Mark hanya bisa menggelengkan kepala setelah mengetahui tingkah Madona. Dari dulu tidak pernah berubah, suka sekali menentukan masa depan seseorang.
“Memasukkan seorang wanita ke dalam penjara? Seperti bukan dirimu, Madona,” ledek Mark.“Aku tidak peduli. Siapa pun yang pernah melukai hatiku, tidak akan pernah kumaafkan,” tegas Madona memainkan rambutnya sendiri.“Kamu harus belajar dari Lusi, bagaimana cara memaafkan orang lain,” sahut Mark.Madona membenarkan posisi tubuhnya, lalu menatap tajam ke arah Mark.“Kamu juga harus belajar memaafkan Maria yang sudah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuamu. Kamu juga harus belajar memaafkan Maria yang membuatmu buta dan lumpuh,” cecar Madona.Mark tertawa kecil mendengar perkataan Madona.“Kamu saja yang setiap hari bersama Lusi, tidak pernah belajar bagaimana cara memaafkan orang lain. Terus, sekarang kamu menyuruhku untuk belajar dari Lusi? Jangan bicara oFelix menghampiri seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun. Wanita tua itu tengah asyik menikmati waktu luang di ruangan kerja. “Ada apa, Felix? Tumben kamu datang menemuiku?” tanya Nyonya Bona tanpa melihat Felix. Nyonya Bona merupakan wanita yang melahirkan Mark. Ibu kandung Mark, hasil dari pernikahan Nyonya Bona dengan Tuan Baro, pewaris tunggal Geo Grup. “Anak pertama Mark sebentar lagi akan lahir di dunia ini,” ucap Felix duduk di salah satu sofa. Nyonya Bona berpindah duduk di hadapan Felix. Ditatapnya wajah rupawan Felix dengan saksama. “Makin tua, wajahmu makin mirip ayahmu. Aku jadi merindukan ayahmu,” tutur Nyonya Bona. “Tidak perlu merindukan seseorang yang sudah tertanam di dalam tanah,” balas Felix. “Omonganmu kasar sekali. Apakah kamu akan menjawab seperti itu, ketika orang lain merindukan ibumu yang sudah meninggal?” sindir Nyonya Bona. Felix tersenyum tipis lalu berkata, “Maafkan aku. Barusan aku hanya asal memberi jawaban. Lagipula, ibuku belum meni
“Dua hari lagi anak kita lahir, Sayang. Ibu dan kakakku gak ke sini ya?”Lusi selalu menanyakan hal tersebut. Dia sangat ingin ditemani oleh ibunya ketika melahirkan nanti.“Kakakmu sangat sibuk kuliah, sedangkan ibumu sudah kembali ke desa untuk melihat rumah yang direnovasi. Kamu tenang saja, mereka akan menjengekmu ketika mereka sudah tidak sibuk,” jelas Mark menenangkan sang istri.“Ibu sudah pulang kampung? Kok gak pamit?” tanya Lusi bermuka murung.“Pamit kok, kemarin ‘kan ibumu melakukan panggilan video sama kamu,” kata Mark mengelus kening Lusi.“Loh? Tadi malam itu ibuku berpamitan? Yah... Kalau aku tahu, pasti aku gak buru-buru tidur,” sesal Lusi.“Kamu tenang saja, Sayangku. Setelah anak kita lahir, ibumu akan datang untuk melihat cucunya.”Lusi mengangguk mengerti meski hatinya masih sedikit sedih.“Jangan dipikirkan, Sayangku. Yang terpenting sekarang kamu harus mempersiapkan diri. Anak kita akan segera lahir.”Lusi terdiam. Dia sangat merasa nyaman saat jemari besar Mark
“Kamu bertanya aku siapa? Apakah suamimu tidak pernah menyebut namaku?” sungut Nyonya Bona. “Tidak heran, suamimu saja tidak mengundangku waktu kalian menikah,” imbuh Nyonya Bona terlihat kesal.Lusi terdiam, tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ocehan Nyonya Bona. Pandangan Lusi beralih pada anaknya yang terlelap nyaman dalam gendongan Nyonya Bona.“Ibu, jangan berbicara terlalu keras, apalagi sampai mengotot begitu. Nanti, Ibu lelah,” kata Mark.“I-ibu? Maaf, anda ibu dari suamiku?” tanya Lusi bingung.“Iya, aku adalah ibu kandung dari suamimu,” jawab Nyonya Bona.Jantung Lusi berdegup kencang, dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu sang ibu mertua di saat seperti ini. Sejujurnya, Lusi tidak siap.“Ngapain kamu bengong? Wanita yang baru saja melahirkan, tidak boleh bengong,” tegur Nyonya Bona.Lusi tersadar dari lamunan. Senyuman terpatri di wajahnya yang elok. Sebelah tangan Lusi
“Aku gak tahu, memangnya berapa?” tanya Lusi polos.Mark tersenyum tipis sembari mengelus pipi gembul Lusi. Perasaan Mark luar biasa senang. Jiwanya seperti kembali hidup.“Rumah tangga kita lengkap, Sayangku. Kamu berhasil memberiku keturunan, seorang pewaris keluarga George. Wanita sepertimu, sangat spesial.”Mark tak bisa berhenti memuji Lusi. Rasa kagum Mark terhadap Lusi makin bertambah di setiap detik. Seakan Mark tersihir oleh pesona Lusi.“Ibu Bona sudah kembali ke Inggris?” tanya Lusi teringat dengan ibu mertuanya.“Mungkin ibuku belum kembali ke Inggris. Ada seseorang yang tak membiarkan ibuku kembali,” tutur Mark.“Seseorang siapa?” tanya Lusi.Mark tersenyum lembut lalu menggelengkan kepala.“Aku hanya asal berbicara, Sayangku.”Lusi mendorong pelan pundak lebar Mark.“Ah iya, aku baru ingat. Mina memberimu banyak hadiah. Dia tidak bisa menjengukmu karena aku mem
Ibu Tutik terkejut mendengar ucapan Mark. Sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi sangat kaku. Ibu Tutik terdiam, tak tahu harus menjawab apa.“Tidak perlu menutupi apa pun dariku. Bagaimana pun juga, aku adalah menantumu,” ucap Mark santai.“Mak-maksudnya? Aku gak ngerti kamu ngomong apa?” tanya Ibu Tutik bingung. Ibu Tutik masih berpikir positif, mungkin saja Mark hanya asal bicara mengenai bunuh diri.“Aku sudah tahu, penyebab kematian ayah Lusi. Bukan karena serangan jantung, melainkan karena bunuh diri.”Kedua mata Ibu Tutik melotot seperti ingin mengeluarkan isinya. Sebelah tangan Ibu Tutik dipergunakan untuk menutup mulutnya yang terbuka lebar.“Ka-kamu tahu dari mana?” tanya Ibu Tutik tidak bisa menutupi keterkejutannya. “Ada seseorang yang memberi tahumu? Siapa?”“Aku banyak mengetahui hal yang seharusnya tidak perlu aku tahu. Sudah kukatakan, anda tidak usah menutupi sebuah rahasia dariku.”Ibu Tutik m
Enam bulan berlalu... “Aku tidak menyangka akan bertahan di sini selama hampir enam bulan. Keamanan apa yang kamu maksud? Mau sampai kapan kamu tidak memperbolehkan aku kembali ke Inggris?” keluh Nyonya Bona. “Sungguh, aku tidak tahan dengan iklim tropis di sini.” “Padahal anda bisa kabur waktu aku ada di Singapura. Namun, anda memilih tetap berada di sini,” sindir Miky tersenyum tipis memandang wajah cantik Nyonya Bona. Nyonya Bona menghembuskan napas lelah. Pandangannya beralih pada dinding kaca raksasa di hadapannya. Sembari menyeruput teh hangat, mata Nyonya Bona terus menatap deretan gedung-gedung tinggi yang dihiasi cahaya berkilau, dan panorama urban yang sangat memukau penglihatan. “Satu-satunya alasan kenapa aku betah tinggal di sini adalah, kehadiran cucuku. Setiap hari aku datang ke rumah Mark hanya untuk bertemu dengan cucuku, Baby Smith seperti magnet yang mampu menarikku serta menahanku. Pesona Baby Smith begitu kuat. Tan
“Kamu ini ngomong apa sih? Siapa juga yang sungkan? Makin hari kamu makin aneh,” tutur Madona heran. “Sudah tidak ada keperluan lagi ‘kan? Ya sudah, aku mau kembali. Banyak pekerjaan Aldo yang harus aku urus. Dasar pria tidak berguna.” Madona mengeluh kemudian.“Kamu yang aneh, diberi pasangan kaya raya yang sangat mencintaimu, malah kamu memilih untuk bercerai. Diajak serius oleh Felix, kamu tolak.”“Kenapa jadi aku sih? Sudah ah! Kamu nyebelin banget sih!” sungut Madona kesal dengan Mark.Mark tertawa kecil melihat tingkah Madona yang seperti anak kecil.“Perlu aku antar?” tawar Mark.“Tidak perlu, aku membawa sopir.”Madona berlalu meninggalkan ruangan Mark. Bersamaan dengan kepergian Madona, Mina masuk ke dalam ruangan Mark.“Aku sudah memeriksa semua hasil penjualan,” kata Mina melaporkan. “Tidak ada kendala yang berarti. Omset penjualan juga meningkat pesat. Banyak masyarakat menyukai produk makanan ringan yang kita produksi,” tambahnya.“Bagus, pertahankan kinerja kalian,” ujar
Mina terdiam. Tidak ada kata yang tepat untuk menjawab pernyataan Nanda. Semua yang dikatakan oleh Nanda adalah kebenaran. Selama mereka menjalin hubungan, Nanda lah yang membiayai kuliah dan kebutuhan Mina."Coba jawab aku! Siapa yang membiayai hidupmu selama ini? Aku juga mau tanya, siapa yang membuatmu bisa bekerja dengan Smith? Hantu kah?" pungkas Nanda penuh penekanan. "Kenapa diam saja? Ayo mengomel lagi. Sekalian pukul aku!" bentak Nanda.Mina memberanikan diri untuk menatap wajah gahar Nanda. Kemudian Mina menghembuskan napas lelah. Untuk ke sekian kali, Mina memilih mengalah, daripada terus berdebat, dan bertengkar."Lebih baik, kita tidak bertemu dulu. Aku akan pergi dari apartemen ini untuk menenangkan diri. Begitu pun dengan dirimu. Kuharap kamu bisa mengerti keputusan yang aku ambil," papar Mina."Kamu ingin menjauhkan diri dariku? Begitu?""Astaga... Aku tidak bermaksud seperti itu. Kita harus memikirkan kesalahan kita masing-masing. Setelah jiwa kita menenang, baru lah