Share

Extra part

Salwa mengalami koma dan dirawat di rumah sakit ibukota. Aruni tak ingin membuat Nuha semakin khawatir. Oleh karena itu ia menyembunyikan kondisi Salwa dari siapapun kecuali keluarganya dan Darren saat ini.

Salwa harus menjalani beberapa kali operasi. Selain kepalanya mengalami cedera serius, ia juga mengalami patah tulang kaki. Usai menjalani serangkaian operasi,  Salwa melewati masa kritis dan bangun dari koma meski ia mengalami gangguan penglihatan dan patah tulang kaki. Aruni hanya mengatakan pada Nuha bahwa Salwa hanya perlu rawat inap untuk pemulihan pasca operasi bagian kaki saja dan dianggap tak terlalu serius.

Namun Nuha tak lantas percaya sebab Aruni terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.

“Ummi, aku kepengen menjenguk Salwa,” ucap Nuha mendekati Aruni. Kondisi Nuha cukup membaik. Ia tirah baring di rumah sebab Darren trauma jika harus meninggalkan Nuha di rumah sakit.

Aruni menyerahkan Asyraf yang berada dalam pangkuannya pada Mutia. Ia memberi tempat duduk untuk putri sulungnya. Ia meraih telapak tangan putrinya dan menggenggamnya erat kemudian berkata, “Nuha masih belum sehat. Nanti kita ke sana. Ummi mau pulang dulu ini juga karena ada yang harus Ummi urus di rumah. Besok Ummi balik lagi ke rumah sakit. Ummi janji, setelah Nuha benar-benar membaik, kita ke sana. Sekarang Nuha harus bedrest.”

Mendengar jawaban yang sama untuk ke sekian kalinya, Nuha menarik tangan yang digenggam sang ibu dan memalingkan wajahnya pada jam dinding raksasa.

Nuha mengamati jarum pendek yang terus merangkak dan tak pernah berhenti. Itulah waktu. Waktu mengingatkannya akan lama hidup manusia di dunia. Menghela nafas, memori tentang Farah muncul. Sakit ketika mengingatnya. Bertambah sakit ketika ia belum bisa membesuk adiknya dan mengetahui kondisinya. Tak mungkin adiknya baik-baik saja jika Aruni melarangnya untuk membesuknya.

Nuha menarik nafas dalam kemudian beranjak meninggalkan Aruni dengan perasaan kecewa. Percuma harus berdebat dengan sang ibu. Ke dua nya sama-sama keras kepala.

“Aku akan minta diantar Mas Darren,” gumam Nuha kembali ke kamarnya untuk istirahat. Tak butuh restu dari sang ibu ataupun suaminya jika ia masih melarangnya. Nuha akan membesuk adiknya dan memastikan kondisi adiknya baik-baik saja.

Nuha menyentuh handle pintu kamar utama tetapi tanpa seijinnya matanya justru tertuju pada kamar bayi kembarnya. Langkahnya berbelok ke arah kamar tersebut. Ia menarik knop pintu, memejamkan matanya, berharap ketika ia membuka matanya, bayi mungil yang cantik nan menggemaskan tertawa menyambut kedatangannya.

Air mata luruh begitu saja. Nuha mengayunkan kakinya, melangkah masuk ke dalam kamar tersebut dan membungkukan badannya, untuk duduk bersimpuh di depan box bayi yang biasa ditempati Farah. Ia raih bantal kecil milik putrinya. Ia mengendus aromanya. Tak pernah ia mengijinkan pelayan menyentuh barang milik Farah atau mencucinya. Kemudian tangannya meletakan kembali bantal tersebut dan meraih boneka kucing yang seringkali dipegang telinganya. Ia pun memeluknya.

“Farah, malaikat kecil Ibu, maaf Ibu masih belum rela melepaskanmu. Ampuni hamba ya Allah, Farah adalah milikMu, titipanMu. Seharusnya hamba ikhlas. Kuatkan hambaMu ini ya Allah,”

Nuha menitikan air matanya kembali setelah sempat mengalami trauma yang seringkali membuatnya tiba-tiba tak bisa menangis meski dalam keadaan sedih.

Suara langkah kaki terdengar mendekatinya. Tubuh yang menjulang itu menunduk dan merengkuh Nuha dalam keheningan.

“Mas Darren,” lirih Nuha menenggelamkan kepalanya di balik dada suaminya.

“Sayang, Farah sudah tenang. Ikhlaskan …”

Darren memeluk Nuha dengan begitu erat.

***

Setelah kejadian insiden bom di rumah sakit, Daniel jatuh sakit karena penyakit yang dideritanya dan kelelahan. Ia dilarikan ke rumah sakit dan harus dirawat beberapa hari di sana.

Sepulang dari rumah sakit, Daniel ingin mengetahui kabar Salwa. Selama dirawat entahlah pikirannya selalu tertuju padanya. Tak ada kabar tentangnya. Yang pasti, tak ada seorang pun yang mengabarinya.

Daniel memberanikan diri mengunjungi Nuha menanyakan kabar Salwa. Nuha seperti yang lain hanya mengatakan bahwa Salwa masih di rumah sakit ibukota. Ia pun tak tahu di mana. Ia belum diperbolehkan bepergian jauh. Nuha masih harus berjibaku dengan hiperemesis yang dideritanya.

Daniel terlihat frustrasi. Ia kemudian diam-diam mencari tahu dengan menghubungi Neng Mas, sahabat Salwa.

Daniel tersenyum lega, akhirnya ia mendapatkan alamat rumah sakit di mana gadis itu dirawat.

Gegas, ia langsung meluncur ke sana. Ia berjalan menuju meja resepsionis dan menanyakan ruangan di mana Salwa Salsabila dirawat inap.

Resepsionis menatap dalam Daniel.

“Mas, siapa nya pasien bernama Salwa, mohon maaf? Keluarganya?”

“Saya iparnya, Mbak,”

Resepsionis merasa iba melihat Daniel yang sepertinya tidak mengetahui kondisi gadis itu. Ia mengantarnya hingga ke ruangan di mana Salwa berada. Di sana ada perawat yang kebetulan baru saja keluar melakukan pemeriksaan tanda vital.

Tap, tap, tap,

Daniel mengayunkan kakinya memasuki ruangan tersebut.

Daniel merasa rohnya lepas dari tubuhnya. Gadis yang ia puja kini terbaring lemah di atas brankar dengan alat yang menopang tubuhnya. Selang infus yang masih terhubung dengan pergelangan tangannya dan kepala-kakinya terlihat dilapisi perban.

“Sally,” lirihnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Daniel merasa benar-benar terpukul dan bersedih hati. Ia meraih kursi untuk duduk di sampingnya.

Gadis itu terlihat pucat pasi. Untuk pertama kalinya, Daniel melihat sebagian rambut gadis itu yang tergerai. Beberapa bagian rambut di kepalanya dicukur mungkin setelah menjalani operasi. Namun tetap saja gadis itu terlihat sangat cantik. Matanya terpejam. Alisnya melengkung indah dengan hidung yang mancrit dan bibir yang tipis. Tahi lalat itu, pemanis wajahnya.

Daniel meraih telapak tangannya yang hangat. Ia menciuminya dengan isak tangis yang tertahan.

“Sally, bangunlah!”

Daniel menjadi melankolis di hadapannya. Berharap ada keajaiban untuk kesembuhannya.

Semua orang telah menyembunyikan kondisinya. Ia kecewa. Teramat kecewa.

Tiba-tiba Salwa menggerakan tangannya, kemudian ia berusaha bangun tetapi matanya tidak fokus. Daniel yang tengah menunduk dan terisak tak menyadari jika Salwa sudah bangun.

“Ummi, kau kah itu?” Salwa bersuara hingga membuat Daniel mengerjapkan matanya dan senang sekali melihatnya bangun. Namun rasa senangnya hanya sementara sebab ia melihat ada sesuatu yang aneh pada diri Salwa.

“Ummi? Hem, rupanya bukan Ummi. Aku kira ada orang,”

Salwa mencebikkan bibirnya. Tangannya menggapai-gapai sesuatu ingin mengambil air minum.

Daniel masih terdiam, tak percaya apa yang ia lihat.

“Aduh, aku haus …” gumamnya mendesah pelan.

Menyadari Daniel tidak sedang bermimpi, ia buru-buru mengambilkan air minum dan menaruhnya di telapak tangannya.

Salwa terperenyak ketika mendapat air minum dari tangan seseorang. Ia kemudian mulai menajamkan indera penciumannya dan menghidu aroma yang berada di sekitarnya, mencoba mengenali orang melalui aroma.

Tiba-tiba matanya berembun. Ia bisa mengenali siapa yang memberikan air minum tersebut.

“Mister?” ucap Salwa kemudian.

Dalam hitungan sepersekian detik, Daniel tiba-tiba memeluknya karena merasa sangat terpukul melihat kondisinya. Tak peduli andai gadis itu marah dan memukulnya.

“Maafkan aku, aku tak tahu kondisimu separah ini,” ucapnya terisak.

Salwa mendorong pelan dadanya. Merasa terkejut mendapat pelukan dari seorang lelaki.

“Mister!” ucap Salwa.

“Maaf, aku benar-benar …”

“Aku tak apa-apa, Mister! Hei tolong berbalik, aku belum memakai jilbab!” katanya panik  menggapai-gapai jilbab. Kepalanya masih diperban tetapi ia tak ingin auratnya terlihat oleh orang lain.

Daniel membantu Salwa mengambilkan jilbabnya yang berada di atas nakas kemudian ia memakaikannya.

“Terima kasih,” ucap Salwa malu-malu.

“Kenapa diam?” tanya Salwa.

Daniel merasa salut pada gadis itu, ia terlihat cukup tegar meski kondisinya saat ini memprihatinkan.

“Aku … hanya …”

Daniel masih terbata-bata.

“Mister, aku baik-baik saja. Aku tahu kau khawatir ‘kan padaku? Kata dokter aku mengalami kebutaan sementara. Mataku mengalami syok ketika terbentur, begitu katanya.”

“Benarkah?”

“Iya, nanti aku harus menjalani beberapa pemeriksaan lagi dan pengobatan agar cepat pulih, um, hanya saja kakiku patah. Aku tak bisa menendang untuk waktu yang lama.”

Mendengar celotehan gadis itu membuat Daniel merasa lebih baik. Ia menyeka air matanya yang terus jatuh.

“Apa yang ada di pikiranmu itu hanya silat?”

“Tentu tidak, Mister. Sepertinya aku akan berhenti sekolah dan mengulang sekolah tahun depan. Aku istirahat total. Um, padahal aku kepengen kuliah bareng sama Neng Mas. Neng Mas lulus aku masih di kelas dua belas.”

“Tidak apa-apa, yang penting Sally sehat.”

Tatapan Daniel tak luput dari wajah gadis itu.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Uniq Izzy
......... farah meninggal
goodnovel comment avatar
Riana Tepuna
sedihnya hati yang ikhlas dan jujur
goodnovel comment avatar
Unie Willi
Tegar bgt Salwanya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status