karena mengabaikan istrinya, semua ini karena kehadiran Risma yang menyebabkan dirinya menjadi seperti sekarang."Sayang, maaf aku nggak bermaksud mengabaikan kamu barusan."Kanaya masih diam tidak menanggapi. Ia malah semakin tertawa menatap ponselnya, Eiden s
Kanaya termenung panjang di sudut kamar. Masa lalunya yang menyakitkan tak mampu ia lupakan sampai sekarang. Kilasan akan orang-orang yang sangat ia sayangi terus mendoktrin pikirannya. Tanpa terasa sebulir air mengalir dari sudut matanya yang terlihat murung. "Andai … mama dan papa masih hidup, aku tidak akan hidup seperti ini.” Tapi sosok mereka hadir dalam diri kedua mertuanya. Setidaknya bisa mengobati luka hati yang ia simpan sendirian tanpa sepengetahuan siapa pun."Kana ...!" panggil sebuah suara.Kanaya mengusap air matanya, kemudian tersenyum polos."Kana ...!"Wanita itu dengan segera membuka pintu kamarnya. Wajah pria tampan terpampang nyata di hadapannya, maka dusta mana lagi yang kau inginkan."Tara ...!" Kanaya dibuat kaget oleh ulah suaminya."Suamimu yang tampan bawa sesuatu untukmu. Eits, jangan terharu dulu," ucap Eiden dengan jahil. Wajah Kanaya terli
"Kenapa lagi dengan sekretarismu?" Angga duduk sambil meletakkan cangkirnya di meja.Eiden menghela napas, mengingat insiden kehilangan tender miliaran rupiah. Raut marah masih terlihat jelas di matanya. Masih untung dia memecat bukan membunuh wanita itu. Kewarasan masih menyuruhnya untuk sekadar marah."Papa tau, proyek A&N Company hilang gitu aja. Padahal Eiden bekerja bagai kuda agar bisa memenangkan tender tersebut," terangnya dengan dramatis."Ini sudah kesepuluh kalinya, Ei." Anita datang dan meletakkan cemilan ke hadapan keduanya."Mereka tidak ada yang kompeten sama sekali, Pa. Semuanya hanya menang tampang, tapi otak nihil!"Kanaya datang membawa minuman kemudian ikut duduk di ruang tamu tersebut. Anita melihat ke arah Kanaya dengan seksama. Ia sedang menilai, mana tahu bisa dijadikan sekretaris di perusahaan keluarga mereka."Kanaya kamu lulusan apa?" tanya Anita penasaran.
Pagi Eiden diawali dengan kegabutan yang hakiki. Bagaimana tidak, gagal malam pertama, Kanaya menggodanya tapi tidak memuaskannya, ia ibarat ikan yang dipanggang di atas api yang sedang tamasya ke laut, apes sekali hidupnya sebagai suami."Wajahmu kenapa?" Anita menghampiri meja makan sambil membawa sepiring lauk kesukaan putranya."Memangnya wajahku kenapa, Ma?"Anita melihat dengan serius wajah putranya. "Seperti orang lagi menahan derita. Kalau sakit perut pergilah ke kamar mandi. Nanti kamu malah anu di sini."Eiden makin menekuk wajahnya yang tampan dan rupawannya dinistakan. Kanaya datang sambil membawa nasi dan meletakkan di meja makan. Eiden melirik istrinya yang sedang tersenyum bodoh, bahkan tidak meliriknya sama sekali, padahal Eiden sedang ingin menatap wajah yang selalu membuatnya terbayang siang dan malam."Hai, Istriku," ucap Eiden dengan nada geram yang dibuat terdengar manis.
Eiden uring-uringan di kantornya setelah malam pertama yang ia lewati gagal total. Padahal malam pertama sudah menjadi malam yang paling dia tunggu selama hidupnya. Tapi semuanya berantakan karena istrinya adalah Kanaya. Jika Kanaya tidak menjadi istrinya, ia juga akan tetap uring-uringan karena terbayang selalu. Ardi masuk ke ruangan Eiden sambil membawa beberapa berkas. Pria dengan jambang tipis menatap heran wajah Eiden yang terlihat masam, bahkan mengalahkan asamnya kehidupan."Lo kenapa?"Eiden melihat Ardi, napas ia embuskan dengan lesu. Entah bisa ia mengadu pada pria kribo itu atau tidak. Tapi jika dibiarkan dia sendiri yang akan menderita karena memendam semuanya. Bukankah tidak baik untuk menyimpan unek-unek dalam hati. Ia menatap penuh pertimbangan antara mau bercerita atau tidak. Sungguh, kebimbangan saat ini sedang memeluknya erat.“Serius, kalau lo nggak mau cerita, gue keluar!” pancing Aldi dan hendak pergi."Aku gagal malam p
Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Maxwell. Pasalnya tidak lama lagi mereka akan memiliki cucu pewaris kekayaan Maxwell. Awalnya Kanaya pikir ia akan mendapat sumpah serapah dari wanita yang saat ini sedang tersenyum melihatnya. Kanaya tersenyum kecil menyambut seluruh tamu yang hadir di acara pernikahannya dengan Eiden.Lelaki itu tampak menawan di balik balutan baju pengantin khas Jawa Barat. Kanaya sering mencuri pandang ke arah pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Terkadang ia heran pada suaminya, kenapa begitu ingin menjadikan ia sebagai istrinya. Padahal jika dilihat, orang akan berpikir kalau Eiden pasti melakukan khilaf besar karena memperistrinya."Tampan tanpa pengawet." Kanaya terkikik sendiri dengan ucapannya."Saya tau ketampanan ini mengalahkan Webtoon ‘Terlalu Tamvan’." Raut wajah Eiden terlihat bangga setelah selesai memuji diri sendiri.Ingin sekali Kanaya mengetok kepala suaminya dengan gagang cangkul biar jadi
Kanaya hanya mampu mengigit bibir saat tangan Eiden mencubit pinggangnya. Raut yang terlihat aneh membuat Anita penasaran, apalagi tingkah keduanya semakin mencurigakan. Jika keduanya benar-benar membohonginya, maka tidak akan ada ampunan sedikit pun."Kamu kenapa, Kanaya?" tanya Anita dengan tatapan mencurigakan, apalagi Kanaya tampak menahan sesuatu dan terlihat jelas dari wajahnya."Hah! Tidak, Tan, eh, Ma. Ada semut," ucapnya sambil menggosok pinggangnya yang terasa nyeri."Semut? Mana semutnya?" tanya Angga sambil mengambil sebuah majalan untuk membunuh semut yang mengganggu Kanaya."Papa mau ngapain?" Eiden bertanya heran."Mau membunuh semutnya. Kanaya bilang ada semut," ucap Angga serius. Eiden menegak ludahnya kasar. Papanya ada-ada saja."Jadi, apa kalian pacaran?""Tidak!""Ya!"Untuk kedua kali keduanya memberikan jawaban berbeda. Anita menatap putranya garang."Apa ada yang kamu se