Jika Luisa benar-benar sanggup mengurung dirinya di rumah, keluar hanya saat menjemur pakaian di halaman belakang yang tertutup tembok tinggi, beda dengan wanita bernama Jelita. Janda kaya itu kalap belanja barang-barang sebelum lusa adalah jadwalnya kembali diobservasi sebelum operasi yang ketiga untuk wajah, sedangkan untuk sedot lemak, dia hanya tinggal kontrol saja.Makan pun semua ia makan dengan lahap, asalkan ia suka dan halal tentunya. Pemuda bernama Syabil hanya bisa berdoa dalam hati agar operasi majikannya berhasil, sehingga ia bisa segera pulang ke Indonesia. Dia sudah kangen makan tahu gejrot, rujak, sayur asem, ikan asin, sambal, lalapan, semua makanan yang biasa ia makan.Ini sudah sepuluh hari dan tidak ada tanda-tanda Jelita akan kembali ke Indonesia. "Apa? Papa menikah lagi? Kapan? Kemarin? Kenapa baru cerita?""Iya, masih gadis. Perawan kampung sebelah. Bapaknya banyak utang sama Papa. Biasa kalau orang kampung yang malas, punya anak gadis, dikawinin biar gak jadi
Betapa terkejutnya Rana, karena saat ponselnya menyala, ada delapan puluh panggilan tidak terjawab dari suaminya. Ada juga pesan dan ia masih belum berani buka. Bukannya suaminya sibuk? Kenapa malah meneleponnya berkali-kali? Ya ampun, apa jangan-jangan suaminya sudah tahu? Batin Rana nampak cemas. Ada juga sebuah pesan dari ibu mertuanya. Pesan itulah yang ia buka pertama kali, sedangkan untuk pesan dari suaminya, mana berani ia membukanya. Rana menekan kontak Luisa. Ia merasa perlu bicara pada wanita itu agar jangan terlalu takut atau khawatir tentang suaminya. "Halo, assalamualaikum.""Halo, wa'alaykumussalam. Siapa ini?""Perkenalkan, Mbak. Saya Rana.""Rana? Rana siapa ya?" Luisa tidak ingat sama sekali dengan Rana karena rasa gembiranya karena kehamilannya."Istri Pak Levi.""Oh, i-iya, maaf saya gak inget namanya.""Iya, Mbak, gak papa. Mbak apa kabar?""Saya sehat, lagi hamil.""Wah, selamat, Mbak. Saya juga tengah hamil enam bulan.""Oh, gitu, selamat juga ya." Luisa tidak
"Halo, bisa bicara dengan Pak Darmono.""Ya, saya Darmono. Ini siapa?" kening pria paruh baya itu mengerut dalam. "Saya tetangga Luisa dan Abdi di Yogyakarta. Maaf, Pak, Abdi kecelakaan, ditabrak motor. Luisa yang lagi hamil ikut pingsan. Ini keduanya di rumah sakit. Saya sudah telepon Pak Mustopo pemilik rumah Abdi dan Luisa, tetapi belum sampai di rumah sakit. Mungkin sebentar lagi.""Ya Allah, terus bagaimana kondisi anak menantu saya, Bu?" "Luisa masih lemas di kamar perawatan, sedangkan Abdi masih kritis di ruang NICU. Mohon segera anggota keluarga ke rumah sakit Jaya Hospital ya.""Baik, Bu, terima kasih informasinya." Pak Darmono mengusap wajahnya dengan kasar. Nisa yang duduk di seberangnya mendengar semua percakapan suaminya di telepon."Pa, pesen tiket pesawat besok paling paling pagi aja. Papa berangkat dari sini malam. Saya gak papa kok di rumah sementara," ucap Nisa sambil mengusap lengan suaminya."Beneran, Sayang?" tanya Pak Darmono yang tidak tega juga meninggalkan is
"Luisa, ini Papa, Nak," ucap Pak Darmono dengan suara pelan. Luisa membuka mata perlahan. Ia memaksakan senyuman tipis pada papanya. "Kang Abdi, Pa." Luisa hampir menangis. "Suami kamu baik-baik aja, Nak.""Udah sadar belum, Pa?" "Belum, Nak. Doakan ya. Kamu tenang dulu. Jangan mikir yang nggak-nggak. Pokoknya kamu harus sehat dulu, baru nanti bisa jenguk Abdi." Luisa meneteskan air mata. Pak Darmono tidak tega dengan putrinya. Ujian hidup bertubi-tubi menghampiri Luisa, hingga seperti tidak ada ruang bagi bungsunya itu untuk bisa tersenyum lebar.Tiga hari berlalu, Luisa sudah diperbolehkan pulang, tetapi Luisa tidak ingin pulang. Ia ingin terus berada di sisi Abdi. Berharap setiap detik ada mukjizat suaminya memberikan respon terhadap rangsangan yang diberikan olehnya dan juga terapis. Pak Darmono masih setia menemani putrinya. Tidak sekali pun ia meninggalkan Luisa dalam keadaan seperti ini."Sudah makan, Nak?" tanya Pak Darmono yang baru saja kembali dari bawah. Pria itu numpa
"Rana besok pulang ya, Pak," ucap Rana malam itu pada bapaknya. Pak Ramdan menaruh cangkir kopinya kembali di atas meja. Cincin bermata batu berjejeran di jari tangan bapaknya dengan aneka warna. Mulai dari hitam, biru, biru tua, hijau aparat, dan warna lainnya yang terpasang begitu aneh di jari tangan kanan dan kiri bapaknya."Dijemput?" Rana melirik suami kakaknya yang sering mencuri pandang ke arahnya."Iya, dijemput, Pak. Suami Rana juga sudah pulang dari Yogyakarta. Jadinya Rana harus pulang." Pak Ramdan tertawa senang. "Mimpi apa bapakmu ini punya mantu muda, orang kaya. Yang tua pun juga lebih kaya. Ya kan, Juragan?" Juragan Andri ikut tertawa lebar. "Say baru tahu kalau yang bungsu Bapak malah lebih manis. Tahu gitu yang ini aja. Tapi udah terlanjur, sama kakaknya juga gak papa. Pasti legitnya sama ha ha ha ...." Rana memutar bola mata malasnya, lalu segwra berlahan masuk ke kamarnya.Pintu kamar pun terpaksa ia kunci, karena ia tidak mau terjadi hal-hal aneh seperti berita
PoV LuisaFlashback"Kamu yakin, Nak? Levi berbahaya. Papa khawatir kamu kenapa-napa selama di sana," ucap papaku dengan suara bergetar. Namun, ini sudah aku pikirkan dan aku putuskan. Aku juga punya cara sendiri untuk membuat semua lelaki hidung belang yang mengejar-ngejarku, menjadi tahu diri."Pak Levi tidak akan menyakiti saya, Pa. Justru saya yang akan mulai membalas semua padanya." Papa menggenggam tanganku dengan kuat. "Tapi Papa tetap saja takut," kata papaku lagi. Aku tersenyum. "Luisa minta izin dan ridho dari Papa. Tolong temani Kang Abdi sampai sadar. Selama saya lari dari Levi, maka kehidupan saya tidak akan pernah tenang. Papa jangan khawatir ya. Saya dan bayi saya akan kuat." Papa akhirnya mengangguk setuju setelah sekian kalimat keluar dari bibir ini untuk meyakinkannya. Aku mengecup kening suamiku sebelum aku kembali ke Jakarta. Kepegang tangannya dengan tetes air mata yang tidak bisa berhenti. "Kang, doakan aku dan bayi kita baik-baik aja selama di sana ya. Aku j
Suara perdebatan di luar sana bisa aku dengar dengan jelas. Bu Hera jelas tidak mau aku tinggal di rumahnya, tetapi Levi mengerahkan segala usahanya untuk membujuk sang Mama. Suara memohon itu pun bisa aku dengar dengan baik karena kamar tamu yang aku tempati, tidak kedap suara. Ditambah suara menggelegar mamanya, pastilah semua aku dengar."Mom, saya akan bujuk Luisa untuk tinggal di rumah lain. Ini kesempatan Levi, Mom. Luisa yang datang pada Levi, bukan Levi yang meminta. Mommy harus mengerti dan mendukung. Waktu itu saya setuju untuk menikahi Rana agar Mommy punya cucu dan sekarang sudah terbukti kan? Rana hamil. Berarti tugas saya sudah selesai. Saya akan tetap bersama Luisa, Mom. Tolong mengerti.""Mommy tidak akan mengerti. Ini rumah Mommy dan Mommy yamg berhak memutuskan, siapa yang boleh tinggal di sini, paham!"Aku tertawa senang dengan kegaduhan yang berhasil kubuat. Puas, tetapi baru lima persen saja. Aku mandi dan mengganti pakaian dengan gamis rumahan. Rambut ini masih b
Tok! Tok!Pintu kamarku diketuk di pagi hari. Sengaja aku tidak mau cepat-cepat keluar karena masih mengarang kalimat yang bisa membuat gaduh satu rumah ini. "Siapa?""Saya, Nyonya. Sarapan sudah siap." Jawaban dari pembantu rumah tangga Levi membuatku segera memakai niqob. Aku berjalan keluar kamar dengan mengantongi ponsel di saku gamisku. "Sudah ditunggu di ruang makan, Nyonya," kata bibik. "Makasih, Bik. Apa di meja makan ada jus mangga?" wajah ART itu berubah."Jus mangga? Mm ... gak ada jus mangga, Nyonya. Adanya jus jeruk. Sudah saya buatkan dan saya hidangkan di meja makan.""Saya mau jus mangga. Kamu pergi beli mangga dan buatkan jus itu untuk saya. Tidak ada protes karena saya calon nyonya rumah ini, paham!" "B-baik, Nyonya." Bibik pergi dengan cepat, lalu aku segera menyusul di meja makan. Wajah Bu Hera nampak ditekuk, sedangkan Levi penuh senyuman. Mungkin ia pikir mendapatkan durian Montong jatuh begitu saja di depannya dan sudah dikupas pula, tinggal makan. "Assala