Setelah kunjungan Ibu mertua dan Putri kemarin, suamiku menjadi lebih pendiam. Sebelumnya dia memang pendiam, tapi kali ini dia sungguh lebih diam.
Apakah dia merasa bersalah? Apakah dia menyadari keinginannya untuk menikahi Utari sangat menyakiti hatiku? Apakah kini dia tak akan memaksaku untuk merestui niat nya berpoligami?
Aku memutuskan untuk berusaha bangkit dan melupakan pertengkaran kami kemarin, aku berusaha kembali menjadi seperti sebelumnya, menjadi istri yang melayani segala keperluan suamiku, menjadi ibu yang merawat kedua anak-anakku dan mengurus rumah demi Syafia dan Yusuf.
Suamiku mulai berangkat bekerja lagi, tapi dia tak menyentuh sedikitpun kopi dan sarapan yang telah kusediakan.
“Bi, kopinya ga diminum?” tanyaku
“Nanti aja,” jawabnya singkat sambil melangkah menuju pintu. Aku mengejarnya untuk meraih tangannya dan ku cium.
Biasanya sebelum pergi bekerja, Aku mengantar suamiku ke depan pintu, mencium tangannya dan dia balas dengan mencium keningku, lalu ku hantarkan doa untuknya agar dimudahkan segala urusannya dan memintanya segera kembali pulang kerumah jika pekerjaannya telah selesai. Dia pun menyambut dengan senyuman hangat dan memintaku selalu menjaga anak-anak dengan baik. Aaaahhh....hati merasa tenang dan ringan kala itu, tapi hari ini semuanya sirna, dia berlalu begitu saja, bukan kecupan di kening yang kudapat melainkan sikap dingin dan ada getar-getar amarah kurasa.
Apa ini??? Aku yang disakiti, Aku yang berusaha memaafkan dan melupakan semua yang terjadi, tapi aku yang dihukum dan dibenci???
Malam pun tiba, tak seperti biasa suamiku belum pulang juga, Dia pun tak memberi kabar lewat telepon maupun pesan singkat. Ada rasa khawatir dan kecewa kurasa. Hingga tak ku sadari aku terlelap dan mendapati suamiku sudah tertidur pula disampingku tanpa ku sadari kapan Dia pulang tadi.
Keesokan harinya suamiku masih bersikap dingin padaku, baru kali ini aku melihatnya seperti itu, Dia tak pernah marah atau memendam emosi nya selama ini, Dia selalu mengalah dan tak pernah mengacuhkan ku sebelumnya.
“Kamu kenapa?” tanyaku saat kulihat suamiku sudah siap beranjak dari pintu tanpa menyentuh lagi kopi dan sarapan paginya.
“Aku berangkat ke kantor dulu, Assalamualaikum,” jawabnya sambil melangkah pergi menghindari pertanyaanku.
Apa kesalahanku hingga Dia bersikp acuh dan dingin padaku?
Apa karena dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan?
Atau karena dia lebih memilih dekat dengan Utari di kantor dibanding bercengkrama lagi denganku dirumah?
Dalam lamunanku tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu, ternyata kali ini Ibuku dan Ayah sambungku mengunjungi rumahku.
“Assalamualaikum,” sapa Ibuku dari balik pintu sambil mengetuk nya.
“Waalaikumsalam Ma, eh ada Ayah juga....masuk yuk,” ajakku sambil membukakan pintu dan mencium tangan Mama dan Ayah sambungku.
“Eh cucu Enin sayang, apa kabar? Enin kangen deh,” ucap Mama ku setelah melihat Syafia dan Yusuf yang tengah asyik menonton tv di ruang tamu.
“Yeay Enin dan Kakek dateng,” ungkap Syafia kegirangan.
“Bentar ya Ma, Aku bikin minum dulu,” ucapku dengan nada sayu tak mampu menyembunyikan pikiran kalutku.
Mama menghampiriku ke dapur sementara Ayah sambungku bermain bersama Syafia dan Yusuf.
“Kamu kenapa sih? Koq kaya ga seneng Mama datang sama Ayah,” tanya Mama blak-blakan
“Eh enggak koq Ma, Aku senenglah Mama sama Ayah kesini,” ucapku berusaha menutupi keadaan.
Setelah bercengkrama beberapa waktu, Aku tak mampu lagi menyembunyikan rasa kalutku, Mama juga selalu bertanya kenapa, apa aku harus menceritakan semuanya dan meminta saran mama?
Ya sepertinya aku harus meminta saran dan doanya juga agar rumah tanggaku baik-baik saja.
“Gini Ma, sebenernya hubunganku sama Abi nya Syafia lagi gak baik-baik saja,” ucapku mengawali curahan hatiku
“Suamiku minta poligami Ma,” sambungku to the point.
“APAAAA???” ekspresi kaget Mama sungguh terlihat nyata, suara nya hampir terdengar sampai ruang tamu sehingga Ayah sambung dan Syafia menoleh ke arah kami.
“Ke kamarku yuk Ma,” ajakku kepada Mama agar aku bisa mencurahkan perasaanku tanpa diketahui Ayah dan anak-anak.
Mama nampak tak sabar mendengar cerita dan penjelasan dariku.
“Apa magsud kamu? Gimana ceritanya sih?” tanya Mama dengan nada penasaran dan seakan tak percaya mantu kesayangannya berani meminta hal yang dibencinya.
“Iya Ma, jadi beberapa hari terakhir ini suamiku memintaku untuk merestuinya menikahi Utari, janda muda yang bekerja dikantornya,” kataku memulai cerita
Aku pun bercerita panjang lebar dan memberitahu Mama bahwa mertuaku sudah tau dan tak setuju, mertuaku pun sudah menasehati suamiku tapi kini sikap suamiku berubah dingin padaku.
“Duuhh.....sabar ya Sayang, Mama doakan keluargamu utuh, dijauhkan dari janda genit penggoda,” ucapan Mama dengan mata berkaca dan emosi yang coba dia tahan.
“Kamu udah ketemu langsung sama si Utari Utari itu? Mama temuin ya, mau mama labrak,” geram mama.
“Gk usahlah Ma, yang ada hubungan aku sama suamiku makin berantakan,” ujarku meredakan emosi mama. Aku berusaha keras supaya tidak menangis didepan mama, aku khawatir tangisanku akan membuat mama semakin geram dan emosi yang malah akan memperburuk hubunganku dengan suamiku.
“Kamu kalau ada apa-apa ngomong sama mama ya, jangan diem aja!!” ucap mamaku tegas.
“Iya Ma, jangan khawatir aku baik-baik aja” jawabku meyakinkan mama.
“Kamu harus pastiin kalo suamimu ga akan berbuat yang macem-macem, kamu harus jauhkan suamimu dari wanita lain, pecat saja kalo bisa pecat semua karyawati di kantor suamimu itu biar dia ga bisa macem-macem sama perempuan lain manapun!” kata mama dengan nada penuh emosi yang meluap-luap.
“Ya ga bisa gitu juga Ma, ga bisa main pecat aja, semua kan ada SOP nya, Standar Operational nya ga bisa main pecat karyawan, udah sekarang mama tenang aja, lebih baik doakan aku, itu yang paling aku butuhkan saat ini Ma” jawabku.
Tiba-tiba ayah sambungku datang menghampiri kami
“Ma, pulang yuk!temen ayah mau mampir kerumah kita katanya udah dijalan dia” ajak ayah sambungku kepada mamaku.
“Maaf ya bukan nya ayah gak mau lama-lama disini, tapi ini temen ayah tiba-tiba menghubunginya” kata ayah sambil memandang ke arahku.
“Iya gak apa-apa koq yah, hati-hati dijalan ya, mau pesan taxi online apa gimana?” tanyaku
“Gak usah deh, di depan kan ada angkutan umum, maafin mama ya gak bisa lama-lama disini” kata mama sambil merangkulku.
“Jangan lupa kabarin mama terus ya kalo ada apa-apa” bisik mama sebelum melangkah pulang.
Aku bersyukur mama dan ayah pulang sebelum suamiku tiba dirumah, entah apa yang akan mama lakukan kepada suamiku jika mereka bertemu, aku khawatir mama tidak bisa menahan emosi nya dan berkata buruk pada suamiku, seburuk apapun suamiku aku masih menyimpan rasa sayang dan hormat padanya, tak ingin dia mendapat penghinaan dari siapapun termasuk dari ibu kandung ku sendiri.
Sudah hampir seminggu, hubunganku dengan suamiku belum kembali seperti semula, aku yang kini berusaha menghangatkan kembali hubungan kami namun dia nampak masih acuh tak acuh padaku.Aku mulai tak tahan, biarlah kini aku yang mengalah dan bersimpuh meminta maaf padanya, mungkin beberapa waktu lalu aku bersikap berlebihan dan menyakiti hatinya, dan jika bukan demi Syafia dan Yusuf mungkin aku pun akan tetap bertahan dengan keangkuhan dan egoku, tapi tadak.....aku tak ingin anak-anakku menjadi korban dalam perselisihan ini. Ikatan antara ibu dan anak benar adanya, beberapa hari terakhir ini si kecil Yusuf menjadi lebih rewel, sering menangis tanpa sebab dan tampak gelisah, begitu pun Syafia dia tampak agak murung tak seriang biasanya. Aku ingin kembali menghadirkan senyuman dan canda tawa dirumah ini, menjemput kembali sakinnah mawaddah warrahmah dalam kehidupan rumah tanggaku seperti sebelumnya. Ku coba melawan ego dan legowo untuk meminta maaf pada suamiku.“Yang
Bab 8 Penerimaan “Baik, tapi ijinkan aku mencari tau yang sebenar-benarnya dan seperti apa sosok Utari,” pintaku “Memang itu yang aku harapkan, aku tidak berselingkuh di belakangmu, aku tidak pernah berdua-dua an seperti yang kamu fikirkan, aku ingin kamu yang mencari tau tentang Utari dan mencoba membuka wawasan tentang poligami. Jangan berfikiran sempit, bukankah dalam surat an nisa ayat 3 dijelaskan bahwa...dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat,” ujar suamiku mengutip sebagian terjemahan surat an nisa ayat 3 “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, jangan lupa sambungan ayat lengkap nya!!!” seru ku tak mau kalah. “In shaa Allah aku akan berlaku adil,” ujar suami ku dengan rasa penuh percaya diri. “Apa sih alasan
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatu,” sapa ustadzah kepada ibu-ibu yang hadir pengajian rutin mingguan di komplek perumahan tempat tinggal ku.“Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarokatu,” jawab ibu-ibu komplek yang hadir, sekitar 15 orang termasuk aku yang duduk di pojok mushola sambil menggendong Yusuf dipangkuanku.Seperti biasa, sambil menunggu Syafia pulang sekolah Taman kanak-kanak, aku membawa Yusuf ke pengajian rutin di mushola komplek rumah kami, lokasi nya tidak jauh dari TK Syafia. Dari hari senin sampai jumat selalu ada ustadzah yang bergantian mengisi acara pengajian rutin tersebut, tema nya pun berbeda setiap hari, mulai dari parenting, rumah tangga ala nabi, fiqih wanita, tahsin atau memperbaiki bacaan alquran dah tadarus alquran. Biasa nya 2 atau tiga kali dalam sepekan aku menyempatkan menghadiri pengajian rutin tersebut, selain ingin memperbaiki bacaan alquran, mempelajari ilmu agama, bersilaturahim dengan tetangga juga
Setelah bu ustadzah Hilya pulang, kata-kata nya seakan tak ikut bersamanya, kata-katanya terngiang di telingaku dan menyadarkan kesalahanku. Terlebih ketika beliau bercerita tentang kisah nabi Muhammad SAW yang sempat mengharamkan madu untuk beliau minum, kala itu beliau meminum madu dari rumah Zainab salah satu isterinya lalu menceritakan betapa nikmat nya madu tersebut kepada Aisyah, Rasulullah juga menceritakan betapa lezat madu tersebut saat bersama Hafsoh, istreri nya yang lain, lalu karena beliau berulang kali mengulang dan memuji madu yang di hidangkan Zainab maka ketika Rasulullah kembali dari rumah Zainab, Aisyah sang isteri pun menyinggung soal madu, begitupun Hafsoh yang bertanya ‘bagaimana madu nya Zainab?’ Rasulullah menyadari bahwa kedua isterinya cemburu maka beliau berkata tidak akan meminum madu lagi, kemudian turunlah firmam Allah surat at tahrim ayat 1يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَ
“Sebelumnya saya minta maaf Bu, jadi beberapa waktu lalu saya minta tolong Bapak untuk barangkali punya kenalan bujang atau duda yang sedang mencari pasangan, seperti yang Ibu ketahui bahwa Utari anak saya itu janda, saya ingin dia cepet nikah lagi Bu, saya sedih melihat Utari di usia muda nya ini harus jadi single parent untuk anaknya,” ujar bu Jelita dengan mata berkaca“Sekali lagi saya minta maaf, saya tidak bermagsud menjodohkan Utari dengan bapak, saya hanya meminta bantuan bapak untuk mencarikan jodoh buat putri saya Utari,” sambung bu Jelita kini dengan nada gemetar dan sedikit takut. Mungkin bu Jelita berfikir aku akan marah atau kedatanganku untuk memaki anaknya.Tak lama datang seorang bapak paruh baya masuk ke dalam rumah sambil bergegas dan mengucap salam, ia tampak bingung dan terengah-engah karena berjalan separuh berlari. Bapak itu kemudian duduk di samping bu Jelita.“Ada apa ya Bu?” tanya bapak itu kepada bu
Air mata mulai mengalir di pipiku, aku tak lagi malu untuk menyembunyikan perasaanku, bu Jelita menyodorkan segelas air putih kepadaku.“Ini bu diminum dulu airnya,” ucap bu Jelita“Terimakasih bu,” jawabku sambil menegak air putih di gelas itu dan menyeka air mataku.“Maaf Pak, Bu, saya sebenarnya sangat terkejut dengan permintaan suami saya ini, saya kesini pun atas ijin suami saya untuk mengenal keluarga Utari sebelum mungkin melamar Utari secara resmi, jujur hati saya masih merasa berat melakukan ini,” ucapku sambil menahan rasa sedihku.“Mohon maaf bu kalau boleh tau, kira-kira kapan bapak mau melamar Utari secara resmi?” tanya pak Somad kepadaku.“Karena sebenarnya ada seorang lelaki teman nya Utari, akhir-akhir ini sering datang antar jemput Utari dan kadang tanpa sepengetahuan kami mereka sering bertemu diluar, saya tidak enak sama tetangga khawatir jadi fitnah, makadari itu saya berhara
Benar kata orang yang bilang ‘Cintailah kekasihmu sekedarnya saja karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi musuhmu dan bencilah musuhmu sekedarnya saja bisa jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu’ Mungkin aku terlalu mencintai suamiku, menganggapnya malaikat yang dikirim Tuhan hanya untukku, membahagiakan aku di dunia ini dan suatu saat bersama lagi di surga, suami sempurna tanpa cela yang ternyata kini menorehkan luka yang teramat dalam. Sepanjang jalan pulang dalam kereta, tak terasa aku menitikan air mata, teringat masa dimana dulu sebelum aku memutuskan untuk menikahi suamiku, bahkan lebih jauh lagi, aku teringat pada masa remajaku dimana saat itu orangtua ku terus bertengkar tiada henti dan akhirnya memutuskan untuk berpisah, mereka sempat bertanya aku akan ikut siapa, sempat terombang-ambing sekian waktu ikut mama dan lalu tinggal bersama ayah dan ibu sambung hingga akhirnya aku putuskan untuk tinggal sendiri di sebuah kost kecil dengan alasan dekat dengan
“Bi, hari ini aku kerumah Utari,” kataku sambil menyuguhkan secangkir kopi untuk suamiku yang baru saja pulang dari kantor.“Hah? masa? Ngapain kamu kesana?” tanya suamiku dengan nada terheran-heran“Kan kamu yang mengijinkan aku untuk mencari informasi tentang Utari, informasi paling akurat dari mana lagi kalo bukan dari orangtua nya,” ujar ku dengan wajah datar.“Terus disana kamu ngomong apa?sama siapa kesananya?” tanya suamiku mulai penasaran.“Sendiri, aku labrak dia,” jawabku berbohong.“Ah yang bener, aku aja belum pernah ke rumahnya, kamu kan ga tau jalan suka lupa gitu apalagi ketempat baru sendiri kayaknya ga mungkin deh,” ujar suamiku sambil tersenyum lepas, sepertinya dia belum percaya bahwa aku benar-benar dari rumah Utari.“Nih rekaman suara nya.” ucapku sambil menyodorkan handpone dan menekan tombol play pada rekaman suara antara aku, bu Jelita
“Hari ini jalan keluar yuk sama anak-anak,” ajak ku kepada suamiku“Ga bisa, Abi mau ada urusan,” jawab suamiku.“Abi mau kemana? Fia ikut, Fia bosen dirumah terus,” rengek Syafia kepada abi nya.“Abi sampe sore loh Fia,” kata suamiku“Gak apa-apa Fia ikut abi aja ya,” pinta Syafia dengan manja.“Ya udah, pake baju yang rapi ya,” kata suamiku.“Umi sama Yusuf ikut?” tanya ku pada suamiku.“Ga usah ya, dirumah aja!!” seru suamiku.Aku memakaikan Syafia baju casual, kaos panjang, celana panjang dan kerudung bahan kaos karena ku fikir suamiku akan membawa Syafia ke kantor atau rumah temannya di hari sabtu ini.“Jangan pake baju itu Mi, yang rapihan dikit, serasiin sama Batik Abi,” pinta suamiku kepadaku.“Rapi banget pake batik kaya mau kondangan,” ejek ku sambil mengganti baju Syafia dengan gamis b
Waktu menunjukan pukul 15.30 WIB, aku sudah selesai menyiapkan segala sesuatu untuk pergi berkencan sore ini dengan suamiku. Aku memakai gaun abaya hitam yang suamiku belikan saat dia Umroh dulu, lengkap dengan pasmina panjang menjuntai warna hitam juga. Aku yakin suamiku akan menyukainya karena dia sangat menyukai warna hitam dan perempuan yang berwajah Timur Tengah, sehingga gaya make up ku pun meniru perempuan ala Timur Tengah, dengan alis hitam lebat, celak mata yang tajam dan hitam, eyeliner di kelopak mata untuk mempertegas riasan mata, mascara hitam agar bulu mataku nampak lentik, lipstik berwarna softpink, aku tak memakai foundation dan bedak berlebihan, apalagi eyeshadow atau brush di pipi, terakhir kali aku memakai riasan itu malah suamiku tak menyukainya. Satu hal lagi, aku melengkapi penampilanku ini dengan cadar hitam agar aku terlihat sangat mirip dengan wanita Arab.Aku pun berangkat dengan ojek online dan sampai pada pukul 15.45WIB.‘Umi udah samp
“Bi, jalan-jalan berdua aja yuk,” ajakku kepada suamiku saat kami sedang bersiap tidur.“Kemana?” tanyanya singkat.“Kemana aja gitu, ke pantai boleh ke gunung boleh ke hotel boleh restoran juga ayo yang penting berdua aja,” jawabku sambil menatapnya.“Anak-anak gimana?” tanya suamiku seakan tak ingin mengabulkan permintaanku.“Ya semenara titip mama dulu, umi tuh pengen menghabiskan waktu berdua aja dulu sama abi biar bener-bener melupakan masalah kemarin, emang abi ga ngerasa ya kalo umi masih sakit hati?” tanyaku dengan nada sedikit emosi.“Sakit hati kenapa?” tanya suamiku dengan wajah polos seakan tanpa dosa.“Utari,” jawabku singkat sambil menatapnya tajam.“Ya ampun masih kepikiran aja, kamu sendiri yang rugi kalo masih ngerasa sakit hati,” ujar suamiku sambil memejamkan mata.Aku tak ingin memulai pertengkaran, namun sikap su
“Alhamdulillah kajian pagi ini telah selesai, mari kita tutup dengan membaca istigfar dan doa majelis, Astagfirullahaladziim subhanaka Allahuma wabihamdika Ashadu alla illaha illa anta astagfiruka waatubu ilaih, mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan, wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warrahmatullahi wabarokatu,” Doa bu ustadzah Hilya menutup kajian pagi ini.Seperti biasa setelah kajian usai dan sambil menunggu Syafia pulang sekolah, aku menyempatkan diri untuk menyapa dan berbincang dengan guru sekaligus sahabatku......bu ustadzah Hilya.“MasyaAllah kajian hari ini ngena banget di hati saya bu, tapi bu rasanya koq sulit sekali ya untuk ikhlas dalam menerima ujian dalam hidup ini?” tanyaku kepada bu ustadzah Hilya.“Bukan sulit, tapi memang ga mudah dan proses belajar ikhlas itu butuh waktu seumur hidup,” jawab bu ustadzah Hilya yang selalu bisa menenangkan hatiku.Aku mengangguk dan mencoba memah
‘Yang, udah makan siang? Aku ke kantor ya sekarang’ isi pesan singkat yang siang ini ku kirim kepada suamiku. Dia sudah membaca pesanku tapi belum juga membalasnya, aku menunggu sambil mengecek lokasi keberadaannya, dia di kantor.Setelah sepuluh menit suamiku baru membalas pesanku,‘Jangan ke kantor sekarang ya, dirumah aja!’ seru suamiku dalam isi pesan singkatnya.Andai aku bisa meretas cctv di kantor nya atau memasang penyadap suara di meja kerja nya mungkin aku tak akan gelisah atas asumsi ku, mengira-ngira apa yang sedang suamiku lakukan? Bersama siapa?Tak lama kemudian aku kembali mengecek lokasi real time keberadaan suamiku via aplikasi yang sudah aku interegasikan antara handphone ku dan handphone miliknya, aku lihat sebuah pergerakan, dari kantor nya ke arah atas, entah menuju kemana.Aku terus memantau posisi suamiku, aku selalu merefresh aplikasi nya agar mendapat penyegaran dan info akurat mengenai keberadaan s
Aku mulai melupakan rasa sakit hati dan kecewa pada suamiku tentang niat nya yang sempat ingin menikahi Utari, Utari kini tak lagi bekerja di kantor suamiku, begitu pun ayahnya, no handphone Utari pun sudah ku blokir dari handphone suamiku agar mereka tak lagi bisa berkomunikasi, satu hal yang kini rutin kulakukan adalah berkunjung ke kantor suamiku sepekan sekali, kadang tiap 3 hari aku selalu beralasan ingin mengantar makan siang, sekedar berjalan-jalan dan mampir atau berbagai alasan lainnya aku pastikan di kantor dia tak bisa berbuat macam-macam.Karena semakin sering aku berkunjung ke kantor suamiku, maka aku pun sering mendengar gosip-gosip dari para karyawan, beberapa kali aku mendengar diantara mereka menjadikan aku dan suamiku bahan obrolan mereka, mereka seakan menerka-nerka kisah rumah tangga ku dan berhenti berbicara ketika mereka menyadari keberadaanku. Aku tak ingin membuat keributan dengan mempertanyakan itu semua secara langsung kepada mereka karena aku tau ji
“Saya terima nikah dan kawinnya Utari binti Somad dengan mas kawin satu unit mobil dan seperangkat alat solat dibayar TUNAI,” ucap seorang pria berpakaian jas resmi rapi berwarna hitam, Suara yang tak asing itu sepertinya suara......Tidak!!! Mas Dhoni!!!“Bagaimana para saksi sah?” tanya seorang penghulu kepada orang orang di sekeliling meja akad nikah itu“SAH,” serentak jawab orang-orang yang berada disitu.Aku berdiri mematung di depan pintu, memastikan siapa pengantin yang telah melaksanakan akad nikah itu, kulihat seorang pengantin wanita berkebaya putih panjang dan memakai kerudung duduk disebelah pengantin pria, pandanganku terhalang oleh dedaunan yang merupakan dekorasi ruangan akad nikah tersebut dan di antara penuh sesak orang yang menyaksikan.Rasa takut, gundah dan sedih menyelimuti hati karna merasa aku sangat mengenal suara itu, aku menguatkan hatiku untuk melangkah dan memastikan ini pernikahan siapa.
“Umi, Syafia mau makan mie goreng,” pinta Syafia membuyarkan konsentrasi ku saat sedang bekerja di depan laptop.“Syafia makan yang ada di meja makan aja ya, kan Umi sudah masak,” pintaku kepada anakku Syafia sambil melanjutkan pekerjaanku.“Tapi Syafia ga suka lauknya,” rengek Syafia dengan manja sambil menggoyang goyangkan tanganku.“Ya ampun Fia, diem dulu dong ini umi lagi kerja!!!” bentak ku kepada SyafiaSyafia cemberut dan meninggalkan ku, tak lama ku dengar suara tangisan Yusuf. Aku tinggalkan pekerjaanku dan menghampiri Yusuf, ku lihat Syafia duduk di hadapan Yusuf dan memegang mainan Yusuf sementara Yusuf menangis sambil duduk di lantai.“Syafia, kamu bikin adek nangis ya?!” kataku sambil menggendong Yusuf.“Enggak!!! Yusuf jatoh karna mainan ini bukan sama aku,” ujar Syafia sambil ikut menangis.Seketika dunia terasa sempit dan pengap, pekerjaan r
“Dhoni, mama pulang dulu ya, inget kamu jangan berbuat macem-macem dan jangan nyakitin hati istri kamu lagi,” ujar ibu mertuaku kepada suamiku.“Mama juga pulang dulu ya, awas loh Dhoni kalo kamu macem-macem kita ga akan tinggal diam,” ancam mamaku kepada suamiku.Mas Dhoni mengangguk dan mencium tangan mama dan ibu mertuaku“Mau Dhoni anter?“ tanya mas Dhoni kepada mama dan ibu mertuaku.“Anter pake apa? Motor?” sindir mama ku sambil memicingkan mata seakan akan berisyarat merendahkan mas Dhoni dan seakan berkata ‘punya motor aja bangga sok-sok an pengen punya istri dua’ “Mama sama besan mau naik angkutan umum,” ujar ibu mertuaku“Makasih ya Ma, udah nemenin beberapa hari ini,” ujarku kepada mamaku dan ibu mertuaku sambil mencium tangan mereka.Aku mengantar mama dan ibu mertuaku sampai depan rumah dan mereka naik angkutan umum yang berbeda ara