"Thara lo waras?" keluh Moza melihat wajahnya yang tiba-tiba di make up begitu tebal.
"Hush! Jangan berisik ah. Nanti juga lo bakal pangling lihat wajah lo sendiri," tampik Thara fokus mendandani Moza di apartemen miliknya."Harus banget ya gue didandani kek gini?" Moza kembali protes."Iyalah lo kan mau mencampakkan cowok masa lo kaya pulu-pulu, kan gak lucu. Kali ini gue mau lo nunjukin diri jadi wanita badas yang hobinya mainin cowok. Keren, kan skenario gue," kekeh Thara menyapukan kuas make up ke pipi Moza."Mending si jadi cewek jelek terus bego sekalian," timpal Moza."Udah pernah gue pake cara itu. Eh, malah gue disukai sama om-om yang dateng ke kencan buta. Untung gue pake rencana cadangan," sangah Thara mengingat kejadian kencan buta dua minggu yang lalu."Rencana Cadangan? Om-om? Ha!" Moza sedikit terkejut mendengar jika Thara kencan buta bersama om-om."Iya, selama kencan buta kebanyakan yang dateng udah om-om umur tiga puluh tahun ke atas. Yang tiga puluh tahun ke bawah pernah ada juga si," jelas Thara dengan kedua tangan masih menyapu make up di wajah Moza."Nah, waktu itu yang dateng udah om-om sekitar umur tiga lima tahunan. Waktu itu gue dandan jadi cewek jelek sama bertingkah bego. Eh, si Om itu malah bilang gue imut. Sialan, kan! Karena rencana awal bikin pasangan kencan buta ilfeel ke gue gagal. Ya udah, gue pake rencana cadangan. Gue taburin obat pencahar di makanannya. Terus si Om yang nahan beol akhirnya kelepasan di depan gue. Sejak saat itu gue gak temuin dia. Si Om juga kayanya malu karena kejadian itu. Jadi kencan buta gue gagal deh," ungkap Thara panjang lebar. Hingga, akhirnya selesai mendandani Moza."Gila lo, Ra. Bisa-bisanya kepikiran pake cara begituan," puji Moza geleng-geleng dengan kekejaman sahabatnya itu."Yaelah, dia bukan tipe gue. Kalo gue yang nolak, kartu ATM gue nanti dicabut. " Dengan enteng Thara membela diri. Tidak ada rasa bersalah terlintas di wajahnya. Memang keterlaluan."Fyuh! Udah selesai ini make upnya. Tinggal pake baju yang udah gue siapin di kamar. Lo ganti baju sana," desak Thara kemudian merapikan make up ke kotak make uyang tergeletak di meja.Menunggu sekitar lima menit, Moza akhirnya keluar menggunakan dress ketat berwarna hitam dengan potongan leher mengekspos belahan dada."Ini bener gue harus pake baju ginian?"Moza tampak menarik-narik ujung dress seatas lutut yang ia kenakan karena hanya menutupi sebagian pahanya."Iyaa lo kelihatan seksi abis!" Thara mengacungkan satu jempolnya."Tapi kaya ada yang kurang deh. Bentar!" Thara bergegas ke ruang kerja.Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah wig berwarna burgundy dalam genggaman."Nih, lo pake. Pasti penampilan lo tambah wah," serah Thara antusias."Lah, harus pakai ini juga?" tanya Moza dengan wajah cengo."Iya udah pake aja," desak Thara memaksa.Tak sampai lima menit wig berhasil dipakai Moza. Seketika penampilannya terlihat berubah begitu drastis. Rambut sepinggang berwarna burgundy menambah kesan sensual serta karismatik di diri Moza yang jarang berpenampilan seksi seperti ini."Dah, sana lo boleh ngaca." Thara membuka kain penutup kaca di kamarnya.Sontak Moza ternganga menatap pantulan dirinya."Gile, Ra. Gue kaya idol," puji Moza tak percaya."Lo bener-bener jago make up. Btw lo belajar dari mana make upin gue kaya gini?" tanya Moza bolak-balik melihat sisi wajahnya yang tampak mengesankan."Di Channel Youtube orang China," jawab Thara menunjukan postingan video yang sering ia lihat."Wih, keren. Kalo penampilan gue kaya gini jadi makin pede gue buat akting nanti!" tukas Moza sok bergaya."Udah sekarang sana lo berangkat! Jangan lupa campakan tuh cowok. Eh, buat dia ilfeel ke lo aja udah cukup sih nanti gue tambahin bonus," desak Thara mengusir Moza yang sudah bersiap dengan blazer serta tas dalam genggaman tangan.***Di sebuah restoran ternama di kalangan anak muda kelas atas, Moza duduk sendirian terbalut dengan blezer yang ia sampirkan di pundak membiarkan bagian depan dress terekspos.Restoran dengan furniture modern itu tampak diisi banyak pengunjung di lantai satu tempat Moza berada sekarang. Apalagi hari ini weekend, banyak anak muda bersama teman atau pun kekasih bertemu dan berbincang seraya menikmati makanan yang sudah terhidang dengan begitu cantiknya.Moza berkali-kali merapikan wig yang terpasang menjuntai ke belakang telinga. Ia memutuskan untuk memesan ice americano seraya menunggu pasangan kencannya yang tak kunjung datang."Aku harap yang datang bukan om-om botak. Asal banyak duit sih gak papa." Moza mendesah pelan, hingga suara deep seseorang mengalihkan atensi."Nona Thara dari InterPress Group?" ucap seseorang, Moza pun menoleh.Melihat perawakan tubuh tinggi kekar seorang pria dengan dada bidang serta tinggi sekitar 180 sentimeter. Matanya menelusuri hingga akhirnya melihat paras yang kini memandanginya dengan begitu jelas saat jarak di antara mereka semakin dekat.'Wah, tampannya,' batin Moza terpesona dengan mulut menganga. Untung saja air liurnya tidak menetes."Iyaa," jawab Moza kemudian setelah tersadar.Minuman pesanan Moza datang, segelas Ice Americano serta sebuah cangkir hot espresso yang sepertinya telah di pesan pria tampan yang kini duduk berhadapan dengan Moza. Wanita itu hampir tak berkedip begitu terpesona dengan paras tampan yang akan dijodohkan dengan sahabatnya itu.Mata yang tajam, hidung mancung, kulit seputih susu. Jangan lupakan dengan rambut serta setelannya yang terlihat begitu rapi. Definisi ganteng maksimal versi nyata di hidup Moza karena bisa memandangi ciptaan Tuhan tepat di depan mata.'Tampan banget ya Tuhan! Apa pria ini aja yang jadi suamiku?' Moza mulai terbuai dengan aura pria yang baru ditemuinya.'Ih, kok aku malah jadi ngelantur! Inget tujuan awal. Di sini aku tuh cuma kerja,' moza kembali menyadarkan dirinya. Membuang jauh-jauh pikiran nakal dalam otaknya."Anda terlambat hingga membiarkan wanita secantik saya menunggu Anda," ucap Moza dengan tatapan menggoda. Meraih segelas ice americano di atas meja seraya menyilangkan kakinya yang putih nan mulus.Setelah satu sedotan, Moza kembali berkata, "Saya suka menghabiskan waktu saya untuk bermain dengan banyak pria serta merawat tubuh saya yang seksi ini," jelas Moza menekankan pada kalimat tubuh seksinya untuk menarik perhatian pria karismatik di hadapan.Namun, jangankah mendapat perhatian sebuah lirikan saja tidak ia dapat. Pria di hadapannya hanya fokus menyeruput hot espresso di cangkirnya. Apakah setidak menarik itu dirinya? Moza meletakkan gelas ice americano dengan kasar. Hingga akhirnya berhasil mengalihkan atensi pria di hadapannya. Moza menyeringai, mengambil kesempatan tersebut."Apakah Anda tahu saya sangat bangga dengan milik saya setelah dua kali harus terbang ke Swiss serta Korea," cetus Moza mengambil alih topik sekali lagi."Milikmu?" ucap pria itu mengangkat alisnya."Yeah, Lucy and Ethel kebanggaan saya." Moza tampak membusungkan dada. Seraya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.Pria itu hampir tersedak saat menyadari apa yang dimaksud Moza. Membuat wanita dengan dress ketat itu senang dengan respon pria di hadapannya. Kali ini ia akan menjadi wanita gila untuk bisa mencampakan pria yang terlalu wah untuk dihadapi hanya dengan godaan semata.Tanpa disadari Moza, senyum justru tersungging di sudut bibir pria itu."Boleh saya meminjam ponsel, Nona," pinta pria itu tiba-tiba."Ha? Ponsel saya?" Moza mengintruksi apa yang baru didengarnya dan langsung mendapat sebuah anggukan.Walau ragu, Moza akhirnya menyerahkan ponselnya. Semenit kemudian, ponsel itu dikembalikan."Saya sempat menghubungi keterlambatan saya lewat telepon, tapi ternyata salah sambung. Ternyata benar nomor Nona Thara berbeda dengan nomor yang saya simpan," jelas pria itu kemudian menyunggingkan senyum kecil.Moza sempat terpesona dengan senyum tiba-tiba itu. Hingga, akhirnya tersadar. Jika pria itu baru saja meminta nomor teleponnya."Oiya, sejak tadi Nona memanggil saya dengan sebutan Anda. Nama saya Malvin," imbuh pria itu menyilangkan kaki menatap Moza yang tampak cengo.'Malvin? Seperti pernah dengar,' pikir Moza mengingat-ingat. Mengalihkan atensi ke ponselnya menyalakan data. Tiba-tiba ada notifikasi masuk.'Ah, dari grup kantor mengirimkan foto.'Kumpulan foto saat penyambutan CEO baru perusahaan dua hari lalu. Saat melihat foto pria yang berpidato di podium, Moza sontak terbelalak. Kemudian beralih menatap pria di hadapannya."CEO Batara Group!" seru Moza berdiri saking terkejutnya."Benar. Saya CEO Batara Group," ujar Malvin mengerutkan alis. Melihat tingkah aneh wanita di hadapan.Moza terduduk dengan lemas. Dari seluruh pria tampan di dunia ini, ia justru harus berhadapan dengan pimpinan perusahaan tempat ia bekerja. Moza tidak akan ketahuan bukan jika ia adalah karyawan di perusahaannya?'Aduh! Mati aku!' rutuk Moza untuk nasib sialnya.Satu Minggu yang lalu.Lantai delapan Batara Group Gedung Pusat."Za, lo tahu gak rumor tentang CEO baru kita?" cetus Tiara memepetkan kursi kerja. Seperti biasa pasti akan ada sesi menyebarkan rumor atau gosip di sela kerja harian dengan rutinitas yang sama. "Apa emang?" timpal Moza penasaran. Mendekatkan telinga. "Katanya CEO baru kita itu pasien sakit jiwa," bisik Tiara dengan mata jelalatan mengantisipasi atensi karyawan lain yang tiba-tiba memperhatikan mereka."Ha? Masa sih kok bisa?" tanya Moza penasaran dengan mata terbelalak karena info ini baru didengarnya."Hush! Jangan kenceng-kenceng, bisik-bisik aja. Jangan lupa pura-pura kerja!" bisik Tiara benar-benar waspada level tinggi. "Iya iya terus kenapa kok bisa disebut pasien sakit jiwa?" bisik Moza mengulangi pertanyaannya."Katanya Pak CEO terkenal banget di kantor New York dan kantor ini sebelumnya. Sebagai pasien gangguan kecemasan yang akan melakukan semua yang dia katakan. Seorang pendukung fanatik dari larangan berpa
"Nona Thara masih di sana?" tanya Malvin berhasil menyadarkan Moza yang tengah kemelut dengan pikirannya."Ah, iya. Saya tahu! Kenapa saya tidak mau menikah dengan Tuan!" sahut Moza kembali tersadar. Ia harus mendeklarasikan penolakannya. Jika tidak bisa-bisa ia habis oleh Thara nanti."Kenapa, Nona?" Malvin mengkonfirmasi alasan dirinya ditolak."Karena Tuan bukan tipe saya!" tandas Moza memberitahu."Tipe seperti apa yang Nona Thara sukai?" Malvin balik bertanya, dengan tenang menanggapi. "Yang jelas yang tidak mengajak menikah lewat telepon," sahut Moza asal. "Baik, jadi kapan kita bisa bertemu?" "Apa! Tidak! Saya tidak mau bertemu Tuan lagi. Kencan buta kemarin adalah pertemuan terakhir kita," tandas Moza mencak-mencak.Tut!Moza mematikan panggilan, merasa frustasi."Aduh! Kenapa setelah kencan buta hidupku jadi banyak kejutan gini. Kuharap kejutan ini sudah berakhir. Kasihan jantungku." Moza menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan seraya mengusap dada. Tanpa sadar ia t
"Saya tidak menyangka Nona Thara mengajak saya bertemu secara mendadak," ucap Malvin setelah duduk tegap di hadapan Moza. Moza kembali tersadar, ia harus fokus. "Maafkan saya Tuan karena mendadak mengajak bertemu," balas Moza menyunggingkan senyum."Tidak, justru saya senang karena saya juga ingin bertemu Nona," timpal Malvin melepas setelan jasnya. Moza kembali menelan saliva."Maafkan saya Nona karena saya datang dengan penampilan berantakan. Kali ini saya mengalami hal yang tidak mengenakan di jalan," aku Malvin menyugar rambutnya. 'Heh! Malah minta maaf. Eh, gak! Pak CEO emang harus minta maaf. Bisa-bisanya rambutnya yang disugar, hatiku malah yang bergetar. Sialan!' rutuk Moza hatinya menangis haru dengan pemandangan indah yang baru saja ia lihat. "Jadi Nona berkaitan dengan pernyataan saya ditelepon kemarin. Saya ingin mengajak Nona—" Moza membola, ia tahu apa yang akan pria di hadapannya ucapkan. "Tuan Malvin mau pesan apa?" potong Moza dengan cepat. Hatinya belum siap denga
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Malvin menyeringai menatap paras wanita yang tengah terlelap dalam tidurnya. "Tidak kusangka kau akan menungguku. Apakah ini yang dinamakan takdir? Sekarang kau jelas ditakdirkan menjadi jodohku," gumam Malvin menyunggingkan senyum. Kini ia sudah berada di hadapan Moza yang ketiduran dalam penantiannya. Wanita di hadapan Malvin tampak sangat cantik, Moza begitu anteng dalam tidurnya. Membuat Malvin refleks kembali tersenyum memperhatikan Moza yang bisa tertidur dalam posisi duduk. Sembari menunggu Moza terbangun, Malvin memeriksa beberapa berkas penting melalui gawai miliknya. Hingga, pelayan restoran membawa minuman pesanan Malvin. Sekitar satu jam kemudian, wanita yang telah Malvin tandai sebagai jodohnya itu tampak menggerakan tubuh.Moza mengerjap, hingga akhirnya membuka mata. Wanita itu tampak melihat Malvin di hadapannya."Nona sudah bangun?" sambut Malvin tersenyum kecil. S
Savian kembali terpokus pada lawan bicaranya. Dengan intens ia memperhatikan penampilan wanita yang dikenal sebagai anak tunggal InterPress Gruop tersebut yang telah ditandai Malvin sebagai istrinya. Nona Thara yang ia lihat sekilas saat pertemuan dengan atasannya beberapa hari yang lalu terlihat begitu berpenampilan seksi dengan make up tebal menghiasi wajah. Savian menelisik, memperhatikan penampilan wanita di hadapan. Penampilan anak tunggal InterPress Group kali ini justru terlihat berbeda dengan make up tipis serta setelan baju yang lumayan sopan.'Apakah wajah aslinya tanpa make up tebal memang seperti ini?' Savian menerka. "Maaf saya sedikit terkejut," cetus Thara mengendalikan diri dari keterkejutannya."Ada urusan apa ya Tuan mencari saya? Bukankah masalah perjodohan sudah terselesaikan kemarin?" tukas Thara menyesalinya. Hatinya menangis karena meminta Moza menolak lamaran pria setampan nan memesona di hadapannya."Ah, jika b
Di kamarnya yang hanya berukuran 3×4 meter itu Moza tengah sibuk mengecat kuku kakinya dengan kutek berwarna nude. Kamar yang dipenuhi dengan kenangan semasa bersekolah dulu tak berubah. Hanya bertambah beberapa dekorasi yang ikut menenuhi ruang kamar. Sejak SMA Moza sangat hobi membeli poster idol Kpop kesukaannya, bahkan poster tersebut masih awet memenuhi dinding kamar. Belum lagi pernak-pernik Kpop lainnya. Karena menjadi fangirl membuatnya betah menjomlo selama ini. Lebih tepatnya betah menunggu Rendy menyadari kehadirannya. Masa-masa SMA yang membuatnya memiliki sahabat seperti Thara sampai saat ini. Saat Moza tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Wanita itu meraih ponsel di atas nakas. Melihat nama kontak yang meneleponnya malam-malam. Tebakannya adalah Thara dan ternyata tepat sasaran."Ada apa, Ra?" tanya Moza langsung ke inti. "Gue baru ketemu Malvin," aku Thara membuat Moza langsung membola.
Di tengah situasi canggung penuh kesalahpahaman. Thara teralihkan dengan seorang pria yang baru saja masuk ke dalam restoran. Sontak wanita itu membola menatap pria tampan tersebut. Ia tampak melangkah menuju meja Thara."Tuan Malvin," panggil Thara terpana ke arah pria tersebut. Malvin ikut mengalihkan atensi menatap sekretarisnya yang baru saja datang dengan senyuman yang tampak menyilaukan karena masuk ke restoran bertepatan dengan lampu pintu yang tiba-tiba dinyalakan."Dia adalah sekretaris saya," jelas Malvin memberitahu. Savian tampak duduk di meja yang lain. Menunggu atasannya selama pertemuan karena kunci mobil milik Malvin dipegang olehnya. "Apa?" Thara tak percaya dengan kebenaran yang ia peroleh."Sepertinya Nona salah paham dengan mengira sekretaris saya sebagai saya," ucap Malvin setelah menyimpulkan apa yang mungkin terjadi. "Jadi siapa wanita yang saya temui di kencan buta itu?" tanya Malvin langsung ke inti ka
Savian tampak membuka pintu ruang CEO setelah dipersilakan masuk. Dengan langkah kakinya yang panjang membuat ia bisa cepat tiba di hadapan Malvin kurang dari tiga puluh detik dari pintu masuk ke depan meja kerja atasannya itu. Malvin tampak mengalihkan atensi menatap Savian lekat-lekat. Orang yang dipandangi merasa tidak nyaman. "Ada hal mendesak apa Pak CEO memanggil saya?" tanya Savian menghadap. Malvin tampak memangku wajahnya, dengan tatapan datar ia berucap, "Temuilah Nona Thara dan bujuk dia untuk mengatur pertemuanku dengan wanita yang mengantikannya di kencan buta." Nada perintah itu terdengar mendikte. Savian tidak bisa menolak perintah tersebut. Walaupun hal tersebut tidak menyangkut pekerjaannya. Namun, sudah bertahun-tahun Savian hidup dengan arahan Malvin yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sejak ia pertama kali menginjakan kaki di rumah besar tempat Malvin tinggal."Baik, Pak. Saya akan segera menemui Nona Thara," ja
"Kumohon Tuan rahasiakan kebenaran ini," bujuk Thara dengan wajah memelas. Savian mematung di tempat, ia sudah memprediksi respon Thara. Namun, ia tak menyadari jika dirinya akan segoyah ini. Thara meraih kedua tangan Savian kemudian menggenggamnya dalam satu telungkupan tangan. Wanita itu bersungguh-sungguh dengan permintaannya. "Mungkin akan sangat sulit karena di satu sisi Tuan adalah karyawan Batara Group. Tapi saya mohon untuk satu ini, demi kebaikan bersama. Karena Moza menggantikan saya juga karena saya memaksa dia. Jadi ini semua salah saya. Jika Moza sampai dipecat, hubungan persahabatan kami yang sudah terjalin bertahun-tahun pasti hancur. Saya mohon Tuan, tolong jangan beri tahu identitas Moza yang sebenarnya ke Malvin," pinta Thara dengan kedua bola mata berkaca-kaca menatap pria di hadapannya.Savian mendesah sepertinya ia memang sudah goyah sejak awal. "Baiklah Nona saya tidak akan memberitahukan Pak CEO tentang kebenaran Nona Moza," cetus Savian setelah tahu tentang
"Ada yang bisa saya bantu, Pak CEO?" tanya Savian sudah berada di ruangan Malvin. Malvin tampak langsung mengalihkan atensi, menatap Savian dengan serius. "Calon istriku kembali menghilang. Tanyakan kepada Nona Thara tentang keberadannya.""Apakah Pak CEO belum juga tahu di mana rumah Nona Lisa?" tanya Savian, tak menyangka jika wanita yang ingin atasannya jadikan istri itu kembali menghilang dan ia diminta untuk kembali mencarinya. Walaupun sebenarnya ia tak keberatan akan hal itu karena ia jadi punya alasan untuk bertemu dengan Thara lagi."Aku lupa untuk bertanya. Jadi cari keberadaannya, tanyakan kembali ke Nona Thara. Saya yakin jika Nona Thara sangat mengenal Nona Lisa," ucap Malvin tampak menyesali kesalahan kecil yang justru sangat berdampak untuk situasinya sekarang. Karena kembali ia meminta bantuan kepada Savian. "Baik, Pak CEO," jawab Savian tak mengira jika atasannya kini kembali melewatkan hal penting. Ke mana Malvin yang perfeksionis itu? Savian hanya bisa mengembuska
"Pernikahan apa maksudnya ya?" tanya Moza memecah ketegangan di antara Malvin dan Kakek Rama. "Astaga, apakah Malvin belum melamarmu?" sahut Nenek Puspa tak percaya dengan tebakannya. Sekilas ia langsung menatap Malvin."Ah, itu ...." Malvin sejenak memikirkan jawaban yang tepat. "Iya, Nek belum dan juga saya tidak ingin buru-buru menikah. Saya ingin mengenal Malvin lebih jauh dan ingin mempersiapkan diri untuk jenjang yang lebih serius," ucap Moza mengambil alih.Mengutarakan kesimpulan dari pertemuan ini seraya menyunggingkan senyum. Ia tak ingin pernyataannya dianggap serius, tetapi ia juga tak ingin pernyataannya barusan diabaikan begitu saja. Moza berusaha keras agar kalimat yang ia ucapkan tidak terkesan menolak pernyataan Kakek Rama. Semoga saja dengan ini Kakek Rama dan Nenek Puspa mengerti. "Sebenarnya itu juga keputusan yang tepat. Kalian memang seharusnya saling mengenal lebih jauh. Sebuah pernikahan harus diikat dengan keyakinan dari kedua belah pihak," simpul Nenek Pus
Moza mematung menatap interaksi pasangan lanjut usia yang tampak mesra tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengenal sekali wanita yang tengah duduk dengan anggun bersama presdir Batara Group itu. Nenek Puspa adalah ketua komunitas penggemar boyband kesukaannya. Setiap bulan club yang diikuti Moza bersama Thara itu sering mengadakan acara dan Nenek Puspa-lah ketua komunitas tersebut. Siapa sangka bukan jika Nenek sekeren Nenek Puspa itu adalah nenek dari seorang Malvin Alexander Batara. Sungguh kebetulan yang Moza tidak pernah duga. "Apa maksud Nona tidak bisa bertemu dengan Nenek saya? Apakah Nona mengenal Nenek Puspa?" tanya Malvin sontak mengalihkan atensi Moza. "I–itu ...." Moza tergagap. Haruskah ia bilang jika sebenarnya ia mengenal Nenek Puspa. Tidak! Itu terlalu beresiko, Moza tidak ingin membuka celah. Jika itu terjadi maka indetitas dirinya benar-benar dipertaruhkan. Karena jika ketahuan, Nenek Puspa maupun Kakek Rama pasti akan kecewa apalagi tentang hubungan pura-pura ya
Hari pertemuan dengan Kakek Rama dan Nenek Puspa pun tiba. Moza diajak Malvin ke sebuah butik ternama di ibu kota. Kedatangan Malvin dan Moza langsung disambut para karyawan butik yang berjejer memberi sambutan."Selamat datang," sapa mereka serentak seraya menunduk hormat, Moza yang digandeng Malvin refleks sedikit menunduk, ia terkejut karena pelayanan kelas atas yang ia rasakan saat masuk bersama Malvin. "Selamat datang Tuan Malvin dan Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita empat puluh tahunan menyapa. Sekilas Moza menatap name tag yang terpasang di dada wanita tersebut. Namanya adalah Miss Lidia, Kepala Manager di butik.Moza terkejut dalam diam. Ia tak menyangka jika yang akan melayaninya itu kepala manager butik itu sendiri yang langsung turun tangan. Apakah Malvin pelanggan tetap atau bagaimana. Namun, ia tak berani menanyakannya. "Saya ingin mencari setelan baju yang pas untuk makan malam keluarga. Setelan yang saya gunakan akan mengikuti gaun yang dikenakan
Grep!Tangan kanan Malvin meraih pinggang wanita di hadapannya. Ditariknya tubuh Moza dalam sebuah dekapan erat. Dada mereka saling bersentuhan, degub jantung keduanya saling bertalu sama kencangnya. Sedangkan tangan kirinya menekan punggung wanita itu untuk terus mendekat ke padanya. Moza jatuh di dada bidang Malvin dengan sempurna, kini tak ada lagi jarak di antara keduanya. Wanita itu mencium bau citrus bercampur mint dari tubuh pria yang kini memeluknya. Anehnya, membuatnya betah dalam posisi berpelukan yang kini berhasil menutupi wajahnya bersemu merah. Moza seperti merasakan ribuan kupu-kupu tengah beterbangan di dalam perutnya. Sebuah perasaan aneh yang membuat hatinya berdesir aneh. Sama halnya dengan Moza, Malvin pun merasakan hal sama. Jantungnya berdegub tidak semestinya. Ia ingin terus memeluk wanita yang kini membuatnya merasakan kehangatan sebuah pelukan. Tanpa sadar Malvin mempererat pelukannya, hingga beberapa menit kemudian orang-orang yang berada di parkiran mulai
"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa lo udah ninuninu sama sekretarisnya bos gue?" desak Moza meminta penjelasan. "Em, tentang itu ...." Thara kembali menjeda kalimatnya. Ia memutuskan untuk pindah ke kamar mandi. "Gue berharapnya sih iya. Tapi ternyata Savian orangnya manly banget, Za. Dia jagain gue banget pas di apartemen. Gue inget banget karena nunguin dia nelepon gue ketiduran di sofa. Pas bangun gue udah ada di ranjang kamar. Awalnya gue kecewa karena gak bisa tidur bareng dia. Tapi pas pagi tadi gue keluar lihat dia tidur di sofa sambil meringkuk dan itu berhasil bikin hati gue terenyuh." Moza dengan seksama mendengarkan penuturan Thara lewat sambungan telepon. "Jarang banget ada cowok yang gak kebawa nafsunya sendiri, Za. Dia rela tidur di sofa demi jaga gue agar bisa tidur di ranjang kamarnya dengan nyaman. Padahal malam itu gue udah pasrah kalo dia menginginkan gue sama kaya gue mengginginkan dia. Tapi dia pria yang berbeda, Za. Dia pria terhorm
Thara mematung sejenak menatap tumpukan kardus di dalam ruang depan sebuah apartemen yang sudah ditinggali mulai hari ini. Ia duduk diam di sebuah sofa sembari sesekali menatap sekitar dengan boneka beruang besar miliknya yang sengaja ia dekap sejak tadi. Kondisi apartemen masih tampak polos, hanya furniture penting saja yang baru mengisi ruang apartemen. Thara menebak jika tumpukan kardus itu pasti barang-barang milik Savian yang belum sempat dibuka. Sembari menunggu pria itu yang masih mandi, Thara menghidupkan layar televisi guna mencairkan rasa gugup yang ia tengah rasakan. Bagaimana pun setelah dipikirkan kembali, Thara sungguh bersikap di luar nalar hari ini. Bisa-bisanya ia meminta untuk tidur bersama di apartemen milik Savian hanya karena apartemennya menjadi sarang banyak kecoak. Ia malu dengan tindakannya, tetapi ia juga merasa bersyukur akan hal tersebut. Thara sungguh tak menyangka jika malam ini ia akan tidur di apartemen seorang pria. Pria
Karena jarak rumah dengan perusahaan dirasa cukup terlalu jauh. Satu minggu lalu Savian memutuskan untuk menyewa salah satu unit apartemen yang bisa memangkas waktu perjalanan ke Batara Group. Hari ini adalah hari pindahannya. Berkat menyewa jasa pindahan, pria itu jadi tidak kerepotan memikirkan barang pindahannya dan bisa pulang kerja tepat waktu.Savian dengan tas kerja di tangan memasuki area apartemen barunya. Ditekannya tombol lift di angka dua puluh. Ia akan langsung beristirahat hari ini, untuk merapikan apartemen mungkin bisa ia lakukan akhir pekan nanti. Setidaknya apartemen sudah terisi oleh perabotan seperti ranjang kamar, sofa dan beberapa peralatan masak. Lift yang bergerak naik akhirnya tiba di lantai dua puluh. Savian menjejakan kakinya berjalan dengan tegap mencari letak unit apartemennya yang belum ia hafal betul karena desain pintu depan setiap unit apartemen sama, yang membedakan hanya nomor unitnya. Unit apartemen Savian adalah nomor 202, pria itu tampak sesekal