Tak kuasa aku menitihkan air mata. Karena benar-benar hati ini sudah hancur. Tega sekali mereka memisahkan aku dengan cucu lelakiku. Aku ini kan tidak bersalah, yang bersalah kan Rina, anak dari Pak Fuad dan Bu Nuria yang tak tahu diri itu."Mbak Sulastri beneran nggak tahu ke mana perginya Rina?"Kini Adit bertanya kembali ke tetangga yang masih setia melihat kami di pagar tembok rumah Rina."Beneran nggak tahu saya Mas Adit. Waktu pergi itu Rina dan keluarganya terlihat seperti terburu-buru. Mungkin sekitar empat jaman setelah Mas Adit pulang dari sini, saat menjenguk Romi pulang dari rumah sakit."Jadi mereka pergi setelah aku diusir Pak Fuad. Berarti sebelumnya mereka sudah berencana untuk pindah rumah gitu, kurang aj*r memang."Lha memangnya Rina nggak izin dulu sama Mas Adit, kalau mau pergi ke mana begitu?" Tanpa berkata Adit menggelengkan kepalanya."Waduh kok bisa seperti itu? Harusnya kan istri kalau pergi ke mana-mana harus minta izin dulu ke suaminya. Berarti Mas Adit sudah
Mungkin aku sedang bermimpi sampai harus ketemu dengan wanita kur*ng aj*r itu. Ku cubit lenganku dengan keras ternyata beneran sakit. Jadi ini bukan mimpi."I-itu, bukannya dia perempuan yang sering datang ke rumah kita, Dit?" tanyaku ragu.Ku tunjuk beberapa poto yang terpasang di dinding rumah ini."Iya, Bu. Dia adalah sahabat Rina sejak di bangku sekolah."Waduh bisa malu aku kalau aku ketemu dia sekarang ini. Aku yakin dia bakalan memarahiku seperti tempo dulu saat Rina baru saja melahirkan. Atau mungkin dia bakalan menertawakanku kalau semua yang dibicarakan itu benar."Ibu ini gimana? Masak orang setelah melahirkan harus diatur terus makannya. Jangan makan ini jangan makan itu. Yang diperbolehkan cuman makan pakai sayur kulup (sayur yang hanya direbus dan saat menyantapnya tanpa menggunakan kuah) saja dan bawang merah goreng sebagai pelengkapnya. Memangnya ibu tidak kasihan dengan menantu dan cucu Ibu sendiri?" katanya waktu itu."Yang nggak kasihan itu kamu. Anak muda tahu apa?
"Sudah keterlaluan itu yang namanya Prita. Kurang aj*r sama orang tua. Kalau dia tadi berdiri lebih dekat sudah dipastikan ibu pasti sudah menjamb*k-jamb*k rambut pirangnya itu.""Sudahlah, Bu. Jangan, emosi terus begitu!" ucap Adit mencoba menenangkan aku."Gimana nggak emosi? Wanita yang masih bau kencur itu sudah merendahkan aku yang lebih tua dari dirinya. Itu kan sudah nggak sopan namanya. Kayak aku ini nggak punya harga diri saja.""Apa pantas mengusir orang yang ingin meminta bantuan darinya? Benar-benar kurang aj*ar!" lanjutku yang masih terus saja ku luapkan emosiku ini."Kalau Ibu marah-marah terus, Ibu nanti bisa kena darah tinggi. Ini saja kepala Adit jadi tambah puyeng setelah mendengar ocehan Ibu.""Diam kamu, Dit! Jangan sok menasehati ibu. Sekarang cari akal gimana kita bisa menemui Rina. Bayangkan, Dit, bayangkan! Aku ini lagi seneng-senengnya punya cucu terus sekarang dijauhkan gitu. Hati nenek mana yang kuat dengan cobaan begini, Dit?""Iya, Bu. Adit paham dengan mak
"Kalau jauh gini gimana Romi, Bu Munah. Jadi cuman minum Asi saja dong, ya?" tanya Bu Kasih."Iya kayaknya Bu. Yang penting saya tiap hari mengingatkan Rina untuk tetap kasih makan Romi kerokan pisang gitu. Kalau digunakan atau tidak omongan saya itu saya udah pasrah. Soalnya juga rumah kita tidak dekatan. Kalau dekat mungkin setiap hari saya bakal kontrol itu si Rina. Soalnya saya nggak tega kalau lihat cucu saya kelaparan," terangku."Iya, Bu, bener itu sing penting diingatkan. Perkara dipakek atau nggak itu biar urusan dia. Yang penting kewajiban kita sebagai orang tua sudah dijalankan.""Aku juga setuju itu, Mbak kasih," ucap Bu Sayuti."Maaf, Bu-Ibu. Saya tinggal masuk dulu. Soalnya badan saya lagi capek."Kalau tidak cepat aku masuk ke dalam, pasti aku terus ditanyain perkara Rina dan Romi. Daripada salah bicara, lebih baik aku istirahat saja di kamar.Ku jatuhkan bobotku ke kasurku yang begitu empuk ini. Rasanya lega sekali setelah bertemu dengan kasur."Rin, Rina. Kamu itu suda
Pov Ibu Mertua"Bude!" teriak keponakanku dari ambang pintu.Aku sekarang sedang memasak di dapur. Membuat beraneka macam makanan yang akan aku kirim ke sawah untuk sarapan pekerja."Ada apa, Nang? Kok pagi-pagi sekali sudah sampai sini.""Lihat ini, Bude! Ini kan fotonya adik Romi. Adik Romi memangnya sakit apa ya, Bude?" Nanang menunjukkan ponselnya dari arah agak jauh."Mana sih? Bude nggak pakai kaca mata jadi nggak kelihatan."Diberikannya ponsel yang dia pegang kepadaku.Terlihat Romi sedang digendong oleh Bu Nuria, besanku. Kayaknya ini rumah sakit yang kemarin itu, Rumah sakit tempat Romi dirawat. Mungkin Romi sedang kontrol ke sana. Ku lihat status itu sudah diposting kemarin siang."Kasihan banget cucuku pasti dia masih belum sembuh total," batinku."Kamu dapat foto ini dari siapa?""Ini di status keponakannya Mbak Rina, Bude. Dia kan temanku sekolah," jawab Nanang.Setelah melihat foto Romi, membuat dadaku bergemuruh. Ada rasa marah dan senang di dalam hatiku.Marah karena
Aku hanya bisa tersenyum saja mendengarkan omelan ibu mertua. Namun aku tak sedikitpun bergeser dari tempat dudukku. Karena kalau sampai lengah sedikit pasti akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.Tapi saking pintarnya taktik ibu mertuaku hingga penjagaanku yang ketat ini bisa tembus juga. Entah mungkin saat aku mandi atau saat aku mencuci baju Romi berhasil diberi kerokan pisang.Ya, bagaimana lagi, semenjak aku hamil aktivitas mencuci baju aku kerjakan seorang diri. Terlebih setelah aku melahirkan. Mas Adit tidak pernah membantuku karena katanya sudah capek bekerja. Sungguh mengenaskan menjadi istri seorang Adit anak laki-laki satu-satunya yang paling disayang oleh ibunya, yang tak boleh capek-capek melakukan aktifitasnya. Tak jarang aku pun meneteskan air mata karena saking letihnya mengerjakan apa-apa seorang diri.Kalau mengingat masa-masa itu aku sangat sedih sekali. Untung saja Allah masih sayang kepadaku hingga aku bisa melewatinya dengan baik walaupun tak sedikit beruarai
Pov Rina.Seketika rasa laparku langsung musnah. Padahal bau penyetan bebek Pak Ruslan yang aku bawa sudah membuat perut ini keroncongan.Gurih dan lembutnya daging bebek ini, serta sambalnya yang tidak pelit membuat cita rasa dari penyetan bebek Pak Ruslan ini diserbu oleh para penyuka kuliner.Bahkan sebelum aku menikah dengan mas Adit aku sering berkunjung ke tempat makan milik Pak Ruslan ini. Hanya untuk menikmati penyetan bebek dan minuman segarnya."Tenang, Nak. Jangan gegabah menyimpulkan perkataan ibu. Ibu bisa menjelaskan semua ini," kata ibu dengan penuh kehati-hatian setelah mendekat ke arahku."Mau dijelaskan bagaimana lagi, Bu? Semua sudah jelas kalau Ibu itu masih berat dengan mas Adit. Ingat, Bu, lelaki itu yang sudah menyakiti anak dan cucu Ibu!""Bukan itu maksud ibu, Nak. Kamu jangan salah tafsir dulu. Ibu hanya tidak ingin kamu menyandang status janda. Apalagi bernasib sama seperti kebanyakan janda di luar sana. Ditambah lagi kamu sudah ada anak, Nak.""Kalau sudah j
"Rin, Rina! Romi eek, Rin!" teriak Prita dari ruang tengah."Iya!" Ku usap air mataku dengan kasar. "Maaf sudah menganggu kamu makan, Rin.""Ah, nggak apa-apa akunya yang malah minta maaf sudah merepotkan kamu," jawabku.Ku ambil alih Romi dari gendongan Prita. "Tunggu sebentar ya Tante. Aku mau salin dulu," ku katakan dengan bahasa yang seperti anak kecil."Iya, Romi ganteng. Tante tunggu di depan ya."Dengan cekatan aku pun mengganti celana Romi. Meski ibu menawari untuk menggantikannya tapi aku tetap kekeh tidak memberikan Romi kepada beliau. Rasanya aku jadi sakit hati dengan ibuku sendiri. Ini sudah tidak boleh dibiarkan. Aku akan menyelidiki apa maksud ibu yang selalu membela mas Adit yang sudah jelas terbukti bersalah."Gimana rasa penyetan Pak Ruslan, enak?" tanya Prita setelah aku keluar ke ruangan tamu dan menemuinya."Enak banget, Prit. Tidak ada yang berubah rasanya." Terpaksa berbohong kepada Prita padahal aku sendiri belum tahu gimana bentuk dan rasa penyetan yang dibaw
Pov Adit"Memang Zaskia perempuan manja gitu saja sudah lapor ke bapaknya, si*l!" kataku sambil ku pukul-pukul pahaku.Dengan cepat aku mengendarai sepeda motorku ke arah rumah. Jika aku tidak cepat sampai di rumah, ibu pasti semakin marah denganku."Cepetan masuk, Mas! Ibu sudah marah besar," kata Lia sambil terlihat ketakutan saat menyusulku ke depan.Dengan cepat aku memarkirkan sepeda motorku. Dari kejauhan ku lihat ibu sudah menyambutku di pintu masuk.Ingin rasanya pergi jauh dari sini, kalau ujung-ujungnya aku yang jadi seperti ini. Dulu yang aku pikir hanya kerja dan kerja. Kalau sekarang harus ngertiin perempuan segala. Dulu Rina nggak begini banget. Kenapa juga sih Zaskia itu nggak kayak si Rina saja sih? Rina itu selalu nurut dengan ibu untuk ngertiin aku.Saat aku hendak mencium punggung tangan ibuku, ibuku malah menaruh sambal pedas yang bekasnya jari lima nempel di pipiku."Panas sekali rasanya," batinku sambil ku pejamkan mataku. Zaskia-zaskia lihat nanti akan aku balas
Pov AditDengan cepat aku menutup pintu kamarku dan tak lupa menguncinya dari dalam agar Zaskia nggak masuk lagi. Tak butuh waktu sepuluh menit aku sudah selesai mengganti baju, dengan langkah malas aku pun keluar menemui ibu dan Zaskia. Terlihat Zaskia masih cemberut ke padaku. Tapi biarkan saja toh dia juga akan baikan sendiri."Tuh, Mas Adit sudah selesai, Cantik," kata ibu dengan nada yang dibaik-baikkan agar Zaskia selesai cemberutnya."Adit berangkat dulu ya, Bu," kataku sambil mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkanku.Setelah aku selesai mencium punggung tangan ibu, Zaskia pun ikut melakukan hal yang sama.Aku sangat yakin ibu tadi sudah membelaku di depan Zaskia. Enak saja wanita kok ingin nyetir laki-laki. Kalau sampai aku nurut dengan wanita mau ditaruh mana letak harga diriku? Semua ini ada alasannya. Karena akulah yang nantinya jadi calon imam bukannya dia. Jadi sudah seharusnya dia harus menurut sama aku."Loh kok naik sepeda motor? Kenapa nggak pakai mobil
Pov AditUntung saja di rumah makan tadi aku belum sempat pesan minuman ataupun makanan. Kalau sampai pesan, bisa dipastikan siang ini aku tidak akan bisa membeli seporsi bakso. Nasib-nasib."Beneran kamu sudah kenyang, Dit? Nih aku mau nambah lagi," kata Rudi sambil berdiri untuk pergi menambah bakso lagi. Kalau nggak datang langsung ke tempatnya katanya nggak afdol.Mau jujur kok ya malu. Untung saja tadi aku menolak ibu untuk tidak membawakanku bekal nasi dari rumah. Bisa tambah hilang lagi ini mukaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak kuat kalau harus mengirit begini."Sudahlah, namanya juga diet ya harus bisa nahan lapar, betul kan, Dit," kata Budi sambil menepuk pundakku."Diet kok terus, Dit?" kata yang lain ikut menggoda."Ya jelas diet dong. Calon istrinya adit yang baru ini kan orang kaya, ya harus jaga penampilan dong, betul gitu nggak, Dit?" kata Rudi yang datang sambil membawa semangkok penuh bakso.Bukannya membela, sebenarnya dia sedang mempermalukanku."Pintar kamu, Rud. Ka
Pov Rina"Selamat siang, Pak Syamsuri," kata pak Candra saat masuk ke ruangan diikuti aku yang mengekor di belakang lelaki berlesung pipit ini."Siang juga, Pak Candra." Pak Syamsuri langsung bangun dari duduknya diikuti oleh lelaki yang ada di sebelahnya."Maaf saya datang terlambat, Pak," kata pak Candra sambil menjabat tangan pak Syamsuri."Nggak apa-apa, Pak. Santai saja," jawab pak Syamsuri."Pak Candra perkenalkan ini Pak Wiyoko.""Pak Wiyoko, ini Pak Candra, dan ini sekretarisnya Bu Rina."Lelaki itu tersenyum melihatku, dengan tatapan yang masih sama seperti yang aku ingat saat kejadian sembilan tahun yang lalu.Diarahkannya tangan lelaki yang dulu pernah aku panggil dengan sebutan om Wiyoko itu ke arahku. Rupanya lelaki itu ingin menjabat tanganku.Dengan tangan bergetar, aku mulai memberanikan diri mengangkat tanganku membalas jabat tangan lelaki yang kini terlihat mulai menua itu. Ada rasa takut yang sangat mendalam menghampiri memoriku.Namun belum sampai menjabat tangan p
Pov RinaIbu hanya diam saja tidak menanggapi perkataan Bapak. Kelihatan sangat jelas wajah bapak merah padam menahan emosi. Beliau pun langsung pergi begitu saja meninggalkan kami."Tuh, lihat ibu dan bapak jadi bertengkar seperti ini gara-gara kamu, Rina."Tanpa banyak bicara, aku pun juga langsung pergi meninggalkan ibu seorang diri. Biarkan saja ibu seperti itu. Kalau terus diladeni yang ada malah semakin besar masalahnya.***Hanya butuh waktu dua menit saja aku sudah sampai di depan pintu ruangan Pak Candra. Tanpa buang waktu, aku langsung mengetok pintunya."Ya, masuk!""Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku dengan sopan."Tolong, kamu bawa dan pelajari laporan ini. Satu jam kemudian kita bertemu di lantai bawah. Hari ini ada meeting dadakan dengan Pak Syamsuri pimpinan dari perusahaan Mega Industri. Saya berencana akan mengadakan meeting tersebut di rumah makan baru kita, di Sedap Gurih," katanya dengan suara tenang."Baik, Pak.""Tolong, kamu kabari anak-anak di sana agar m
Pov Rina"Halo, Rin! Denger-denger mantan kamu mau menikah lagi. Kamu nggak cemburu kah, Rin?" goda Prita yang barusan masuk ke ruanganku. "Ah, biarin Prit. Aku sudah tak peduli lagi sama dia.""Yakin, nih?" kata Prita sambil mencolek pinggangku setelah itu duduk di depan meja kerjaku."Ya yakinlah. Buat apa lelaki semacam dia dipelihara. Yang ada malah makan hati saja.""Ciye berarti sudah move on dong?""Move on nggak move on ya harus dimove on-kan, dong.""Kayaknya move on-nya karena terpakasa. Beneran kamu nggak penasaran Adit mau menikah dengan siapa?""Ah, sudahlah, Prit. Jangan, bahas dia lagi! Aku ingin muntah kalau bahas dia. Aku ingin dengan pekerjaanku.""Nah, betul itu. Aku suka gaya kamu. Tapi kalau ada yang mau deketin kamu, kamu mau tidak?""Ah, aku nggak bisa mikir untuk sekarang ini. Yang jelas bagaimana sekarang aku bisa mendapatkan banyak uang untuk masa depan Romi.""Bagus tuh. Tapi saran nih, Rin. Traumanya jangan lama-lama, ya. Kalau ada yang baik mau deketin ka
Pov Adit"Kok ya Ampun, sih? Memangnya kamu nggak ingin jika uang kamu terkumpul?""Ya mau, Bu. Tapi ya nggak gitu juga caranya. Adit bisa malu dengan teman-teman, kalau setiap hari harus nebeng.""Ya sudahlah, terserah kamu," jawab beliau ketus.Ibu pun langsung pergi dari kamarku. Aku jadi heran kenapa ibu jadi semakin aneh begini.Ku miringkan badanku ke arah kanan dan kiri, sambil ku pejam-pejamkan mataku, namun tetap saja tak bisa tidur. Ku lihat jam di dinding masih menunjukkan jam dua belas, tengah malam.Masih teringat pembicaraan dengan Bu Sayuti kalau Rina sekarang menjadi kurusan aku pun berseluncur mencarinya di media sosial namun sia*lnya pencariannku tak membuahkan hasil. Kemungkinan besar Rina sudah memblokir semua media sosialku.Namun aku punya ide aku akan pergi ke sebuah rumah makan yang pernah aku kunjungi di mana aku bertemu dengan dia saat tragedi minuman es Siapa tahu aku bertemu lagi dengan Rina.***Pov Rina"Kenapa harus berakhir seperti ini, Tuhan? Kenapa?
Pov AditPov AditBeberapa menit kemudian ponselku berdering ada pesan masuk daris seseorang yang sedang bahagia di seberang sana.Ku hela nafas dalam-dalam saat akan membuka pesan darinya..[Mas, aku cantik, kan?] Begitulah bunyinya pesan yang di atasnya ada poto dia yang selesai dirias."Kok masih sempat-sempatnya dia berkirim foto ke padaku,"batinku."Siapa itu, Dit?" tanya ibu yang diam-diam mengintip isi pesanku."Calon menantu Ibu," jawabku singkat."Mana?!" kata ibu sambil meraih ponselku karena penasaran melihat poto calon menantu kesayangannya."Ih, cantik sekali dia, Dit," ibu merasa takjub."Mana, Bu Munah? Aku juga mau lihat," kata Bu Sayuti juga ikut penasaran."Eh, iya. Mangklingi banget Zaskia," ucap Bu Sayuti"Cepetan dibalas, Dit! Jangan, lama-lama balasnya!" kata ibu kemudian setelah berhasil mengambil alih ponselku yang dibawa Bu Sayuti dan memberikannya ke padaku."Mau di balas apa, Bu?" kataku malas."Mas Adit ini gimana, sih? Ya bilang cantik gitu atau dipuji yan
Pov Adit"Kamu sudah siap, Mas?" tanya Lia ke padaku."Iya," jawabku sambil tersenyum."Wah, anak ibu kelihatan tampan sekali. Cocok sekali kamu pakai baju ini, Nak. Pantas saja harganya mahal, karena membuat kamu semakin kelihatan gagah. Tak sia-sia ibu kasih uang tambahan ke pada mamanya Zaskia.""Memangnya mamanya Zaskia minta uang lagi, Bu?" tanyaku heran. Mengingat yang aku tahu, mamanya Zaskia hanya minta uang senilai tiga puluh juta saja. Selebihnya belum ada info dari ibu."Eh, enggak. Bukan itu maksud ibu itu ....""Ini yang memilihkan Mbak Zaskia ya, Mas?" ibu belum selesai berbicara, tapi sudah terpotong oleh pertanyaan Lia ke padaku."Iya, Lia, ini yang memilihkan Zaskia.""Pantas bagus banget. Cocok loh, dipakai Mas Adit. Lia saja sampai pangling lihat Mas Adit. Apalagi nanti para tamu dan saudara.""Iya, memang calon istrimu itu sangat berbakat di dunia fashion, Dit. Dia itu sangat paham mana yang paling cocok untuk kamu."Dalam hati kecilku aku sangat berat untuk menjal