Pagi itu gadis remaja mengenakan seragam putih-hijau daun itu tengah berlari terbirit-birit menuju sekolah karena jarum pendek di arlojinya sudah menunjukan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Itu pertanda gerbang sekolah sudah ditutup oleh security bertubuh tinggi besar dan akan dibuka kembali saat upacara bendera selesai.Sial, hari senin anak remaja berusia tiga belas tahun itu datang kesiangan ke sekolah.“Aduh, kenapa mobilnya pake acara mogok segala sih,” gerutunya dengan bibir yang mencebik. Gadis itu terlambat datang ke sekolah karena mobil yang mengantarnya mogok di tengah jalan. Memberanikan diri gadis itu mendekati security yang berdiri dengan wajah sangar di hadapannya.“Permisi! Assalamualaikum! Pak, saya terlambat sepuluh menit, boleh masuk ya please!! Soalnya mobil yang mengantar saya mogok. Jadi, yang salah supir saya. Dia tidak memeriksa kendaraan sebelum ke sini.”Gadis itu tak kehabisan akal. Ia memasang wajah imut di depan security itu dengan mengerjapkan matanya be
Season 3| Bab 2Sudah menginjak pertengahan semester kelas sembilan, Farah belajar di salah satu sekolah elit kota Bogor. Gadis itu mengikuti jalur akselerasi saat SMP karena memiliki kecerdasan seperti halnya saudara kembarnya Asyraf. Hanya saja mereka berbeda kelas.Farah dan Asyraf sama-sama pandai dalam bidang exact. Beberapa kali mereka menjuarai olimpiade exact baik tingkat nasional maupun internasional. Farah menjuarai Matematika dan Kimia sedangkan Asyraf menjuarai Fisika dan mahir membuat robot.Selain itu, gadis itu mengikuti ekskul olahraga beladiri yaitu karate. Tak tanggung gadis itu pula meraih juara dalam bidang karate mewakili sekolah di tingkat provinsi.Karena kesibukannya gadis itu seringkali tak bisa mengatur waktunya dengan baik. Akhir-akhir ini ia sering datang ke sekolah kesiangan. Bahkan ia seringkali diantar belakangan oleh supir lain. Sebab saudara-saudaranya seringkali berangkat lebih dulu. Mereka tidak ingin menunggu Farah yang ‘lelet.Farah dan Asyraf kini
“Farah ikut jalur akselerasi ya? MasyaAllah hebat Nak!” seru Attar berbasa-basi pada anak gadis yang kini menumpang di dalam kendaraan mewahnya. Gadis itu duduk di belakang bangku ke dua dengan memalingkan wajahnya pada jendela kaca.Attar mengajaknya berbincang sebab gadis berusia tiga belas tahun namun bertubuh bongsor itu terlihat canggung berada di antara mereka. Mungkin di depan Yusuf ia tidak jaim namun di depan ayahnya Yusuf ia merasa canggung.Setelah Farah berpikir keras, akhirnya ia bersedia diantar oleh Attar kebetulan jalan yang mereka lewati akan melewati komplek perumahannya. Selain itu awan yang berarak di langit terlihat mendung sehingga membuatnya tak menolak tawaran mereka.“Hum, iya, Om,” jawab Farah singkat. Gadis itu hanya menjawab seperlunya.“Rah, kok diam sih? Biasanya cerewet,” cetus Yusuf menoleh ke arah Farah yang berada di belakangnya.Farah langsung menajamkan matanya menatap Yusuf. Yusuf hanya tersenyum melihat gadis itu yang sedikit pemarah.“Jadi kalia
“Om Raka, udah beli tiketnya?” tanya Farah pada Raka yang selalu setia mengawalnya. “Sudah dong, Nona muda!” Raka mengibaskan beberapa lembar tiket nonton bioskop dengan tangannya ke arah gadis remaja itu. “Tujuh tiket ya Mbak!”“Hum, Om Raka, tapi lain kali jangan ngikutin aku terus. Aku malu tau, sudah besar terus saja diikuti. Aku juga butuh privacy.”Farah mengomeli Raka tanpa canggung. Ia sebetulnya marah pada ayahnya-yang selalu meminta Raka menemaninya. Ia merasa tak nyaman.Seharusnya Farah marah dan protes kepada ke dua orang tuanya, namun ia tak berani. Mana bisa ia memiliki keberanian untuk membantah perintah ayahnya yang over protektif. Oleh karena itu ia hanya mengomeli Raka-yang sudah dianggap omnya.Raka hanya mendesah pelan mendengar keluh kesah gadis itu. Telinganya sudah cukup tebal mendengar segala muntahan kalimat demi kalimat yang dilontarkannya. Ia tidak peduli. Ia hanya menjalankan amanatnya menjaga putri sang majikan.“Sudah?” tanya Raka dengan tenang.Pria
Semua orang tampak panik saat ada seorang siswi tak sadarkan diri di lapangan. Siswi itu tengah berlatih karate bersama kawannya, namun tiba-tiba ketika ia baru saja memulai pemanasan tubuhnya langsung ambruk ke atas lapangan.“Siapa yang pingsan?” tanya remaja tampan mengurai kerumunan yang menyemut di dekat lapangan. “Si Bule pingsan.”Salah satu siswa mengadu pada remaja itu. Mendengar nama panggilan yang terkesan rasis, remaja itu mendengus kasar. Ia buru-buru berlari menuju kerumunan lalu menyelipkan tubuh jangkungnya di antara mereka.Dadanya bergemuruh hebat tatkala menyaksikan pemandangan yang menyesakkan dada. Sahabatnya ternyata yang pingsan. Dan, di antara kerumunan itu hanya terlihat satu orang berusaha menyadarkannya. Entah berusaha mengangkat tubuhnya. Sisanya, hanya menjadikan insiden siang hari itu sebagai tontonan semata.“Farah!” gumamnya panik. Anak lelaki itu langsung menurunkan tubuhnya dan membantu seorang teman perempuan Farah yang tengah bersusah payah mengang
“Saya Abdullah, Om. Kebetulan saya ketua kelas IX-J. Mohon maaf, saya menjenguk Farah mewakili teman-teman. Ya … teman-teman. Kebetulan wali kelas belum bisa jenguk soalnya beliau juga sakit.”Yusuf tak kehabisan akal memberikan seribu alasan pada pria berwajah dingin di depannya. Bagaimanapun caranya, ia harus bertemu Farah hari itu. Lautan akan disebrangi. Gunung akan didaki. Darren Dash akan dibuat mengerti. Begitulah Yusuf yang tak mengenal menyerah.‘Ternyata Om Darren gak kenal aku,’ batin Yusuf.Dalam hitungan tahun Yusuf mengalami perubahan secara fisik untuk anak remaja sehingga tak dikenali Darren Dash. Tubuhnya terlihat tinggi untuk anak seusianya. Pun, suaranya mulai membesar sehingga terdengar deep voice khas anak remaja lelaki. Selain itu karena Yusuf masih keturunan Mesir sehingga rambutnya tampak tebal untuk ukuran anak lelaki. Sialnya, penampilan fisiknya lebih terlihat seperti anak SMA ketimbang anak SMP.Darren Dash terlihat menaikkan alisnya sebelah lalu berkata,
“Bagaimana kau bersedia menjadi pacarku?” Seorang remaja lelaki berwajah oriental menembak seorang anak gadis di taman sekolah. Ia duduk bersimpuh dengan satu kaki menekuk di rerumputan. Ke dua tangannya memegang setangkai bunga dan satu batang coklat.“Sorry gak bisa!!” jawab anak gadis itu dengan tegas dan tanpa tedeng aling-aling. Ia mendengus kasar lalu memalingkan wajahnya dari anak lelaki di hadapannya. Bagaimana bisa anak lelaki yang dulu seringkali jahil padanya tiba-tiba mengatakan cinta.‘Aneh! Kepala anak itu sepertinya kejedot tiang bendera.’“Kenapa kau menolakku? Apa kau masih marah padaku? Kalau kau masih marah padaku, aku minta maaf. Sungguh, aku menyukaimu dari dulu. Hanya saja, aku … caraku mendekatimu memang tak biasa.”Anak remaja tampan itu mendekati gadis itu yang terlihat kesal.Mendengar kata-kata remaja lelaki itu membuat si gadis memutar lehernya dan menatap wajahnya.“Sadar diri rupanya!” ocehnya dengan menaikkan sebelah alisnya.“Forgive me and give me a c
Saat ini ke tiga pria dewasa tengah mendengar cerita kepala sekolah panjang lebar di ruangannya tentang perilaku anak-anak mereka yang telah membuat kegaduhan. Sementara itu, anak-anak mereka berada di ruang BK dengan harap-harap cemas. Jika kepala sekolah tengah menceramahi ke tiga wali siswa. Maka guru BK tengah menceramahi ke tiga siswa tersebut.Satu-satunya cara untuk membuktikan siapa yang berkata benar dan salah, kepala sekolah memanggil saksi mata dan melihat rekaman CCTV yang rupanya terpasang di taman sekolah itu berdekatan dengan lampu taman.Ke tiga remaja itu tidak menyadari akan sosok alat monitoring yang terpasang di sana. Kepala sekolah juga tidak ingin gegabah menghukum siswa yang membuat kegaduhan itu.Sempat terjadi ketegangan di antara ke tiga pria dewasa itu ketika mereka mempertanyakan tindakan kepala sekolah yang memanggil mereka ke sana. Masing-masing orang tua tidak percaya akan sikap anak-anak mereka yang biasa menjadi anak baik lalu berubah menjadi anak yang