Epilog (free coin)
Setelah melihat kondisi Salwa, Daniel merasa lega. Segala kekecewaan dan kekesalannya pada keluarga yang tak mengabari tentangnya menguap begitu saja. Memastikan Salwa selamat kendati kondisinya tak sesuai harapannya sudah cukup membuatnya tenang dan bahagia. Selama ia dirawat pikirannya justru dipenuhi oleh gadis yang kini tengah berada di hadapannya.
Salwa gadis yang tegar. Ia bahkan tidak mengeluh ataupun marah-marah menjalani kondisinya saat ini. Daniel belajar dari gadis itu. Ia seorang yang tabah dan kuat mental.
Daniel ingin sekali menemani Salwa selama ia menjalani rawat inap di rumah sakit akan tetapi ia sadar diri, untuk saat ini ia bukan siapa-siapa Salwa. Mungkin Salwa hanya menganggapnya sebagai seorang kakak, pikirnya. Daniel akan pulang karena ia harus mulai mengurus usaha. Ia berinisiatif untuk membuka bisnis dengan modal yang ia miliki sebab jika menunggu keputusan sang ayah dan kakaknya, ia tidak diperbolehkan bekerja mengingat kondisi kesehatannya yang masih tidak stabil. Namun ia akan kembali dan lebih sering membesuknya meski harus bolak-balik Bogor-Jakarta.
Seorang perawat berjilbab mendatangi mereka. Ia membawakan nampan berisi makanan dan minuman. Kemudian ia menaruh makanan tersebut di atas nakas.
“Mas, maaf ini jadwal makan siang Nona Salwa. Permisi, saya mau menyuapinya,” kata perawat berjilbab tersebut dengan sopan.
Daniel langsung berinisiatif ingin menyuapi Salwa lantas ia berkata, “Saya yang suapin, Mbak,”
“Ish! Sus, saya sudah bilang, tangan saya masih berfungsi. Saya bisa makan sendiri,” kelit Salwa menolak langsung.
Daniel hanya tersenyum tipis mendengar perkataan gadis itu.
“Non Salwa, Ummi sudah mewanti-wanti pada saya. Non Salwa harus makan disuapi soalnya kalau tidak disuapi Non Salwa makan sedikit.”
“Sudah Sus, saya saja yang suapin,” kekeh Daniel. Perawat pun pergi meninggalkan mereka.
“Ayo! Aa! Buka mulutmu!”
Daniel meminta Salwa membuka mulutnya untuk makan. Namun Salwa menggeleng kecil.
“Aku belum mau makan.”
Salwa menolak. “Simpan dulu aja! Nanti aku makan,” katanya tersenyum tipis.
“Kau harus makan! Kau ingin cepat sembuh ‘kan?”
“Tentu, Mister. Hanya saja aku masih belum mau.”
“No! Aku akan menyuapimu. Aa!” kekeh Daniel memaksa.
Mau tak mau Salwa pun makan setelah disuapi olehnya. Makanan yang ia makan habis tak tersisa. Ia juga meminum obatnya hingga rasa kantuk menggelayuti kelopak matanya.
Daniel menyeka bibirnya yang belepotan akibat makanan dengan sehelai tisu. Kemudian ia menyodorkan air minum padanya. Benar-benar pemandangan yang langka. Daniel tak pernah melayani seseorang seperti ia melayaninya.
“Sally, sekarang kau bisa istirahat. Aku akan pergi ke ruang dokter,” ucap Daniel usai menaruh piring bekas makan.
“Jangan!”
Daniel menoleh kaget, “Kenapa?”
“Buat apa?”
Salwa bertanya. Rasanya Daniel tak perlu pergi ke dokter. Ia tak memiliki kepentingan di sana. Ia tak harus mengetahui kondisi sedetail itu tentang dirinya.
“Sally, aku hanya ingin tahu kondisimu. Oleh karena itu aku akan menemui dokter yang menanganimu.”
Salwa mengangguk samar. “Ya, terserah,” tukasnya pelan. Namun ia mulai merasa jika Daniel begitu mengkhawatirkannya. Bukan kakak pada adiknya, tetapi seorang lelaki pada seorang perempuan.
Gegas, Daniel mendatangi ruangan dokter yang menangani Salwa. Ia ingin menanyakan kondisi Salwa saat ini. Dengan sabar sang dokter menjelaskan kondisi perkembangan kesehatan Salwa saat ini.
Matanya mengalami benturan keras sehingga menyebabkan beberapa bagian mata yang tidak berfungsi dengan baik. Kemungkinan kebutaan sementara tersebut bisa berlangsung mingguan dan bulanan tergantung kondisi setiap pasien. Salwa harus menjalani pengobatan dan operasi agar segera pulih.
Untuk kakinya yang patah, Salwa sudah pula menjalani operasi dan butuh pemulihan cukup lama. Untuk sementara waktu, Salwa seperti halnya sang kakak diharuskan tirah baring.
Daniel akan berbicara dengan kakaknya soal pengobatan Salwa. Ia ingin Salwa mendapat penanganan yang tepat. Ia ingin membawa Salwa bersamanya berobat ke Kanada.
Usai berbincang dengan dokter, Daniel kembali ke ruangan Salwa, mengintip dirinya yang tengah tertidur pulas usai minum obat.
Meski masih merindukan gadis itu, Daniel tak mungkin mengajaknya berbincang lama. Salwa masih harus istirahat. Ketika Salwa istirahat ia bertanya pada perawat yang menjaganya di mana ibunya.
“Sus, di mana ibunya?”
Daniel bertanya pada perawat yang selalu mengecek kondisi Salwa beberapa jam sekali. Perawat berambut pendek tersebut ialah perawat yang khusus mengecek kondisi pasien, berbeda dengan perawat yang tadi mengantarkan makanan.
“Ummi Aruni pulang. Besok baru pulang. Emang Mas gak tahu? Katanya saudaranya,” sahut perawat yang terlihat genit tersebut dengan mengerlingkan matanya.
Daniel mendesah pelan dan berkata geram. “Iya saya saudaranya. Tapi saya memang baru datang jadi saya tidak tahu.”
“Oalah, Mas seriusan,” perawat bergumam setelah melirik piring yang sudah kosong. “Tumben makanan habis. Baguslah, berarti bisa cepat sembuh,” katanya cerewet. “Kebanyakan para pasien emang malas makan sih,”
Ia melengos kemudian meninggalkan Daniel yang tengah duduk di bangku depan ruangan Salwa berada.
Daniel tersenyum tipis mendengar celotehan perawat tersebut. Mungkin kehadirannya bisa membuat Salwa merasa lebih baik, mendapatkan support moril. Buktinya sederhana, Salwa makan dengan lahap ketika ia suapi.
Mendengar Aruni tak ada di sana, Daniel tak ingin buru-buru beranjak pulang dari sana. Ia ingin menemani gadis itu. Mungkin ia akan bermalam di hotel terdekat dengan rumah sakit. Atau menunggunya di ruang tunggu pun tak masalah.
Tak terasa malam beranjak. Usai check in hotel ia pergi ke minimarket dan membeli makanan untuk camilan. Ia juga menyempatkan diri pergi ke florist yang berada di pinggir jalan untuk menyemangati gadis pujaan hatinya, membelikannya bunga.
“Mau bunga apa Mister?”
Daniel tertawa mendengar karyawan florist memanggilnya Mister.
“Saya mau bunga untuk kekasih saya,”
“Uh, so sweet!” kata karyawati lain yang menyimak.
“Kekasih saya sakit. Bunga apa yang cocok ya?”
“Bunga mawar, anyelir, peony?”
“Mawar putih saja!”
“Pasti kekasih Mister senang melihat bunga mawar putih yang mekar ini. Ini jenis import. Cantik sekali!”
“Kekasih saya buta, jadi tak bisa membedakan mana jenis bunga apa. Tapi indera penciumannya tajam,”
“Ya ampun Mister, maaf, tapi Mister memilih dengan tepat! Bunga mawar putih itu sangat wangi,”
“Baiklah, aku minta satu buket mawar putih,” ucapnya dengan antusias kemudian membayarnya.
Dengan langkah yang tergesa, Daniel mendatangi Salwa yang tengah duduk bersandar pada bantal dengan tatapan kosong.
“Hai!”
Daniel mengetuk pintu dan langsung saja menerobos masuk.
“Mister belum pulang? Aku kira dari siang udah pulang,” seru Salwa kaget tetapi senang. Kehadiran Daniel membuatnya tidak merasa kesepian.
“Aku tidak pulang. Aku tadi check in hotel dekat sini. Ini,”
Daniel menaruh satu buket bunga yang harum untuknya di atas pahanya. Posisi Salwa tengah duduk bersandar pada kepala ranjang.
Mata Salwa berbinar menerima pemberian tersebut. Ia senang, mungkin baru pertama kali mendapat perhatian semanis itu.
“Aku gak terlalu suka bunga kayak Teh Nuha,” katanya jujur. “Tapi aku senang dapat hadiah bunga saat aku sakit. Mirip di pelem-pelem. Makasih banget,” katanya terkekeh. Begitu polosnya perasaan gadis itu.
“Kalau kau tak suka bunga, buang saja ke tempat sampah,” tukas Daniel bernada dingin.
“Mister marah? Ya gak mungkin aku buang bunga sebagus dan seharum ini. Bunganya aku peluk nih,” cicitnya sembari terkekeh pelan.
“Kenapa bunga dipeluk? Mending orang yang ngasih bunganya yang dipeluk,” katanya membuat Salwa bergeming.
Merasa kehadirannya membuat Salwa bersemangat sembuh, Daniel selalu datang membesuknya ketika Aruni tak berada di sisinya. Ia kerapkali membesuknya diam-diam mirip seorang lelaki yang menemui pacarnya ketika mereka belum mendapat restu orang tua pacarnya.
Hingga sebulan kemudian, takdir tak memihaknya lagi. Aruni memergoki Daniel yang kerap datang membesuk Salwa.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Aruni menatap Daniel dengan sengit. Mungkin Daniel mengira jika Aruni tak mengetahui apa yang Daniel lakukan selama ia tak ada. Secara diam-diam Daniel sering mendatangi Salwa.
“Aku … aku …”
Daniel tergemap.
“Pergilah! Kondisi Salwa sudah membaik,” ucap Aruni bernada dingin.
“Tidak, aku tidak akan pergi,”
“Apa maksudmu?”
“Aku hanya ingin memastikan Salwa baik-baik saja,” tukas Daniel mendadak semaput. Ia bingung dan gugup berhadapan dengan pawang gadis itu.
“Salwa baik-baik saja. Ia sudah ditangani. Kenapa kau rajin sekali datang? Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan? Aku punya mata di mana-mana, aku bisa melihat,” salak Aruni dengan suara yang meninggi beberapa oktaf.
Tanpa Daniel duga, bibirnya begitu lancang untuk mengungkapkan isi hatinya begitu saja. Tiba-tiba kalimat keramat yang ia tahan keluar tanpa seijinnya, “Aku … aku mencintai putri Tante. Aku sayang Salwa. Jadi aku datang kemari karena aku khawatir padanya,”
Plak!
Aruni menampar wajah Daniel hingga tangannya terasa kebas. Daniel tersenyum getir meskipun sakit saat bersamaan.
“Jaga mulutmu! Sudah puas kau mencelakai dan menjebak Nuha? Dasar pemuda brengsek! Pergi kau dari sini!”
“Tidak, Tante … eh … Ummi … aku minta maaf atas kesalahanku pada Nuha. Tapi aku sungguh mencintai Salwa. Aku sayang sama dia,”
“Kau playboy! Tak hanya playboy, kau badboy di kampus! Saya sudah tahu siapa dirimu. Jangan coba-coba mendekati putriku! Apalagi mempermainkannya. Ia masih belia. Tubuhnya saja yang bongsor tapi ia masih anak remaja. Cari wanita yang sepadan dengan dirimu!”
Aruni kali ini menurunkan suaranya tetapi berkata dengan intonasi yang penuh penekanan. Gemas. Ia kesal pada Daniel. Sudah lama Aruni menahan rasa kesal padanya. Sebagai seorang ibu ia memiliki insting yang tajam, sudah mencium aroma tingkah Daniel sejak pertama kali bertemu. Kania sudah menceritakan segalanya.
Manusia memang punya kesempatan untuk bertobat. Namun tabiat yang mendarah daging akan sangat sulit diubah jika dilakukan secara terus menerus. Aruni melihat Daniel seperti itu. Tabiat playboy akan tetap menempel dan kambuh lagi suatu masa. Daniel hanya penasaran dan terobsesi pada wanita berpenampilan agamis.
Satu hal lagi, mereka ipar. Bagaimana bisa Daniel mendekati ipar. Seperti tak ada wanita lain saja. Ada begitu banyak kekecewaan yang Aruni luapkan pada Daniel.
Daniel tersentak mendapat penolakan keras dari Aruni. Namun ia sekali lagi ditampar kenyataan bahwa dirinya memang begitu hina di hadapan Aruni. Ia tahu diri. Namun keinginannya ialah sebuah keharusan. Ia akan tetap berjuang mendapatkan Salwa dan restu ibunya. Ia akan memantaskan diri.
Tak peduli andai ia harus berhadapan dengan hujan badai, longsor hingga gempa bumi sekalipun, ia akan berusaha memperoleh apa yang patut ia peroleh. Sebuah cinta yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Maaf, Tante Aruni, aku lancang telah mencintai anak gadis Tante. Tapi … Tante tak bisa melarangku berhenti mencintai Salwa. Aku akan kembali setelah memantaskan diri untuk putri Tante.”
Daniel berkata dengan lugas sembari memegangi pipinya yang kebas.
Next
Season 2
Perjuangan cinta
Prolog:Setelah kejadian insiden ledakan bom yang ditunggangi oleh para perampok gaib, ada banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan Nuha dan Darren termasuk keluarga mereka.Pada insiden itu pengasuh Ratih meninggal dunia. Salwa mengalami cedera serius yang menyebabkan hilangnya fungsi indera penglihatannya dan kaki patah. Adapun nasib Farah masih misterius. Pada saat peristiwa berlangsung ada beberapa bayi yang menjadi korban. Ada yang masih hidup dan ada pula yang meninggal karena luka bakar hingga tak bisa dikenali.Seorang perawat wanita telah menukar identitas bayi yang meninggal dengan bayi yang masih hidup. Ia memiliki alasan tersendiri melakukan hal nekad dan keji tersebut. Karena ia seorang nakes maka dengan mudah ia memanipulasi data korban tanpa sepengetahuan aparat.Wanita tersebut merampas kalung liontin yang masih menempel di leher Farah dan sepatu lusuh yang tersisa satu kemudian memindahkannya pada bayi yang sudah tak bisa dikenali rupanya karena tewas terbakar de
“Bu, bayinya menangis terus bagaimana ini? Sudah dikasih botol susu tapi …” Seorang wanita muda-baby sitter terus mengeluh karena tak mampu meredakan tangisan seorang bayi mungil yang digendongnya. Ia sudah kewalahan karena bayi itu menangis terus menerus. Lama kelamaan ia merasa letih mengasuhnya. Ia tampak frustrasi.Wanita yang berusia di awal tiga puluh tahunan menoleh ke arah baby sitter dengan menatapnya tajam. Merasa sia-sia jika harus mempekerjakan seorang baby sitter yang tak memiliki kemampuan menghandle bayi. “Masa kau tak bisa membuatnya berhenti menangis? Jadi selama ini yayasan tempat bekerja yang menyalurkanmu mengajari apa? Main congklak? Main Mobile legen’? Main gundu?” katanya geram kemudian meraih bayi cantik tersebut dan menggendongnya.Baby sitter hanya menunduk mendengar perkataan sinis dan pedas majikannya. Ia memakluminya karena tabiat asli majikannya tersebut sedikit pemarah. “Maaf, Bu, saya memang masih baru menjadi baby sitter dan ini pertama kalinya saya
“Kenapa masih diam? Ayo! Kita akan pulang sekarang,” Nuha meraih lengan adiknya dan membantunya berjalan. Kini kesehatan Salwa sudah mengalami kemajuan yang pesat. Ia bisa berjalan akan tetapi dengan menggunakan tongkat kruk yang menopang ke dua kakinya. Sementara itu penglihatannya pula sudah berangsur membaik. Ia mulai bisa melihat meski masih buram. Salwa menoleh ke belakang kemudian ke kanan dan ke kiri seperti tengah mencari seseorang. “Salwa, Nuha, ayo!” Aruni memanggil dari kejauhan. Pak Li sudah menunggu di tempat parkir. Mereka akan segera pulang ke rumah Aruni yang terletak di kaki pegunungan. “Iya, Ummi! Salwa ‘kan masih sakit jadi jalan pelan-pelan.” Nuha menjawab sang ibu. Ia terus memapah adiknya karena begitu mengkhawatirkannya. Sebetulnya Salwa disarankan menggunakan kursi roda akan tetapi ia menolak. “Salwa, dengarkan Teteh! Salwa jangan banyak mikir! Apalagi melamun! Sekolah bisa nyusul. Yang penting Salwa sehat dan pulih seperti sedia kala.” Nuha tak henti-he
Bab 4 Awan gelap telah menggelayut manja di bawah langit. Pertanda senja akan segera menyingkap waktu magrib. Cericau burung-burung kedasih mulai tersisih. Suasana kembali hening sebab satu per satu peziarah bertolak dari pemakaman anggota keluarga masing-masing. Aroma tanah merah masih tercium pekat. Pun, aroma taburan bunga dan kesedihan. Di depan pusara Farah, Salwa masih duduk termangu dan melafalkan surat yasin serta mendoakannya. Begitu khusyuk menengadahkan ke dua tangannya berdoa dan berdzikir. Setelah bersitegang di dalam mobil, Nuha mengajak Salwa berziarah ke makam Farah. Barulah Salwa percaya jika Farah sudah tiada setelah mengunjungi makamnya. Salwa merasa bersalah atas meninggalnya Farah. Sebagai seorang tante ia merasa gagal tidak bisa melindungi ke dua keponakannya dengan baik. “Sudah hampir sore, mari kita pulang sebelum magrib datang,” ucap Aruni merangkul pundak Salwa yang membeku ketika melihat pusara tersebut. Ia menatap nanar pusara meski air matanya sudah s
Di sebuah sudut kota yang berada di luar pulau Jawa di mana kota tersebut seringkali disebut dengan pulau seribu masjid karena terkenal dengan destinasi halal. Kota dikelilingi perbukitan yang indah dan pantai-pantai yang berwarna biru berkilauan di mana hamparan pasir putih menjelma permadani yang mengalasinya.Hiduplah sepasang suami istri yang saling mencintai. Meskipun usia pernikahan mereka sudah mencapai pernikahan perak katakanlah di mana usia pernikahan sudah mencapai sepuluh tahun, mereka masih belum dikaruniai momongan. Mereka sepasang suami istri yang saling mencintai. Ketiadaan anak tak lantas membuat mereka berseteru apalagi berpisah. Sang suami begitu mencintai istrinya sehingga baginya ada atau tiada anak bukanlah sebuah masalah besar.Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk mendapatkan momongan. Mulai berkonsultasi ke dokter kandungan dan mengikuti serangkaian program hamil. Rupanya takdir masih belum bersikap manis pada mereka.Sehingga sang istri memberikan saran
Season 2| Bab 6 Darren keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia mengusak rambutnya yang basah sehabis keramas dengan handuk kecil. Tatapannya sesekali melirik pada istrinya yang sudah tertidur pulas di atas ranjang. Mungkin ketiduran menunggu Darren pulang kerja. Asyraf tidur pulas dalam box di kamar bayi ditemani Mutia. Semenjak tragedi ledakan bom, Asyraf tak pernah tidur sendirian. Jika ia tidak tidur bersamanya maka ia meminta Mutia menemaninya. Darren pulang terlambat lagi dari kantor dengan alasan lembur. Tak sepenuhnya benar, ia hanya menghabiskan waktunya dengan mengerjakan apapun yang bisa ia lakukan di kantor demi mengalihkan perasaan sedihnya akan kepergian Farah. Darren tak pernah menunjukan rasa sedihnya di hadapan Nuha dengan alasan agar Nuha pun menirunya untuk tetap tegar menghadapi ujian kematian sang anak. Darren berjalan menuju walk in closet untuk mengambil piyama. Ia memilah dan memilih piyama yang akan dipakai
Sudah hampir satu jam lamanya Mandor Soleh duduk menunggui atasannya yang tengah memandangi gedung yang sudah ambruk berjarak sepelemparan batu dengannya. Matanya yang agak sipit bergerak-gerak, dari kanan ke kiri. Dari atas ke bawah. Terus dilakukan berulang kali.Sesekali dahinya terlipat. Alisnya menukik. Kemudian bibirnya mencebik. Setelah itu mendesah panjang. Kadangkala menarik nafas panjang. Kemudian menghembuskan nafasnya kasar. Perasaan yang rumit dan sukar dimengerti.Sejurus kemudian, Mandor Soleh mendadak menjadi pakar ekspresi wajah dengan menyimpulkan pemandangan yang tampak dari wajah atasannya tersebut sudah bisa ditebak, sedang galau level akut.Melihat kegalauan sang atasan, alhasil Mandor Soleh ikutan dilanda galau dan bingung sebab sang atasan belum memberikan instruksi untuk memperbaiki gedung yang hancur lebur akibat ledakan bom sekaligus kebakaran. Sementara itu kontraktor yang membawahi mandor Soleh saja sudah menghilang bak ditelan bumi karena ketidakjelasan p
Kini Daniel dan Darren duduk bersama di ruang kerja merangkap perpustakaan di rumah Darren. Baru pertama kali mereka bersama berbicara empat mata untuk membahas masalah serius sehingga terasa canggung di antara ke duanya.Sebagai seorang kakak Darren buru-buru mengantisipasi perasaannya, ia bahagia bisa bicara berdua dengan adiknya untuk membicarakan pekerjaan. Sebelumnya ia merasa bersalah sebab telah terjadi kesalahpahaman di antara mereka. Ketika Daniel datang ke kantor waktu itu.Daniel mengira jika kakaknya melarangnya bergabung di perusahaan. Padahal Darren sedang menimang-nimang keputusannya tersebut ketika melihat kondisi kesehatan Daniel yang kurang stabil.Namun melihat kegigihan Daniel, Darren sepertinya akan memberikan kesempatan pada Daniel dengan memberikannya posisi di perusahaan tetapi dengan tugas yang ringan. Darren hanya ingin melihat Daniel sembuh dan bisa menjalani kehidupan normal.“Baiklah, apa yang ingin kau bicarakan?”- Darren angkat bicara kemudian melambaik