Jarum panjang jam terus berdetak memutar melewati setiap garis kecil penanda detik waktu terus berlalu. Suara detak jam tak bisa terdengar, terkalahkan oleh suara kencang musik DJ yang mengalun membuat suasana dalam ruangan di lantai 25 itu bergema begitu memekakan telinga. Malvin untuk kesekian kalinya kembali memperhatikan jam dinding, yang tergantung di dinding atas meja bartender yang tengah sibuk menyiapkan minuman yang sudah masuk list pesanan. Pria dengan tampilan maskulin itu mencoba menyeruput kopi dingin dalam genggaman, guna mengusir sedikit rasa kesal yang tengah ia rasakan. Seorang wanita dengan pakaian seksi memperlihatkan lekuk tubuh, tiba-tiba datang menghampirinya menawarkan segelas sampanye mencoba menarik atensi. Ramput pirang yang sengaja digerai dikibaskan ke belakang, demi mengekspos bagian pundak sampai belahan baju. Namun, melirik pun tidak, Malvin justru mengabaikan wanita tersebut. Karena semakin lama merasa terganggu, pria itu akhirnya melirik dengan mata
JAKARTA Lantai delapan tempat divisi pemasaran satu berada. Ruang kerja berisi enam meja yang saling bersisihan kecuali meja manajer serta wakil manager itu kini dipenuhi dengan wajah-wajah tegang. Setelah mengetahui jika perusahaan akan menyambut CEO baru yang telah lama mengurus perusahaan cabangnya di New York, setiap divisi langsung sibuk merapikan laporan di divisinya masing-masing. Karena dari semua divisi di perusahaan tidak ingin kena semprot oleh pimpinan baru. Setelah berlarut-larut dalam kerjaan, waktu istirahat akhirnya tiba. Semua karyawan dalam ruangan tampak membenarkan posisi duduknya, tetapi tidak ada yang berani istirahat keluar di hari yang super sibuk kali ini. Belum lagi Bu Manager hari ini yang terlihat super sensitif karena data laporannya tak kunjung selesai direkap. Namun, berbeda dengan seorang wanita bernama Moza. Di tengah suasana menegangkan dalam ruangan, wanita itu masih sempat-sempatnya menyunggingkan senyum lebar, tatkala sebuah pesan ajakan makan s
Kamar dengan atap kubah berlangit-langit putih itu memiliki nuansa warna putih, marun dan perak yang memberikan kesan begitu mewah untuk sebuah ruang kamar berukuran 3×5 meter. Mulai dari tirai, hiasan kaca, hiasan dinding, karpet, pinggiran kursi sampai dipan dilapisi dengan warna yang dominan terlihat mewah.Terdapat dua lampu gantung, masing-masing di atas tempat tidur beludru warna marun dan satu lagi di atas sofa untuk menjamu tamu. Tak lupa lantai marmernya yang berwarna gading semakin memperindah suasana kamar. Kini Malvin duduk di sofa yang sengaja didekatkan di sisi ranjang king size tempat Nenek Puspa bersandar. Setelah landing sampai di Jakarta. Ia memutuskan untuk segera menemui Nenek Puspa serta Kakek Rama di mansion yang sudah berkali-kali melakukan renovasi ini.Nenek Puspa tampak begitu pucat. Kali ini ia benar-benar terkejut dengan rumor yang menyebar mengenai cucu kesayangannya. Di tengah kondisi fisik serta mental yang terguncang, setidaknya ia senang akhirnya bisa
"Thara lo waras?" keluh Moza melihat wajahnya yang tiba-tiba di make up begitu tebal. "Hush! Jangan berisik ah. Nanti juga lo bakal pangling lihat wajah lo sendiri," tampik Thara fokus mendandani Moza di apartemen miliknya. "Harus banget ya gue didandani kek gini?" Moza kembali protes. "Iyalah lo kan mau mencampakkan cowok masa lo kaya pulu-pulu, kan gak lucu. Kali ini gue mau lo nunjukin diri jadi wanita badas yang hobinya mainin cowok. Keren, kan skenario gue," kekeh Thara menyapukan kuas make up ke pipi Moza. "Mending si jadi cewek jelek terus bego sekalian," timpal Moza. "Udah pernah gue pake cara itu. Eh, malah gue disukai sama om-om yang dateng ke kencan buta. Untung gue pake rencana cadangan," sangah Thara mengingat kejadian kencan buta dua minggu yang lalu."Rencana Cadangan? Om-om? Ha!" Moza sedikit terkejut mendengar jika Thara kencan buta bersama om-om. "Iya, selama kencan buta kebanyakan yang dateng udah om-om umur tiga puluh tahun ke atas. Yang tiga puluh tahun ke ba
Satu Minggu yang lalu.Lantai delapan Batara Group Gedung Pusat."Za, lo tahu gak rumor tentang CEO baru kita?" cetus Tiara memepetkan kursi kerja. Seperti biasa pasti akan ada sesi menyebarkan rumor atau gosip di sela kerja harian dengan rutinitas yang sama. "Apa emang?" timpal Moza penasaran. Mendekatkan telinga. "Katanya CEO baru kita itu pasien sakit jiwa," bisik Tiara dengan mata jelalatan mengantisipasi atensi karyawan lain yang tiba-tiba memperhatikan mereka."Ha? Masa sih kok bisa?" tanya Moza penasaran dengan mata terbelalak karena info ini baru didengarnya."Hush! Jangan kenceng-kenceng, bisik-bisik aja. Jangan lupa pura-pura kerja!" bisik Tiara benar-benar waspada level tinggi. "Iya iya terus kenapa kok bisa disebut pasien sakit jiwa?" bisik Moza mengulangi pertanyaannya."Katanya Pak CEO terkenal banget di kantor New York dan kantor ini sebelumnya. Sebagai pasien gangguan kecemasan yang akan melakukan semua yang dia katakan. Seorang pendukung fanatik dari larangan berpa
"Nona Thara masih di sana?" tanya Malvin berhasil menyadarkan Moza yang tengah kemelut dengan pikirannya."Ah, iya. Saya tahu! Kenapa saya tidak mau menikah dengan Tuan!" sahut Moza kembali tersadar. Ia harus mendeklarasikan penolakannya. Jika tidak bisa-bisa ia habis oleh Thara nanti."Kenapa, Nona?" Malvin mengkonfirmasi alasan dirinya ditolak."Karena Tuan bukan tipe saya!" tandas Moza memberitahu."Tipe seperti apa yang Nona Thara sukai?" Malvin balik bertanya, dengan tenang menanggapi. "Yang jelas yang tidak mengajak menikah lewat telepon," sahut Moza asal. "Baik, jadi kapan kita bisa bertemu?" "Apa! Tidak! Saya tidak mau bertemu Tuan lagi. Kencan buta kemarin adalah pertemuan terakhir kita," tandas Moza mencak-mencak.Tut!Moza mematikan panggilan, merasa frustasi."Aduh! Kenapa setelah kencan buta hidupku jadi banyak kejutan gini. Kuharap kejutan ini sudah berakhir. Kasihan jantungku." Moza menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan seraya mengusap dada. Tanpa sadar ia t
"Saya tidak menyangka Nona Thara mengajak saya bertemu secara mendadak," ucap Malvin setelah duduk tegap di hadapan Moza. Moza kembali tersadar, ia harus fokus. "Maafkan saya Tuan karena mendadak mengajak bertemu," balas Moza menyunggingkan senyum."Tidak, justru saya senang karena saya juga ingin bertemu Nona," timpal Malvin melepas setelan jasnya. Moza kembali menelan saliva."Maafkan saya Nona karena saya datang dengan penampilan berantakan. Kali ini saya mengalami hal yang tidak mengenakan di jalan," aku Malvin menyugar rambutnya. 'Heh! Malah minta maaf. Eh, gak! Pak CEO emang harus minta maaf. Bisa-bisanya rambutnya yang disugar, hatiku malah yang bergetar. Sialan!' rutuk Moza hatinya menangis haru dengan pemandangan indah yang baru saja ia lihat. "Jadi Nona berkaitan dengan pernyataan saya ditelepon kemarin. Saya ingin mengajak Nona—" Moza membola, ia tahu apa yang akan pria di hadapannya ucapkan. "Tuan Malvin mau pesan apa?" potong Moza dengan cepat. Hatinya belum siap denga
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Malvin menyeringai menatap paras wanita yang tengah terlelap dalam tidurnya. "Tidak kusangka kau akan menungguku. Apakah ini yang dinamakan takdir? Sekarang kau jelas ditakdirkan menjadi jodohku," gumam Malvin menyunggingkan senyum. Kini ia sudah berada di hadapan Moza yang ketiduran dalam penantiannya. Wanita di hadapan Malvin tampak sangat cantik, Moza begitu anteng dalam tidurnya. Membuat Malvin refleks kembali tersenyum memperhatikan Moza yang bisa tertidur dalam posisi duduk. Sembari menunggu Moza terbangun, Malvin memeriksa beberapa berkas penting melalui gawai miliknya. Hingga, pelayan restoran membawa minuman pesanan Malvin. Sekitar satu jam kemudian, wanita yang telah Malvin tandai sebagai jodohnya itu tampak menggerakan tubuh.Moza mengerjap, hingga akhirnya membuka mata. Wanita itu tampak melihat Malvin di hadapannya."Nona sudah bangun?" sambut Malvin tersenyum kecil. S
"Kumohon Tuan rahasiakan kebenaran ini," bujuk Thara dengan wajah memelas. Savian mematung di tempat, ia sudah memprediksi respon Thara. Namun, ia tak menyadari jika dirinya akan segoyah ini. Thara meraih kedua tangan Savian kemudian menggenggamnya dalam satu telungkupan tangan. Wanita itu bersungguh-sungguh dengan permintaannya. "Mungkin akan sangat sulit karena di satu sisi Tuan adalah karyawan Batara Group. Tapi saya mohon untuk satu ini, demi kebaikan bersama. Karena Moza menggantikan saya juga karena saya memaksa dia. Jadi ini semua salah saya. Jika Moza sampai dipecat, hubungan persahabatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun pasti hancur. Saya mohon Tuan, tolong jangan beri tahu identitas Moza yang sebenarnya ke Malvin," pinta Thara dengan kedua bola mata berkaca-kaca menatap pria di hadapannya.Savian mendesah sepertinya ia memang sudah goyah sejak awal. "Baiklah Nona saya tidak akan memberitahukan Pak CEO tentang kebenaran Nona Moza," cetus Savian setelah tahu tentang
"Ada yang bisa saya bantu, Pak CEO?" tanya Savian sudah berada di ruangan Malvin. Malvin tampak langsung mengalihkan atensi, menatap Savian dengan serius. "Calon istriku kembali menghilang. Tanyakan kepada Nona Thara tentang keberadannya.""Apakah Pak CEO belum juga tahu di mana rumah Nona Lisa?" tanya Savian, tak menyangka jika wanita yang ingin atasannya jadikan istri itu kembali menghilang dan ia diminta untuk kembali mencarinya. Walaupun sebenarnya ia tak keberatan akan hal itu karena ia jadi punya alasan untuk bertemu dengan Thara lagi."Aku lupa untuk bertanya. Jadi cari keberadaannya, tanyakan kembali ke Nona Thara. Saya yakin jika Nona Thara sangat mengenal Nona Lisa," ucap Malvin tampak menyesali kesalahan kecil yang justru sangat berdampak untuk situasinya sekarang. Karena kembali ia meminta bantuan kepada Savian. "Baik, Pak CEO," jawab Savian tak mengira jika atasannya kini kembali melewatkan hal penting. Ke mana Malvin yang perfeksionis itu? Savian hanya bisa mengembuska
"Pernikahan apa maksudnya ya?" tanya Moza memecah ketegangan di antara Malvin dan Kakek Rama. "Astaga, apakah Malvin belum melamarmu?" sahut Nenek Puspa tak percaya dengan tebakannya. Sekilas ia langsung menatap Malvin."Ah, itu ...." Malvin sejenak memikirkan jawaban yang tepat. "Iya, Nek belum dan juga saya tidak ingin buru-buru menikah. Saya ingin mengenal Malvin lebih jauh dan ingin mempersiapkan diri untuk jenjang yang lebih serius," ucap Moza mengambil alih.Mengutarakan kesimpulan dari pertemuan ini seraya menyunggingkan senyum. Ia tak ingin pernyataannya dianggap serius, tetapi ia juga tak ingin pernyataannya barusan diabaikan begitu saja. Moza berusaha keras agar kalimat yang ia ucapkan tidak terkesan menolak pernyataan Kakek Rama. Semoga saja dengan ini Kakek Rama dan Nenek Puspa mengerti. "Sebenarnya itu juga keputusan yang tepat. Kalian memang seharusnya saling mengenal lebih jauh. Sebuah pernikahan harus diikat dengan keyakinan dari kedua belah pihak," simpul Nenek Pus
Moza mematung menatap interaksi pasangan lanjut usia yang tampak mesra tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengenal sekali wanita yang tengah duduk dengan anggun bersama presdir Batara Group itu. Nenek Puspa adalah ketua komunitas penggemar boyband kesukaannya. Setiap bulan club yang diikuti Moza bersama Thara itu sering mengadakan acara dan Nenek Puspa-lah ketua komunitas tersebut. Siapa sangka bukan jika Nenek sekeren Nenek Puspa itu adalah nenek dari seorang Malvin Alexander Batara. Sungguh kebetulan yang Moza tidak pernah duga. "Apa maksud Nona tidak bisa bertemu dengan Nenek saya? Apakah Nona mengenal Nenek Puspa?" tanya Malvin sontak mengalihkan atensi Moza. "I–itu ...." Moza tergagap. Haruskah ia bilang jika sebenarnya ia mengenal Nenek Puspa. Tidak! Itu terlalu beresiko, Moza tidak ingin membuka celah. Jika itu terjadi maka indetitas dirinya benar-benar dipertaruhkan. Karena jika ketahuan, Nenek Puspa maupun Kakek Rama pasti akan kecewa apalagi tentang hubungan pura-pura ya
Hari pertemuan dengan Kakek Rama dan Nenek Puspa pun tiba. Moza diajak Malvin ke sebuah butik ternama di ibu kota. Kedatangan Malvin dan Moza langsung disambut para karyawan butik yang berjejer memberi sambutan."Selamat datang," sapa mereka serentak seraya menunduk hormat, Moza yang digandeng Malvin refleks sedikit menunduk, ia terkejut karena pelayanan kelas atas yang ia rasakan saat masuk bersama Malvin. "Selamat datang Tuan Malvin dan Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita empat puluh tahunan menyapa. Sekilas Moza menatap name tag yang terpasang di dada wanita tersebut. Namanya adalah Miss Lidia, Kepala Manager di butik.Moza terkejut dalam diam. Ia tak menyangka jika yang akan melayaninya itu kepala manager butik itu sendiri yang langsung turun tangan. Apakah Malvin pelanggan tetap atau bagaimana. Namun, ia tak berani menanyakannya. "Saya ingin mencari setelan baju yang pas untuk makan malam keluarga. Setelan yang saya gunakan akan mengikuti gaun yang dikenakan
Grep!Tangan kanan Malvin meraih pinggang wanita di hadapannya. Ditariknya tubuh Moza dalam sebuah dekapan erat. Dada mereka saling bersentuhan, degub jantung keduanya saling bertalu sama kencangnya. Sedangkan tangan kirinya menekan punggung wanita itu untuk terus mendekat ke padanya. Moza jatuh di dada bidang Malvin dengan sempurna, kini tak ada lagi jarak di antara keduanya. Wanita itu mencium bau citrus bercampur mint dari tubuh pria yang kini memeluknya. Anehnya, membuatnya betah dalam posisi berpelukan yang kini berhasil menutupi wajahnya bersemu merah. Moza seperti merasakan ribuan kupu-kupu tengah beterbangan di dalam perutnya. Sebuah perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir aneh. Sama halnya dengan Moza, Malvin pun merasakan hal sama. Jantungnya berdegub tidak semestinya. Ia ingin terus memeluk wanita yang kini membuatnya merasakan kehangatan sebuah pelukan. Tanpa sadar Malvin mempererat pelukannya, hingga beberapa menit kemudian orang-orang yang berada di parkiran mulai
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa lo udah ninuninu sama sekretarisnya bos gue?" desak Moza meminta penjelasan. "Em, tentang itu ...." Thara kembali menjeda kalimatnya. Ia memutuskan untuk pindah ke kamar mandi. "Gue berharapnya sih iya. Tapi ternyata Savian orangnya manly banget, Za. Dia jagain gue banget pas di apartemen. Gue inget banget karena nunguin dia nelepon gue ketiduran di sofa. Pas bangun gue udah ada di ranjang kamar. Awalnya gue kecewa karena gak bisa tidur bareng dia. Tapi pas pagi tadi gue keluar lihat dia tidur di sofa sambil meringkuk dan itu berhasil bikin hati gue terenyuh." Moza dengan seksama mendengarkan penuturan Thara lewat sambungan telepon. "Jarang banget ada cowok yang gak kebawa nafsunya sendiri, Za. Dia rela tidur di sofa demi jaga gue agar bisa tidur di ranjang kamarnya dengan nyaman. Padahal malam itu gue udah pasrah kalo dia menginginkan gue sama kaya gue mengginginkan dia. Tapi dia pria yang berbeda, Za. Dia pria terhorm
Thara mematung sejenak menatap tumpukan kardus di dalam ruang depan sebuah apartemen yang sudah ditinggali mulai hari ini. Ia duduk diam di sebuah sofa sembari sesekali menatap sekitar dengan boneka beruang besar miliknya yang sengaja ia dekap sejak tadi. Kondisi apartemen masih tampak polos, hanya furniture penting saja yang baru mengisi ruang apartemen. Thara menebak jika tumpukan kardus itu pasti barang-barang milik Savian yang belum sempat dibuka. Sembari menunggu pria itu yang masih mandi, Thara menghidupkan layar televisi guna mencairkan rasa gugup yang ia tengah rasakan. Bagaimana pun setelah dipikirkan kembali, Thara sungguh bersikap di luar nalar hari ini. Bisa-bisanya ia meminta untuk tidur bersama di apartemen milik Savian hanya karena apartemennya menjadi sarang banyak kecoak. Ia malu dengan tindakannya, tetapi ia juga merasa bersyukur akan hal tersebut. Thara sungguh tak menyangka jika malam ini ia akan tidur di apartemen seorang pria. Pria
Karena jarak rumah dengan perusahaan dirasa cukup terlalu jauh. Satu minggu lalu Savian memutuskan untuk menyewa salah satu unit apartemen yang bisa memangkas waktu perjalanan ke Batara Group. Hari ini adalah hari pindahannya. Berkat menyewa jasa pindahan, pria itu jadi tidak kerepotan memikirkan barang pindahannya dan bisa pulang kerja tepat waktu.Savian dengan tas kerja di tangan memasuki area apartemen barunya. Ditekannya tombol lift di angka dua puluh. Ia akan langsung beristirahat hari ini, untuk merapikan apartemen mungkin bisa ia lakukan akhir pekan nanti. Setidaknya apartemen sudah terisi oleh perabotan seperti ranjang kamar, sofa dan beberapa peralatan masak. Lift yang bergerak naik akhirnya tiba di lantai dua puluh. Savian menjejakan kakinya berjalan dengan tegap mencari letak unit apartemennya yang belum ia hafal betul karena desain pintu depan setiap unit apartemen sama, yang membedakan hanya nomor unitnya. Unit apartemen Savian adalah nomor 202, pria itu tampak sesekal