Satu Minggu yang lalu.
Lantai delapan Batara Group Gedung Pusat."Za, lo tahu gak rumor tentang CEO baru kita?" cetus Tiara memepetkan kursi kerja. Seperti biasa pasti akan ada sesi menyebarkan rumor atau gosip di sela kerja harian dengan rutinitas yang sama."Apa emang?" timpal Moza penasaran. Mendekatkan telinga."Katanya CEO baru kita itu pasien sakit jiwa," bisik Tiara dengan mata jelalatan mengantisipasi atensi karyawan lain yang tiba-tiba memperhatikan mereka."Ha? Masa sih kok bisa?" tanya Moza penasaran dengan mata terbelalak karena info ini baru didengarnya."Hush! Jangan kenceng-kenceng, bisik-bisik aja. Jangan lupa pura-pura kerja!" bisik Tiara benar-benar waspada level tinggi."Iya iya terus kenapa kok bisa disebut pasien sakit jiwa?" bisik Moza mengulangi pertanyaannya."Katanya Pak CEO terkenal banget di kantor New York dan kantor ini sebelumnya. Sebagai pasien gangguan kecemasan yang akan melakukan semua yang dia katakan. Seorang pendukung fanatik dari larangan berpacaran sesama pegawai," jelas Tiara menekankan suara di setiap kalimat yang ia ucapkan."Yang paling dia benci itu berbohong. Kalau ada karyawan yang berbohong pasti akan langsung dipecat," tandas Tiara berhasil membuat Moza merinding. Mengetahui ternyata sekejam itu pimpinan baru perusahaannya."Jangan sampai kita berurusan langsung dengan CEO baru. Untungnya kita cuma karyawan rendahan yang sudah diangkat jadi karyawan tetap," desah Tiara terdengar begitu bersyukur untuk posisinya sekarang.Walaupun pasti setiap karyawan ingin mendapatkan promosi menduduki jabatan yang lebih tinggi. Namun, kenyamanan dalam bekerja itulah yang terpenting.***Dengan jelas Moza masih mengingat percakapan di kantor minggu lalu saat Tiara memberitahukannya tentang gosip CEO baru dengan julukan "Pasien Sakit Jiwa" yang sangat membenci kebohongan dan tak segan-segan memecat karyawannya yang berbohong. Dengan susah payah Moza menelan saliva. Merutuki perilakunya beberapa menit yang lalu dan yang lebih parahnya lagi kini ia masih harus berhadapan dengan Pak CEO di restoran ini.'Tidak! Aku tidak bisa kehilangan semuanya! Pekerjaanku, upahku, sewa kedai bakso orang tuaku. Kalau bisa aku harus mempertahankan hal yang sudah aku mulai. Di kantor, kecil kemungkinan akan bertemu dengan Pak CEO karena aku hanya karyawan biasa dan untuk sekarang aku harus berhasil membuatnya ilfeel dengan kebohonganku kini.'"Ada yang aneh Nona Thara?" tanya Malvin menanggapi reaksi Moza."Ah, tidak! Saya hanya sangat mengagumi, Tuan sebagai CEO Batara Group," kilah Moza menyunggingkan senyum paksa di kedua sudut bibir."Ah, iya apakah Tuan Malvin tidak masalah jika saya suka bermain dengan pria?" cetus Moza menatap pria di hadapan yang mulai memperhatikannya."Untuk hanya sekedar bermain dengan pria saya tidak masalah," jawab Malvin seraya meletakan cangkir berisi Hot Espresso."Yang saya maksud bukan hanya sekedar bermain, Tuan. Tapi saya juga tidur bersama dengan pria. Satu lawan satu, satu lawan dua, dua lawan tiga. Bermain dengan pecut, rantai, saya sangat suka hal tersebut," ucap Moza dengan percaya diri."Begitulah saya, karena saya sangat bodoh dan tidak tahu apa-apa. Yang bisa saya lakukan hanya memikirkan pria serta bersenang-senang," jelas Moza mengibaskan rambutnya dengan genit seraya tersenyum kecil.'Kau pasti ilfeel, kan denganku? HAHA!'"Saya suka sikap jujur, Nona. Sikap yang cukup baik," ucap Malvin kembali meraih cangkir minumannya.Doeng!"Ha! Apa?" cetus Moza tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Sebelum Malvin mengulangi perkataannya Moza segera memotong."Saya tidak mengira kejujuran saya dihargai. Tapi, saya bukan wanita yang baik, Tuan. Saya akan memberitahu wanita seperti apa saya." Tanpa menunggu persetujuan, Moza justru merangkak melewati meja mendekati Malvin. Wanita itu tak peduli dengan atensi pengunjung lain yang terus memperhatikannya dengan tatapan melongo.'Kumohon pergilah! Agar aku tidak melanjutkan niat gilaku ini!' rutuk Moza menatap pria di hadapan yang justru tak bergeming."Tuan Malvin saya adalah wanita yang sangat suka bermain dengan pria di ranjang. Saya ahli dalam hal itu, gaya depan, belakang, menungging. Ah, saya bahkan berpikir ingin melahap serta membuat Tuan meleleh," goda Moza dengan gila duduk di tepi meja tepat di hadapan Malvin yang justru tak mengatakan apapun. Wajahnya datar melihat wanita gila yang terus mengutarakan hal tak senonoh.'Ayolah katakan apapun,' rutuk Moza dibalik senyum yang tersungging.'Sial! Rasanya aku ingin menangis,' batin Moza menahan malu.Hingga, tiba-tiba Malvin mengalihkan atensinya menatap jam di pergelangan tangan."Saya sudah cukup mengenal Nona untuk pertemuan kali ini. Maaf saya harus pergi terlebih dahulu karena saya ada meeting penting sebentar lagi," tukas Malvin akhirnya, berhasil membuat Moza bersorak dalam hati.Setelah mendapat anggukkan dari Moza. Malvin akhirnya melangkah pergi. Mengejar jadwal meetingnya siang ini bersama klien."Dia melarikan diri, kan? Yeah, sudah jelas begitu! Mana mungkin seorang CEO Batara Group yang terkenal hebat itu akan mau dengan wanita yang suka main dengan pria," gumam Moza, rasa khawatir misinya akan gagal menyusup ke pikirannya. Namun, dengan cepat wanita itu mengusirnya jauh-jauh."Haha! tidak mungkin. Misiku pasti berhasil. Aku harus meminta komisiku dengan segera. Bisa-bisanya si Thara membuatku menanggung risiko sebesar ini! Awas saja, aku akan meminta bayaran beserta bonus-bonusnya," ucap Moza menggenggam jari-jemarinya dengan erat seraya mendengkus kesal.***Dua pendingin ruangan tampak bekerja di hari yang panas ini setelah Pak Eko mengatur suhunya ke 19 derajat celcius. Hanya suara ketikan serta suara mesin print yang tengah mencetak dokumen yang mengisi ruangan yang bisa dibilang hening ini. Bagaimana tidak, setiap karyawan kini tengah fokus dengan pekerjaannya masing-masing.Hingga sebuah dering telepon masuk mengalihkan beberapa atensi karyawan ke arah Moza. Wanita itu mengangguk ke arah beberapa teman kerjanya, izin mengangkat telepon. Dilihat ternyata panggilan masuk dari nomor yang tidak diketahui."Halo ini siapa ya?" tanya Moza meminta konfirmasi orang yang menelepon."Ini saya Malvin," jawab Malvin di seberang sana.Moza terdiam sejenak ia tidak mengira jika Malvin akan menghubunginya langsung setelah di kencan buta kemarin sempat meminta nomor teleponnya.'Aku kira meminta nomor telepon kemarin hanya sekedar sopan santun. Lalu sekarang kenapa meneleponku?' batin Moza bertanya-tanya dalam diam."Nona Thara," panggil Malvin memeriksa apakah wanita yang ia telepon masih menerima panggilan.Pria itu kemudian mendengar dengkus napas Moza."Ayo kita menikah," ucap Malvin tanpa basa-basi mengutarakan niatnya."Ha! Apa? Menikah?" seru Moza tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Membuatnya menjadi pusat perhatian seisi kantor. Menyadari hal tersebut membuat wanita itu langsung beranjak meninggalkan kantor dengan kikuk."Dasar karyawan makan gaji buta!" Kesal Bu Manager memicingkan mata ke arah Moza."Maaf, Bu nanti saya tegur," balas Pak Eko seraya sedikit menunduk merasa tak enak hati karena tingkah laku Moza.Kembali ke percakapan via telepon."Iya, saya ingin menikahi Nona Thara," ucap Malvin cukup jelas setelah mendengar kalimat konfirmasi sang penerima panggilan seraya memeriksa beberapa berkas di dalam perjalanannya kembali ke perusahaan setelah bertemu klien."Apa Pak CEO ... tidak maksud saya Tuan Malvin bercanda?" timpal Moza masih tidak percaya. Bagaimana bisa Malvin mengajaknya menikah setelah pertemuan pertama mereka dan bukankah saat kencan buta kemarin pria itu melarikan diri? Terus kenapa sekarang malah mengajak menikah."Apa saya terdengar bercanda?" sangkal Malvin tak mengalihkan atensinya sedikit pun."Ha? Saya tidak pantas untuk jadi istri Tuan dan juga kita, kan baru bertemu kemarin masa langsung menikah," tolak Moza merendah."Kenapa tidak pantas? Nona bersedia jujur kepada saya," timpal Malvin menilai sifat baik Moza di kencan buta kemarin.'Jujur? Apa maksudnya jujur sebagai maniak seks? Dasar gila!' rutuk Moza tak percaya."Pokoknya saya tidak mau menikah dengan Tuan!" tolak Moza mentah-mentah."Apakah saya tidak pantas untuk Nona? Saya cukup tampan, kaya, berbakat serta perusahaan yang saya pimpin termasuk sepuluh besar perusahaan terbesar di negri ini." Malvin mempromosikan dirinya tidak ingin ditolak. Bagaimana pun sejauh ini belum ada yang pernah menolaknya.'Aduh! Mana bener lagi.' Moza frustasi.Kalimat penolakan apa lagi yang harus Moza ucapkan? Moza benar-benar bingung. Bagaimana pun Malvin adalah pria gila dan tipenya adalah wanita nakal. Sepertinya Moza salah strategi menghadiri kencan buta kemarin dengan berpura-pura sebagai wanita nakal super gila. Karena ternyata Malvin semesum itu.'Sialan!' rutuk Moza meratapi nasibnya."Nona Thara masih di sana?" tanya Malvin berhasil menyadarkan Moza yang tengah kemelut dengan pikirannya."Ah, iya. Saya tahu! Kenapa saya tidak mau menikah dengan Tuan!" sahut Moza kembali tersadar. Ia harus mendeklarasikan penolakannya. Jika tidak bisa-bisa ia habis oleh Thara nanti."Kenapa, Nona?" Malvin mengkonfirmasi alasan dirinya ditolak."Karena Tuan bukan tipe saya!" tandas Moza memberitahu."Tipe seperti apa yang Nona Thara sukai?" Malvin balik bertanya, dengan tenang menanggapi. "Yang jelas yang tidak mengajak menikah lewat telepon," sahut Moza asal. "Baik, jadi kapan kita bisa bertemu?" "Apa! Tidak! Saya tidak mau bertemu Tuan lagi. Kencan buta kemarin adalah pertemuan terakhir kita," tandas Moza mencak-mencak.Tut!Moza mematikan panggilan, merasa frustasi."Aduh! Kenapa setelah kencan buta hidupku jadi banyak kejutan gini. Kuharap kejutan ini sudah berakhir. Kasihan jantungku." Moza menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan seraya mengusap dada. Tanpa sadar ia t
"Saya tidak menyangka Nona Thara mengajak saya bertemu secara mendadak," ucap Malvin setelah duduk tegap di hadapan Moza. Moza kembali tersadar, ia harus fokus. "Maafkan saya Tuan karena mendadak mengajak bertemu," balas Moza menyunggingkan senyum."Tidak, justru saya senang karena saya juga ingin bertemu Nona," timpal Malvin melepas setelan jasnya. Moza kembali menelan saliva."Maafkan saya Nona karena saya datang dengan penampilan berantakan. Kali ini saya mengalami hal yang tidak mengenakan di jalan," aku Malvin menyugar rambutnya. 'Heh! Malah minta maaf. Eh, gak! Pak CEO emang harus minta maaf. Bisa-bisanya rambutnya yang disugar, hatiku malah yang bergetar. Sialan!' rutuk Moza hatinya menangis haru dengan pemandangan indah yang baru saja ia lihat. "Jadi Nona berkaitan dengan pernyataan saya ditelepon kemarin. Saya ingin mengajak Nona—" Moza membola, ia tahu apa yang akan pria di hadapannya ucapkan. "Tuan Malvin mau pesan apa?" potong Moza dengan cepat. Hatinya belum siap denga
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Malvin menyeringai menatap paras wanita yang tengah terlelap dalam tidurnya. "Tidak kusangka kau akan menungguku. Apakah ini yang dinamakan takdir? Sekarang kau jelas ditakdirkan menjadi jodohku," gumam Malvin menyunggingkan senyum. Kini ia sudah berada di hadapan Moza yang ketiduran dalam penantiannya. Wanita di hadapan Malvin tampak sangat cantik, Moza begitu anteng dalam tidurnya. Membuat Malvin refleks kembali tersenyum memperhatikan Moza yang bisa tertidur dalam posisi duduk. Sembari menunggu Moza terbangun, Malvin memeriksa beberapa berkas penting melalui gawai miliknya. Hingga, pelayan restoran membawa minuman pesanan Malvin. Sekitar satu jam kemudian, wanita yang telah Malvin tandai sebagai jodohnya itu tampak menggerakan tubuh.Moza mengerjap, hingga akhirnya membuka mata. Wanita itu tampak melihat Malvin di hadapannya."Nona sudah bangun?" sambut Malvin tersenyum kecil. S
Savian kembali terpokus pada lawan bicaranya. Dengan intens ia memperhatikan penampilan wanita yang dikenal sebagai anak tunggal InterPress Gruop tersebut yang telah ditandai Malvin sebagai istrinya. Nona Thara yang ia lihat sekilas saat pertemuan dengan atasannya beberapa hari yang lalu terlihat begitu berpenampilan seksi dengan make up tebal menghiasi wajah. Savian menelisik, memperhatikan penampilan wanita di hadapan. Penampilan anak tunggal InterPress Group kali ini justru terlihat berbeda dengan make up tipis serta setelan baju yang lumayan sopan.'Apakah wajah aslinya tanpa make up tebal memang seperti ini?' Savian menerka. "Maaf saya sedikit terkejut," cetus Thara mengendalikan diri dari keterkejutannya."Ada urusan apa ya Tuan mencari saya? Bukankah masalah perjodohan sudah terselesaikan kemarin?" tukas Thara menyesalinya. Hatinya menangis karena meminta Moza menolak lamaran pria setampan nan memesona di hadapannya."Ah, jika b
Di kamarnya yang hanya berukuran 3×4 meter itu Moza tengah sibuk mengecat kuku kakinya dengan kutek berwarna nude. Kamar yang dipenuhi dengan kenangan semasa bersekolah dulu tak berubah. Hanya bertambah beberapa dekorasi yang ikut menenuhi ruang kamar. Sejak SMA Moza sangat hobi membeli poster idol Kpop kesukaannya, bahkan poster tersebut masih awet memenuhi dinding kamar. Belum lagi pernak-pernik Kpop lainnya. Karena menjadi fangirl membuatnya betah menjomlo selama ini. Lebih tepatnya betah menunggu Rendy menyadari kehadirannya. Masa-masa SMA yang membuatnya memiliki sahabat seperti Thara sampai saat ini. Saat Moza tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Wanita itu meraih ponsel di atas nakas. Melihat nama kontak yang meneleponnya malam-malam. Tebakannya adalah Thara dan ternyata tepat sasaran."Ada apa, Ra?" tanya Moza langsung ke inti. "Gue baru ketemu Malvin," aku Thara membuat Moza langsung membola.
Di tengah situasi canggung penuh kesalahpahaman. Thara teralihkan dengan seorang pria yang baru saja masuk ke dalam restoran. Sontak wanita itu membola menatap pria tampan tersebut. Ia tampak melangkah menuju meja Thara."Tuan Malvin," panggil Thara terpana ke arah pria tersebut. Malvin ikut mengalihkan atensi menatap sekretarisnya yang baru saja datang dengan senyuman yang tampak menyilaukan karena masuk ke restoran bertepatan dengan lampu pintu yang tiba-tiba dinyalakan."Dia adalah sekretaris saya," jelas Malvin memberitahu. Savian tampak duduk di meja yang lain. Menunggu atasannya selama pertemuan karena kunci mobil milik Malvin dipegang olehnya. "Apa?" Thara tak percaya dengan kebenaran yang ia peroleh."Sepertinya Nona salah paham dengan mengira sekretaris saya sebagai saya," ucap Malvin setelah menyimpulkan apa yang mungkin terjadi. "Jadi siapa wanita yang saya temui di kencan buta itu?" tanya Malvin langsung ke inti ka
Savian tampak membuka pintu ruang CEO setelah dipersilakan masuk. Dengan langkah kakinya yang panjang membuat ia bisa cepat tiba di hadapan Malvin kurang dari tiga puluh detik dari pintu masuk ke depan meja kerja atasannya itu. Malvin tampak mengalihkan atensi menatap Savian lekat-lekat. Orang yang dipandangi merasa tidak nyaman. "Ada hal mendesak apa Pak CEO memanggil saya?" tanya Savian menghadap. Malvin tampak memangku wajahnya, dengan tatapan datar ia berucap, "Temuilah Nona Thara dan bujuk dia untuk mengatur pertemuanku dengan wanita yang mengantikannya di kencan buta." Nada perintah itu terdengar mendikte. Savian tidak bisa menolak perintah tersebut. Walaupun hal tersebut tidak menyangkut pekerjaannya. Namun, sudah bertahun-tahun Savian hidup dengan arahan Malvin yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sejak ia pertama kali menginjakan kaki di rumah besar tempat Malvin tinggal."Baik, Pak. Saya akan segera menemui Nona Thara," ja
Thara ditengah kebimbangan, di satu sisi ia teringat dengan Moza, sahabatnya dan di satu sisi ia memikirkan perkataan Savian matang-matang. Walaupun perjodohan antara dirinya dan Malvin sudah selesai, tetapi apa yang dikatakan Savian ada benarnya juga. Seorang Malvin Alexander Batara, pasti tidak akan memberi ampun orang yang telah membohonginya. "Bisakah Nona Thara membantu saya?" pinta Savian dengan sepenuh hati. Tatapan kosong Thara kembali teralihkan menatap pria di hadapannya.Lihatlah wajah tampan menggemaskan itu, rahangnya yang tegas tampak memperjelas garis wajah menawannya. Kacamata frameless yang dikenakan tampak membingkai wajahnya dengan sempurna. Thara menelan ludah, kemudian refleks mengangguk. Ia tidak bisa menolak Savian. Tidak bisa!'Maafkan aku Moza, aku terayu oleh pria tampan!' "Terima kasih Nona. Saya harap kabar baik dari Nona dengan segera tentang waktu pertemuan," ucap Savian menyunggingkan senyum lebar yang terlalu terlihat menawan.'Emang susah nolak yang
"Kumohon Tuan rahasiakan kebenaran ini," bujuk Thara dengan wajah memelas. Savian mematung di tempat, ia sudah memprediksi respon Thara. Namun, ia tak menyadari jika dirinya akan segoyah ini. Thara meraih kedua tangan Savian kemudian menggenggamnya dalam satu telungkupan tangan. Wanita itu bersungguh-sungguh dengan permintaannya. "Mungkin akan sangat sulit karena di satu sisi Tuan adalah karyawan Batara Group. Tapi saya mohon untuk satu ini, demi kebaikan bersama. Karena Moza menggantikan saya juga karena saya memaksa dia. Jadi ini semua salah saya. Jika Moza sampai dipecat, hubungan persahabatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun pasti hancur. Saya mohon Tuan, tolong jangan beri tahu identitas Moza yang sebenarnya ke Malvin," pinta Thara dengan kedua bola mata berkaca-kaca menatap pria di hadapannya.Savian mendesah sepertinya ia memang sudah goyah sejak awal. "Baiklah Nona saya tidak akan memberitahukan Pak CEO tentang kebenaran Nona Moza," cetus Savian setelah tahu tentang
"Ada yang bisa saya bantu, Pak CEO?" tanya Savian sudah berada di ruangan Malvin. Malvin tampak langsung mengalihkan atensi, menatap Savian dengan serius. "Calon istriku kembali menghilang. Tanyakan kepada Nona Thara tentang keberadannya.""Apakah Pak CEO belum juga tahu di mana rumah Nona Lisa?" tanya Savian, tak menyangka jika wanita yang ingin atasannya jadikan istri itu kembali menghilang dan ia diminta untuk kembali mencarinya. Walaupun sebenarnya ia tak keberatan akan hal itu karena ia jadi punya alasan untuk bertemu dengan Thara lagi."Aku lupa untuk bertanya. Jadi cari keberadaannya, tanyakan kembali ke Nona Thara. Saya yakin jika Nona Thara sangat mengenal Nona Lisa," ucap Malvin tampak menyesali kesalahan kecil yang justru sangat berdampak untuk situasinya sekarang. Karena kembali ia meminta bantuan kepada Savian. "Baik, Pak CEO," jawab Savian tak mengira jika atasannya kini kembali melewatkan hal penting. Ke mana Malvin yang perfeksionis itu? Savian hanya bisa mengembuska
"Pernikahan apa maksudnya ya?" tanya Moza memecah ketegangan di antara Malvin dan Kakek Rama. "Astaga, apakah Malvin belum melamarmu?" sahut Nenek Puspa tak percaya dengan tebakannya. Sekilas ia langsung menatap Malvin."Ah, itu ...." Malvin sejenak memikirkan jawaban yang tepat. "Iya, Nek belum dan juga saya tidak ingin buru-buru menikah. Saya ingin mengenal Malvin lebih jauh dan ingin mempersiapkan diri untuk jenjang yang lebih serius," ucap Moza mengambil alih.Mengutarakan kesimpulan dari pertemuan ini seraya menyunggingkan senyum. Ia tak ingin pernyataannya dianggap serius, tetapi ia juga tak ingin pernyataannya barusan diabaikan begitu saja. Moza berusaha keras agar kalimat yang ia ucapkan tidak terkesan menolak pernyataan Kakek Rama. Semoga saja dengan ini Kakek Rama dan Nenek Puspa mengerti. "Sebenarnya itu juga keputusan yang tepat. Kalian memang seharusnya saling mengenal lebih jauh. Sebuah pernikahan harus diikat dengan keyakinan dari kedua belah pihak," simpul Nenek Pus
Moza mematung menatap interaksi pasangan lanjut usia yang tampak mesra tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengenal sekali wanita yang tengah duduk dengan anggun bersama presdir Batara Group itu. Nenek Puspa adalah ketua komunitas penggemar boyband kesukaannya. Setiap bulan club yang diikuti Moza bersama Thara itu sering mengadakan acara dan Nenek Puspa-lah ketua komunitas tersebut. Siapa sangka bukan jika Nenek sekeren Nenek Puspa itu adalah nenek dari seorang Malvin Alexander Batara. Sungguh kebetulan yang Moza tidak pernah duga. "Apa maksud Nona tidak bisa bertemu dengan Nenek saya? Apakah Nona mengenal Nenek Puspa?" tanya Malvin sontak mengalihkan atensi Moza. "I–itu ...." Moza tergagap. Haruskah ia bilang jika sebenarnya ia mengenal Nenek Puspa. Tidak! Itu terlalu beresiko, Moza tidak ingin membuka celah. Jika itu terjadi maka indetitas dirinya benar-benar dipertaruhkan. Karena jika ketahuan, Nenek Puspa maupun Kakek Rama pasti akan kecewa apalagi tentang hubungan pura-pura ya
Hari pertemuan dengan Kakek Rama dan Nenek Puspa pun tiba. Moza diajak Malvin ke sebuah butik ternama di ibu kota. Kedatangan Malvin dan Moza langsung disambut para karyawan butik yang berjejer memberi sambutan."Selamat datang," sapa mereka serentak seraya menunduk hormat, Moza yang digandeng Malvin refleks sedikit menunduk, ia terkejut karena pelayanan kelas atas yang ia rasakan saat masuk bersama Malvin. "Selamat datang Tuan Malvin dan Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita empat puluh tahunan menyapa. Sekilas Moza menatap name tag yang terpasang di dada wanita tersebut. Namanya adalah Miss Lidia, Kepala Manager di butik.Moza terkejut dalam diam. Ia tak menyangka jika yang akan melayaninya itu kepala manager butik itu sendiri yang langsung turun tangan. Apakah Malvin pelanggan tetap atau bagaimana. Namun, ia tak berani menanyakannya. "Saya ingin mencari setelan baju yang pas untuk makan malam keluarga. Setelan yang saya gunakan akan mengikuti gaun yang dikenakan
Grep!Tangan kanan Malvin meraih pinggang wanita di hadapannya. Ditariknya tubuh Moza dalam sebuah dekapan erat. Dada mereka saling bersentuhan, degub jantung keduanya saling bertalu sama kencangnya. Sedangkan tangan kirinya menekan punggung wanita itu untuk terus mendekat ke padanya. Moza jatuh di dada bidang Malvin dengan sempurna, kini tak ada lagi jarak di antara keduanya. Wanita itu mencium bau citrus bercampur mint dari tubuh pria yang kini memeluknya. Anehnya, membuatnya betah dalam posisi berpelukan yang kini berhasil menutupi wajahnya bersemu merah. Moza seperti merasakan ribuan kupu-kupu tengah beterbangan di dalam perutnya. Sebuah perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir aneh. Sama halnya dengan Moza, Malvin pun merasakan hal sama. Jantungnya berdegub tidak semestinya. Ia ingin terus memeluk wanita yang kini membuatnya merasakan kehangatan sebuah pelukan. Tanpa sadar Malvin mempererat pelukannya, hingga beberapa menit kemudian orang-orang yang berada di parkiran mulai
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa lo udah ninuninu sama sekretarisnya bos gue?" desak Moza meminta penjelasan. "Em, tentang itu ...." Thara kembali menjeda kalimatnya. Ia memutuskan untuk pindah ke kamar mandi. "Gue berharapnya sih iya. Tapi ternyata Savian orangnya manly banget, Za. Dia jagain gue banget pas di apartemen. Gue inget banget karena nunguin dia nelepon gue ketiduran di sofa. Pas bangun gue udah ada di ranjang kamar. Awalnya gue kecewa karena gak bisa tidur bareng dia. Tapi pas pagi tadi gue keluar lihat dia tidur di sofa sambil meringkuk dan itu berhasil bikin hati gue terenyuh." Moza dengan seksama mendengarkan penuturan Thara lewat sambungan telepon. "Jarang banget ada cowok yang gak kebawa nafsunya sendiri, Za. Dia rela tidur di sofa demi jaga gue agar bisa tidur di ranjang kamarnya dengan nyaman. Padahal malam itu gue udah pasrah kalo dia menginginkan gue sama kaya gue mengginginkan dia. Tapi dia pria yang berbeda, Za. Dia pria terhorm
Thara mematung sejenak menatap tumpukan kardus di dalam ruang depan sebuah apartemen yang sudah ditinggali mulai hari ini. Ia duduk diam di sebuah sofa sembari sesekali menatap sekitar dengan boneka beruang besar miliknya yang sengaja ia dekap sejak tadi. Kondisi apartemen masih tampak polos, hanya furniture penting saja yang baru mengisi ruang apartemen. Thara menebak jika tumpukan kardus itu pasti barang-barang milik Savian yang belum sempat dibuka. Sembari menunggu pria itu yang masih mandi, Thara menghidupkan layar televisi guna mencairkan rasa gugup yang ia tengah rasakan. Bagaimana pun setelah dipikirkan kembali, Thara sungguh bersikap di luar nalar hari ini. Bisa-bisanya ia meminta untuk tidur bersama di apartemen milik Savian hanya karena apartemennya menjadi sarang banyak kecoak. Ia malu dengan tindakannya, tetapi ia juga merasa bersyukur akan hal tersebut. Thara sungguh tak menyangka jika malam ini ia akan tidur di apartemen seorang pria. Pria
Karena jarak rumah dengan perusahaan dirasa cukup terlalu jauh. Satu minggu lalu Savian memutuskan untuk menyewa salah satu unit apartemen yang bisa memangkas waktu perjalanan ke Batara Group. Hari ini adalah hari pindahannya. Berkat menyewa jasa pindahan, pria itu jadi tidak kerepotan memikirkan barang pindahannya dan bisa pulang kerja tepat waktu.Savian dengan tas kerja di tangan memasuki area apartemen barunya. Ditekannya tombol lift di angka dua puluh. Ia akan langsung beristirahat hari ini, untuk merapikan apartemen mungkin bisa ia lakukan akhir pekan nanti. Setidaknya apartemen sudah terisi oleh perabotan seperti ranjang kamar, sofa dan beberapa peralatan masak. Lift yang bergerak naik akhirnya tiba di lantai dua puluh. Savian menjejakan kakinya berjalan dengan tegap mencari letak unit apartemennya yang belum ia hafal betul karena desain pintu depan setiap unit apartemen sama, yang membedakan hanya nomor unitnya. Unit apartemen Savian adalah nomor 202, pria itu tampak sesekal