Di tengah situasi canggung penuh kesalahpahaman. Thara teralihkan dengan seorang pria yang baru saja masuk ke dalam restoran. Sontak wanita itu membola menatap pria tampan tersebut. Ia tampak melangkah menuju meja Thara.
"Tuan Malvin," panggil Thara terpana ke arah pria tersebut. Malvin ikut mengalihkan atensi menatap sekretarisnya yang baru saja datang dengan senyuman yang tampak menyilaukan karena masuk ke restoran bertepatan dengan lampu pintu yang tiba-tiba dinyalakan."Dia adalah sekretaris saya," jelas Malvin memberitahu.Savian tampak duduk di meja yang lain. Menunggu atasannya selama pertemuan karena kunci mobil milik Malvin dipegang olehnya."Apa?" Thara tak percaya dengan kebenaran yang ia peroleh."Sepertinya Nona salah paham dengan mengira sekretaris saya sebagai saya," ucap Malvin setelah menyimpulkan apa yang mungkin terjadi."Jadi siapa wanita yang saya temui di kencan buta itu?" tanya Malvin langsung ke inti kaSavian tampak membuka pintu ruang CEO setelah dipersilakan masuk. Dengan langkah kakinya yang panjang membuat ia bisa cepat tiba di hadapan Malvin kurang dari tiga puluh detik dari pintu masuk ke depan meja kerja atasannya itu. Malvin tampak mengalihkan atensi menatap Savian lekat-lekat. Orang yang dipandangi merasa tidak nyaman. "Ada hal mendesak apa Pak CEO memanggil saya?" tanya Savian menghadap. Malvin tampak memangku wajahnya, dengan tatapan datar ia berucap, "Temuilah Nona Thara dan bujuk dia untuk mengatur pertemuanku dengan wanita yang mengantikannya di kencan buta." Nada perintah itu terdengar mendikte. Savian tidak bisa menolak perintah tersebut. Walaupun hal tersebut tidak menyangkut pekerjaannya. Namun, sudah bertahun-tahun Savian hidup dengan arahan Malvin yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sejak ia pertama kali menginjakan kaki di rumah besar tempat Malvin tinggal."Baik, Pak. Saya akan segera menemui Nona Thara," ja
Thara ditengah kebimbangan, di satu sisi ia teringat dengan Moza, sahabatnya dan di satu sisi ia memikirkan perkataan Savian matang-matang. Walaupun perjodohan antara dirinya dan Malvin sudah selesai, tetapi apa yang dikatakan Savian ada benarnya juga. Seorang Malvin Alexander Batara, pasti tidak akan memberi ampun orang yang telah membohonginya. "Bisakah Nona Thara membantu saya?" pinta Savian dengan sepenuh hati. Tatapan kosong Thara kembali teralihkan menatap pria di hadapannya.Lihatlah wajah tampan menggemaskan itu, rahangnya yang tegas tampak memperjelas garis wajah menawannya. Kacamata frameless yang dikenakan tampak membingkai wajahnya dengan sempurna. Thara menelan ludah, kemudian refleks mengangguk. Ia tidak bisa menolak Savian. Tidak bisa!'Maafkan aku Moza, aku terayu oleh pria tampan!' "Terima kasih Nona. Saya harap kabar baik dari Nona dengan segera tentang waktu pertemuan," ucap Savian menyunggingkan senyum lebar yang terlalu terlihat menawan.'Emang susah nolak yang
Di hari Sabtu yang cerah, Moza berkunjung ke kedai yang dikelola kedua orang tua serta Naka adiknya jika sudah pulang kuliah. Sudah menjadi rutinitas baginya saat libur kerja di akhir pekan ia akan menyempatkan diri membantu kedua orang tuanya berjualan. Karena biasanya saat weekend kedai akan ramai oleh pengunjung. "Ka buruan sini bantuin aku racik bakso. Udah ditungguin pelanggan ini. Aku dispamin mulu!" omel Naka di dapur mendesak kakak perempuannya untuk segera bergabung membantu. "Iya, bawel banget ih," jawab Moza bergegas menghampiri adiknya. "Emang berapa pesanannya?" tanya Moza mulai cekatan mengambil plastik pembungkus. "Dua puluh bungkus," jawab sang adik yang tampak gesit meracik bakso pesanan. "Buset! Banyak bener," tukas Moza refleks menoleh ke adiknya yang kembali memeriksa pesanan di layar ponsel. "Dan itu buat pesanan lima varian bakso Mercon dengan mie Sehun (semuanya bihun), lima varian bakso jumbo dengan
Setelah Rendy pamitan pulang dan kedai tampak sepi pengunjung. Moza dan Thara yang bertugas menjaga kedai sore ini. Mereka tampak duduk saling berhadapan dengan sisa es campur dan bakso yang mereka racik sendiri sesuai selera mereka."Apa maksud lo bilang ke Rendy kalo gue udah punya pacar?" protes Moza sinis tidak terima.Setelah setengah hari penuh meminta pertanggung jawaban atas celetukkan Thara. Membuatnya kesusahan menghadapi Rendy yang selalu menghujaninya pertanyaan tentang pacar bohongan yang ia akui. "Abis percintaan lo terlalu ngenes, Za. Ayolah move on. Di umur segini udah saatnya lo berusaha nyari jodoh lo," jawab Thara kemudian menyeruput es campur miliknya. Moza tampak langsung murung. "Kini saatnya lo cari cowok yang bisa menghargai serta menyadari kehadiran lo di hidupnya lebih dari apapun dan yang terpenting dia harus lebih tampan dan lebih segalanya dari Rendy," lanjut Thara memberi penekanan pada kalimat terakhir."Iya, nyari di mana? Gak ada kali cowok yang kay
Alkisah pada zaman dahalu hiduplah dua orang sahabat. Demi menikah dengan seorang pangeran pujaan hati, seorang gadis yang takut memiliki saingan pun membohongi sahabatnya dengan membawanya ke sebuah hutan. "Sahabatku aku melihat ada seorang pria tampan di dalam gua. Sungguh sangat tampan. Maukah kau melihatnya? Aku sudah melihatnya pagi ini," ucap sang gadis berbohong dengan cara membangun rasa penasaran dalam diri sahabatnya itu. Sang sahabat yang percaya dengan pernyataan tersebut tanpa ragu memutuskan untuk masuk ke dalam gua ditemani sebuah obor yang menyala memasuki gua yang dalamnya begitu gelap tanpa celah di dinding batu. Sang sahabat itu merasa begitu penasaran, memutar atensinya ke segara arah mencari pria tampan yang diberitahukan sabahatnya itu. Ia mulai merasakan sedikit keanehan. Hingga tiba-tiba telinganya dengan jelas mendengar suara seperti ranting patah entah dari mana asalnya. Gadis yang berada di gua itu merasakan sesuatu
Lamat-lamat Malvin memperhatikan paras cantik wanita di hadapannya. Ekspresi yang tampak menggemaskan dengan kedua mata membola serta mulut yang sedikit terbuka, mencoba menerka. Pria itu tersenyum kecil, otaknya tengah memikirkan sebuah rencana kecil yang terlintas di pikitannya, dan entah mengapa sepertinya akan menyenangkan jika rencana tersebut dijalankan bersama wanita lucu di hadapannya."Tuan, pekerjaan apa yang Anda tawarkan?" tanya Moza akhirnya. "Saya ingin menawarkan sebuah kerja sama dengan Nona. Karena perjodohan terakhir dengan Nona Thara gagal. Kakek saya pasti akan mengatur kembali perjodohan. Saya tidak ingin lagi menghadiri kencan buta yang membuat waktu saya terbuang sia-sia. Untuk itu saya ingin Nona berakting meyakinkan Kakek dan Nenek saya sebagai KEKASIH. Jadi saya tak perlu lagi pergi ke kencan buta karena sudah memilih CALON ISTRI saya sendiri," terang Malvin kemudian meraih secangkir kopi miliknya. Pelan tapi pasti bibir sensual pria itu beralih menyeruput
"Saya ingin menepati janji saya kepada Nona Lisa. Jika saya akan sering menghubungi Nona," ucap Malvin terdengar begitu polos. Namun, tidak dengan tindakannya. "Ini masih jam dua dini hari loh, Tuan!" tandas Moza kesal karena kenikmatan tidurnya diganggu. "Kita, kan akan menikah. Anggap saja ini morning call menyapa calon istri," jawab Malvin setelah mendengar celotehan wanita lewat earbuds yang ia kenakan di kedua telinga. 'Morning Call seperti hubungan sungguhan saja!' Desah Moza seraya memanyunkan bibir saat mendengar penuturan Malvin. "Jika bicara tolong yang benar. Bukan akan menikah tapi akan pura-pura menikah. Dan untuk Morning Call jelas Tuan sudah salah waktu," omel Moza tidak terima dirinya diperlakukan seenaknya. "Jadi apakah saya mengganggu tidur Nona?" tanya Malvin mengalihkan pembicaraan.'Heh! Segala ditanya!' Moza tambah kesal dibuatnya. "Iya, saya sedang tidur tadi," ketus Moza menjawab jujur.
'Angkat nggak? Angkat jangan?!' Ting!Pintu lift akhirnya terbuka di lantai satu. Malvin dan Savian mengalihkan atensinya dari Moza dan akhirnya melangkah keluar bersama. Moza menyusul setelahnya, tetapi ia langsung bergegas menjauh. Mencoba bersembunyi di balik pot besar di samping lift. Panggilan dari Malvin masih tersambung. Setelah dirasa aman, Moza akhirnya mengangkat panggilan telepon tersebut. "Halo," ucap Moza mengawali panggilan. "Halo, Nona saya kira Nona tidak bisa dihubungi karena telepon saya tidak kunjung diterima," balas Malvin yang kini sudah berada di dalam mobil. "Maaf, saya sibuk tadi. Ada apa ya Tuan menelepon?" tanya Moza to the point langsung ke inti. "Saya ingin mengajak Nona latihan mulai malam ini. Jadi jangan sampai terlambat," jawab Malvin memberitahu. "Apa malam ini?" Moza lumayan terkejut. Karena tumpukan pekerjaan masih banyak yang belum dikerjakan. Padahal malam ini ia berni
"Kumohon Tuan rahasiakan kebenaran ini," bujuk Thara dengan wajah memelas. Savian mematung di tempat, ia sudah memprediksi respon Thara. Namun, ia tak menyadari jika dirinya akan segoyah ini. Thara meraih kedua tangan Savian kemudian menggenggamnya dalam satu telungkupan tangan. Wanita itu bersungguh-sungguh dengan permintaannya. "Mungkin akan sangat sulit karena di satu sisi Tuan adalah karyawan Batara Group. Tapi saya mohon untuk satu ini, demi kebaikan bersama. Karena Moza menggantikan saya juga karena saya memaksa dia. Jadi ini semua salah saya. Jika Moza sampai dipecat, hubungan persahabatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun pasti hancur. Saya mohon Tuan, tolong jangan beri tahu identitas Moza yang sebenarnya ke Malvin," pinta Thara dengan kedua bola mata berkaca-kaca menatap pria di hadapannya.Savian mendesah sepertinya ia memang sudah goyah sejak awal. "Baiklah Nona saya tidak akan memberitahukan Pak CEO tentang kebenaran Nona Moza," cetus Savian setelah tahu tentang
"Ada yang bisa saya bantu, Pak CEO?" tanya Savian sudah berada di ruangan Malvin. Malvin tampak langsung mengalihkan atensi, menatap Savian dengan serius. "Calon istriku kembali menghilang. Tanyakan kepada Nona Thara tentang keberadannya.""Apakah Pak CEO belum juga tahu di mana rumah Nona Lisa?" tanya Savian, tak menyangka jika wanita yang ingin atasannya jadikan istri itu kembali menghilang dan ia diminta untuk kembali mencarinya. Walaupun sebenarnya ia tak keberatan akan hal itu karena ia jadi punya alasan untuk bertemu dengan Thara lagi."Aku lupa untuk bertanya. Jadi cari keberadaannya, tanyakan kembali ke Nona Thara. Saya yakin jika Nona Thara sangat mengenal Nona Lisa," ucap Malvin tampak menyesali kesalahan kecil yang justru sangat berdampak untuk situasinya sekarang. Karena kembali ia meminta bantuan kepada Savian. "Baik, Pak CEO," jawab Savian tak mengira jika atasannya kini kembali melewatkan hal penting. Ke mana Malvin yang perfeksionis itu? Savian hanya bisa mengembuska
"Pernikahan apa maksudnya ya?" tanya Moza memecah ketegangan di antara Malvin dan Kakek Rama. "Astaga, apakah Malvin belum melamarmu?" sahut Nenek Puspa tak percaya dengan tebakannya. Sekilas ia langsung menatap Malvin."Ah, itu ...." Malvin sejenak memikirkan jawaban yang tepat. "Iya, Nek belum dan juga saya tidak ingin buru-buru menikah. Saya ingin mengenal Malvin lebih jauh dan ingin mempersiapkan diri untuk jenjang yang lebih serius," ucap Moza mengambil alih.Mengutarakan kesimpulan dari pertemuan ini seraya menyunggingkan senyum. Ia tak ingin pernyataannya dianggap serius, tetapi ia juga tak ingin pernyataannya barusan diabaikan begitu saja. Moza berusaha keras agar kalimat yang ia ucapkan tidak terkesan menolak pernyataan Kakek Rama. Semoga saja dengan ini Kakek Rama dan Nenek Puspa mengerti. "Sebenarnya itu juga keputusan yang tepat. Kalian memang seharusnya saling mengenal lebih jauh. Sebuah pernikahan harus diikat dengan keyakinan dari kedua belah pihak," simpul Nenek Pus
Moza mematung menatap interaksi pasangan lanjut usia yang tampak mesra tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengenal sekali wanita yang tengah duduk dengan anggun bersama presdir Batara Group itu. Nenek Puspa adalah ketua komunitas penggemar boyband kesukaannya. Setiap bulan club yang diikuti Moza bersama Thara itu sering mengadakan acara dan Nenek Puspa-lah ketua komunitas tersebut. Siapa sangka bukan jika Nenek sekeren Nenek Puspa itu adalah nenek dari seorang Malvin Alexander Batara. Sungguh kebetulan yang Moza tidak pernah duga. "Apa maksud Nona tidak bisa bertemu dengan Nenek saya? Apakah Nona mengenal Nenek Puspa?" tanya Malvin sontak mengalihkan atensi Moza. "I–itu ...." Moza tergagap. Haruskah ia bilang jika sebenarnya ia mengenal Nenek Puspa. Tidak! Itu terlalu beresiko, Moza tidak ingin membuka celah. Jika itu terjadi maka indetitas dirinya benar-benar dipertaruhkan. Karena jika ketahuan, Nenek Puspa maupun Kakek Rama pasti akan kecewa apalagi tentang hubungan pura-pura ya
Hari pertemuan dengan Kakek Rama dan Nenek Puspa pun tiba. Moza diajak Malvin ke sebuah butik ternama di ibu kota. Kedatangan Malvin dan Moza langsung disambut para karyawan butik yang berjejer memberi sambutan."Selamat datang," sapa mereka serentak seraya menunduk hormat, Moza yang digandeng Malvin refleks sedikit menunduk, ia terkejut karena pelayanan kelas atas yang ia rasakan saat masuk bersama Malvin. "Selamat datang Tuan Malvin dan Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita empat puluh tahunan menyapa. Sekilas Moza menatap name tag yang terpasang di dada wanita tersebut. Namanya adalah Miss Lidia, Kepala Manager di butik.Moza terkejut dalam diam. Ia tak menyangka jika yang akan melayaninya itu kepala manager butik itu sendiri yang langsung turun tangan. Apakah Malvin pelanggan tetap atau bagaimana. Namun, ia tak berani menanyakannya. "Saya ingin mencari setelan baju yang pas untuk makan malam keluarga. Setelan yang saya gunakan akan mengikuti gaun yang dikenakan
Grep!Tangan kanan Malvin meraih pinggang wanita di hadapannya. Ditariknya tubuh Moza dalam sebuah dekapan erat. Dada mereka saling bersentuhan, degub jantung keduanya saling bertalu sama kencangnya. Sedangkan tangan kirinya menekan punggung wanita itu untuk terus mendekat ke padanya. Moza jatuh di dada bidang Malvin dengan sempurna, kini tak ada lagi jarak di antara keduanya. Wanita itu mencium bau citrus bercampur mint dari tubuh pria yang kini memeluknya. Anehnya, membuatnya betah dalam posisi berpelukan yang kini berhasil menutupi wajahnya bersemu merah. Moza seperti merasakan ribuan kupu-kupu tengah beterbangan di dalam perutnya. Sebuah perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir aneh. Sama halnya dengan Moza, Malvin pun merasakan hal sama. Jantungnya berdegub tidak semestinya. Ia ingin terus memeluk wanita yang kini membuatnya merasakan kehangatan sebuah pelukan. Tanpa sadar Malvin mempererat pelukannya, hingga beberapa menit kemudian orang-orang yang berada di parkiran mulai
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa lo udah ninuninu sama sekretarisnya bos gue?" desak Moza meminta penjelasan. "Em, tentang itu ...." Thara kembali menjeda kalimatnya. Ia memutuskan untuk pindah ke kamar mandi. "Gue berharapnya sih iya. Tapi ternyata Savian orangnya manly banget, Za. Dia jagain gue banget pas di apartemen. Gue inget banget karena nunguin dia nelepon gue ketiduran di sofa. Pas bangun gue udah ada di ranjang kamar. Awalnya gue kecewa karena gak bisa tidur bareng dia. Tapi pas pagi tadi gue keluar lihat dia tidur di sofa sambil meringkuk dan itu berhasil bikin hati gue terenyuh." Moza dengan seksama mendengarkan penuturan Thara lewat sambungan telepon. "Jarang banget ada cowok yang gak kebawa nafsunya sendiri, Za. Dia rela tidur di sofa demi jaga gue agar bisa tidur di ranjang kamarnya dengan nyaman. Padahal malam itu gue udah pasrah kalo dia menginginkan gue sama kaya gue mengginginkan dia. Tapi dia pria yang berbeda, Za. Dia pria terhorm
Thara mematung sejenak menatap tumpukan kardus di dalam ruang depan sebuah apartemen yang sudah ditinggali mulai hari ini. Ia duduk diam di sebuah sofa sembari sesekali menatap sekitar dengan boneka beruang besar miliknya yang sengaja ia dekap sejak tadi. Kondisi apartemen masih tampak polos, hanya furniture penting saja yang baru mengisi ruang apartemen. Thara menebak jika tumpukan kardus itu pasti barang-barang milik Savian yang belum sempat dibuka. Sembari menunggu pria itu yang masih mandi, Thara menghidupkan layar televisi guna mencairkan rasa gugup yang ia tengah rasakan. Bagaimana pun setelah dipikirkan kembali, Thara sungguh bersikap di luar nalar hari ini. Bisa-bisanya ia meminta untuk tidur bersama di apartemen milik Savian hanya karena apartemennya menjadi sarang banyak kecoak. Ia malu dengan tindakannya, tetapi ia juga merasa bersyukur akan hal tersebut. Thara sungguh tak menyangka jika malam ini ia akan tidur di apartemen seorang pria. Pria
Karena jarak rumah dengan perusahaan dirasa cukup terlalu jauh. Satu minggu lalu Savian memutuskan untuk menyewa salah satu unit apartemen yang bisa memangkas waktu perjalanan ke Batara Group. Hari ini adalah hari pindahannya. Berkat menyewa jasa pindahan, pria itu jadi tidak kerepotan memikirkan barang pindahannya dan bisa pulang kerja tepat waktu.Savian dengan tas kerja di tangan memasuki area apartemen barunya. Ditekannya tombol lift di angka dua puluh. Ia akan langsung beristirahat hari ini, untuk merapikan apartemen mungkin bisa ia lakukan akhir pekan nanti. Setidaknya apartemen sudah terisi oleh perabotan seperti ranjang kamar, sofa dan beberapa peralatan masak. Lift yang bergerak naik akhirnya tiba di lantai dua puluh. Savian menjejakan kakinya berjalan dengan tegap mencari letak unit apartemennya yang belum ia hafal betul karena desain pintu depan setiap unit apartemen sama, yang membedakan hanya nomor unitnya. Unit apartemen Savian adalah nomor 202, pria itu tampak sesekal