“Allahu akbar Allahu akbar ....” suara adzan subuh membangunkanku ,“Alhamdulillah Sudah hari ke 9,“ gumamku , ini adalah hari ke sembilan aku bangun tanpa melihat suami ku disampingku.“In shaa Allah tinggal 1 hari lagi, bismillah aku bisa“ sambil beranjak bangun untuk menunaikan solat subuh.Syafia putri sulungku terbangun dan menghampiriku.“Mi, abi kapan pulang ? fia kangen abi,” ujar nya hampir setiap waktu semenjak ditinggal pergi abi nya untuk menunaikan ibadah umroh lebih dari sepekan yang lalu.“ Fia anak umi yang sholihah, sabar ya sayang in shaa Allah besok abi pulang,Fia kan sudah berusia 5 tahun,sudah besar dan sudah punya adik bayi,harus bisa lebih bersabar ya,“jawabku“Tapi Fia kangen abi, 10 hari lama banget sih,” katanya lagi sambil mulai bercucuran air mata“Hari ini Fia mau ikut umi ke pasar? untuk belanja sayur dan buah, kita persiapkan masakan enak untuk menyambut kepulangan abi nanti,“ ajak ku agar Fia tak selalu merengek bertanya tentang abi nya.“Iya mi, nanti beli es krim juga ya,” pinta nya.Akupun mengangguk mengiyakan .
“Sekarang kakak Syafia dan adik Yusuf sudah mandi dan sudah wangi,yuk kita berangkat ke pasar naik angkutan umum saja ya,” ajak ku kepada putri sulungku Syafia dan adik kecil nya Yusuf yang masih berusia 11 bulan .
“Umi kenapa sih abi jual mobil kita? Abi jual mobil supaya bisa ke rumah Allah ya ?” tanya Syafia.“Mmhh...bukan sih, dulu ada saudara abi yang sedang sangat memerlukan bantuan materi sehingga abi membantunya dengan cara menjual mobil kita, Syafia dan Yusuf kalau sudah besar nanti juga harus dermawan seperti abi ya, yang bersedia membantu saudara tanpa pamrih , Alhamdulillah Allah mengganti dengan jalan rejeki lain, abi bisa berangkat umroh ,itu adalah rejeki yang tidak di sangka dan wajib kita syukuri,“ jawabku panjang lebar sembari menyisipkan nasihat untuk kedua buah hati ku.Teringat kembali hari dimana suamiku memberitahuku bahwa dia akan menjual mobil kesayangan satu satu nya itu demi membantu saudara nya, ada perasaan kagum dan cinta yang membuncah di hatiku, aku bersyukur bahwa aku telah dinikahi laki-laki yang sangat dermawan, penyayang dan taat beribadah. Dia mampu merubahku menjadi lebih baik . Aku yang dulu nya cuek, acuh, egois dan kekanak-kanakan, sekarang sudah jadi ibu dari dua anak, laki laki dan perempuan, anak anak yang sehat ,cantik dan lucu. Suamiku cukup mapan walaupun baru memulai usaha nya beberapa tahun terakhir. Kami memiliki rumah yang cukup luas dari hasil usahanya. Orang-orang memujiku karena kehidapanku, mereka berfikir aku mendapatkan kehidupan sempurna yang semua wanita idam idamkan, ya ...aku sangat bersyukur .Setelah membeli beberapa buah,sayur dan keperluan lainnya dipasar, aku membawa Syafia dan Yusuf ke restoran favorit mereka untuk membelikan ice cream dan kidsmeal kesukaan Syafia, setelah menyantap habis makan siang nya, Syafia mengajak adik nya bermain di playground dalam restoran tersebut, aku mendampingi mereka dan tiba-tiba Syafia memeluk erat adiknya, kuperhatikan mata kecilnya basah sambil pandangan nya tertuju pada seorang ayah yang sedang menyuapi anak nya, aku yakin perasaan rindu Syafia pada abi nya sudah tak tertahankan dan dia mengharapkan segera kepulangan abi nya.
Aku pun memeluk mereka dan mengajak mereka untuk pulang ,agar hari ini terasa cepat berlalu dan besok tawa dan senyum riang mereka kembali saat melihat abi nya pulang. Aku berdoa kepada Allah agar selalu melindungi suamiku dan semoga dia selalu sehat ,kami semua rindu dan menunggu nya pulang dalam keadaan sehat selamat tanpa kurang suatu apapun.Hari yang ditunggu pun tiba, Syafia tampak sangat bersemangat hari ini, dia sudah mandi dan memakai pakaian terbaik nya, dia juga memilihkan baju adiknya dan membantuku menyiapkan makanan untuk menyambut kepulangan abi nya,
“Assalamualaikum “ suara yang tak asing pun tersengar syahdu, Syafia berlari dari dalam rumah ke arah pagar halaman sambil berteriak “ABIIIIIII........”
Aku pun bergegas bangkit dari duduk dan menggendong Yusuf untuk menyambut suamiku tercinta. Syafia merangkul abinya seolah tak ingin kehilanganya lagi, aku mencium tangan nya, dia mencium keningku, menciumi Syafia dan Yusuf.Wajah yang cerah berbinar itu, senyum yang menyejukan itu, sosok yang hangat dan penuh kasih sayang itu ....Aaahhh....aku tak percaya aku melihatnya lagi , 10 hari terasa bagai 10 tahun berlalu cukup berat tanpa kehadirannya ,Namun ...ada yang berbeda .Senyuman nya masih sama, tatapannya masih sama, tapi kenapa hatiku berkata ada yang beda, aaahhh.... mungkin karena dia lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh .Aku pun menghempaskan jauh-jauh perasaan aneh ku itu .Setelah menyiapkan makanan untuk suamiku ,akupun membiarkan nya beristirahat dan memberi pengertian kepada anak anak agar tak mengganggu abi nya dulu, setelah itu kami bisa bercengkrama lagi, berbagi cerita selama terpisah sepuluh hari ini .Suamiku menceritakan banyak hal dan tak lupa mebawakan oleh oleh untuk kami, akupun bercerita bagaimana kami semua menahan rindu dan melalui hari-hari tanpa nya. Suasana sore itu sangat hangat, aku sangat bersyukur dan merasa sangat bahagia, aku merasa kehidupanku sempurna, memiliki suami yang sempurna pula ,aku lupa bahwa tak ada yang sempurna dan kekal di dunia ini ....
sampai suatu hari .... aku mendengar sesuatu yang kurasa tak mungkin sebelumnya dia ucapkan ....satu kata yang menjungkirbalikan dunia ku....satu kata yang merubah cinta ku jadi benci .... satu kata .... Poligami .BAB 2 Suami SempurnakuBeberapa minggu setelah kepulangan suami ku dari ibadah umroh ,tak banyak yang berbeda darinya ,hanya ibadah nya yang lebih rajin , selain solat wajib tak lupa solat sunah pun dia kerjakan, baca alquran beserta wirid dan dzikir pagi petang tak luput pula dari rutinitas kesehariannya ,sedekah dan infaq pun tak luput dari perhatiannya.Dia sering memborong pedagang keliling yang lewat, terlebih jika pedagang nya tua renta. Suamiku juga sering memberi bonus bagi para karyawannya tanpa pandang bulu, bahkan ketika saldo di rekeningnya menipis, dia memintaku untuk mentransfer sejumlah uang untuk salah satu karyawati nya bukan berupa bonus, tapi sekedar uang jajan tambahan bagi anak sang karyawati karena dia seorang single parent. Aku bahagia....karena imamku semakin meningkat keimanan nya, aku pun malu jika tak mampu mengimbangi nya.Aku semakin rajin pergi ke kajian di mashola, tak lupa juga aku perbaki bacaan alquran ku dengan mengikuti tahsin , k
Malam itu cuaca nya sangat bagus, udara nya sejuk, bulan bersinar terang dengan hiasan bintang yang bertaburan bagai mutiara yang berkilau. Malam yang indah untuk dinikmati berdua bersama suami, setelah Syafia dan Yusuf tidur aku mengajak suamiku untuk duduk di teras menikmati keindahan malam ini.Ku suguhkan sepiring singkong kukus kesukaan nya tak lupa juga secangkir kopi untuk kami nikmati bersama, yaa... aku lebih suka menyeruput kopi dari cangkir suamiku, selain ingin terkesan romantis juga karna sebetulnya aku tak begitu kuat menikmati kopi, minum sedikit saja auto begadang 2-3 jam, tidurku akan jadi lebih larut.“ Sayang, ini secangkir kopi dan sepiring singkong kukus panas special buat suamiku tercinta,“ rayu ku sambil menyuguhkan nya di meja kecil teras kami, kami duduk berdampingan di kursi bambu panjang yang menghadap ke halaman kecil di depan teras rumah kami.“Makasih sayang, masyaAllah mantap bener ngopi di temenin singkong
“Abi udah jam segini koq ga ke kantor?Abi ga kerja ya? Hari ini abi libur ya?”tanya Syafia kepada abi nya.“Iya sayang, hari ini abi pengen libur,” jawab suamiku“Yeay....jalan jalan yuk bi” ajak Syafia“Nggak ah, abi pengen di rumah aja sama umi,” jawab suamiku sambil melirik ke arah ku seakan jwaban yang sesungguhnya adalah ‘abi ingin memantau umi agar tak pergi dari rumah ini’“Ya udah deh tapi main sama Fia dan Yusuf ya bi,“ ajak Syafia lagi“Oke deh,” suamiku mengiyakan keinginan anaknya itu.Beberapa hari berlalu sejak kejadian malam itu, menyisakan jarak yang cukup lebar antara aku dan suamiku. Aku kini tak seceria dulu, senyum itu masih enggan singgah di wajahku, yang ada hanyalah senyum keterpaksaan didepan anak-anakku. Aku masih menjalankan tugas rumah tanggaku dengan baik dan masih melayani hasrat bercinta suamiku, meski kini aku tak menikmatinya seperti dul
“Menurut kamu gimana Mi?” tanya suamiku dengan polos.“Kenapa sih Bi?” aku bertanya balik, hanya satu kata itu yang mampu ku lontarkan.....kenapa??! Ribuan tanya lainnya berebut untuk keluar dari kepala ku tapi tak mampu keluar dari bibirku yang kelu dan mulai kaku karena rembesan air mata yang sengaja ku tampung.“Aku tuh cuma ingin melindungi dan menjaga kehormatannya, bukankah poligami itu sunah?!” Ungkapnya.“Sejak kapan Kamu mulai menyukainya dan berniat menikahinya? Apa saja yang sudah kamu perbuat dan kamu rencanakan dibelakangku? Apa yang membuatmu tertarik dengannya dan melupakan aku?” Satu persatu pertanyaan itu keluar seiring dengan tangisan yang mulai deras.Suamiku hanya duduk terdiam mendengar semua tanya yang bertubi-tubi menyerangnya.Aku kecewa dengan sikap diam nya, aku berfikir jauh dan menarik kesimpulan sendiri, aku berfikir bahwa mereka telah lama menjalin komunikasi yang intens
Setelah kunjungan Ibu mertua dan Putri kemarin, suamiku menjadi lebih pendiam. Sebelumnya dia memang pendiam, tapi kali ini dia sungguh lebih diam.Apakah dia merasa bersalah? Apakah dia menyadari keinginannya untuk menikahi Utari sangat menyakiti hatiku? Apakah kini dia tak akan memaksaku untuk merestui niat nya berpoligami?Aku memutuskan untuk berusaha bangkit dan melupakan pertengkaran kami kemarin, aku berusaha kembali menjadi seperti sebelumnya, menjadi istri yang melayani segala keperluan suamiku, menjadi ibu yang merawat kedua anak-anakku dan mengurus rumah demi Syafia dan Yusuf.Suamiku mulai berangkat bekerja lagi, tapi dia tak menyentuh sedikitpun kopi dan sarapan yang telah kusediakan.“Bi, kopinya ga diminum?” tanyaku“Nanti aja,” jawabnya singkat sambil melangkah menuju pintu. Aku mengejarnya untuk meraih tangannya dan ku cium.Biasanya sebelum pergi bekerja, Aku mengantar suamiku ke depan pintu, mencium
Sudah hampir seminggu, hubunganku dengan suamiku belum kembali seperti semula, aku yang kini berusaha menghangatkan kembali hubungan kami namun dia nampak masih acuh tak acuh padaku.Aku mulai tak tahan, biarlah kini aku yang mengalah dan bersimpuh meminta maaf padanya, mungkin beberapa waktu lalu aku bersikap berlebihan dan menyakiti hatinya, dan jika bukan demi Syafia dan Yusuf mungkin aku pun akan tetap bertahan dengan keangkuhan dan egoku, tapi tadak.....aku tak ingin anak-anakku menjadi korban dalam perselisihan ini. Ikatan antara ibu dan anak benar adanya, beberapa hari terakhir ini si kecil Yusuf menjadi lebih rewel, sering menangis tanpa sebab dan tampak gelisah, begitu pun Syafia dia tampak agak murung tak seriang biasanya. Aku ingin kembali menghadirkan senyuman dan canda tawa dirumah ini, menjemput kembali sakinnah mawaddah warrahmah dalam kehidupan rumah tanggaku seperti sebelumnya. Ku coba melawan ego dan legowo untuk meminta maaf pada suamiku.“Yang
Bab 8 Penerimaan “Baik, tapi ijinkan aku mencari tau yang sebenar-benarnya dan seperti apa sosok Utari,” pintaku “Memang itu yang aku harapkan, aku tidak berselingkuh di belakangmu, aku tidak pernah berdua-dua an seperti yang kamu fikirkan, aku ingin kamu yang mencari tau tentang Utari dan mencoba membuka wawasan tentang poligami. Jangan berfikiran sempit, bukankah dalam surat an nisa ayat 3 dijelaskan bahwa...dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat,” ujar suamiku mengutip sebagian terjemahan surat an nisa ayat 3 “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, jangan lupa sambungan ayat lengkap nya!!!” seru ku tak mau kalah. “In shaa Allah aku akan berlaku adil,” ujar suami ku dengan rasa penuh percaya diri. “Apa sih alasan
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatu,” sapa ustadzah kepada ibu-ibu yang hadir pengajian rutin mingguan di komplek perumahan tempat tinggal ku.“Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarokatu,” jawab ibu-ibu komplek yang hadir, sekitar 15 orang termasuk aku yang duduk di pojok mushola sambil menggendong Yusuf dipangkuanku.Seperti biasa, sambil menunggu Syafia pulang sekolah Taman kanak-kanak, aku membawa Yusuf ke pengajian rutin di mushola komplek rumah kami, lokasi nya tidak jauh dari TK Syafia. Dari hari senin sampai jumat selalu ada ustadzah yang bergantian mengisi acara pengajian rutin tersebut, tema nya pun berbeda setiap hari, mulai dari parenting, rumah tangga ala nabi, fiqih wanita, tahsin atau memperbaiki bacaan alquran dah tadarus alquran. Biasa nya 2 atau tiga kali dalam sepekan aku menyempatkan menghadiri pengajian rutin tersebut, selain ingin memperbaiki bacaan alquran, mempelajari ilmu agama, bersilaturahim dengan tetangga juga
“Hari ini jalan keluar yuk sama anak-anak,” ajak ku kepada suamiku“Ga bisa, Abi mau ada urusan,” jawab suamiku.“Abi mau kemana? Fia ikut, Fia bosen dirumah terus,” rengek Syafia kepada abi nya.“Abi sampe sore loh Fia,” kata suamiku“Gak apa-apa Fia ikut abi aja ya,” pinta Syafia dengan manja.“Ya udah, pake baju yang rapi ya,” kata suamiku.“Umi sama Yusuf ikut?” tanya ku pada suamiku.“Ga usah ya, dirumah aja!!” seru suamiku.Aku memakaikan Syafia baju casual, kaos panjang, celana panjang dan kerudung bahan kaos karena ku fikir suamiku akan membawa Syafia ke kantor atau rumah temannya di hari sabtu ini.“Jangan pake baju itu Mi, yang rapihan dikit, serasiin sama Batik Abi,” pinta suamiku kepadaku.“Rapi banget pake batik kaya mau kondangan,” ejek ku sambil mengganti baju Syafia dengan gamis b
Waktu menunjukan pukul 15.30 WIB, aku sudah selesai menyiapkan segala sesuatu untuk pergi berkencan sore ini dengan suamiku. Aku memakai gaun abaya hitam yang suamiku belikan saat dia Umroh dulu, lengkap dengan pasmina panjang menjuntai warna hitam juga. Aku yakin suamiku akan menyukainya karena dia sangat menyukai warna hitam dan perempuan yang berwajah Timur Tengah, sehingga gaya make up ku pun meniru perempuan ala Timur Tengah, dengan alis hitam lebat, celak mata yang tajam dan hitam, eyeliner di kelopak mata untuk mempertegas riasan mata, mascara hitam agar bulu mataku nampak lentik, lipstik berwarna softpink, aku tak memakai foundation dan bedak berlebihan, apalagi eyeshadow atau brush di pipi, terakhir kali aku memakai riasan itu malah suamiku tak menyukainya. Satu hal lagi, aku melengkapi penampilanku ini dengan cadar hitam agar aku terlihat sangat mirip dengan wanita Arab.Aku pun berangkat dengan ojek online dan sampai pada pukul 15.45WIB.‘Umi udah samp
“Bi, jalan-jalan berdua aja yuk,” ajakku kepada suamiku saat kami sedang bersiap tidur.“Kemana?” tanyanya singkat.“Kemana aja gitu, ke pantai boleh ke gunung boleh ke hotel boleh restoran juga ayo yang penting berdua aja,” jawabku sambil menatapnya.“Anak-anak gimana?” tanya suamiku seakan tak ingin mengabulkan permintaanku.“Ya semenara titip mama dulu, umi tuh pengen menghabiskan waktu berdua aja dulu sama abi biar bener-bener melupakan masalah kemarin, emang abi ga ngerasa ya kalo umi masih sakit hati?” tanyaku dengan nada sedikit emosi.“Sakit hati kenapa?” tanya suamiku dengan wajah polos seakan tanpa dosa.“Utari,” jawabku singkat sambil menatapnya tajam.“Ya ampun masih kepikiran aja, kamu sendiri yang rugi kalo masih ngerasa sakit hati,” ujar suamiku sambil memejamkan mata.Aku tak ingin memulai pertengkaran, namun sikap su
“Alhamdulillah kajian pagi ini telah selesai, mari kita tutup dengan membaca istigfar dan doa majelis, Astagfirullahaladziim subhanaka Allahuma wabihamdika Ashadu alla illaha illa anta astagfiruka waatubu ilaih, mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan, wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warrahmatullahi wabarokatu,” Doa bu ustadzah Hilya menutup kajian pagi ini.Seperti biasa setelah kajian usai dan sambil menunggu Syafia pulang sekolah, aku menyempatkan diri untuk menyapa dan berbincang dengan guru sekaligus sahabatku......bu ustadzah Hilya.“MasyaAllah kajian hari ini ngena banget di hati saya bu, tapi bu rasanya koq sulit sekali ya untuk ikhlas dalam menerima ujian dalam hidup ini?” tanyaku kepada bu ustadzah Hilya.“Bukan sulit, tapi memang ga mudah dan proses belajar ikhlas itu butuh waktu seumur hidup,” jawab bu ustadzah Hilya yang selalu bisa menenangkan hatiku.Aku mengangguk dan mencoba memah
‘Yang, udah makan siang? Aku ke kantor ya sekarang’ isi pesan singkat yang siang ini ku kirim kepada suamiku. Dia sudah membaca pesanku tapi belum juga membalasnya, aku menunggu sambil mengecek lokasi keberadaannya, dia di kantor.Setelah sepuluh menit suamiku baru membalas pesanku,‘Jangan ke kantor sekarang ya, dirumah aja!’ seru suamiku dalam isi pesan singkatnya.Andai aku bisa meretas cctv di kantor nya atau memasang penyadap suara di meja kerja nya mungkin aku tak akan gelisah atas asumsi ku, mengira-ngira apa yang sedang suamiku lakukan? Bersama siapa?Tak lama kemudian aku kembali mengecek lokasi real time keberadaan suamiku via aplikasi yang sudah aku interegasikan antara handphone ku dan handphone miliknya, aku lihat sebuah pergerakan, dari kantor nya ke arah atas, entah menuju kemana.Aku terus memantau posisi suamiku, aku selalu merefresh aplikasi nya agar mendapat penyegaran dan info akurat mengenai keberadaan s
Aku mulai melupakan rasa sakit hati dan kecewa pada suamiku tentang niat nya yang sempat ingin menikahi Utari, Utari kini tak lagi bekerja di kantor suamiku, begitu pun ayahnya, no handphone Utari pun sudah ku blokir dari handphone suamiku agar mereka tak lagi bisa berkomunikasi, satu hal yang kini rutin kulakukan adalah berkunjung ke kantor suamiku sepekan sekali, kadang tiap 3 hari aku selalu beralasan ingin mengantar makan siang, sekedar berjalan-jalan dan mampir atau berbagai alasan lainnya aku pastikan di kantor dia tak bisa berbuat macam-macam.Karena semakin sering aku berkunjung ke kantor suamiku, maka aku pun sering mendengar gosip-gosip dari para karyawan, beberapa kali aku mendengar diantara mereka menjadikan aku dan suamiku bahan obrolan mereka, mereka seakan menerka-nerka kisah rumah tangga ku dan berhenti berbicara ketika mereka menyadari keberadaanku. Aku tak ingin membuat keributan dengan mempertanyakan itu semua secara langsung kepada mereka karena aku tau ji
“Saya terima nikah dan kawinnya Utari binti Somad dengan mas kawin satu unit mobil dan seperangkat alat solat dibayar TUNAI,” ucap seorang pria berpakaian jas resmi rapi berwarna hitam, Suara yang tak asing itu sepertinya suara......Tidak!!! Mas Dhoni!!!“Bagaimana para saksi sah?” tanya seorang penghulu kepada orang orang di sekeliling meja akad nikah itu“SAH,” serentak jawab orang-orang yang berada disitu.Aku berdiri mematung di depan pintu, memastikan siapa pengantin yang telah melaksanakan akad nikah itu, kulihat seorang pengantin wanita berkebaya putih panjang dan memakai kerudung duduk disebelah pengantin pria, pandanganku terhalang oleh dedaunan yang merupakan dekorasi ruangan akad nikah tersebut dan di antara penuh sesak orang yang menyaksikan.Rasa takut, gundah dan sedih menyelimuti hati karna merasa aku sangat mengenal suara itu, aku menguatkan hatiku untuk melangkah dan memastikan ini pernikahan siapa.
“Umi, Syafia mau makan mie goreng,” pinta Syafia membuyarkan konsentrasi ku saat sedang bekerja di depan laptop.“Syafia makan yang ada di meja makan aja ya, kan Umi sudah masak,” pintaku kepada anakku Syafia sambil melanjutkan pekerjaanku.“Tapi Syafia ga suka lauknya,” rengek Syafia dengan manja sambil menggoyang goyangkan tanganku.“Ya ampun Fia, diem dulu dong ini umi lagi kerja!!!” bentak ku kepada SyafiaSyafia cemberut dan meninggalkan ku, tak lama ku dengar suara tangisan Yusuf. Aku tinggalkan pekerjaanku dan menghampiri Yusuf, ku lihat Syafia duduk di hadapan Yusuf dan memegang mainan Yusuf sementara Yusuf menangis sambil duduk di lantai.“Syafia, kamu bikin adek nangis ya?!” kataku sambil menggendong Yusuf.“Enggak!!! Yusuf jatoh karna mainan ini bukan sama aku,” ujar Syafia sambil ikut menangis.Seketika dunia terasa sempit dan pengap, pekerjaan r
“Dhoni, mama pulang dulu ya, inget kamu jangan berbuat macem-macem dan jangan nyakitin hati istri kamu lagi,” ujar ibu mertuaku kepada suamiku.“Mama juga pulang dulu ya, awas loh Dhoni kalo kamu macem-macem kita ga akan tinggal diam,” ancam mamaku kepada suamiku.Mas Dhoni mengangguk dan mencium tangan mama dan ibu mertuaku“Mau Dhoni anter?“ tanya mas Dhoni kepada mama dan ibu mertuaku.“Anter pake apa? Motor?” sindir mama ku sambil memicingkan mata seakan akan berisyarat merendahkan mas Dhoni dan seakan berkata ‘punya motor aja bangga sok-sok an pengen punya istri dua’ “Mama sama besan mau naik angkutan umum,” ujar ibu mertuaku“Makasih ya Ma, udah nemenin beberapa hari ini,” ujarku kepada mamaku dan ibu mertuaku sambil mencium tangan mereka.Aku mengantar mama dan ibu mertuaku sampai depan rumah dan mereka naik angkutan umum yang berbeda ara